3. Hari Pertama (1)
-Penyesalan.-
∆∆∆
"Maryam, kamu jahat ya!" remaja bertubuh dempal itu tampak marah ke seorang gadis yang sedang asyik melahap roti isinya.
Maryam menelan rotinya terlebih dulu, kemudian menjaawab dengan santai, "Jahat apaan?"
"Kemarin kan, aku nitip surat sama kamu. Kok gak dikasih ke Marwah?"
Mendengar itu Maryam berhenti mengunyah, tidak selera untuk makan lagi. Gadis itu membuang sisa rotinya ke tong sampah yang ada di depannya. "Gue nggak ada waktu ketemu sama Marwah. Lo tau sendiri nyokap sama bokap gue udah pisah, Marwah pindah SMA ke kota."
"Tapi, kan , kemarin kamu bilangnya mau nganterin. Padahal aku udah kasih kamu uang buat ongkosnya." Kata laki-laki itu.
Maryam mengambil kemasan air putih dari tangan laki-laki itu, tanpa izin, dia membuka dan meminum habis isinya. Setelah habis, dia mengembalikan lagi botol yang kosong itu ke tangan laki-laki yang tengah merasa kecewa padanya itu.
"Ya udah tunggu aja, mungkin seminggu lagi gue ke kota." Jawab Maryam enteng tanpa tahu laki-laki yang berhadapan dengannya itu tengah kesal.
"Seminggu lagi? Kelamaan, Maryam. Aku udah kasih uang ongkosnya minggu lalu, masa ngirimnya baru minggu depan? Yang bener dong!" Tak terima laki-laki itu meninggikan nada bicaranya.
Merasa terganggu, Maryam langsung memasang muka badmood-nya, "Eh, Martin. Harusnya kalo lo mau kirim surat cinta ke Marwah itu ngaca dulu! Marwah mana mungkin mau baca surat lo! Cowok badak, nggak punya leher, kulit item kayak pantat panci!" maki Maryam tanpa perasaan, "Lo tau Fatir, kan? Dia yang ganteng, putih, tajir melintir bahkan cowok terpopuler pun ditolak sama Marwah, lah apa jadinya lo? Heloow..."
"Kamu kok ngomongnya gitu sih, Mar?"
"Lah, kan itu emang faktanya. Gue ngomong apa adanya, Tin, nggak munafik. Kalo lo mau jadi pacar Marwah, harusnya lo kurusin dulu tuh badan badak lo, putihin tuh kulit badak lo. Anak panci mimpi banget mau jadi pacar sendok berlian." Pungkas Maryam dengan nada mengejeknya. Dia berlalu meninggalkan Martin yang sakit hatinya minta ampun.
***
Jika boleh memutar waktu, Maryam ingin sekali memperbaiki waktu itu. Waktu di mana mulutnya tanpa perasaan mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan. Apa yang dikatakan Maryam waktu itu benar-benar mengubah pikiran Martin tentang penampilannya.
Laki-laki yang dihinanya seperti badak, seperti anak panci itu sekarang menjelma menjadi pemuda tampan dengan tubuh proposional, berkulit putih dan berprofesi sebagai anggota badan intel kepolisian. Terkadang perkataan jelek seseorang membuat kita paham artinya perubahan, sehingga kita termotivasi untuk menjadi lebih baik lagi.
Maryam benar-benar menyesal. Jika saja dulu dia baik ke Martin, mungkin saat ini laki-laki itu tidak akan menuduhnya sebagai pembunuh, atau mungkin saja laki-laki itu bersedia mengungkap kasus kematian Marwah, gadis yang dulu menjadi idolanya semasa sekolah.
Namun, semua sudah terlanjur. Ibarat kaca yang terlanjur di pecahkan, meskipun sudah disatukan lagi, kaca tersebut tidak akan kembali seperti semula. Istilah karma memang tidak ada, namun timbal balik kehidupan itu nyata, apa yang kamu beri suatu saat nanti menjadi apa yang kamu terima.
Gadis itu menatap wajahnya di cermin, ingin sekali mencakar-cakar diri sendiri. Betapa jahatnya dia dulu di masa lalu. Betapa banyaknya orang yang tersakiti oleh perkataannya. Jika terus dipikir, seberapa banyaknya dosa yang menggerogoti hatinya, hingga dia tak sadar atas kelakuannya selama ini. Hatinya mati, cahayanya padam, menyisakan sisi gelap yang suram dalam kehidupannya.
"Marwah, maafin gue,.." ucapnya lirih.
Penyesalan sedikit demi sedikit menyergap dirinya. Lebih lagi ketika menatap pantulan diri di cermin, wajah itu menjadi pukulan beratnya mengingat semua perlakuan buruknya ke Marwah. Setiap melihat wajah itu, Maryam ingin sekali menggapainya, memeluknya, dan menangis tersedu di pundaknya. Meluapkan semua penyesalan yang mungkin tak sanggup dia curahkan semuanya.
Ditengah rasa sedihnya mengingat Marwah, deringan ponsel terdengar. Maryam mengusap air matanya sebentar, kemudian berjalan ke arah tempat tidur. Dia masih di kosan Marwah, meskipun kosan tersebut masih tersegel garis polisi, Maryam tidak peduli. Berada di tempat biasa Marwah seperti merasakan kehadiran Marwah dalam tempat itu.
Maryam mengeryitkan alis, lagi-lagi nomer tak dikenal menelponnya. Sebenarnya Maryam malas menanggapi, namun, perkataan si misterius ini membuatnya penasaran.
"Halo?"
"..." lagi, lagi, saluran telepon itu tidak bersuara.
"Halo, ini siapa sih? Lo jangan main-main ya sama gue. Gue nggak ada waktu."
"..." masih hening.
"Halo!"
"Waktu. Lima huruf, satu kata, namun menyimpan berjuta kisah. Seperti kisah pungguk merindukan rembulan. Rembulan yang bersembunyi dalam gelapnya awan hitam." Tidak lama kemudian, sambungan terputus.
Maryam membanting ponselnya gusar ke tempat tidur. Benar-benar sialan, nggak ada kerjaan, umpatnya dalam hati. Laki-laki misterius ini membuatnya kesal setengah mati. Dia hanya menelpon hanya untuk mengatakan puisi teka-teki membuat Maryam bingung.
Sebenarnya laki-laki ini siapa? Kenapa puisinya seperti menyimpan sebuah fakta? Maryam mulai berspekulasi bahwa Mr. X ini ada hubungannya dengan Marwah.
Tak bisa berdiam diri dengan meratapi nasib yang mungkin tak kan berubah tanpa usaha. Maryam langsung bergegas mencari beberapa bukti untuk membebaskannya dari tuduhan sekaligus mencari bukti bahwa kembarannya itu mati bukan karena bunuh diri.
Maryam membuat sebuah list to do, daftar kegiatan yang akan dilakukanya untuk mencari bukti. Yang pertama adalah menggeledah seluruh ruangan kamar kos Marwah, berharap di sini dia menemukan suatu titik terang yang akan mengantarkanya pada titik titik lain untuk menjadi sebuah bukti yang akurat.
Pertama-tama, Maryam membuka lemari Marwah. Tampak sekali pemandangan yang tidak aneh jika semasa hidupnya Marwah adalah seorang gadis muslimah. Berjejer pakaian gamis berbagai warna tergantung rapi di lemari gantung, Maryam memilahnya satu persatu mencari apakah ada sesuatu yang ganjal. Semerbak pewangi pakaian menyergap hidungnya, membuat Maryam menghentikan aktivitas, bau pewangi itu menariknya dalam ingatan ketika dulu Marwah selalu memeluknya, seolah saat ini Marwah tengah memeluknya, begitu dekat dan sangat merasuk.
Maryam menghirup oksigen sebanyak mungkin, dia tidak boleh terlena akan hal-hal yang sudah berlalu, toh tidak akan pernah bisa kembali. Dia mengembuskan napas kencang, membuang semua kegalauan, kemudian berlanjut mencari barang bukti. Karena tidak ada yang aneh, tangan Maryam berpindah ke tatanan baju yang dilipat. Sama. Pakaian Marwah berdominasi dengan warna cerah, bertolak belakang sekali dengan Maryam yang lebih menyukai warna gelap.
Sesuai dengan kepribadiannya, pakaian Marwah tampak rapi sekali. Semua baju sepertinya dia sterika terlebih dulu sebelum ditata di rak lemari. Tangan kasar Maryam membuatnya sedikit berantakan, Maryam membuka semua tumpukan baju. Dia sedikit terkejut, saat menemukan sebuah amplop bertuliskan, "Untuk Maryam." Yang di dalamnya terdapat beberapa lembar uang lima puluhan ribu.
Seketika Maryam lemas, ternyata selama ini Marwah sudah tahu jika dirinya sering mengambil uang jatah Marwah. Sepertinya Marwah menyiapkan ini agar Maryam tak perlu mengambil hak orang lain tanpa izin. Seberapa menyesalnya Maryam saat ini, hanya dia yang bisa merasakan. Terlalu lelah jika bibirnya harus mengucap maaf lagi, lagi dan lagi kepada Marwah, namun kiranya tak menghentikan kata-kata itu untuk terucap lagi dari bibirnya.
"Marwah, maafin gue..." keluar bulir bening dari mata Maryam sebagai bukti penyesalan dirinya.
Beberapa menit Maryam berkutat dalam penyesalan tanpa ujung. Dia kembali bergerak cepat untuk mencari barang bukti. Dia mengembalikan amplop berisi uang itu ke tempat asal, dia tak punya niat untuk mengambilnya.
Setelah lemari lolos dalam listnya, Maryam berpindah ke tempat tidur. Dia menyingkap bedcover sampai ke kolong-kolong tempat tidur, ternyata nihil. Dia belum menemukan sesuatu.
Tanpa pikir panjang, dia beranjak ke meja belajar. Memilah jejeran buku-buku kuliah Marwah dan membukanya satu persatu dengan gerakan cepat, kali aja ada catatan yang terselip di salah satu halaman buku. Semua buku sampai berantakan di atas lantai, namun satu pun tidak ada yang bisa dia temukan. Kemudian Maryam memungut dua majalah, awalnya Maryam yakin tidak akan ada apa-apa di majalah tersebut, namun, saat matanya melihat sebuah coretan hitam di salah satu lembar mejalah itu, Maryam pun langsung membukanya.
Satu lembar majalah dengan gambar seperti burung, di coret-coret dengan bolpoint hitam. Coretannya abstrak. Seperti coretan penuh rasa kesal.
"Ngapain Marwah coret-coret Majalah?" tanya Maryam penasaran. Dia memfokuskan pada gambar yang dicoret-coret, "Kayak gambar burung. Burung apaan nih ya?"
Maryam memutar-mutar majalah itu mencoba melihatnya dari segala sisi. Percuma, gambar burungnya tidak jelas. Tanpa Maryam sadari, di bawah gambar itu ada kata-kata keterangan. Dia terlalu fokus pada objek sampai melalaikan sesuatu yang sudah tertera jelas-jelas di dekatnya. Manusia kebanyakan seperti itu, mencoba mencari kesalahan orang lain tanpa mengingat ada kebaikan dalam diri orang tersebut.
Tidak lama kemudian, mata Maryam akhirnya menangkap kalimat, "Kehidupan Elang di alam Liar." Maryam memaki diri sendiri karena kurang teliti, ternyata di lembaran itu sudah jelas keterangan tentang gambar, yakni burung elang.
"Elang?" Otak Maryam kembali berputar mencari keterkaitan gambar ini dengan kematian Marwah. "Kenapa Marwah coret-coret gambar burung elang?" tanyanya sambil terus berpikir.
Tidak lama kemudian dia teringat sesuatu, "Ah, iya, eagleblack! Email yang mengancam Marwah." Tak mau membuang waktu, Maryam langsung menyambar laptop Marwah kemudian membukanya.
---
Eagleblack. 7 Maret
Lo sok suci banget sih! Lepas deh mending jilbabnya, jual diri sana!
Siti Marwah
Astaghfirullah, apa-apaan sih ngomongnya! Aku udah bilang nggak mau ngasih. Jangan ganggu lagi!
Eagleblack
Katanya lo alim, katanya lo baik. Hell ya Marwah!
Siti Marwah
Hasbunallah wani'mal wakil...
Eagleblack.
Sok suci! Wanita nggak tau diri! Mati lo sana!
---
Maryam tercengang dengan kalimat terakhir Eagleblack. Orang itu bahkan mendoakan Marwah terang-terangan untuk mati. Nggak bisa dielak lagi, Eagleblack ini adalah terduga kuat pembunuh Marwah.
Sebenarnya apa yang mendasari percakapan mereka berdua? Apa yang Eagleblack mau dari Marwah sehingga Marwah begitu keukeuh tidak mau memberikannya. Maryam menscrool pesan-pesan lama.
---
Eagleblack. 21 Pebruari
Gue udah berubah, Mar, gue udah nggak kayak dulu lagi. Lo harus percaya sama gue. Gue bener-bener pengin banget ketemu lo. Ada sesuatu penting yang pengen gue sampein ke lo.
Siti Marwah
Maaf, Kak, tapi kita udah nggak ada urusan lagi. Afwan,..
Eagleblack.
Please, Mar. Lo harus percaya sama gue. gue Cuma minta kita ketemu sebentar saja. Ada sesuatu yang pengen gue omongin serius ke lo.
Siti Marwah
Afwan, saya minta maaf...
Eagleblack.
Bacot lo!
---
Maryam menscrool lagi, tapi mentok sampai tanggal itu. Sepertinya Marwah menghapus pesan-pesan awal dengan Eagleblack. Tapi satu hal yang Maryam dapat, di pesan tersebut, Marwah menyebut panggilan "Kak".
"Kemungkinan dia adalah kakak kelas waktu sekolah, kakak tingkatnya kuliah, atau,.. kakak satu organisasinya?"
Maryam sempat bergulat dengan tiga kemungkinan itu, kemudian dia menyambar ponselnya. Tidak lama kemudian menempelkan benda pipih itu ditelinga kanannya.
Setelah beberapa detik menunggu, suara salam terdengar.
"Gue nemu sesuatu, Fan, sekarang lo di mana?"
Setelah mendengar jawaban dari Fandy, Maryam bergegas membawa laptop dan satu majalah tadi keluar untuk menemui Fandy.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top