4. Hari Pertama (2)

   "HIJAB PERTAMA"

•••

"Kamu pernah liat nggak alamat e-mail ini?" tanya Fandy setelah melihat isi pesan E-mail Marwah di laptop yang Maryam bawa.

Maryam terdiam, otaknya memutar mencoba mengingat-ingat.

"Nama? Julukan seseorang?" imbuh Fandy mencoba membantu Maryam mengingat nama Eagleblack dan keterkaitannya dengan coretan gambar elang di majalah milik Marwah.

Setelah beberapa detik, Maryam menggeleng. Dia sama sekali tidak pernah melihat atau bahkan mendengar nama tersebut.

Fandy menyenderkan punggungnya sembari menghela napas. Dia harus bisa melacak e-mail ini untuk bisa mengetahui siapa pemilik akun bernama Eagleblack tersebut. "Aku punya teman yang ahli melacak alamat e-mail, aku akan mencoba menghubunginya." Kata Fandy.

Mata Maryam berbinar, "Serius Fan?" di jawab Fandy dengan anggukkan mantab.

"Waktu kita tidak banyak. Kita harus atur planning untuk menemukan bukti lebih banyak lagi." Kata Fandy, "Setelah aku baca e-mail ini, aku punya rencana selanjutnya. Yakni menemui orang-orang terdekat Marwah. Kita kumpulkan informasi sebanyak-banyaknya untuk menghubungkan dengan alamat e-mail ini."

Alis Maryam bertaut menunjukkan keseriusannya mendengar rencana Fandy, "Lo kenal dengan orang-orang terdekat Marwah?"

"Yang aku kenal sih, Syifa. Dia satu kelas dengan Marwah."

"Oke, kita mulai dengan Syifa."

Detik itu juga, Fandy dan Maryam menemui Syifa. Syifa adalah sahabat Marwah semasa kuliah. Namun, yang di dapat dari Syifa adalah reaksinya yang cukup mengejutkan.

"Aku nggak tahu, jangan tanya-tanya aku." Kata Syifa dengan nada kurang enak.

"Kamu kan, sahabatnya, Fa."

"Iya, emang, tapi, nggak mulu sahabat tahu ya setiap masalah yang dihadapi sahabatnya. Aku juga nggak niat ingin tahu, aku tahu batasan ikut campur urusan orang lain."

"Setidaknya kamu bisa memberikan sedikit saja infornasi menjelang kematiannya, Fa. Sedikit saja." bujuk Fandy.

Maryam hanya terdiam melihat perdebatan Fandy dan Syifa. Syifa seolah tidak peduli dengan kematian Marwah. Gadis itu mencoba menghindari pertanyaan Fandy. Sambil menata buku di perpustakaan kampus, Syifa tak punya niat untuk membantu Fandy yang juga teman satu organisasinya itu.

"Aku udah bilang, Fan. Aku nggak tahu. Marwah seolah hidup sendiri dengan masalahnya. Dan aku nggak mau ikut campur."

"Aku mohon, Fa. Aku yakin kamu tahu sesuatu tentang Marwah menjelang kematiannya. Tolong banget, bantu kita."

Syifa menggebrak meja dengan buku, hingga semua mahasiswa yang di perpustakaan menoleh ke arahnya. Dua mata Syifa menampakkan sorot kemarahan. "Kenapa sih, Fan, kamu selalu saja mikirin Marwah? Bahkan setelah dia udah nggak ada di dunia, kamu masih aja ngurusin dia. Kamu itu punya hidup sendiri, move on dong!" semprotnya.

"Kamu kok, gitu, sih, Fa. Dia itu sahabatmu, kematiannya itu nggak wajar."

"Kalau misal aku yang mati gak wajar, apa kamu juga ingin tahu penyebab kematianku?"

"Maksudnya?"

Maryam tersenyum miring. Melihat seperti itu reaksi Syifa, Maryam menduga bahwa Syifa memiliki perasaan yang spesial kepada Fandy. Dan kecurigaan pun muncul. Apakah kematian Marwah terdalangi oleh perasaan cemburu seseorang kepadanya?

"Oke, enough!" sela Maryam karena situasi mulai keos. "Cukup, Fan, kalo dia emang nggak bisa bantu, jangan paksa. Dan lo, Syifa. Thanks udah jadi sahabat yang BAIK buat Marwah. Semoga hidup lo berkah." Pungkas Maryam sembari mengajak Fandy untuk keluar dari perpustakaan.

Fandy keluar dari perpustakaan dengan perasaan kecewa. Bisa-bisanya Syifa mendadak berubah setelah kematian Marwah, sebelumnya Syifa adalah gadis yang baik, ringan tangan dan pribadi yang terkenal terbuka dengan siapa pun. Tapi, entah apa yang terjadi dengannya, sehingga dia bersikap demikian terhadap Fandy.

"Syifa suka lo ya Fan?"

"Ha?" Fandy terkejut. Padahal pikiran itu tidak pernah terbesit dalam benaknya.

"Jelas banget keliatannya. Kayaknya dia cemburu sama Marwah." Imbuh Maryam.

Fandy bergeming. Ditatapnya lurus-lurus kakinya yang terus melangkah beriringan dengan kaki jenjang Maryam di lantai kampus.

"Boleh nggak sih mikir kalo yang bunuh Marwah itu orang terdekat?" celetuk Maryam.

"Syifa maksud kamu?"

"Bisa jadi, cemburu buta bisa nggelapin mata hati, Fan. Apapun dilakuin buat menangin egonya."

Fandy merespon keraguan meski perkataan Maryam ada benarnya juga. "Tapi, kalo Syifa nggak mungkin deh, dia itu sebenarnya gadis yang baik. Hanya saja aku nggak tahu apa yang terjadi sama dia sampai-sampai dia bersikap seperti itu."

"Nah, itu yang patut dicari tahu. Bisa jadi ada hubugannya dengan kematian Marwah."

Fandy berpikir cukup keras, pasalnya Syifa termasuk gadis shalihah, seshalihah Marwah. Rasanya benar nggak mungkin jika menuduhnya yang membunuh Marwah. Tapi, perubahan Syifa terjadi setelah Fandy menyatakan keinginannya mengkhitbah Marwah setelah sidang skripsinya bulan depan.

Fandy merasa sejak itu Syifa mencoba menghindarinya, beberapa kali menolak ajakan laki-laki itu untuk ke acara baksos ataupun sekadar makan bersama di kantin. Namun, Fandy tidak pernah melihat yang aneh dengan hubungan Marwah dan Syifa, mereka berdua terlihat baik-baik saja.

"Terlalu dini jika menuduhnya sebagai tersangka sedang kita hanya melihat satu perubahan sikap darinya." Kata Fandy.

"Tapi, nggak ada salahnya kan, kalo dia masuk daftar praduga tersangka?"

Fandy tidak menjawab, antara setuju atau tidak. Perkataan Maryam memang ada benarnya. Tapi Fandy berpikir bahwa terlampau jahat jika menuduh sahabatnya sendiri.

"Selain Syifa, ada lagi nggak sahabat Marwah?"

"Ada, tapi dia ada di luar negeri. Study banding selama tiga bulan, dia berangkat dua bulan yang lalu. Kemungkinan dia nggak tahu apa-apa, bahkan mungkin kematian Marwah pun dia tidak tahu."

"Sudah coba menghubunginya?"

"Sudah, tapi nggak ada balasan. Katanya sih ada kabar kalau dia juga melakukan penelitian di pelosok desa, keterbatasan signal untuk menghubunginya."

Maryam menghela napas, kecewa. Rasanya buntu.

"Ada seseorang yang mungkin bisa membantu kita."

Maryam terperangah, kakinya mendadak berhenti melangkah. Ditatapnya Fandy dengan serius. Semoga saja hari pertama pencarian ini membawa satu bukti untuk menjadi benang ke bukti-bukti lainnya.

"Siapa?"

"Guru ngaji kami, Ustadz Adzar." Jawab Fandy. "Beliau sering memberi wejangan untuk Marwah dan Marwah juga sering konsultasi ke beliau." Lanjutnya membuat Maryam memiliki harapan jika ada sebuah informasi dari orang tersebut.

"Ya udah, yuk, kita temuin!" Maryam buru-buru beranjak.

"Tunggu sebentar!" cegah Fandy, "Kamu yakin ingin menemui Ustadz dengan pakaian seperti ini? Kita bakal ke pesantren loh."

Maryam melihat dirinya dari ujung kaki hingga pakaian atas. Benar juga apa yang dikatakan Fandy, Maryam memang berpakaian sedikit terbuka. Lengan pendek dengan tatoo Half Satan nya yang terlihat jelas, celana ketat dan rambut setengah blondenya yang tergerai, belum lagi tindik yang berada di lidahnya. Kalau misal dengan pakaian ini dia masuk pesantren, yang ada dia pasti diusir karena bisa menimbulkan kegaduhan pesantren.

"Trus? Gue musti pake pakaian gimana?"

"Setidaknya kamu pakai baju panjang, lebih baiknya lagi kamu pakai hijab." Saran Fandy.

"Seriusan? Ogah ah, panas." Tolak Maryam terang-terangan.

"Ya udah, aku nggak bakal bantu kamu kalau kamu nggak mau usaha."

"Lo kok gitu sih?"

Fandy mengedikkan bahunya, tidak mau tahu. "Lagian ya, perempuan itu wajib menutup aurat,Maryam. Hijab bukan hanya simbol agama, tapi sebagai pelindung kehormatan perempuan sebagai makhluk yang lebih baik daripada perhiasan dunia."

Maryam menatap sinis ke arah Fandy, "Iya iya, gue tahu. Nggak usah pakai ceramah kali!" pungkasnya sembari melangkah pergi, "Lo tunggu di Cafe biasa, gue mau ke kost Marwah buat pinjem bajunya."

"Oke!" jawab Fandy merasa bangga karena Maryam mau mendengarkan dia untuk menutup auratnya.

***

Maryam membuka lemari baju Marwah, tatanan rapi dan bau pewangi khas Marwah merasuk ke hidungnya. Ingatan hangat tentang Marwah tergambar dipelupuk mata, saat Marwah selalu meminjami Maryam baju dikala Maryam membutuhkan baju yang bagus untuk pergi ke suatu tempat. Sejak kecil Maryam maupun Marwah tidak pernah dibedakan, hanya saja kepribadian mereka yang berbeda membuat baju Maryam cepat terlihat jelek karena kebiasaanya yang tidak bisa merawat barang miliknya dengan baik.

"Pakai saja semua bajuku, Maryam. Karena bajuku juga bajumu. Kamu bebas memilih yang mana." Kata-kata itu melekat dalam ingatan Maryam setiap Maryam meminjam baju ke Marwah.

Maryam memilah beberapa baju yang tergantung, semua pakaian Marwah terlihat longgar dan besar. Semua terasa tidak cocok di pakai untuk Maryam. Setelah dia tidak menemukan pakaian yang cocok di lemari gantung, Maryam beranjak di lemari satunya, memilah baju yang mungkin agak tidak terlalu longgar di badan Maryam.

Setelah hampir setengah jam, Maryam frustasi karena tidak menemukan satu baju yang cocok untuknya. Padahal waktu semakin mengejarnya, apa boleh buat, akhirnya Maryam memilih satu baju gamis berwarna navy dan satu hijab berwarna merah muda. Semula Maryam tidak tahu bagaimana cara memakai hijab, beberapa kali gagal dan terlihat tidak cocok saat dikenakan di kepalanya.

"Aah, busyet dah! Kenapa gue terlihat aneh sih pakai pakaian kayak gini? Berasa kek emak-emak gue." gerutunya di depan cermin, "Tapi anehnya pas dipakai Marwah malah kelihatan cocok cocok aja. Padahal kita, kan, kembar. Nyebelin banget sumpah!"

Karena menurutnya terlalu ribet, Maryam menautkan ujung hijab dengan ujung lainnya kemudian ditarik hingga ke lehernya. Persis sekali dadanan emak-emak yang bekerja di sawah. Tapi karena nggak tahu gimana caranya berhijab yang benar, akhirnya Maryam keluar kost Marwah dengan pakaian seperti itu.

"Fandy." Panggil Maryam setelah sampai di Cafe biasa. Fandy yang semula serius membaca artikel di smartphonenya itu menoleh dan tidak bisa menahan tawa karena model hijab yang dipakai Maryam.

Wajah Maryam mendadak kecut, "Lo sama aja ya kayak orang-orang yang gue temuin di jalan, kalo ketawa kayak nahan berak." Cibir Maryam sembari mendaratkan bokongnya di kursi seberang Fandy.

Masih dengan menahan tawa, Fandy membuka tasnya mengambil benda kecil yang memiliki dua ujung yang berbeda. "Ya jelaslah diketawain, lawong dandananmu kayak emak-emak mau pergi ke sawah."

Mendapat respon seperti itu, Maryam langsung menarik hijabnya dengan gusar hingga menampakkan rambutnya yang tergulung dengan ikat rambut. "Bodo ah."

Keniatan seseorang untuk berubah lebih baik terkadang dijatuhkan dengan respon seolah menghina perubahannya. Yang pada akhirnya, membuat perubahan seseorang itu stagnan atau bahkan hilang rasa semangat untuk berubah. Hijrah memang berat, tapi lebih berat lagi istiqomahnya, karena di dalam istiqomah ada ujian yang seperti itu yang bisa saja menjatuhkan iman yang mati-matian dibangun.

"Eh, kenapa dilepas? Ini ada jarum pentul buat benerin hijabmu." Kata Fandy sembari menyodorkan satu buah jarum pentul yang dia ambil dari tasnya.

"Gue nggak tahu cara berhijab, tahu."

Fandy tersenyum gemas sebenarnya. Kemudian dia bangkit dari tempatnya, memungut sehelai hijab yang ditelantarkan Maryam di atas meja. Dengan telaten Fandy membenarkan hijab itu kemudian memasangkannya di kepala Maryam.

Mendapat perlakuan seperti itu membuat Maryam mendadak terdiam. "Apapun model hijabmu, yang terpenting adalah menutupi aurat. Perkara tak pantas dipandang manusia, tak usah malu. Setidaknya pantas dipandang Allah dengan penampilan yang baik." Kata Fandy sembari mengaitkan jarum pentul ke hijab Maryam.

"Nah, sudah."

Maryam masih membeku dengan perlakuan manis yang diberikan Fandy, sebelumnya Maryam tidak pernah diperlakukan seseorang semanis ini. Apalagi oleh laki-laki yang mengajaknya ke hal yang lebih baik. Laki-laki yang selama ini Maryam temui hanya laki-laki yang selalu mengajaknya berbuat keburukan. Mendapat perlakuan ini, membuat Maryam sadar bahwa tak semua laki-laki itu bangsat.

Saat senyum Fandy tertangkap oleh dua manik mata Maryam, membuat hati Maryam berdesir mendadak.

"Kamu mirip banget sama Marwah. Benar-benar mirip."

Perasaan berdesir itu mendadak berubah menjadi perasaan sebal. "Gue bukan Marwah."

Mendapat respon yang kurang enak, Fandy tersadar bahwa tidak semua orang kembar mau disama-samakan dengan kembarannya sendiri. Secara cepat Fandy mengalihkan perhatian, "Ya udah yuk, keburu sore." Kata Fandy seraya beranjak dari tempat duduknya. Tidak lama kemudian, Maryam menyusul.

Pondok pesantren Ustadz Adzar berada di daerah lain sehingga Fandy dan Maryam memutuskan untuk menaiki kendaraan umum untuk menuju ke sana.

Kebetulan hari ini sangat panas, ditambah lagi dengan desak-desakkan di dalam Bus membuat Maryam kegerahan minta ampun. Beberapa kali Maryam mengibas-ibaskan hijabnya, bulir air sebesar jagung mendarat mulus dari sudut keningnya, pipinya pun memerah karena kepanasan.

"Panas ya?" celetuk Fandy yang berdiri tepat di belakangnya.

"Udah tahu, nanya."

"Panas dunia aja nggak tahan, gimana kalau panas di neraka?"

"Ya enak lo nggak pakai ginian. Gerah banget, tahu!"

Fandy tersenyum, "Kalau kamu bertahan dengan hijabmu, di surga nanti akan diberi kesejukan yang bahkan di dunia ini nggak ada bandingannya." Kata Fandy tepat di samping telinga Maryam, membuat Maryam kembali merasakan desiran aneh di dadanya. Jantungnya berdetak agak cepat.

Keadaan bus semakin sesak, banyak penumpang yang berdiri karena tidak kebagian bangku. Termasuk Maryam dan Fandy yang masih berdiri dengan posisi Maryam membelakangi Fandy. Beberapa kali Maryam mengumpat karena beberapa orang mendorong-dorongnya, dan seperti sengaja menyentuh Maryam. Karena merasa terganggu, Fandy menjulurkan tangannya menghalangi orang yang sengaja menyentuh Maryam .

"Maaf ya kalo terlalu dekat, maaf juga kalo nggak sengaja menyentuhmu. Aku hanya ingin melindungi kamu." Bisik Fandy.

Letupan di dada Maryam semakin menjadi. Hari ini Fandy benar-benar manis. Nggak bohong jika Maryam merasakan hal yang aneh saat mendapat perlakuan manis dari Fandy. Tak ingin berlarut-larut, Maryam segera menepis perasaan itu. Fandy memang laki-laki yang baik, dia berbuat seperti ini memang menjadi kewajibannya untuk melindungi wanita.

Di tengah rasa awakwardnya, mata Maryam tak sengaja melihat seorang laki-laki memakai jasper hitam bergambar burung elang tak jauh dari tempatnya berdiri. Entah kebetulan atau apa, tiba-tiba orang itu juga menoleh ke arahnya.

Pandangan mereka bertemu.

Yang membuat Maryam terkejut adalah reaksi dari tatapan mata laki-laki itu. Tiba-tiba laki-laki itu cepat-cepat menyembunyikan wajahnya dengan topi hitam yang dia kenakan setelah mata Maryam melihatnya.

"Kiri, Bang! Kiri!" bahkan, laki-laki itu buru-buru keluar dari Bus.

Semula otak Maryam mencoba mencerna, hingga pada saat Bus berhenti, Maryam baru tersadar,

"Eagleblack!" serunya.

•••

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top