5. Doni adalah Mahasiswa Paling Bebal
Doni adalah mahasiswa paling bebal. Rambutnya acak-acakan, kemejanya tak pernah masuk ke dalam celana, dan IPK-nya serendah standar motor yang kebanjiran, berada tepat—benar-benar tepat—di ambang batas drop out. Kalau Doni pergi berkuliah, ia bisa mengenakan alas kaki berupa sebelah sandal dan sebelahnya lagi sepatu.
Gaya Doni memang nyentrik, bahkan dari masa-masa ospek. Kalau acara sedang berlangsung, kemudian kami temukan para kakak tingkat tengah berkerumun melingkari sajen, sudah jelas sajen itu adalah Doni, apalagi nama Doni pasti diteriakkan. Jika kegiatan ospek berada di Twitter, aku yakin nama Doni juga akan trending setiap hari.
Bukan dalam konteks yang baik, sebenarnya, karena pada akhirnya teman-temanku tak ada yang mau menemani Doni. Masa kuliah saja sudah suram, apalagi harus mengasuh Doni yang bisa mengulang mata kuliah hingga lebih dari tiga kali. Kalau Doni mendatangi gazebo tanpa diundang, orang-orang pasti akan beranjak pergi, satu persatu, seolah-olah Doni tak pernah mandi selama sebulan penuh. Ya, walaupun gaya nyentriknya membuatku sedikit menduga hal yang sama, sih.
Doni belum lulus kuliah, begitu pula aku. Bedanya, aku sudah berada di jenjang pendidikan yang lebih tinggi—program Doktor pada universitas yang sama—sedangkan Doni masih berkecimpung dalam dunia kesarjanaannya. Aku sendiri tak yakin apakah ia telah menyelesaikan proposal penelitiannya, padahal semester empat belas sudah berada di penghujung masa.
Sama seperti teman-temanku, awalnya aku tak pernah mengenal, pun tak berusaha mengenali Doni. Ada pepatah di antara kami, "Siapa yang mau menemani Doni, pasti akan tertular bau nggak mandinya." Namun, seiring dengan berjalannya waktu, seiring dengan terkikisnya teman-teman kami yang lulus satu persatu, akhirnya aku merasa kasihan juga pada Doni, apalagi aku adalah teman satu-satunya yang tersisa di kampus ini. Ingat, ya, teman dalam tanda kutip, walaupun tandanya kuganti dengan cetak miring.
Salah satu katalis untukku merasa iba pada Doni adalah saat dosen pembimbingku, secara terang-terangan, membandingkanku dengan Doni. Kalau ditanya apakah aku senang ... oh, ya, tentu saja. Jangan pikir aku tidak senang, ya, karena aku juga manusia, dapat memiliki rasa sombong. Namun, jika ditanya apakah aku merasa bangga karena dianggap lebih hebat dari Doni ... ya ... lumayan juga, sebenarnya, walaupun standarnya serendah itu.
Sial, tak ada pertanyaan tepat untuk menunjukkan rasa ibaku, atau mungkin memang sebenarnya tidak? Namun, intinya, aku tak dapat mengungkapkan ekspresi senang yang sama. Sebab, ketika dosenku mengatakan hal itu, Doni ada di sampingku. Maksudku, orang tua Doni saja bukan, kok, kenapa berani-beraninya membandingkan Doni dengan orang lain? Memangnya beliau mau mengangkat Doni jadi anak angkatnya?
Namun, Doni tetaplah Doni. "Saya juga bingung, Pak, kenapa bisa diterima di kampus ini," tuturnya. Kemudian, Doni lanjutkan dengan anggukan pelan, seolah-olah pernyataannya itu adalah aksioma yang tak perlu diragukan permasalahannya.
Untung saja Doni terlambat lahir sekitar lima puluh tahun. Kalau tidak, mungkin tamparan keras akan mendarat di pipinya. Sekarang apa-apa tinggal diviralkan, bukan? Kalau ketahuan, salah-salah malah dosenku itu yang dikeluarkan dari kampus. Ya, walaupun mungkin juga tidak, sih, mengingat sifat tengil yang Doni miliki mampu disusun sebagai tameng pembelaan diri.
Keberadaan Doni sudah dikenal luas oleh kalangan dosen, dan entah mengapa mereka tahu bahwa aku adalah teman satu angkatannya, padahal nomor induk mahasiswaku seharusnya sudah berganti dan mereka tak tahu. Akhirnya tetap saja ketua program studi memintaku memotivasi Doni agar ia mau lulus.
Sekarang, aku dan Doni malah terlihat seperti teman akrab yang sudah mengenal satu sama lain sejak lama, walaupun tak sampai mendaki gunung, melewati lembah, apalagi hingga melintasi samudera bersama-sama.
Aku tahu, seandainya semua berjalan dengan lancar, Doni, dengan masa studi yang hampir habis, harus lulus lebih dulu dibandingkan dengan aku, yang baru masuk mengambil program Doktor. Sebenarnya aku memang menunggu masa itu, sih. Sayangnya, kurasa tidak mungkin terjadi
Ketika aku mengunjungi kontrakan Doni, biasanya sengaja kuselipkan satu atau dua buku mata kuliah ke dalam tas, berharap otak Doni yang setengah menyala itu mau menyerap saripati buku agar kecerdasan intelektualnya bertambah—padahal aku sendiri jarang membaca. Namun, kalau tidak ketiduran, biasanya Doni akan melanjutkan permainan DotA-nya. Kalau aku memaksanya belajar? Sudah jelas Doni akan meraih tempurung kepalanya dengan tangan kiri, kemudian berkata, "Waduh," sambil menunjukkan barisan gigi kuningnya.
Sekarang aku mengerti bagaimana kesalnya dosen-dosenku yang melihat kelakuan Doni. Aku pikir istilah tidak ingin lulus itu hanya sindiran akan status Doni sebagai mahasiswa abadi, ternyata untaian kata itu juga bisa diterjemahkan secara harfiah. Jadi, aku bertanya pada Doni, kenapa dia bisa diterima di kampusnya. Namun, jelas Doni pun tak dapat menjawabnya. Itu kan pertanyaan dia juga. Ketika aku bertanya apakah dia tak ingin segera lulus kuliah, Doni malah menimpalinya dengan pertanyaan, "Kuliah cepat? Buat apa?"
Doni terkekeh. Kini, ia tidak sedang tidur ataupun bermain DotA, melainkan memetik senar gitar untuk melantunkan nada-nada ke udara. Sebelum pikirannya kembali terfokus pada kata-kata toxic khas server Asia Tenggara, aku mencoba merajut cara untuk membangkitkannya dari keterpurukan masa depan.
"Gimana kalau kita main tebak-tebakan aja, Don?" Pertanyaanku sukses menarik perhatian Doni. Petikannya tak beralun lagi, kini digantikan oleh alisnya yang menukik tajam tanpa suara—akan sangat menyeramkan kalau alisnya mengeluarkan suara.
Aku tahu, kata tebak-tebakan itu terdengar seperti kegiatan anak kecil. Namun, yang penting adalah kontennya, bukan? Kalau teka-teki sejenis pembodohan sih, sebagai orang yang sedang menempuh pendidikan tinggi, jelas tidak wajar untuk kulayangkan, untungnya aku memiliki teka-teki yang harus dipikirkan oleh logika tingkat tinggi.
"Tebak-tebakan apaan, tuh?" Antusias Doni membuatku senang. Ah, kalau tahu begini, dari awal saja aku mengajaknya bermain teka-teki, daripada harus melihatnya bermain DotA, sedangkan aku hanya mentok berkutat pada permainan Legenda Seluler.
"Misalnya ada tiga pintu. Di balik salah satu pintu ada hadiah mobil, di balik pintu yang lainnya ada revisian skripsi yang harus kamu kerjain. Kamu diminta pilih salah satu pintu. Setelah kamu pilih satu pintu, satu pintu lain yang nggak kamu pilih dibuka dan ternyata isinya revisian skripsi. Sekarang, sisa dua pintu. Kalau kamu mau hadiah mobil dan ditawarkan kesempatan untuk ganti pintu, lebih baik tetap pilih pintu yang tadi kamu pilih atau ganti pintu?"
"Ganti."
Aku cukup terkejut mendengar jawaban Doni. Tak ada jeda, tak ada keraguan, Doni menjawab dengan mantap tanpa adanya rasa takut. Penasaran akan keyakinan jawabannya, aku bertanya pada Doni. "Alasannya apa, Don?"
"Alasannya?" Doni melipat bibirnya. "Alasannya sih karena itu Monty Hall problem. Udah basi banget pertanyaannya, nggak ada tebak-tebakan yang lebih original, gitu?"
Aku menelan ludah. Sekelas Doni tahu Monty Hall problem? Maksudku, untuk orang yang senang membaca, mencari tahu, dan tidak menganggurkan proposal skripsinya sih mungkin saja tahu. Namun, untuk setingkat Doni yang bahkan mata kuliah Kalkulus saja ia ambil setiap semester, tak mungkin aku menduganya, bukan? Apakah aku harus bertepuk tangan untuk fenomena ini?
"Loh, kamu tahu Monty Hall problem, Don?"
"Memangnya siapa yang nggak tahu Monty Hall problem?"
"Banyak, Don." Aku berkilah, memberitahu bahwa masalah probabilitas semacam itu biasanya bukan asupan untuk banyak orang. Tentu saja banyak orang itu termasuk kau, wahai pembaca, muahahaha. Namun, tenang saja, untuk saat ini, aku belum mau merusak dinding dimensi keempat cerita ini.
"Kalau gitu aku ganti tebak-tebakannya, deh. Misalnya kita punya tiga rumah, terus ...."
"Nggak bisa." Doni memotong omonganku, yang sekali lagi membuatku menatapnya penasaran. "Mau bilang ada listrik, gas, sama air, terus setiap rumah harus dihubungin ke listrik, gas, sama air dengan garis, tapi nggak boleh ada garis yang berpotongan, kan? Jelas nggak bisa karena bakal jadi graf nonplanar."
Mataku melotot, hampir menyembul keluar. "Don, yakin nggak lagi kerasukan arwah Leibniz?"
"Hah?"
"Kok tiba-tiba pinter?"
Mulutku masih menganga lebar, selebar mulut Atomos dari Final Fantasy IX. Untuk pertama kalinya aku melihat sakelar otak Doni dinyalakan, padahal biasanya ia tinggalkan seperti tagihan listrik yang membengkak. Bahkan, saking tidak percayanya, sengaja kuseruduk meja belajar Doni yang sudah usang hanya untuk merasakan sakit, mencari tahu apakah aku sedang bermimpi atau tidak.
Nyatanya ... aduh, sial. tampaknya aku sedang tak bermimpi. Kini kepalaku mulai berdenyut dan rasa sakitnya menyebar di seluruh kepalaku. Namun, sebagai seseorang yang lebih sering menggunakan otaknya dibanding Doni, aku kembali berpikir. Apakah aku benar-benar sedang tak bermimpi? Mungkin saja aku sedang tidur, kemudian ada orang iseng yang sedang memukul kepalaku tepat di saat yang bersamaan, kan?
Jadi, aku hendak menyeruduk meja Doni sekali lagi. Namun, Doni menghalau repetisi gerakanku. Ia berteriak, "Eeehh, jangan nabrak-nabrak meja, jadi bego nanti baru tahu rasa."
Aku berhenti, mencetuskan teori baru—seandainya semua ini bukan mimpi.
"Doni yang asli kamu culik, ya? Doni yang asli kamu simpan di mana?" Aku bertanya, setengah berteriak. Namun, Doni yang ada di depanku bersikeras bahwa dia adalah Doni sebenar-benarnya Doni.
"Lah, aku Doni beneran," katanya.
"Bohong."
"Kok nggak percaya?"
"Pinter mendadak gitu jelas bukan Doni."
"Mau bukti?"
"Coba, mana buktinya?"
Doni meraih ponselnya, kemudian membiarkanku linglung sendirian sementara ia asyik memainkan ponselnya. Untungnya tidak begitu lama.
"Lihat, nih." Doni menyodorkan ponselnya padaku. "Ini akun mahasiswaku. Kalau aku Doni palsu, mana mungkin aku bisa masuk, kan?" lanjutnya, sembari mempersilakanku untuk menggeser-geser layer ponselnya.
Memang benar itu akun Doni. Nama, nomor induk, transkrip nilai tanpa nilai A, semuanya menunjukkan identitas Doni. Namun, kalau Doni palsu yang ada di hadapanku itu bisa berpura-pura menjadi Doni yang asli, apa saja mungkin terjadi pada Doni yang asli, kan?
"Kamu apain Doni yang asli sampai dia mau ngasih username sama password akun mahasiswanya?"
Doni di hadapanku mendelik tak percaya. Mulutnya menganga, persis sepertiku sebelumnya. Untungnya ia bukan Kirby yang akan menghisapku untuk mendapatkan kekuatan baru: depression and anxiety.
Perseteruan itu tak kunjung berakhir. Kami tak menemukan titik terang. Aku tetap tak percaya jika Doni yang ada di hadapanku adalah Doni yang kukenal selama ini, tetapi Doni di hadapanku itu terus bersikeras bahwa tak ada dirinya, dari dimensi yang lain, yang sedang liburan di dimensi ini untuk menggantikan Doni yang asli. Ya, walaupun sebenarnya aku setengah bercanda, sih. Namun, kurasa Doni tak menganggapnya seremeh itu.
Doni menghilang setelahnya. Tidak, bukan menghilang tiba-tiba di depan mataku, tetapi keesokan harinya. Seluruh kontak yang kulakukan tak mampu menjangkau keberadaannya. Selain itu, setelah beberapa hari berlalu, kurasa Doni tak pernah terlihat lagi di sekitar area kampus. Mata kuliah yang diambilnya pun ia telantarkan begitu saja, tak pernah masuk kelas meskipun ada kuis yang harus dikerjakannya. Sebebal-bebalnya Doni, aku tahu dia tak pernah absen kelas hanya untuk berpacaran. Namun, kalau bukan untuk berpacaran, alasan apa lagi yang Doni buat untuk menghilang dari dunia ini?
Jadi, aku memutuskan untuk mengunjungi kontrakannya. Pintu kontrakan Doni kuketuk sebanyak tiga kali, tetapi tak ada jawaban. Dengan dua ketukan tambahan, aku malah mendengar jawaban berupa gonggongan anjing entah dari mana. Takut terjadi apa-apa, akhirnya secara tak sadar kutarik gagang pintu kontrakan Doni yang ajaibnya terbuka begitu saja.
Tentu pintu itu langsung kututup kembali, takut anjing itu benar-benar datang.
Sepi dengan segala serangga yang menyangga, itu lah kesan pertama yang kurasakan. Kalau kau sering memainkan game bertema kejahatan, kemudian salah satu misinya mengharuskanmu masuk ke dalam rumah hanya untuk menemukan mayat yang bersimbah darah, maka seperti itulah yang kurasakan. Diriku langsung bergidik ngeri ketika tiupan angin berhasil melayangkan secarik kertas di depanku, seolah-olah menunjukkan betapa kosongnya kontrakan ini. Jadi, aku juga langsung menutup jendela kontrakan yang membuat semilir angin itu masuk. Lagipula anjing juga bisa memanjat jendela, kan?
Aku meneriakkan nama Doni, tetapi tak ada jawaban. Kemudian, aku meneriakkan namaku sendiri untuk bersenang-senang, padahal sih tidak ada gunanya—jelas tak ada jawaban juga.
Kutelusuri beberapa ruangan: ruang depan, dapur, dan kamar mandi. Tak ada indikasi keberadaan manusia. Bahkan, lantai kamar mandi terlihat amat kering, antara tidak pernah digunakan selama satu minggu penuh atau memang tak pernah Doni pakai. Namun, yang pasti aku sangat terkejut ketika menelusuri kamarnya.
Berkali-kali aku masuk ke dalam kamar Doni, aku tak pernah melihat tumpukan buku berserakan di dalamnya. Bukan sekadar buku ajar mata kuliah yang biasa kami gunakan di dalam kampus, tetapi juga buku-buku ajar tingkat tinggi yang bahkan isinya belum bisa kupahami secara kritis.
Apa Doni benar-benar kerasukan sesuatu?
Aku berjalan mengitari kamar, melihat berbagai buku yang berserakan, hingga akhirnya pasang mataku tertuju pada selebaran tulisan dengan pena hitam yang terletak di sampingnya. Tulisan-tulisan itu merupakan goresan khas yang biasa Doni buat. Aku penasaran, apakah itu adalah pesan yang dibuatnya? Apa isinya? Sehingga, tanpa ragu-ragu aku melangkah mendekatinya, kemudian mengangkat beberapa lembar kertas untuk kupindai.
Aku berseru, terkejut setengah mati. Alisku menukik tajam sembari membolak-balikkan kertas yang tiap halamannya dipenuhi oleh tulisan Doni. Kertas-kertas tidak berisi surat wasiat, melainkan pemecahan susunan masalah yang kutuangkan dalam disertasiku.
Baiklah, ini tidak lucu. Seluruh teka-teki yang kuujikan pada Doni kuambil dari internet. Ia mungkin bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu karena sudah membacanya. Namun, topik disertasiku? Bagaimana mungkin? Aku saja masih kesulitan. Apa benar Doni bisa menyelesaikannya semudah itu?
Mungkin Doni hanya menulis secara asal-asalan. Namun, untuk apa? Buku catatan kuliah saja dia tidak punya, kenapa dia harus menulis sepanjang ini hanya untuk ... menyelesaikan masalah pada disertasiku?
Aku tahu Doni tak memiliki teman satu kontrakan. Jadi, dengan goresan pena khas tulisan dirinya, dengan satu-satunya orang—selain aku dan dosen pembimbingku—yang kuceritakan mengenai permasalahan disertasiku, aku tidak bisa memikirkan kemungkinan logis lain selain ... ini adalah pekerjaan Doni.
Aku hanya tinggal menguji kebenarannya saja. Namun, semakin lama kupikirkan, akhirnya aku menyadari keganjalan yang lain.
Ingat kukatakan ketika Doni memiliki IPK di ambang batas drop out? Ya, nilainya tidak pernah berubah—sama sekali. Persemsternya selalu stagnan, statis, sedikit pun tak ada perbedaan. Kalau untuk mendapatkan nilai yang sempurna kau harus menjawab semua pertanyaan dengan benar, maka untuk mendapatkan nilai seadanya, tetapi konsisten, kau tidak hanya harus tahu semua jawaban akan pertanyaan, melainkan juga tahu kesalahan apa yang harus kau perbuat untuk menurunkan nilainya.
Maksudku ... mendapatkan nilai 80, 90, dan 100, berbeda-beda, akan lebih mudah daripada membuat nilaimu menjadi 50, 50, 50, 50, 50, dan terus 50 di setiap ujian, sedangkan Doni melakukannya dari awal semester tanpa kusadari.
Jangan-jangan dia bukannya terus mengulang kalkulus, tetapi sengaja membuat nilainya menjadi E untuk mempertahankan nilainya di ambang batas.
Jangan-jangan bukannya tidak mampu menaikkan IPK-nya, tetapi dia sengaja membuat IPK-nya berada di ambang batas.
Untuk apa? Aku tidak tahu. Apakah dia hanya suk bersenang-senang dengan cara yang aneh?
Apakah Doni sebenarnya seorang jenius? Namun, untuk apa dia berpura-pura bodoh? Lalu, kenapa sekarang dia menghilang, meninggalkan jejak-jejak pekerjaannya?
Apakah selama ini Doni tertawa karena melihat teman-temannya tertipu? Apakah sebenarnya Doni seorang jenius luar biasa, sehingga ia diculik oleh kelompok gelap yang menginginkan kejeniusannya untuk mengembangkan rencana genosida rahasia? Apakah ... dia sengaja pergi, meninggalkan jejak pekerjaannya, hanya untuk menertawakanku, yang sudah menghinanya, dari jauh?
Mungkin aku tak akan pernah tahu jawabannya. Namun, jika benar Doni sejenius itu, maka semua orang telah tertipu oleh permainan karakternya.
Gila, sekarang kepalaku benar-benar berdenyut.
Lalu, tiba-tiba aku mencium aroma tak sedap dari luar sana. Tentu, pikiranku langsung mengarah pada Doni. Aku berlari keluar, kembali meneriakkan nama Doni. Namun raganya tak tampil di hadapanku. Eh, lagipula bebauan itu hanya bualan, kan? Bukan berarti tubuh Doni benar-benar bau karena tak mandi.
Lalu, bau apa ini?
Aku berdeham, mencoba berpikir keras, menopang dagu dengan jari telunjuk, hingga akhirnya kutemukan satu-satunya alasan logis terkait bau ini.
Aku sudah mandi, jadi jelas aroma ini bukan aroma tubuhku. Nah, artinya? Pasti kau belum mandi, kan? Masa rajin baca cerita pendek tapi malas mandi?
Sudahlah, daripada terus membaca cerita ini, lebih baik kau mandi dulu, sementara aku mencari Doni. Nanti akan kuberitahu kalau Doni sudah keluar dari tempat bersembunyi petak umpetnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top