02. Engagement


Kedua muda mudi itu saling bertatapan, dengan sebuah meja berukuran persegi yang menghalangi jarak mereka. Abby dan Vanessa saling berbalas senyum atas pembicaraan bisu yang hanya mereka lakukan dari tatapan penuh arti mereka.

"Kalian ini lupa apa ya ada orang tua di sini. Bisa-bisanya lirik-lirikan mesra kayak gitu." Suara ceriwis seorang wanita setengah baya yang duduk di sebelah Vanessa, membuyarkan aksi memandang kedua insan tersebut dan berhasil membuat Vanessa berdecak kesal karena malu.

Vanessa memandang tidak suka kepada Mamanya, Sarah, yang baru saja mengeluarkan celetukan tersebut.

Ruangan private berukuran empat kali empat meter persegi di salah satu restoran jepang tersebut memang tidak sedang dihuni oleh Abby dan Vanessa berdua saja saat ini. Ada kedua orang tua mereka masing-masing yang duduk mengapit masing-masing putra dan putrinya, serta Adrian, adik Vanessa yang masih kuliah dan merasa terjebak berada di sana.

"Namanya juga anak muda, Sar," Mama Abby yang bernama Rissa tertawa sambil berkomentar atas celetukan Mama Vanessa sebelumnya, "Mereka itu nggak seneng sebenernya musti duduk bareng kita kayak gini buat ngomongin hal-hal resmi."

Vanessa hanya cengengesan mendengarkan kata-kata dari Mamanya Abby atas kelakuan dia dan Abby yang terlihat seperti dua orang kasmaran. Walau sebenarnya sejak tadi yang mereka lakukan adalah mengejek keempat orang tua mereka yang terlalu serius membahas rencana pernikahan ini.

Vanessa dan Abby sudah melewatkan separuh waktu dari hidup mereka bersama-sama. Berdasarkan fakta tersebut, lirikan mata, kerutan alis, dan gerakan bibir yang mereka lakukan saja sudah lebih dari cukup untuk menyampaikan ratusan kata ejekan yang hanya dipahami oleh mereka berdua.

Mama Sarah kembali menambahkan apa yang dikatakan oleh Mama Rissa, namun ditujukan kepada putrinya sendiri, "Padahal dari dulu-dulu kita suruh nikah, mereka nggak pernah mau ya, Ris? Alesannya aja segudang. Irwin bukan tipenya lah, cuma temen deket lah. Eh, sekarang udah nggak kita paksa, Vanessa kepincut sendiri."

Memang hanya Vanessa yang memanggil lelaki itu dengan sebutan Abby. Orang lain selalu memanggilnya dengan 'Irwin', bahkan keluarganya sendiri.

"Udah jangan digodain lagi, Ma." Akhirnya Papa dari Vanessa, Abraham, menyudahi godaan tiada henti dari istrinya itu, "Kita kemari kan untuk ngomongin rencana pernikahan mereka."

Kali ini giliran Papanya Abby, Herman yang menambahkan sambil mengangguk bijak, "Bener itu, kita perlu pilih tanggal baik untuk mereka. Kamu udah ada rencana Win?" tanyanya kepada Abby.

Abby baru membuka mulutnya tanpa sempat membiarkan pita suaranya bergetar dan calon ibu mertua tercintanya sudah memberikan pendapat tanpa ditanya, "Semakin cepat semakin baik menurut aku. Vanessa udah umur tiga puluh tiga loh tahun ini," katanya mengingatkan yang seharusnya tidak perlu, "Irwin sih nggak masalah karena dia lelaki, tapi kasihan Vanessa. Kalo mereka nikah tahun ini aja, syukur-syukur langsung dikasih anak, tahun depan baru lahir. Belum lagi kalo mereka mau punya anak lebih dari satu kan?"

Mama Rissa mengangguk-angguk menyetujui.

Abby tersenyum memandang sahabatnya dengan tatapan mengejek atas kalimat Mama Sarah yang menyebut putrinya sendiri cukup tua sebagai perempuan.

Vanessa membelalakan matanya kepada lelaki itu, sebagian karena sebal dan sebagian sebagai tuntutannya untuk mempercepat selesainya urusan ini.

Setelah puas tersenyum untuk mengejek sahabatnya, Abby buru-buru berkata sebelum ada tambahan intermezzo dari keluarganya yang lain, "Iya Tante, aku juga setuju. Makanya aku sama Vanessa udah nentuin tanggal pernikahan kita. Rencananya di minggu kedua, dua bulan lagi. Tapi balik lagi sih, aku dan Vanessa butuh pendapat dari Tante, Om, Papa dan Mama.."

Pandangan kagum muncul dari tiga pasang yang memandang kepada Abby atas kata-kata bijak yang diucapkannya; yang berasal dari mata Mama Sarah, Papa Abraham dan Adrian. Sementara pandangan bangga muncul dari kedua orang tuanya sendiri.

Abby memang selalu menjadi calon menantu idaman dari keluarga Vanessa selama sepuluh tahun belakangan ini. Setiap kali Vanessa membawa pacarnya yang manapun ke rumahnya selama ini, nama Abby selalu berkumandang untuk menjadi pembanding tidak terkalahkan di mata keluarganya, yang selalu membuat Vanessa jengah.

"Om sama tante percaya kok sama Irwin. Menurut kami, keputusan kamu yang terbaik." kata Papa Abraham sambil tersenyum kepada Abby.

Vanessa mendengus kesal atas ketidakadilan yang selalu dirasakannya seperti saat ini. Dia tahu dengan jelas, sifat bandel dan pembangkang Abby tidak jauh berbeda dengan sifatnya sendiri. Hanya pencitraan yang selalu dibawakan oleh lelaki itu yang membuatnya terlihat lebih baik, lebih dewasa, dan lebih sopan di mata siapapun, termasuk orang tua mereka sendiri.

Dan akibatnya selalu terlihat seperti ini, Abby penurut dan dia pembangkang.

Mama Sarah menyenggol lengannya untuk memperingati dengusannya yang terdengar jelas di dalam ruangan tersebut. "Yang sopan, Va!"

Vanessa mengerucutkan bibirnya tanpa membalas.

"Kok Kak Irwin bisa mau sih sama cewek kayak Vanessa." celetuk Adrian yang kembali membuat Vanessa melotot galak memandang adiknya, salah satu dari barisan pengagum Abby yang tidak terima idolanya mau menikah dengan perempuan urakan seperti kakaknya.

"Kakak kamu kan manis, Dri," kata Mama Rissa memuji calon menantunya dengan tulus, "Nggak kayak Irwin, kakunya nggak ketulungan," keluhnya kepada putranya sendiri, "Tante nggak kebayang deh hidupnya Irwin kalo nggak ada Vanessa."

Mama Sarah kembali menambahkan, "Kamu belum ngerasain sendiri sih, Ris. Buadungnya nih anak. Nanti kamu musti sabar-sabar ngelus dada kalo dia udah jadi menantu kamu. Cuma Irwin deh yang bisa ngadepin dia."

Vanessa memandang sahabatnya Abby, kembali melakukan kontak mata dengan jengah. Malam ini akan menjadi malam yang panjang untuk mereka berdua.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top