Mars Killer
Obsesi berlebihan memang bukan hal yang baik. Aku tahu itu dengan sangat jelas. Mama juga selalu memarahiku akan obsesi berlebihan ini. Namun, sekeras apa pun usahaku untuk menghilangkan obsesi ini. Sungguh susah. Percayalah.
Apa yang salah sih dari obsesi ini? Aku hanya mencintai angka Sebelas. Hanya itu.
***
Malam semakin larut, aku masih setia bergelut dengan komputerku. Data untuk rapat besok pagi masih belum selesai, masih banyak yang perlu direvisi. Beberapa rekanku sudah terlebih dahulu pulang.
"Hans, lo gak pulang? Gue pulang duluan ya," pamit Sella seraya mengintip layar komputerku.
"Yoi. Hati-hati di jalan ya. Lo gak mau jadi korban si Mars Killer kan. Hahaha," candaku, sengaja membawa topik pembunuh yang disebut-sebut sebagai Mars Killer. Pembunuh yang selalu meninggalkan tanda di samping korbannya -bulat merah dari darah korbannya.
Sella menyibakkan rambutnya dan berpangku tangan. "Hans! Lo nyebelin banget sih. Untung gue bukan orang parnoan. Lo itu yang harus hati-hati, kan lo yang pulang malem."
"Iya, Nona."
Sella meninggalkan ruangan. Dan tersisa aku sendiri, yah, hanya aku saja yang masih berkutat dengan pekerjaan ini. Aku melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul sepuluh lebih.
Tunggu, tiga puluh menit lagi... jam sebelas. Ini akan mengasikkan.
Aku berdiri untuk mereganggkan otot-ototku yang sudah terasa kaku. "Ah, lapar. Apa masih ada makanan di meja Johan?" Tanganku yang jahil menggeledah meja Johan mencari sebongkah cemilan.
"Eh, apa ini?" Aku mengambil secarik kertas yang tak sengaja kujatuhkan. Aku membaca tulisan yang tertera di sana. Tak kusangka jika Johan berbakat menjadi seorang penulis. Tulisannya sudah seperti pesan pembunuhan saja. Kenapa dia mencantumkan angka sebelas? Apa mungkin dia juga terobsesi dengan angka sebelas?
Dia membuatku merinding saja. Mana aku sendirian pula.
Sebelas kata kurangkai
Sebelas tanda kuberikan
Sebelas tahun kulalui
Sebelas bulan kuamati
Sebelas minggu kusiapkan
Sebelas hari kunantikan
Sebelas menit kusembunyi
Sebelas detik kuhabisi
Padamu kupersembahkan darah merah
Disinari rembulan malam
Di waktu yang sangat indah
"Gosh, gue merinding. Nih anak, leh ugha. Hehe. Eng... tapi kenapa tulisannya gitu banget? Jangan-jangan... ah mana mungkin." Kuletakkan kembali kertasnya di atas meja. "Johan dah kayak mau bunuh orang aja."
Aku kembali ke mejaku dengan tangan penuh cemilan yang kuambil dari meja Johan. Aku melihat jam yang tertera di layar komputerku. Sebelas menit lagi pukul sebelas. Angka yang bagus.
Sebelas menit? Kenapa aku jadi merinding?
Drrtt...
Layar ponselku menyala, menampilkan telepon masuk dari mama. Ada apa? Tumben sekali menelponku malam-malam begini.
"Halo Ma."
"Halo Hans. Kamu lagi di mana?" tanya mama. Ada nada khawatir di sana.
"Hans masih di kantor, Ma. Nyelesein data buat rapat besok. Jam sebelasan juga Hans pulang kok," jawabku lembut, berusaha meredakan kekhawatiran mama.
Terdengar desahan panjang di seberang. "Kamu ini! Jangan kebiasaan pulang malem! Emangnya itu gak bisa dikerjain di kost? Kamu sengaja pulang jam sebelas? Obsesimu terlalu berlebihan, Hans. Kamu gak lihat berita? Dekat kantormu kan lagi ramainya kasus Mars Killer." Mama memberondongiku dengan berbagai macam omelan.
Aku terkekeh pelan seraya berkata, "Iya Mama Sayang. Hans abis ini pulang, Ma. Ini Hans kalau kerjain di kost bisa gak selese-selese, Ma. Hans gak sengaja pulang jam sebelas kok, Ma. Kan Hans dah besar, obsesinya gak segitunya, Ma. Hahaha. Lagian mana mungkin sih Hans dibunuh Mars Killer, Mama parno deh."
Mama masih mengomeliku dengan berbagai hal lainnya. Padahal sudah kukatakan jika aku akan segera pulang, tapi tetap saja tidak percaya. Bahkan, mama mulai membahas obsesiku pada angka sebelas. Itu lagi yang dipermasalahkan.
"Kamu jangan ngumpulin benda angka sebelas lagi deh, Hans. Kostmu sudah kayak tempat dukun aja. Ya udah Mama tutup dulu ya telponnya. Cepet pulang."
"Iya, Ma."
Aku membereskan barang-barangku. Tak lupa kuletakkan data rapat di mejaku, agar manager bisa langsung mengambilnya.
Akhirnya, aku bisa bersantai di rumah. Aku sempat melihat jam ponselku. Jam sebelas tepat. Angka yang sangat indah.
***
Sial. Aku telat ke kantor. Ini semua karena aku pulang terlalu larut, aku jadi kesiangan bangun. Aku bahkan lupa jika aku sudah berjalan pulang ke rumah, tidak masuk akal. Beberapa memoriku sering hilang akhir-akhir ini.
Mungkin aku perlu ke dokter untuk memeriksanya. Tidak lucu jika aku terkena alzheimer di umurku yang masih muda.
Aku setengah berlari memasuki pelataran kantor. Suasana kantor di pagi hari tampak aneh. Terlalu banyak orang bergerombol dan bergosip. Ah, apa peduliku? Aku segera ke ruanganku, teman-temanku sedang berkumpul di meja Sella.
Ada apa? Apa yang mereka gosipkan? Kenapa Maria sampai menangis?
"Hey, ada apa? Kalian lagi bahas film baru?" tanyaku. Mereka mengarahkan pandang padaku. "Gue salah tanya?" tanyaku hati-hati.
Ilham mendatangiku dan menepuk pundakku. "Johan... meninggal," bisiknya.
Aku tercekat. Rasanya, baru kemarin aku dan Johan berebutan jajan. Baru kemarin aku dan Johan saling mengejek. Tapi... kenapa secepat ini?
Mana mungkin?
Kemarin, aku masih melihat Johan dan Maria pulang bersama. Mana mungkin hal seperti ini terjadi. Aku tak bisa mempercayainya.
"Jangan bercanda. Ini gak lucu," ucapku dingin.
Sella menunduk lemah. "Tadi pagi, polisi datang ke sini dan memastikan identitasnya. Dan itu bener Johan. Kata polisi, dia dibunuh Mars Killer."
"Gak masuk akal. Gak mungkin."
Aku mendorong Ilham yang memegangi pundakku. Aku bukannya berlebihan pada kematian Johan, tapi hal itu memang tampak seperti mustahil.
Hey! Kemarin aku dan Johan masih bertengkar, masih saling berebut makanan, masih saling mencuri pakaian dalam. Kenapa hari ini, aku harus menerima pesan kematiannya?
Aku memasuki salah satu bilik toilet. Pikiranku terlalu kacau hari ini. Setidaknya, aku harus menenangkan diri.
"Lo sudah denger belum kalo Johan Pramono Divisi Managemen jadi korban Mars Killer?"
Samar-samar aku mendengar perbincangan dari balik toilet. Mereka membicarakan Johan.
"Kasihan gue, sama pacarnya. Dia nangis mulu. Kabarnya, tiga bulan lagi mau nikah?"
"Sudah nasib, mau gimana? Kakak gue kan ngurus kasus ini. Kemarin dia sempet cerita ke gue. Pelakunya ini diduga selalu ngebunuh korbannya pukul sebelas malem. Dan setiap korbannya, selalu dapet surat yang sama. Semacam puisi. Tadi pagi kan di meja Johan juga ditemuin puisi aneh," jelas salah satunya. "Dan di setiap surat selalu ada kata sebelas."
Aku keluar dari toilet. Berusaha mengabaikan perbincangan kedua orang tadi.
Sebelas? Sebelas? Kenapa firasatku buruk tentang ini? Penyakit bodohku tidak mungkin kambuh lagi, 'kan? Ah, tidak mungkin.
"Hans," panggil seseorang. Aku tersadar dari lamunanku dan mencari si pemilik suara.
"Sella?" tanyaku setelah aku melihat perwujudan Sella di sampingku.
Sella tersenyum kecil. "Lo kenapa? Lo masih syok ya? Gue juga. Lo yang tabah ya. Nanti sore, lo ikut ke rumah Johan gak?" ajak Sella.
Aku mengangguk lemah. "Gue ikut."
Aku kembali ke ruanganku, berusaha konsentrasi pada pekerjaanku. Meskipun itu gagal. Aku tidak bisa berkonsentrasi.
"Akh!" Dengan kesal, aku menghamburkan beberapa barang di mejaku.
Aku memunguti benda yang berceceran di lantai. Ada secarik kertas putih yang sedikit terselip di bawah meja. Apa ini?
"Sebelas ka--"
"Hans! Ayo!" Sella memanggilku di depan pintu. Aku segera meletakkan asal seluruh barangku.
***
Sella dan aku pamit pulang terlebih dahulu. Sudah hampir pukul sebelas malam. Aku juga tidak tega melihat pemandangan pilu di rumah Johan.
Kami menunggu bus di halte dekat rumah Johan. Tidak seperti biasanya, malam ini terasa sangat sepi. Mungkin aku sudah lama tidak ke sini
"Hans, lo pernah mikir gak? Alasan si Mars Killer selalu ninggalin jejak bulat merah kayak planet Mars?" tanya Sella, memecahkan keheningan di antara kami.
Aku menggeleng. "Gak. Dan gak berniat mencari tahu."
Ada apa sih dengan pertanyaan Sella. Gak lucu.
Sella menatap kedua bola mataku. "Lo yakin? Apa lo gak penasaran?" tanya setengah berbisik. Aku mengerutkan alis dahi.
"Gue gak ada minat bahas si Pembunuh itu," ucapku dingin.
"Gue rasa lo berminat. Dan lo harus tahu." Sella mencengkeram kedua bahuku. "Ada seorang anak yang sangat terobsesi pada angka sebelas. Temen kecilnya sangat paham. Tanpa sadar temannya ikut terobsesi. Suatu hari, tepat pukul sebelas malam. Obsesi si Anak menjadi berlebihan. Dia menjadi sedikit gila. Ada kucing kecil yang melintas di depan rumahnya... lo tahu apa yang dia lakuin?"
"Berhenti, Sell."
"Dia ngebunuh kucing itu. Dan teman kecilnya melihat itu semua. Bahkan dia mendengar si Anak berkata, kucing yang malang terpaksa aku membunuhmu, ini semua demi angka sebelas yang indah. Dan dia membentuk lingkaran dari darah si Kucing. Lo tahu apa yang sebenernya dia buat? Bukan lingkaran, tapi angka sebelas yang diulang sebelas kali, karena dia bilang bulan di pukul sebelas sangatlah indah jika ditemani warna merah. Di malam itu, teman kecilnya melihat bulan yang menyinari darah itu."
"STOP!" bentakku.
Aku merasa sangat pusing. Kejadian si Kucing... itu sudah sangat lama. Mama bahkan menghukumku dengan mengurungku selama seminggu. Aku tak mungkin melakukannya. Aku sudah melakukan terapi pada psikolog.
"Bukan gue, Sel. Bukan gue yang ngebunuh Johan." Rasa takut akan kebenaran itu membuatku sangat takut.
Sella tersenyum miring. "Memang bukan lo. Tapi... gue. Ini karena lo. Lo yang ngebuat gue jadi terobsesi dengan angka sebelas. Karena lo, gue gak bisa nahan nafsu gue setiap pukul sebelas. Lo tahu? Kenangan indah saat melihat darah yang lo bentuk dan sinar bulan. Itu euforia gue."
Tubuhku terjerembap ke tanah. Aku tak mempercayai apa yang dikatakan oleh Sella. Aku tidak menyangka apa yang dikatakan Sella.
Kenangan malam itu sedikit terbentuk di pikiranku. Aku ingat. Sella tadi malam berbincang dengan Johan. Dan ketika aku akan menghampiri... Sella membunuh Johan. Dia membisikkanku kata-kata. "Ada pemandangan indah setelah ini."
"Lo sudah ingat? Atau lo masih amnesia?" ejek Sella. Mata hitam Sella menatapku intens. Ada ketakutan yang muncul di diriku.
Jantungku seakan berhenti, ketika tusukan tajam mengenai leherku. Tidak hanya sekali, tapi berkali-kali. "Darah lo sangat manis, Hans."
Malam ini, aku mendengar gesekan jari di tanah. Gesekan membentuk angka sebelas, selama sebelas kali.
***
"Hans, kenapa lo suka sama angka sebelas?"
Hans kecil tersenyum ke arah Sella. "Karena mereka berdampingan. Seperti Mama dan Papa, mereka berdampingan. Mama pernah bilang kalau dia suka angka sebelas karena itu tanggal pernikahan Mama dan Papa."
"Hans mau gak kalau nanti sudah besar, berdampingan sama Sella kayak angka sebelas?"
Hans kecil mengangguk dan memeluk Sella kecil yang sudah berdebar. Perlahan dia mulai menyukai angka sebelas.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top