06. Thanks God It's You

"This two. How much?

Two hundred? Expensive! Bargain! Bargain! Cheaper please! Okay? Okay?

Tengkyu, khob khun ka!"

Abby lagi-lagi harus menahan senyumnya saat mendengarkan aksen inggris lokal yang digunakan istrinya dengan terlalu antusias saat sedang membeli jajanan untuk mereka berdua di floating market hari selanjutnya.

Bahkan pedagang lokal yang menjadi subyek tawar menawar Vanessa nampak tertarik dengan tingkah konyol gadis tersebut.

"Gue dapet murah!" kata Vanessa bersemangat kepada Abby, yang mengingatkannya kembali atas apa yang baru saja dibeli gadis itu.

Mereka sudah melanjutkan perjalanan menyusuri tempat berbentuk pasar yang begitu ramai dengan pengunjung tersebut sambil Vanessa membuka bungkusan yang baru saja dibelinya, "Satu buat oleh-oleh, yang satu kita coba disini ya."

"Gue nggak mau!" kata Abby buru-buru sambil menjauhkan tubuhnya.

Vanessa mengeluarkan seekor jangkrik kering yang baru saja dibelinya dan memberikannya kepada Abby.

"Gue nggak mau, nyong!" ulangnya lagi, "Jauhin dari gue!" katanya sambil memandang jijik pada benda di tangan gadis itu.

Vanessa terkekeh melihat ekspresi lelaki itu yang menurutnya menggelikan. "Dokter kok takut ama serangga sih?!" ejeknya sambil memasukkan makanan itu ke dalam mulutnya sendiri tanpa takut maupun jijik.

"Jangan dimakan, Va!" kata Abby buru-buru, yang ternyata terlambat karena gadis itu baru saja menggigit dan menelannya.

"Enak kok!"

Abby menggelengkan kepalanya masih dengan ekspresi jijik yang sama, "Heran gue ada cewek jorok kayak lo!"

"Kok jorok sih," kekeh Vanessa, "Ini makanan kali, By!"

Abby baru saja hendak membantahnya lagi saat kondisi jalanan begitu ramai dan membuat jarak keduanya menjauh. Beberapa kali orang dari arah berlawanan berjalan di antara mereka dan membuatnya cukup gelisah.

"Va, jangan jauh-jauh dari gue," katanya sambil menarik tangan Vanessa dalam genggamannya, "Rame banget di sini." jelasnya sambil terus berjalan dan menjaga gadis itu tidak menjauh darinya.

Vanessa hanya tersenyum sambil mengikuti arahan lelaki itu menyusuri ramainya jalanan. Mereka memang hanya selalu bersahabat. Tapi Abby tidak pernah lalai melindunginya sebagai seorang pria saat sedang dibutuhkan.

"Tangan gue yang ini yang abis pegang jangkrik tadi loh, By!" Goda Vanessa yang mendapat decak kesal dan pandangan jijik dari pria di depannya, yang tetap tidak melepaskan pegangan tangan mereka.

Sepanjang hari setelahnya mereka lalui untuk berkeliling kota Bangkok mengunjungi Budha temple Wat Pho dan Wat Arun, serta kediamaan raja Thailand, Grand Palace.

Berwisata bersama Vanessa berarti menyusuri setiap tempat baru dengan penuh ketidaktahuan dan menikmati keunikan apapun yang mereka temui dari daerah tersebut, secara spontan.

Dan berwisata bersama Abby berarti membuat perencanaan perjalanan dengan sangat matang  dan mencari tahu segala informasi yang dibutuhkan untuk menghindari risiko sebelum mereka mengunjungi suatu tempat.

Bersama-sama, mereka menjadi partner perjalanan yang saling melengkapi, setidaknya itu menurut mereka berdua. Karena bagi Abby, perjalanannya tidak akan menarik tanpa kehadiran Vanessa didalamnya. Dan bagi Vanessa, tidak ada rasa aman kalau tidak ada Abby di sisinya.

Abby dan Vanessa menutup malam keduanya dengan mengunjungi bar lokal di kawasan Khao San Road yang terkenal ramai di malam hari, untuk memuaskan ketertarikan Vanessa untuk mencoba produk bir lokal Thailand selama mereka di Bangkok.

Vanessa memesan satu pitcher bir untuk mereka berdua. Abby memang partner sejatinya untuk menikmati minuman kesukaannya tersebut, karena jarang ada teman perempuannya yang memilih bir sebagai list minuman alkohol yang akan mereka nikmati, dan Vanessa jelas tidak akan meminum alkohol di depan mantan-mantan pacarnya dengan alasan menjaga image dirinya sebagai perempuan baik-baik. Abby merupakan opsi utamanya untuk mendampinginya menjadi diri sendiri apa adanya.

Vanessa menegak setengah gelas bir dalam hitungan sepuluh detik pertamanya sejak minuman itu tiba di meja mereka.

"Pelan-pelan minumnya, nyong! Jangan kayak gajah keausan gitu!" Kata Abby memperingati sambil menegak isi gelasnya juga.

Vanessa menyengir puas sambil menyeka sisi bibirnya yang basah akibat minuman tersebut, "Enak banget, By!"

"Itu perut gimana kagak buncit coba kalo hobinya nge-bir galonan gini."

"Abis gimana dong? Enak banget, By." katanya mengecap rasa nikmat yang masih terasa di lidahnya tersebut, "Menurut gue, orang yang menciptakan bir itu musti dapet penghargaan. Bisa bikin minuman enak banget kayak gini. Gue rela deh jadi buncit kalo demi minum bir."

"Lo sih boleh rela, gue yang malu, Va, punya istri buncit, bukannya hamil tapi gara-gara hobi minum bir." ejeknya sambil tertawa memandangi Vanessa. Abby mengira dia akan mendapatkan balasan dari Vanessa yang ternyata salah.

Vanessa hanya terdiam, tenggelam dengan pikirannya sendiri. Sekali lagi ia meneguk gelas bir ditangannya sebelum berkata, "By, gue mau ngomong sesuatu."

"Hm? Apa?"

"Karena lo udah ngomong duluan tentang hamil, gue ngerasa ada sesuatu yang harus kita bahas, By."

Abby diam dan menunggu.

"Lo tau kan nyokap gue maksa banget gue buat merit. Dia itu punya kekuatiran berlebihan tentang umur gue yang udah kepala tiga. Dia takut gue telat buat hamil By."

Vanessa menghabiskan gelasnya sebelum melanjutkan. Sebenarnya dia malas membahas hal tersebut di antara kesenangannya bersama Abby menikmati liburan ini, namun dia sadar bahwa ini bukan masalah yang bisa ditundanya lebih lama lagi.

"Dan gue yakin ini akan menjadi pertanyaan utamanya begitu kita pulang," dia melanjutkan sambil mengisi kembali gelasnya dari pitcher yang masih penuh, "Lo akan jadi korban utama nyokap gue, By," kata Vanessa dengan raut serius.

"Maksud lo korban?" selidik Abby.

Tiba-tiba Vanessa mengubah ekspresi wajahnya. Keseriusan pada wajahnya beberapa detik lalu berubah seratus delapan puluh derajat saat dia berusaha menirukan suara ceriwis wanita separuh baya yang mereka kenal dengan baik, "'Irwin, gimana di Bangkok? Sukses nggak? Menurut kamu honeymoon babynya bisa jadi nggak? Mama nggak usah kuatir lah ya kalo sama kamu. Kira-kira kapan Mama bisa dapet cucu?'"

Abby tidak bisa menahan tawa melihat tingkah konyol Vanessa yang sedang menirukan Mamanya sendiri, terlebih saat ekspresi gadis itu kembali serius setelah menyelesaikan perannya barusan.

"Gue nggak bercanda, Nyong!" kata Vanessa serius kepada lelaki yang sedang menertawakannya. "Lo bakal jawab apa kalo diteror nyokap gue kayak gitu? Ini bahaya By! Kita musti siapin amunisi buat ngadepin nyokap gue sebelum pulang nanti."

Setelah puas tertawa, Abby berusaha mengembalikan ekspresinya, berusaha nampak serius sambil mulai berbicara, "Sorry, sorry, Va. Abisnya lo cocok banget niruin nyokap lo. Lo emang bener anaknya, langsung kebayang nanti lo tuanya jadi kayak nyokap lo."

Vanessa melotot protes sambil mencubit pinggang lelaki itu dengan kesal sampai Abby meringis kesakitan. "Gue kasih tau malah ngeledekin. Bodo amat ya kalo lo nanti jadi korban teror nyokap gue. Nggak akan gue bantu!" Vanessa meneguk kembali gelas birnya sambil melampiaskan kekesalannya.

Abby mengusap-usap pinggangnya sendiri, berusaha menghilangkan rasa perih di tempat tersebut akibat cubitan gadis itu, "Tenang aja, Va. Nanti biarin gue yang jawab kalo sampe nyokap lo nanya gitu pas kita pulang nanti. Gue rasa bukan cuma nyokap lo kok yang akan nanya kayak gitu. Bokap nyokap gue juga akan nanya hal yang sama."

"Oh ya?" Vanessa menaikkan alisnya tidak percaya.

Abby mengangguk, "mereka juga ngebet punya cucu kok. Cuma mereka nggak ngomong langsung kayak nyokap lo aja."

"Jadi?" tanya Vanessa penasaran, "Lo akan jawab apa?"

Abby terdiam. Nampak berpikir sebelum sedetik kemudian menyentil lembut dahi gadis itu yang tetap membuatnya mengerjapkan mata.

"Mau tau aja! Itu urusan suami lo buat ngejawab. Nggak usah ikut campur!" Katanya sambil tersenyum.

"Ihh, gue kan harus tau lo jawab apa, By. Kita musti punya jawaban yang matching dong! Kalo nyokap bokap nanya gue dan ternyata jawaban kita beda gimana?" Vanessa mengusap-usap keningnya yang baru saja disentuh lelaki itu sambil kembali menghabiskan bir dalam gelasnya.

Abby menopangkan dagu pada tangannya, memutuskan apa yang akan dikatakannya sambil memandangi wajah Vanessa yang mulai memerah karena efek dari alkohol yang sedari tadi diminumnya.

"Apa By?" Vanessa mengulang pertanyaannya sebelumnya.

"Lo tertarik untuk punya anak, Va?"

Vanessa mengerutkan alisnya, entah karena bingung akan pertanyaan Abby atau pandangannya yang sudah mulai kabur akibat terlalu banyak minum, "Kok malah balik kasih gue pertanyaan sih?"

"Jawab aja," tuntutnya.

"Mana ada cewek yang nggak mau punya anak sih, By?! Itu kodrat menurut gue."

Abby membasahi bibirnya. Dia jarang berbicara serius kepada Vanessa, dan memutuskan untuk melakukannya selalu membuatnya merasa gugup. "Lo harus tau bahwa gue sama sekali nggak bercanda waktu ngajak lo merit, Va. Oke, mungkin kita melakukannya terlalu cepat, terlalu buru-buru, dan terlalu sembrono seolah-olah kita lagi main-main, tapi gue serius."

Vanessa mendengarkan, meneguk lagi gelas birnya yang kembali terisi penuh.

"Dan gue nggak mau ada perceraian dalam pernikahan yang gue lakukan. Gue harap lo juga berpikir seperti itu."

Vanesa tetap diam mendengarkan. Kali ini dia menopang pipinya yang semakin terasa berat dengan tangannya.

"Jadi, kalo lo bener-bener berpikir mau punya anak, itu berarti 'kita', Va. Anak elo dan gue."

Vanessa menatap lawan bicaranya yang berwajah begitu serius. Sedikit demi sedikit, segaris senyum muncul di bibirnya. Senyum jahilnya yang begitu menggoda di antara kedua pipinya yang merona karena alkohol.

"Jadi intinya lo mau ajak gue buat anak ya?" kata Vanessa terkekeh usil memandang pria di hadapannya.

Seketika Abby tersadar, dia memilih kesempatan yang salah membicarakan hal seserius itu pada waktu seperti ini. Saat Vanessa sedang begitu menikmati minumannya. Dan dia sudah mabuk.

"Lo mau anak dari gue, Abby?" Vanessa mendekatkan tubuhnya dan memeluk lelaki itu dengan manja. Hal yang selalu dilakukannya kepada Abby saat kesadarannya sudah mulai hilang. Dan ini juga yang menjadi alasannya enggan menikmati minuman favoritnya dengan lelaki lain kecuali sahabatnya tersebut.

Abby berdecak kesal sambil menjauhkan wajahnya dari wanita itu, menghindari bau alkohol yang menyengat dari tubuh wanita itu walau tangannya bekerja keras menopang tubuh wanita yang sudah kehilangan keseimbangannya tersebut, menjaganya agar tidak terjatuh.

"Awas kalo lo muntahin gue lagi!" ancamnya walau tahu wanita itu sudah tidak memiliki kesadaran untuk mendengarkannya lagi.

Vanessa masih tersenyum dalam ketidaksadarannya pada pundak lelaki itu.

"Gue bersyukur married sama lo, By," gumam dengan mata terpejam, "Gue bersyukur kalo lo yang jadi bokap buat anak gue nanti.."

Abby tersenyum, masih sambil menopang tubuh terlelap gadis itu dengan tubuhnya. Dia harus mengumpulkan kekuatan karena perjalanan panjang dari Khao San Road menuju hotel sambil menggendong gadis urakan berbau alkohol itu menunggunya sebentar lagi.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top