19. The One with Hiu being Spoiled Big Baby

"Ayo, masuk." Hiu berbicara tepat di sisi kepalaku, aku nyaris melompat karena suara yang biasanya menggelegar kali ini terdengar pelan dan agak merdu. Napasnya hangat mengembus bagian belakang telingaku. Bulu kuduk dan bulu-bulu lain di sekujur tubuhku berdiri. Pintu di balik badannya ditutup, aku mencoba santai dan melangkah lebih ke dalam.

Kuusir ingatan mengerikan mengenai insiden kamar mandi jauh-jauh.

Hiu nggak ngomong apa-apa. Dia mendekati perangkat pemutar musik, memilih-milih, dan tak lama setelah ia tinggalkan, musik jazz yang mengalun lembut membantu menetralkan degup jantungku. Hiu menghilang ke balik walk-in closet selama beberapa menit, keluar sudah ganti baju santai yang biasa ia pakai tidur, atau nonton teve malam hari bersamaku. Aku berdeham gugup, nggak tahu mesti ngapain.

"Udah cuci kaki?" tanyanya, melintas di depanku untuk menghampiri kulkas mini dan mengambil botol air mineral.

Aku mencoba rileks, duduk di tepi kasurnya yang seempuk kasur di kamarku. Mengayun kedua kakiku yang menggantung. "Udah."

Hiu menenggak air mineral dari dalam botol sampai hampir habis. Sebagian air jernih yang diminumnya mengalir dari sudut bibir, membasahi dagu hingga leher, dan memerciki kausnya saat ia berhenti minum. He looks so ... eum ... hot(?) Sambil mengusap bekas air di dagunya dengan punggung tangan, mulutnya meloloskan desahan lega sehabis melepas dahaga.

"Gila haus banget seharian ini rasanya," katanya, tapi nggak kayak ngomong sama aku, jadi aku diem aja.

"Kakak sakit?" tanyaku.

Dia kayak baru inget aku masih di situ. "Kecapekan," katanya pendek, lalu menghampiri tempat tidur dan berbaring di sisi lain dari yang kududuki. Kubiarkan dia diam saja dengan mata terpejam selama beberapa saat.

"Apa kupanggilkan dokter aja?" aku menawari.

Tapi, pada saat yang sama dia malah bilang, "Mana coba lihat kakinya udah bersih belum?"

Aku diem aja, bisa aja gitu ya orang ini, dikhawatirin malah kayak gitu. Tapi karena aku pede kakiku bersih dan wangi, aku memutar dudukku, dan mengangkat kakiku ke atas tempat tidur. Menyodorkan kakiku lurus ke arahnya. Telapak kakiku hanya berjarak kurang lebih 30 sentimeter dari kepalanya. Ia memandangiku, mungkin pikirnya 'nih anak lama-lama kurang ajar'.

Hiu tiba-tiba mengubah posisi telentangnya. Ia memiringkan tubuh bagian atasnya ke arah kakiku, nyaris membuatku refleks menarik diri gara-gara kepalanya tahu-tahu mendekat dan mengendusi kakiku. "Wangi," pujinya.

Aku mengangkat daguku bangga.

"Apa kakimu selalu sewangi ini?" tanyanya, sambil menatap manik mataku.

Aku menelan ludah dan mengangguk, "O—of course," kataku gugup.

"Oh ... jadi kakimu tiap hari dicuciin sama home spa terapist panggilan yang kamu bayar pakai uang tunai biar kesannya nggak keseringan pake kartu kredit gitu?"

Aku auto-kelabakan. Apa Mirah mengadu, ya? Astaga, padahal dia udah kusumpah. Masa kudu sumpah pocong, sih, buat nutup mulutnya? Untung tadi aku nggak ngomong apa-apa waktu dia kepo. Meskipun kesulitan gimana pasang muka habis ketangkap basah, aku berusaha tenang, "Nah, kan ... berarti Mirah memang nggak bisa dipercaya!" kataku, sounds like lagi nyari cara biar nggak dipermalukan lebih lanjut.

Dahi Hiu mengerut. "Ada apa sama Mirah? Anyway kalau soal terapis mah nggak usah ada yang ngadu. Selama kamu pakai jasa orang-orang yang ada di daftar kontak Nahokai, ya, aku pasti tahu kamu ngapain aja di rumah. Tapi aku seneng, sih, kamu bela-belain cuci kaki pake kembang segala apa, bersihin daki-daki karena mau mijitin suami—"

Aku menendang tulang keringnya dengan kedua kakiku, tapi kayaknya dia sama sekali nggak kerasa, malah ketawa-ketawa.

"Mirah kenapa?" dia nanya sehabis tawanya reda.

Aku menceritakan apa yang ditanyakan Mirah di dapur tadi dan kecurigaanku tentang mama mertua yang kesannya kayak mau memanfaatkan Mirah buat jadi informan di rumah ini. Hiu tampak tak terkesan.

"Ya emang," katanya pendek. "Sekarang mungkin belum, tapi beberapa bulan lagi pasti. Nanti aku coba bicara sama dia, tapi kamu bener, jangan ngomong apa-apa sama dia. Sebenarnya aku kenal dia udah lama, ibunya udah kerja di rumah sejak aku masih bayi. But ... we better becareful, dia nggak kayak Nahokai, no one should know as much as Nahokai."

Aku mengangguk-angguk patuh.

"Oke ...," ucapnya, sekaligus mengembuskan napas kencang-kencang, meregangkan otot-otot lengan dan lehernya. "Jadi mijitin nggak?"

Aku cemberut, tapi, yah ... kasihan juga dia kecapekan habis kerja demi tagihan belanjaku setiap bulannya. Dengan malas, aku mengangguk. Nggak nyangka Hiu tersenyum selebar itu karena aku menyanggupi keinginannya. Kualihkan pandanganku ke arah lain sewaktu dia mencopot kaus, dan menggeser tubuh bongsornya mendekati kepala ranjang supaya aku bisa ada sesuatu untuk pegangan. Dia tengkurap, menanti.

"Kamu mulai dari pinggang, naik ke atas sampai punggung, bahu kanan, kiri, lalu tengkuk, ya? Jangan lupa pegangan."

"Kakak yakin ini nggak malah akan sakit?" tanyaku, ketakutan sendiri. Kubuang jauh-jauh niat awalku mau pakai tumit segala biar dia kesakitan.

"Enggak," katanya. "Buruan. Nanti kamu bolak-balik di pinggang agak lama, di bagian itu sakitnya. Mungkin masuk angin."

"Kalau masuk angin minum obat aja, Kak—"

Akhirnya, geraman mengerikan yang udah beberapa hari tak kudengar berhasil membuatku menutup mulut dan berdiri menjulang di atas kasur. Dengan hati-hati, aku menapakkan kaki pertamaku di pinggulnya, di pantatnya bagian atas. Dari tempatku berdiri, punggung Hiu terlihat lebar sekali. Ini, sih, aku nggak usah pegangan juga nggak akan jatuh.

Setiap aku melangkah pelan, dia melenguh keenakan.

"Nggak usah pelan-pelan," instruksinya, suaranya seperti ada yang menahan karena tertindih beban. "Antepin aja. Kalau enggak, nggak akan kerasa. Tadi aja kalau pantatku nggak geli kamu injak, aku nggak tahu kamu udah naik."

Hihhh ... nih, rasain. Kupakai tumitku untuk tumpuan berat badan dan kutekan sedemikian rupa sampai meninggalkan bekas merah saat tumitku berpindah. Tapi bukannya sakit, Hiu malah kesenengan, "Nah gitu, naaah ...! Aaah ... aaah ... enak banget ...."

"Eh," aku menyadari sesuatu saat sampai di tengkuknya. "Kok, anget, Kak ... jangan-jangan Kakak beneran sakit, nggak cuma kecapean."

"Enggaaak," jawabnya, suaranya makin berat karena lehernya kuinjak. Baru setelah aku berpindah dari lehernya, dia protes, "Kamu kalau nanya jangan pas nginjek leher, dong. Mau bikin aku mati?"

"Ya, maaf ... tapi serius Kakak demam kayaknya," aku turun dari punggungnya, memastikan sekali lagi yang kurasakan di kakiku dengan rabaan tanganku. Hangat. Bukan sekadar hangat, sih. Ini, sih, positif demam. Kupindah tanganku ke pipinya, sebab bagian itu yang enggak tertutup bantal. "Telentang, Kak."

"I am fine," dia bersikeras, tapi tetap menuruti perintahku.

"Kakak mukanya merah banget kayak udang rebus," kataku serius.

"Ya iyalah merah. Aku habis tengkurap, leherku habis kamu injek. Gimana nggak merah?"

Aku nggak menanggapi ocehannya. "Kakak ini persis banget sama Kak Donnie kalau sakit, nggak mau ngaku. Sok tegar. Emang kenapa, sih, kalau sakit? Ngaku sakit nggak akan bikin cowok kelihatan lemah, tau. Mana? Ada termometer nggak di sini?"

"Di kotak kesehatan di bawah."

Hiu menahan kakiku sebelum aku beranjak. "Udahlah, aku nggak apa-apa. Malam ini aku tidur, besok aku udah baikan."

"Kakak besok masih mau berangkat kerja?" pekikku, melengking. "Nggak segitunya juga kali kerja, Kak! Pokoknya hari ini kita ke dokter, ntar keburu parah sakinya."

"Shut up, aku nggak apa-apa. And no. Aku nggak mau dibawa ke mana-mana. Just stay with me. Aku paling nggak bisa sakit sendirian, nggak sembuh-sembuh. Take care of me."

Take care of me? Aku diem lama, menunggu dia ngetawain aku, atau semacamnya. Tapi nggak ada. Hiu menarik kedua kakiku secara bersamaan, aku nyaris terjengkang gara-gara dia nariknya nggak pake aba-aba. Baru mau protes, aku dibikin diam seribu bahasa. Dia meletakkan kepalanya di pangkuanku, terus tidur. Ngorok pula ... astaga ....

Untung, Nahokai masuk kamar beberapa saat setelah Hiu lelap. Aku meminta bantuannya mindahin kepala segede ini dari kakiku. "Kita harus bawa dia ke dokter, Kai. Badannya panas banget."

Nahokai sepakat denganku, "Nanti saya panggil dokter saja ke rumah. Tapi, tadi Bapak udah secara spesifik bilang nggak mau dibawa ke mana-mana, maunya Nyonya yang rawat di rumah aja."

Hah?

"Bapak udah beberapa hari ini nggak enak badan, tapi memaksakan diri karena urusan kantor tidak bisa ditinggal. Sepertinya hari ini kondisinya melemah, di mobil tadi setelah tahu Nyonya cuci kaki pakai home spa therapist, Bapak bilang maunya Nyonya yang jagain sampai sembuh. Kalau di rumah juga gitu sama Nyonya Besar. Bapak kurang suka dibawa ke dokter, kecuali terpaksa."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top