Chapter 1

Sakura merasa hampir menangis tepat ketika ia melangkah memasuki sebuah kamar yang akan ia tempati bersama suami barunya tepat setelah resepsi pernikahan berakhir. Dada Sakura terasa seolah akan meledak karena merasa marah, kesal, sedih, kecewa, sekaligus malu yang bercampur aduk.

Iris emerald Sakura mendapati sosok sang suami yang ikut berjalan menuju kamar bersamanya dan perasaannya semakin dongkol ketika ia melihat lelaki itu.

Hari ini Sakura merasa benar-benar lelah jiwa dan raga. Ia benar-benar dipermalukan habis-habisan hari ini, entah apa dosanya hingga mengalami kesialan semacam ini.

Sakura tak pernah bertemu dengan sang calon suami sebelumnya. Ia bahkan hanya tahu nama lelaki itu dari kartu undangan yang diberikan padanya untuk disebarkan pada orang-orang yang akan ia undang.

Ia bahkan masih tak melupakan ekspresi ketekejutan teman-temannya ketika menerima undangan yang ia berikan. Sakura yang baru saja putus tiga bulan yang lalu dari lelaki yang dipacarinya selama dua setengah tahun kini telah menikahi lelaki lain dan membuat dirinya menjadi bahan gosip orang-orang disekitarnya ketika mengetahui bahwa mempelai lelaki yang mempersuntingnya adalah putra dari keluarga konglomerat.

Dan kini Sakura kembali menjadi bahan gosip karena menikahi lelaki yang tuli, sebuah fakta yang baru ia ketahui beberapa jam sebelum pemberkatan pernikahannya. Ia masih ingat ketika mertua dan kakak iparnya memintanya untuk bersabar menghadapi sang calon suami yang agak pendiam dan menyuruhnya untuk berbicara dengan suara keras pada lelaki yang akan menjadi suaminya karena lelaki itu memiliki sedikit masalah pendengaran.

Sakura tak bisa melupakan betapa terkejutnya ia ketika ia melihat sosok lelaki yang menjadi suaminya. Sesuai deskripsi sang ibu, wajah lelaki itu memang sangat tampan. Lelaki itu memiliki mata hitam yang tajam dengan hidung mancung dan bibir merah serta tipis yang begitu seksi. Lelaki itu juga memiliki tubuh yang cukup atletis dan tubuh tinggi serta kaki jenjang bak model, seolah Tuhan menciptakan lelaki itu ketika suasana hatinya sedang baik.

Namun Sakura tak bisa melepaskan pandangannya dari sebuah benda yang terpasang di telinga lelaki itu. Dan bagai petir di siang bolong, ia tersadar akan sebuah realita yang kini harus dihadapinya. Ia baru saja dinikahi oleh seorang lelaki cacat yang tak mampu mendengar tanpa alat bantu.

Sakura segera berjalan dengan cepat memasuki kamar yang dirias dengan sangat cantik setelah melepaskan heels setinggi tujuh sentimeter yang telah ia pakai selama berjam-jam dan membuatnya pegal. Ia segera melepaskan sanggul rambutnya dan mengambil sebotol makeup remover serta mulai membersihkan riasan wajahnya tanpa peduli dengan sang suami yang mungkin terkejut karena istrinya alih-alih berusaha terlihat cantik untuk menggoda suaminya di malam pertama, melainkan malah memperlihatkan wajah aslinya tanpa riasan.

"Jangan lakukan apapun padaku malam ini. Aku sangat lelah dan ingin langsung tidur setelah mandi," ucap Sakura tanpa menatap lelaki yang kini sudah resmi menjadi suaminya.

Sakura tak peduli jika lelaki itu benar-benar mendengarkan ucapannya atau tidak. Yang jelas ia melihat lelaki itu mengangguk dan ia berharap lelaki itu setidaknya mengerti secara garis besar mengenai makna dari ucapannya.

"Aku akan mandi setelah menghapus riasan wajahku. Jadi kau pakai saja kamar mandinya dulu, Sasuke," ujar Sakura tanpa menggunakan sufiks apapun yang menunjukkan kecintaannya pada sang suami. Sebetulnya ia bahkan tak berniat menyebutkan nama lelaki itu dan lebih memilih memanggilnya 'Uchiha-san' saja kalau bisa. Hanya saja ia tak mungkin memanggil seperti itu karena sang kakak ipar juga pasti akan menyahut seandainya ia memanggil 'Uchiha-san' dihadapan mereka.

Tak ada yang ingin dikatakan Sasuke kepada wanita yang baru saja ia nikahi. Ia hanya menganggukan kepala dan berjalan menuju kamar mandi. Lelaki itu juga merasa sangat lelah setelah seharian melakukan upacara pernikahan dan resepsi.

Sakura menghembuskan nafas lega secara refleks tepat setelah Sasuke masuk ke kamar mandi. Ia merasa lega karena setidaknya ia tidak perlu melihat lelaki itu.

"SIIIAAAAAAAALLLLL!" Sakura berteriak keras untuk melampiaskan emosi yang sejak tadi mati-matian ditahannya. Ia merasa benar-benar frustasi dan merutuki kesialan dalam hidupnya ini.

Detik berikutnya air mata mengalir dari pelupuk mata Sakura dan ia mulai menangis sambil membersihkan riasan wajahnya. Ia benar-benar tak bisa membayangkan jika ia harus menghabiskan sisa hidupnya bersama orang yang tidak ia sukai. Rasanya ia seolah ingin mati karena malu membayangkan dirinya menjadi bahan gosip setelah menikahi lelaki cacat.

Sakura memutuskan untuk duduk di sisi kasur yang dihias dengan dua lembar kain yang dilipat berbentuk angsa yang saling menghadap satu sama lain. Kasur itu berukuran king size dan cukup luas untuk dipakai dua orang tanpa harus bersentuhan satu sama lain, dan Sakura memastikan agar ia berbaring di sisi kasur sehingga tidak perlu bersentuhan dengan suaminya.

Sakura segera mengambil bantal dan menutup wajahnya dengan bantal itu. Air mata masih tak berhenti mengalir dari pelupuk matanya. Ia masih tak bisa menerima takdirnya sebagai wanita yang bersuamikan lelaki cacat dan merasa sangat tertipu.

Sakura masih tak mengubah posisi duduknya yang duduk diatas kasur sambil menutupi wajahnya dengan bantal. Ia bahkan tak peduli meski mendengar suara pintu yang dibuka, dan ia tak menoleh meski tahu sang suami kini berjalan kearahnya.

Sasuke berdiri diam dan hanya menatap Sakura lumayan lama, merasa bingung dengan apa yang harus ia katakan pada wanita itu. Ia menyadari jika wanita itu tampak terkejut saat melihatnya pertama kali dan berpura-oura tersenyum manis terus menerus pada seluruh tamu undangan. Ia bahkan bisa merasakan tatapan marah dan kecewa yang ditujukan wanita ketika tanpa sengaja mereka saling bertemu pandang sebelum wanita itu mengalihkan pandangan.

Dan ia tahu jika wanita itu sangat kecewa dan tak menginginkan pernikahan ini. Ia bahkan mendengar teriakan wanita itu tepat sebelum ia menutup pintu kamar mandi dan rasa penasaran membuatnya memutuskan untuk berdiri diam sejenak dan mendengarkan isakan tangis wanita itu. Meski sebetulnya ia bukanlah tipe orang yang memperlihatkan perasaan atau kekhawatirannya, ia merasa jika ia seharusnya mengatakan sesuatu pada wanita itu. Di saat seperti ini Ia harus mempraktikan salah satu dari nasihat panjang lebar dari ibunya serta panduan menjadi suami yang baik dari sang kakak.

"Kau baik-baik saja?"

Sakura mengusap wajahnya dengan bantal dan segera menoleh. Ini adalah kali pertama lelaki itu benar-benar berbicara padanya.

"Oh, ya."

Sudah jelas Sakura sedang berbohong. Wajah Sakura bahkan masih terlihat lengket karena air mata, dan mata wanita itu juga terlihat merah karena menangis.

Sasuke memutuskan untuk mendekati Sakura. Sebetulnya ia tak tahu apa yang harus ia lakukan di situasi seperti ini. Ia hanya mengingat panduan yang diberikan Itachi mengenai cara memperlakukan istri dan kini ia menerapkan salah satunya.

Dengan agak ragu Sasuke mengulurkan tangannya dan mengusap air mata Sakura yang masih tersisa, membuat Sakura merasa kaget dan risih.

"Kau tidak terlihat baik-baik saja."

Sakura agak terkejut dengan kemampuan pengamatan Sasuke, namun juga merasa aneh dengan lelaki itu. Untuk apa menanyakan dirinya kalau sudah tahu jika ia tidak baik-baik saja?

"Tentu saja," sahut Sakura dengan emosi yang membuncah sehingga ia hampir berteriak. "Bagaimana mungkin aku baik-baik saja setelah tertipu dan menikah dengan orang sepertimu?! Mau ditaruh dimana harga diriku dengan menikahi orang yang-"

Sakura memutuskan ucapannya sendiri, merasa tak tega melanjutkn ucapannya meski ia benar-benar marah. Namun ia yakin Sasuke pasti mengerti kemana arah pembicaraannya.

Sasuke terdiam, otaknya seolah berhenti bekerja secara mendadak. Ia benar-benar tak tahu apa yang harus ia katakan atau lakukan. Ia sendiri adalah tipe orang yang tidak terlalu suka basa-basi, namun entah kenapa ucapan wanita itu membuat perasaannya agak tidak nyaman. Ia merasa agak terhina, namun ia tak memiliki alasan untuk marah pada wanita itu.

Sebetulnya Sasuke sendiri tak menginginkan pernikahan atau hubungan romansa dengan siapapun meski usianya sudah menginjak tiga puluh tahun ini. Ia merasa jika relasi semacam itu bukanlah hal yang tepat untuk orang sepertinya. Namun ketika ibunya mengatakan akan menjodohkannya dengan putri sahabat ibunya semasa sekolah, ia pikir tak ada salahnya mencoba membuka diri terhadap pernikahan. Meski terdengar hampir mustahil, mungkin saja ada wanita yang mau menerimanya apa adanya, dan ia juga akan menerima wanita itu seperti apapun kondisi fisik dan latar belakangnya serta berusaha mencintainya sepenuh hati. Dan kini ia merasa menyesal telah mengiyakan begitu saja tawaran ibunya, dan semakin menyesal karena berharap terlalu banyak.

"Kupikir kau sudah tahu mengenai kondisiku ketika menerima perjodohan itu. Apakah keluargaku tidak memberitahu sebelumnya?" sahut Sasuke dengan tenang dan raut wajah yang masih tak berubah meski emosinya juga mulai membuncah.

Sakura menggelengkan kepala, "Menurutmu apa jawaban wanita pada umumnya kalau sudah mengetahui kondisimu? Keluargamu bahkan baru memberitahuku beberapa jam sebelum menikah."

Ssuke merasa agak bersalah pada wanita berambut merah muda dihadapannya itu meski ia sebetulnya tak bersalah. Ia berpikir jika keluarganya sudah memberitahukan kondisinya pada mempelai perempuan, karena itulah ia menerima perjodohan dan lumayan antusias menunggu datangnya hari pernikahan.

Norma sopan santun yang diajarkan ibunya sejak kecil membuat Sasuke tanpa sungkan meminta maaf pada wanita itu dengan tulus sambil menundukkan kepala. Bagaimanapun Sakura baru saja menjadi korban atas penipuan yang dilakukan oleh keluarganya sehingga ia merasa turut bertanggung jawab.

Sakura merasa agak kaget dengan kesopanan lelaki itu. Namun ia segera berkata, "Ayo bercerai secepatnya. Dan jangan lakukan apapun padaku. Aku ingin menjaga tubuhku untuk suamiku yang sebenarnya."

Wanita seperti Sakura adalah orang yang langka di jaman modern seperti ini, dan Sasuke merasa kagum dengan wanita itu. Meski ia tak pernah membiarkan dirinya memiliki keinginan yang kurang realistis seperti ini, sebetulnya ia pernah berharap menikah dengan wanita baik-baik dan memiliki keluarga yang bahagia.

Sasuke merasa bersyukur tak pernah membiarkan dirinya memiliki keinginan yang kurang realistis. Jika saja ia membiarkan dirinya memiliki impian untuk menikah dan membangun keluarga, mungkin saja hatinya akan hancur berkeping-keping mendengar pernyataan istrinya di malam pertama mereka.

"Dua bulan," ujar Sasuke seraya memperlihatkan jari telunjuk dan tengahnya. "Setelah itu kita akan bercerai."

Alis Sakura mengernyit, "Mengapa tidak secepatnya? Kau berusaha menahanku dan berharap aku berubah pikiran?"

Sasuke menggelengkan kepala. Sebetulnya ia tak peduli jika ia akan bercerai sekarang juga atau dua puluh tahun lagi. Ia juga tidak peduli dengan pendapat orang lain mengenai dirinya yang langsung bercerai sesudah menikah. Namun ia masih memikirkan imej Sakura di depan ibu dan kakak laki-lakinya. Ia tak ingin wanita itu menjadi sasaran amarah mereka karena langsung bercerai satu hari sesudah menikah.

"Bukankah kau mengkhawatirkan imejmu? Bagaimana pendapat orang lain kalau kau langsung bercerai sesudah menikah?"

Kata-kata Sasuke terkesan seperti sindiran, namun sebetulnya ia sendiri tidak bermaksud begitu.

Ucapan Sasuke ada benarnya juga. Sakura akan merasa malu jika bercerai sehari sesudah menikah. Dan dua bulan bukanlah waktu yang sangat lama. Meski bagaikan neraka, ia yakin ia akan sanggup bertahan.

"Baiklah. Kita akan bercerai dua bulan lagi, dan setelahnya kuharap kita tak akan pernah bertemu lagi."

-TBC-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top