4. Tahun Baru

SELAMAT TAHUN BARU.

Orang-orang menyerukan satu kalimat pendek yang berhasil membuat mereka tersenyum, berpelukan, dan saling berjabat tangan. Tinjuan-tinjuan pelan juga menjadi pemandangan di lautan luas manusia yang berkerumun dalam satu lokasi.

"Selamat tahun baru, Juan!" Suara itu terdengar kencang, bahkan di antara teriakan lain yang serupa, membuatku menoleh dan mendapati temanku Kal tengah mengenggam soda kaleng dengan tangan kanannya.

"Selamat tahun baru juga, Kal," balasku, tak lupa sambil melemparkan senyum sebagai reaksi tambahan. Selanjutnya, Kal pergi, kembali mengucapkan kalimat yang sama, hanya saja mengubah nama panggilan di akhir, menyesuaikannya dengan orang yang dituju.

Kal memang mengenal semua orang yang ada di terowongan A33 ini. Jadi, aku tidak terkejut jika Kal akan menyelamati semua orang dengan kalimat yang sama tetapi dengan panggilan yang berbeda untuk setiap orang yang ditemuinya.

Sebaliknya dengan Kal, aku lebih memilih untuk menarik diri dari kerumunan, meninggalkan mereka semua yang sedang bersenang-senang. Bukannya aku tak ingin ikut terlibat dalam kebahagiaan. Bagiku, melihat keramaian orang-orang dari kejauhan, melupakan perang dunia ketiga untuk sejenak, adalah keinginan yang lebih tak terbayarkan.

Aku adalah veteran perang, terlibat langsung di kengerian adu nuklir dalam perang dunia ketiga lebih dari siapapun. Ketakutan, kematian, hilangnya rasa kemanusiaan karena perintah dari atasan, selalu menjadi makanan sehari-hari bagiku. Hari-hari kujalani bagaikan mayat bergerak yang terkekang dalam tubuh.

Aku tidak mengerti dengan orang-orang itu. Mereka, makhluk-makhluk kelas atas bengis yang tak butuh alasan untuk membinasakan hidup manusia. Serangan-serangan terus mereka perintahkan, merusak tatanan kehidupan manusia, seolah-olah nyawa hanyalah mainan yang pantas untuk dibuang setelah dipakai.

Keserakahan berhasil merenggut semuanya.

Secara tak resmi, perang telah berakhir, tetapi bukan berarti dampaknya selesai begitu saja. Dunia ini bukan permainan sederhana yang bisa kauulang kapanpun kau menginginkannya. Perang memang berhasil membuat semua orang menjadi gila, tetapi setelahnya, semua orang berhasil menjadi lebih gila. Bahkan, kurasa manusia membutuhkan kata baru untuk mendefinisikan arti menjadi lebih gila itu.

Kerusakan lingkungan dapat kaulihat di mana-mana. Pepohonan hilang, tumbang, dan tak berhasil tumbuh kembali karena konsentrasi racun yang tinggi. Semua makhluk bermutasi, beradaptasi dengan lingkungan kotor yang baru. Itu juga terbatas untuk makhluk-makhluk yang beruntung. Sisanya? Tentu saja mati karena tak mampu bersatu dengan alam yang rusak.

Tak terkecuali dengan manusia yang kini harus bertahan hidup di dalam terowongan bawah tanah.

Kulit kami rusak, meleleh, terutama karena panas tak wajar yang kini melingkupi seluruh permukaan bumi. Tubuh kami bergerak bagai daging ayam yang telah dikuliti.

Mungkin kau bertanya-tanya, bagaimana dengan bagian organ di dalam tubuh kami. Namun, harus kukatakan, bahwa kami sendiri tak tahu keadaannya. Apakah paru-paru kami membengkak? Apakah lambung kami menyusut karena mengonsumsi makanan penuh radiasi terus-terusan? Tak ada yang tahu. Alasannya? Kaupikir ada berapa banyak dokter ahli di dunia ini yang berhasil selamat untuk memeriksa keadaannya? Walaupun ada, bagaimana cara mereka memeriksanya? Ada orang yang mengerti kesehatan saja sudah untung.

Dunia telah hancur.

Aku adalah satu dari sedikit veteran yang selamat dalam perang, juga salah satu dari sedikit para penyintas yang masih bertahan hidup. Dengan gambaran pasca perang yang kuberikan, memang tidak aneh bukan, jika jumlah manusia di dunia ini terus jatuh karena banyak manusia yang tak dapat bertahan hidup?

Aku sendiri tak tahu bagaimana caranya dapat bertahan hidup. Aku hanya berusaha mati-matian untuk tidak mati, bertemu dengan orang-orang yang juga memiliki tekad yang sama, termasuk Kal yang menjadi salah satu teman mengembara pertamaku di dunia yang hancur ini.

Apakah kami semua orang-orang terpilih? Apakah kami semua dikutuk?

Tak ada jawaban pasti. Yang jelas, perang memang tidak pernah berubah: merebut seluruh hak kehidupan manusia.

"Juan!" Suara itu kembali menggema di dalam telingaku. Perhatianku yang sebelumnya teralihkan pada kerumunan manusia kini beralih fokus pada sosok manusia yang tengah berlari ke arahku.

Aku mendelikkan mata, memastikan bahwa manusia yang tengah berlari itu memang benar Kal.

Memang benar.

"Kau tidak akan masuk ke dalam kerumunan?" Kal bertanya tanpa basa-basi. Memang, seperti itulah sikapnya. Ketika pertama kali aku bertemu pun, yang padahal di antara kami tidak saling mengenal, ia berhasil menarik tanganku, seolah-olah aku adalah satu-satunya teman yang dimilikinya dan tidak dapat dilepaskan.

Aku menggelengkan kepala, kemudian bertanya, "Kau sudah mengucapkan selamat tahun baru pada semua orang?"

Namun, sikapku itu malah membuat pertanyaan lanjutan. "Kenapa?" dan membuatnya tidak memedulikan pertanyaanku.

Aku menarik napas, merasakan sesaknya jantung dan paru-paru—mungkin akibat dari perang dunia sebelumnya, kemudian menjawab, "Aku tidak ingin merusak suasana."

"Juan, kau tahu orang-orang di sini menghormatimu, kan? Kau selalu menyalahkan dirimu sebagai satu-satunya orang yang terlibat langsung dalam perang. Sekarang, semua orang tidak peduli, Juan! Kita harus bahu membahu, dan semua orang menyukaimu. Tidak ada alasan untukmu keluar dari pesta kita."

Pikiranku kembali tertangguhkan.

Aku tidak akan pernah meragukan ucapan Kal, dan aku yakin dia tak akan menyatakan itu hanya untuk membuat perasaanku jauh lebih baik. Namun, bukan berarti aku bisa menerima seluruh kenyataan dengan mudah.

Bagiku, kedua lenganku ini telah penuh dengan noda darah yang abadi—tak dapat dibersihkan lagi, walaupun aku sendiri tahu bahwa terlibat dalam peperangan itu bukanlah keinginanku.

"Kaulihat mereka?" Kal menoleh ke belakang sembari mengacungkan jempolnya ke arah kerumunan itu. "Jika orang-orang tak menyukaimu, apakah mereka akan mengikuti keinginanmu untuk merayakan pesta tahun baru dan melupakan perang dunia yang telah kita lewati bersama? Kau berhasil membangkitkan semangat dan harapan orang-orang di sini, Juan. Jika malah kau sendiri yang tak ingin terlibat dalam acara yang kaurencanakan, apa yang akan orang-orang katakan?"

Sekali lagi, aku terenyuh, tak dapat berkata apa-apa.

"Kau adalah pemimpin yang baik. Kau tahu itu."

"Aku bukan pemimpin."

"Secara langsung? Memang bukan. Secara tak langsung? Kami memilihmu. Setidaknya, kau berhasil membangkitkan semangat orang-orang untuk terus melanjutkan hidup. Sekarang, kami ingin melihat hal yang sama darimu."

Sekali lagi, aku menarik napas, kembali merasakan sesak di dada sebelum mengeluarkan karbondioksida—yang aku sendiri yakin telah bercampur dengan racun berskala rendah—dari hidungku.

"Apakah bayi itu baik-baik saja?" Aku bertanya pada Kal, mengeluarkan seluruh antusias dari bola mata, berharap Kal tidak menanggapiku dengan candaan.

"Ya. Apa kau belum melihatnya?"

Aku menggelengkan kepala.

Sekarang, bahkan tanpa omong kosong, Kal menarik lenganku sembari berseru, "Astaga, Juan!"

Namun, aku tak menolak. Aku tidak tahu apakah karena seluruh ceramah yang Kal berikan berhasil mengoyak pendirianku, atau memang keinginanku untuk tak masuk ke dalam kerumunan itu. Yang jelas, kini Kal menuntunku, mengusik seluruh manusia yang menghalangi jalannya, menuju satu ruangan kecil yang sengaja kami bangun sebagai tempat berlindung.

Tentu, tinggal di dalam terowongan bukan berarti kau akan selamat dari seluruh makhluk lain yang juga berusaha bertahan hidup sepertimu.

Antrean menuju dalam ruangan itu panjang tak terkira, mungkin tiga perempat dari manusia yang ada di dalam terowongan ini tengah berbaris rapi untuk masuk ke dalam ruangan itu. Namun, seolah tak peduli, Kal melewati barisan-barisan itu begitu saja.

Suasana ramai sebelumnya pun kini berganti menjadi keheningan. Semua orang memperhatikan kami: aku dan Kal yang menerobos antrean.

Namun, tak ada yang mencegahnya. Bahkan, ketika kami berada tepat di depan pintu masuk ruangan, sang pengantre yang ada di barisan pertama malah mempersilakanku dan Kal untuk masuk terlebih dahulu, membuat Kal menoleh padaku, seolah menggambarkan kalimat, "Lihat sendiri, kan?" yang sedari tadi ingin diucapkannya.

Di dalam, aku bisa melihat seorang wanita yang tengah tertidur di atas kursi kereta api, tersenyum, bersama seorang laki-laki di sampingnya yang tengah menggendong bayi.

Lelaki itu bukan suaminya, bukan pula sang ayah dari bayi tersebut. Sama seperti kami semua, lelaki itu hanyalah penyintas biasa yang berusaha bertahan hidup.

Kal mendorongku, membuatku hampir terjatuh. Namun, aku tak sempat menggerutu, karena lelaki itu segera menyodorkan gendongannya padaku.

Bayi manusia mungil kini ada di kedua tanganku.

Apakah aku sudah hidup, melalui perang dunia ketiga begitu lama, hingga wajah manusia yang sebelumnya bisa kulihat di mana-mana, sekarang dapat kulihat kembali sebagai benda asing yang tak kukenali?

Bayi manusia ini benar-benar terlihat seperti ... manusia.

"Sekarang tanggal enam belas Juni, kan?" Aku bertanya pada Kal, dan ia mengonfirmasi jawaban atas pertanyaanku dengan sebuah anggukan.

Enam belas Juni. Aku tak akan pernah lupa tanggal itu. Tanggal tahun baru yang terlahir kembali.

Mungkin kau bertanya-tanya, kenapa kami merayakan tahun baru di tanggal enam belas Juni. Jawabannya bukan karena kami tak dapat menunggu tanggal satu Januari untuk merayakan tahun baru, melainkan tanggal ini lah tanggal tahun baru kami.

Dunia sudah hancur, ingat itu. Mayat manusia berserakan di mana-mana. Tidak, tidak hanya di mana-mana, tetapi hampir di seluruh permukaan bumi.

Harapan telah hancur, semangat telah hilang. Rungutan manusia tak akan pernah bisa dibayarkan dengan apapun. Kami semua menuju jalan yang sama: keputusasaan akan peradaban manusia.

Perang dunia sebenarnya tidak pernah berakhir. Tak ada deklarasi pernyataan berakhirnya perang dunia. Bukan karena tak ada yang mau mengalah, melainkan karena hampir semua manusia telah mati. Perang berakhir dengan sendirinya: keinginan kami sendiri tanpa perintah siapapun.

Tak ada negara yang bertahan atas peperangan ini. Semuanya hancur, menyisakan manusia sebagai makhluk individual.

Aku hampir menyerah, sebelum akhirnya bertemu dengan Kal, sebelum akhirnya bertemu dengan Tiara, sebelum akhirnya bertemu dengan satu, dua, tiga, empat, dan lebih orang lainnya hingga akhirnya kami semua berkumpul sebanyak 237 orang, termasuk diriku.

Sekarang aku tahu bahwa di luar sana, ada orang-orang yang sama sepertiku. Menderita, putus asa, tidak mengetahui tujuan hidup lagi.

Hingga bayi ini lahir.

Aku bersumpah, jika ada manusia yang lahir ke bumi ini, maka di hari itu juga kami akan mendeklarasikan perayaan tahun baru—tahun baru kami.

Ini bukan hanya perayaan tahun baru, melainkan kembali lahirnya semangat, harapan, dan membuang keputusasaan ke tempat yang jauh. Yang jelas, aku sendiri pun tak menyangka jika sumpah ini benar-benar terjadi. Setidaknya, aku berharap bisa menimpa noda darah yang melumuri seluruh lenganku dengan catatan-catatan baru.

Sekarang, aku bisa menuliskan tulisan berikut pada dinding terowongan dengan bangga: 16 Juni 2089/1 Januari tahun pertama pasca PD III. Terowongan A33. Populasi 237.

Eh, tunggu.

Sekarang, aku bisa menuliskan tulisan berikut pada dinding terowongan dengan bangga: 16 Juni 2089/1 Januari tahun pertama pasca PD III. Terowongan A33. Populasi 238.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top