11. The One with Their Favorite Colors
Gawat, aku main-main sampe lupa waktu.
Bukan main-main, sih, sebenernya ... huhu ... aku nggak berani noleh ke belakang. Mana malu banget lagi sama Nahokai sampai-sampai aku terpaksa duduk di sampingnya karena nggak ada tempat lagi. Berkali-kali aku menyengir sambil mencoba menjelaskan, tapi orang kerpercayaan Hiu yang diimpor langsung dari Hawaii itu cuma tersenyum paham, dan bilang enggak apa-apa, itu wajar. Makin kerasa nggak wajar aja malahan. Jangan-jangan dia menganggapku sama aja kayak cewek-cewek Hiu yang lain?
Ya, tapi, kan, aku istrinya, ya .... Istri itu buat seumur hidup, lho, ya emang wajar kali kalau belanjanya habis banyak. Dia juga, sih. Tadi, kan, aku nanya lewat chat, kalau aku mau belanja boleh nggak? Dia bilang belanja aja, kartunya masih dipegang, kan? Kubilang masih. Terus aku nanya lagi, boleh belanjanya berapa banyak? Lima juta boleh? Ngetes aja. Itu udah lumayan banyak, sih, buatku sekali jalan, beli baju satu, parfum satu, lipstik, biasanya udah, sisanya mau makan, sama beli eskrim. Eh, masa dia bilang mau belanja apa kamu duit segitu? Dia bilang belanja sekalian aja, biar besok-besok nggak bolak-balik ngemal kayak nggak ada yang ngurus. Yaudah, kan, aku jadinya lupa diri. Nanti pasti aku dicuci di mesin cuci sama dia, nih. Udah tadi pagi aku kesiangan, dia bikin kopi sendiri. Sekarang sekali belanja habis hampir tujuh puluh lima juta. Aku juga nggak ngerti, kok, bisa banyak banget.
Tapi, aku butuh barang-barang itu ....
Warna seprai yang dibeli Hiu buat rumah baru semuanya monokrom: putih, krem, abu-abu, bahkan hitam. Aku butuh warna di dalam kamar yang superluas itu, jangan sampe aku kebawa suram mentang-mentang jadi istrinya. Terus tadi aku beli pajangan-pajangan yang bisa kutaruh di built-in-closet kamarku biar kesannya nggak sepi. Beli sepatu juga tiga pasang, hair-drying set, parfum (satu ... etalase), skincare, laptop buat ngedit foto-foto (habisan aku nggak dikasih pulang, laptop-ku, kan, di rumah) .... oh, ya banyak juga, ya .... Tadinya aku mau beli kamera juga, tapi, kok, kesannya kayak orang nggak pernah pegang kartu unlimited aja (padahal emang nggak pernah), kasihan papiku ntar dikira nggak pernah mendidik anaknya biar nggak jadi cewek aji mumpung.
Begitu pintu gerbang dibukain satpam dan mobil masuk halaman, pintu rumah terbuka, dan munculah Raja Laut Dalam itu dengan kedua tangan ditaruh di pinggang. Mana dia udah rapi banget pake celana jin, dan sweatshirt. Rambutnya setengah basah digerai, alisnya naik sebelah menungguku keluar dari mobil. Kayaknya kalau dia ada keturunan naga, ekspresinya itu menandakan bahwa dia udah siap menampung gas di kerongkongannya sebelum menyemburkan api. Tiga detik lagi aku bakal gosong.
"Mati aku," batinku yang ternyata kugumamkan.
Nahokai menahan senyumnya. "Nggak apa-apa, Nyonya. Bilang saja di jalan tadi macet."
"Thanks, Kai," ucapku lesu seraya turun dari mobil dan bersiap masuk ke mulut ikan paus.
"Do you know what time it is?" semprotnya dengan suara menggelegar bahkan sebelum kedua kakiku menapak di tanah. "Tadi aku bilang sampai rumah dan udah siap pukul berapa?"
"Empat," jawabku, menunduk. Belum juga dia nemuin belanjaanku yang semobil, bisa kering, nih, aku diomelin.
"Ini pukul berapa?"
"Empat."
"Terus ngerasa bener, gitu?"
"Tadi di jalan macet," aku mengamalkan saran Nahokai.
"Kalau kubilang pukul empat udah siap itu, ya, kamu perhitungkan sama perjalanannya, dong. Sejak kapan jalanan nggak macet? Bukan malah jam segini kamu masih harus mandi, ganti baju, apalagi kamu bedakannya lama banget seabad, kalau papaku nggak cancel flight, bisa-bisa kita sampai sana papaku udah cabut! Ayo cepet masuk, mandi, siap-siap, kutunggu lima belas menit."
Tadinya aku udah gemeteran dibentak-bentak gitu. Mana disuruh mandi kayak waktu kecil pulang main kesorean dimarahin mami, otomatis ngacir lah. Tapi, ya, kalau papanya nggak jadi ngejar pesawat ngapain, sih, dia masih marah aku telat dikit aja? Apa jangan-jangan dia udah ngecek penggunaan kartu kreditnya yang kubawa?
Daripada ribut-ribut nggak akan menang juga di kandang lawan, aku buru-buru naik ke lantai dua, copot-copot baju, langsung mandi air anget. Meski nggak tepat lima belas menit, tapi dia nggak memperpanjang masalah dan langsung duluan ke garasi. Aku ngikutin di belakangnya. Hari ini dia pake Tesla yang bisa nyetir sendiri kayak punya Jeffree Star, tapi warnanya item aja gitu standar. Kalau aku punya Tesla, aku pasti juga milih yang pink kayak JS.
"Belanja apa aja tadi di mal?" tanyanya, mobil meloloskan diri dengan mulus keluar dari parkiran. Hiu membunyikan klakson saat melewati pintu gerbang yang membuka dan menutup sendiri, di-remote dari ruang satpam.
"Sepatu," jawabku, kugigit bibir bawahku dengan takut-takut. "Seprai ...."
"Seprai?" ulangnya kaget. "Ngapain kamu beli seprai? Kemarin aku udah suruh Nahokai beli banyak seprai waktu kita masuk rumah."
"Warnanya aku nggak suka," kataku sambil mainin jari. "Tadi aku beli warna kuning kesukaanku—"
"Kesukaanmu warna kuning?" sambarnya.
Aku mengangguk, "Kuning pisang," imbuhku menjelaskan. Kuning, kan, macam-macam, kuning Minion itu aku suka sekali. "Pink juga suka. Ungu ...."
Hiu ikutan manggut-manggut. Ngapain dia nanya warna kesukaanku segala? Tapi mending gini, sih, dia mau nanya-nanya, daripada ngamuk-ngamuk terus kayak singa laut mau melahirkan. "Warna kesukaan Kakak apa?" tanyaku, biar dia nggak nanya-nanya aku beli apaan lagi.
"Nggak ada," jawabnya pendek.
"Masa nggak ada? Warna yang sering Kakak pilih kalau beli baju, atau barang-barang kesukaan apa?"
"Hitam."
Aku nggak bisa nahan diri untuk nggak mendengus. How boring. "Black is not a color," kataku berani. "Item tuh biasanya jawaban seseorang yang main aman, males ditanyain kenapa kok suka warna itu, apa alasannya."
"Nah itu tahu," katanya balik nyebelin lagi. Tadi nyenengin cuma sedetik doang. "And in fact, black IS color. Malah, warna hitam itu mungkin warna yang paling sering dipakai di dunia, selain putih."
"Yea, whatever," aku buang muka ke luar jendela.
"Biru navy," imbuhnya. "Aku juga suka biru laut, dan hijau toska. Aku suka pantai, juga suka gunung."
Habis itu suasana kembali hening, Hiu menyetir dengan tenang. Sesekali jari-jari tangannya mengetuk-ngetuk kemudi mengikuti irama musik blues yang mengalun. Aku, sih, pengin nyari-nyari topik pembicaraan, tapi kadang suka males sama tanggapannya. Jadinya aku diem aja, melamun, chatting-an sama mami ngomongin nanti malam kami mau ke sana. Mami udah masak, jadi kami nggak boleh makan malam di rumah Mama.
"Aku bingung ngomongnya sama kamu," kata Hiu tiba-tiba banget. Nggak kenceng, sih, tapi tau-tau ngomong, nggak pake aba-aba. Nggak manggil, apa gimana. Mukanya juga tetep lempeng aja ngeliat ke depan, nggak kayak sewajarnya orang lain kalau lagi ngajak ngomong, padahal di sebelahnya aku ampe jatuhin telepon genggamku nyaris jantungan.
"Ngomong aja," kataku, memungut. Untung mobilnya bersih. Case iPhone-ku pas Rabbit White hari ini, kalau kotor aku nangis soalnya ini custom. Nggak ada lagi.
"Aku udah ngomong sama mamaku kita udah berhubungan seksual selama di Hawaii."
Ponselku jatuh lagi.
Hiu meringis. "Sorry, habis aku bingung, kayaknya itu solusi terbaik buat kita saat ini. Paling enggak sampe beberapa waktu lagi ... mereka nggak akan ganggu-ganggu kita."
Aku masih terdiam sampai beberapa detik kemudian. Satu pertanyaan terlintas di benakku, "Dan mereka percaya?"
"Jelas mereka percaya, kita, kan, habis bulan madu. Mereka percaya bulan madu masih merupakan cara yang paling jitu dalam menyatukan pasangan hasil perjodohan, tak terkecuali pasangan yang mempelai perempuannya masih berpikir dia nggak perlu ngelakuin apa-apa setelah menikah," terangnya, dengan lihai membalik posisi awal di mana ia tersinggung karena aku mempertanyakannya, menjadi sindiran yang ditujukan untuk gantian menyinggungku.
"Kupikir Kakak juga nggak mau!" aku membela diri. "Makanya aku kaget, kirain kita sama-sama nggak mau tidur bersama."
"Cep. Kita hampir sampai," kata Hiu, maksudnya dia ingin menunda perdebatan, apa pun topik perbedaannya. "Kamu tahu tujuanku ngomong ini sama kamu?"
"Supaya aku juga menjawab hal yang sama kalau mamanya Kakak, dan mamiku nanya?"
"Wow, pinter banget," seru Hiu takjub. Aku tahu itu sarkasme. "I don't need to explain twice. Betul. Tapi, jelas, mamaku nggak akan nanya secara gamblang, kecuali ternyata aku salah sangka. Kamu juga nggak perlu bilang apa-apa kalau mereka nggak nanya. Mengerti?"
"Tentu saja." Masa iya aku tau-tau mau ngomong-ngomong sama mamanya bahwa aku udah berhubungan seksual dengan putranya? "Terus? Gimana caranya mamanya Kakak bisa yakin apa yang Kakak bilang benar tanpa memastikannya padaku?"
Hiu tersenyum puas mendengar pertanyaanku. "Nice question," gumamnya. "Aku punya ide, tapi percayalah, ini bukan keinginanku, jangan berpikir aku mengambil kesempatan dalam kesempitan."
"Apaan?" tanyaku nggak sabar.
"We' re gonna kiss in front of them," kata Hiu, tepat saat moncong Teslanya berhenti di sebuah gerbang rumah yang sangat tinggi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top