CEO - 3

Ryan menelpon Eka dini hari, menggunakan jasa WA. Selain karena ada gratis internet di jam kelelawar, juga karena Ryan mendapatkan wangsit beberapa jam sebelum tengah malam. Begitu masuk WC, ide itu berkeliaran memenuhi dinding-dinding berwarna putih kusam. Adalah ide mendirikan kantor serta produksi di Jakarta, agaknya kurang efisien.

Bisnis ena-ena yang mereka setubuhi dengan serius, berkenaan dengan buah mangga aneka varian. Pasokan mangga yang sebelumnya sudah memiliki langganan di daerah Pasuruan dan Kediri, dirasa lebih baik kantor tetap berada di daerah Jawa Timur. Dan Ryan mengusulkan Kediri sebagai alternatif kedua. Bukankan tidak harus memasang 'Jakarta' untuk bisa menembus pasar lebih luas? Dari kota lain pun tak boleh diragukan. Mengingat rumah Ryan juga di Kediri, dan varian mangga podang serta mangga 'apel' (aku kurang tahu apa nana sebenarnya, tapi sering disebut seperti ini karena bentuknya seperti buah apel) banyak tumbuh di daerah sana.

"Bro, di dekat rumahku aja. Sekalian manfaatin SDM sama SDA yang ada. Soal kon bakal jauh sama keluarga, anggap aja lagi usaha. Kalau sukses kan, mereka juga yang bangga."

"Iya juga sih. Niat gue bikin kantor di sini juga karena dari lulus SMA gue udah merantau. Kayak Bang Toyib aja kan. Tahu sendiri lo, kalau gue butuh dielus-elus sama emak seksih bin muntuk di sini. Semangat kayak kendor aja, Gan!"

"Kon sak munu gerang'e kok jek mambu kelek mbokmu ae. Wes ndang bali rene. Atur strategi ke warga desaku." (Kamu udah besar gini kok masih bau ketiak ibumu)

Eka berpikir kembali. Benar juga yang dikatakan Ryan. Dipandangi lagi mamah muda menggemaskan dengan pipi minta digigit itu dengan perasaan tak menentu. Demi bisnis ena-ena yang ia jalani, Eka harus rela berjauhan dengan keluarga.

Duh ... jadi pengen punya jodoh gemes manja juga kan, kalau begini. Bisa dielus, dikecup, digigit, dicolek apalagi. Kan ... kan ... jadi nganan.

Ia anak pertama pula. Ingin menjadi panutan untuk ketiga adiknya. Meski papanya memiliki jabatan di kampus, Eka tak memanfaatkan sama sekali. Bahkan ia memilih kuliah di luar kota, dan bekerja dengan usahanya sendiri. Mau mewarisi perusahaan, lah Papa Dika aja mana punya? Minta mamanya? Yang ada ia akan diwarisi tumpukan daster yang bolong-bolong.

"Ma," panggilnya.

"Apa, Beb. Minta apa? Makan udah, dielus juga udah." Eka menghampiri Emil yang tengah menyusui si bungsu.

"Mas CEO mau merantau lagi. Nggak jadi buka kantor di sini. Mama setuju nggak, kalau aku lanjutin bisnisnya di desa Ryan?"

"Setuju aja. Bisnis ena-ena itu maksudnya?" Eka mengangguk.

"Boleh aja sih. Mau kamu berlayar ke kutub juga mama bolehin. Lama nggak pulang juga nggak masalah. Asal," Emil mengedipkan mata kanannya, "kasih mama uang bulanan juga. Kalau bisa lebih besar dari jatah Papa Dika."

Eka mencubit pipi mama muda di hadapannya gemas. Meski Emil meraung-raung dan adiknya menangis karena keran ASI-lepas, Eka tak peduli. "Sama anak sendiri diporotin. Celana Papa aja yang diporotin, jangan isi dompetku juga kali, Ma."

"Becanda kali, Beb. Asal kamu nggak lupa aja sering kasih kabar ke Mama. Mana tahan mama kalau dipasung rindu, dijerat merana harus jauhan terus sama kamu."

"Uluh ... bahasanya, Ma. Kerasukan Tere Liye?"

"Nggak kok. Cuma kerasukan Sora Aoi, gara-gara denger nama bisnismu ena-ena." Eka memutar bola mata sebelum keduanya sama-sama terbahak.

****

Ryan dan Eka sudah sampai di desa tempat lahir Ryan. Tempatnya memang sedikit naik ke dataran tinggi. Dulu saat kuliah, keduanya kebetulan dapat tempat KKN di daerah Semen. Dekat daerah itu, baanyak tumbuh pohon mangga jenis podang. Warnanya kuning cerah, dengan semburat merah pada pangkalnya.

"Warga desa, kon yang atur. Dari dulu kon yang deket sama emak-emak di sini." Eka terkekeh. Selain didamba Bebirah, ia juga menjadi dambaaan para ciwi-ciwi berbagai generasi. Ibu-ibu di tempat KKN dulu contohnya. Ia sering digandeng mesra, dicubit manja, diusap sayang, juga disuapi rindu.

"Lusa aku mau ke wisuda Samsul. Emaknya minta aku yang datang. Kon enek jadwal genda'an nggak?" (Kamu ada jadwal kencan nggak?)

"Nyindir? Kenapa emang?"

"Ikut aku. Heni ada arisan keluarga. Moso kate dewean?" (masa mau sendirian?)

"Lo nggak salah ngajak orang?" Ryan menggeleng.

"Yo wes lah. Apa sih yang nggak buat Mas Ryan," tutur Eka menirukan gaya bicara Heni, pacar Ryan.

"Luambemu. Yo wes, sesok kon seng nyetir gawe motorku." (Mulutmu. Ya udah besok kamu yang menyetir pakai motorku)

***

Dobel sial. Sudah telat bangun, Eka juga ditinggal berangkat dulu okeh Ryan. Hanya pesan singkat yang mengantar kebingungan juga kekesalan Eka pagi itu. Ryan berangkat dulu, dengan motornya. Meninggalkan Eka yang termenung di atas WC. Sibuk order Go-Jek untuk mengantarnya ke kampus Samsul. Belum lagi ia menyetrika bajunya. Ini semua gara-gara semalam mimpi mamanya sedang karaoke di atas dipan. Bermodal daster polkadot dan mic berupa timun kesukaannya.

Berangkatlah sayang hati hati di jalan.
Do'a kusertakan mohon kepada Tuhan.
Semoga tiada arah melintang.
Macam macam godaannya setan.
Restu cintaku untukmu.
Oh pujaan.
Berangkatlah sayang hati hati di jalan.

Aku Tidak minta oleh oleh.
Emas permata dan juga uang.
Tapi yang kuharap engkau pulang.
Tetap membawa kesetiaan.

Dirimu bagaikan layang layang.
Kulepas tali benang ku genggam.
Semakin melayang kau di awan.
Semakin aku takut kehilangan.

Suara merdu mamanya seolah mengolok batin. Sejak ia sampai, belum juga mengabari. Tidak mau jadi anak durhaka, ia segera melakukan video call.

"Mamaku sayang ... kesayangan Papa Dika."

Di seberang sana, Emil tengah mengaduk sayur sop. Dengan wajah semringah, ia melambaikan tangan yang memegang adukan sayur (bahasa jawanya; irus). "Uh, Beibeh. Udah berapa hari nggak kasih kabar mama?"

"Hehehehe. Lupa, Ma. Duh, jangan ngambek gitu. Minta dibabat aja tuh bibir."

"Gimana di sana? Udah dapet tempat?"

"Udah sih, Ma. Soal merayu bukibuk kan gampang. Mama aja klepek-klepek, apalagi bukibuk di sini. Pesona CEO emang maut. Tinggal kasih pelatihan aja nanti. Mesin produksi sementara pakai yang di Surabaya dulu, soalnya masih pesen."

"Ceo ... terus yang dipamerin. Asal jangan CEO di Makpad aja. Pada jago menggauli. Dari yang lemah sampai binal."

"Iya, ya. Entar dulu, Ma. Aku mau ngeluarin sebongkah berlian dulu. Mama jangan matiin telepon. Tunggu bentar." Suara eraangan terdengar di telinga Emil. Keningnya mengerut begitu melihat wajah anaknya di sana berganti rambut saja. Ehm ... itu rambut apa ya kira-kira?

"Nah, udah. Tadi kita sampek mana ya, Ma." Emil kembali menegakkan tubuh. Fokusnya sedikit hilang akibat gerakan pada layar, dan merubah gambar wajah anaknya menjadi tiruan hutan Amazon.

"Beibeh. Kamu lagi buang eek?"

Dengan cengiran, Eka mengangguk. "Iya, Ma. Nggak nyampek situ kan baunya?"

"Cakra Eka Oktariansyah. Dasar anak nggak berbudi luhur! Kenapa telepon Mama sambil eek sih? Bye, kita putus!" Gelap. Eka tersentak dengan teriakan membahana dari wanita luar biasa di seberang sana. Panggilannya dimatikan. Dasar sial.

_____________________

Cuplikan part depan.

"Cewek yang baju merah, cakep ya. Dikenalin ke Mama langsung di-ACC nih. Tampangnya pengen ditindih aja tuh!"

"Kayak pernah nindih cewek."

"Pernah lah. Lo kira gue sealim itu?"

"Emang nindih cewek mana? Jangan bilang kon nindih Novi."

"Mana enak dia ditindih. Panda di kamar Novi kan pernah gue tindih. Empuk gila! Gue ketagihan. Beli di mana sih tu boneka. Besar juga. Gue mau beli ntar."

"Wong gendeng!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top