Bab 1. Aaarrgh ...!
Halo, selamat pagi buat yang baca cerita ini waktu pagi hari. 🥰
Apa kabar Bara alias Tuan Kentang hari ini? Yuk, lanjut! 😂
Happy reading. Jangan lupa vote sama ramaikan komentar, dong, biar ramai ceritanya. Kalau aku sempat insyaallah dibalas. 🥰
Terima kasih. 🥰
====🌻🌻🌻====
Talitha demam. Sumpah, Bara sendiri terheran-heran. Hanya karena nggak sengaja mergokin rekan kantor begituan masa bisa demam.
Laki-laki yang baru pulang bekerja satu jam lalu jadi repot. Repot, sebab sahabatnya–eh, ralat–istrinya itu sejak kecil kalau meriang pasti ribet. Pagi tadi sebelum berangkat bekerja, ia merengek sambil bilang, “Bar, harus, ya, lo pergi kerja pas gue sakit. Nggak ada Mama di rumah nih. Entar kalau gue kenapa-napa terus pingsan du kamar mandi gimana?”
Padahal demam sudah turun sejak dini hari tadi. Serius, Bara nggak bohong! Laki-laki itu sendiri yang tengah malam sampai dini hari menjaganya sampai kurang tidur. Namun, hari ini Bara harus pergi ke toko buku, mendampingi penulis bedah buku.
“Gue telponin Mama buat jagain lo di sini gimana?”
Bukannya reda rengekan, malah tambah ngambek. “Ya udah, sana berangkat! Gue bisa sendiri! Sana buru, terlambat entar!” Lalu ia memunggungi suaminya dan merangsek ke dalam selimut.
Dan yang membuat Bara jadi tak konsentrasi bekerja, Talitha mengabaikan semua pesan WhatsApp-nya. Biyuh, kan, jadi gemes!
Laki-laki itu baru bisa bernapas lega waktu pukul empat sore tadi, Talitha membalas pesannya dan meminta Bara lekas pulang.
“Terus, mau makan malam apa nih? Gue bikinin mi instan pake telor mau?” Ia masih bersabar menunggui perempuan yang masih bergelung di balik kain tebal berwarna abu tua.
Kepala yang semula tertutup sebagian oleh selimut itu menggeleng. Talitha membenarkan posisi tidur menjadi telentang. “Di kantor gimana tadi, Bar? Nasibnya Bang Juned sama Rita gimana?”
Bara yang duduk di tepi ranjang sembari menumpukan kedua siku di atas lutut itu menoleh, memperhatikan wajah muram istrinya. “Salah satu dari mereka harus mengundurkan diri dari kantor.”
Sontak tubuh yang semula merebah itu duduk tegak, kemudian bersila. “Terus, yang resign siapa?”
“Bu Marinka bilang si Rita yang disuruh resign.” Bara menjawab santai tanpa beban. Ia pikir, itu bukan urusannya.
“Lah, kok?” Dua alis Talitha berkerut. “Kasihan Rita, dong. Dia tulang punggung keluarga.”
“Bang Juned juga sama. Malah istrinya mau lahiran bulan depan.”
Perempuan itu menyandarkan punggung ke sisi kepala ranjang. Lesu. “Salah gue, sih, Bar. Harusnya kemarin nggak usah teriak. Gara-gara teriakan gue yang super kenceng itu, orang sekantor tahu semua.”
“Lah, kok, malah nyalahin diri lo sendiri. Perbuatan mereka, kan, emang nggak bener, Ta. Coba kalau selamanya kayak gitu? Iya, kalau aman, kalau tiba-tiba si Rita hamil gimana? Seyakin apa, sih, mereka yang begitu itu nggak bakal kejadian?”
Hening. Sepertinya Talitha tengah berpikir.
“Lagian, udah bener Rita aja yang resign. Jauh lebih berat buat cewek kalau bertahan dalam kondisi begitu di kantor. Lo bayangin, deh, semalu apa dia kepergok punya hubungan gelap sama laki orang. Udah mending dia resign, cari tempat baru buat dia kerja.”
Talitha menunduk. Perempuan berkaus kedodoran itu memainkan jemari di atas pangkuan. “Iya, juga, ya? Terus gue gimana, ya, Bar?” Ia menunjuk diri dengan telapak tangan tertempel di dada secara dramatis.
Kening Bara berkerut, bingung. “Gimana apanya? Kan, itu bukan urusan lo juga. Salah satu dari mereka keluar, kan, nggak ada urusannya sama lo juga kali. Kecuali kalau gue yang selingkuh sama Rita baru lo cemas nggak jelas sampe demam gitu. Aw!” Bara spontan mengaduh seraya mengusap-usap lengan yang terkena pukul kepalan tangan Talitha.
“Amit-amit! Jangan, dong! Berani lo selingkuh, gue pergi jauh nih!” Ia mengancam.
“Ck, cuma perumpamaan, Sayang!” Bara gemas.
“Nggak usah gitu juga!” Talitha mengerling jengkel. Dua tangannya sudah bersedekap di dada. “Maksudnya tuh gimana kalau gue berangkat kerja nanti? Bakalan canggung banget kalau berurusan sama Bang Juned. Mana minggu depan gue kudu bahas strategi marketing dua buku yang kelar gue edit lagi.”
“Ya udah, sih, anggap aja nggak pernah liat! Anggap nggak pernah kejadian. Lagian harusnya dia yang malu, bukannya lo yang malah jadi serba salah di tempat kerja.”
Dua tangan yang semula bersedekap di dada itu luruh. Tubuh Talitha terlihat lemas tak bersemangat. “Tetep aja canggung! Nyesel gue, Bar. Tahu gitu gue nurut apa kata lo malam itu. Jadi nggak bakal kejadian sampai kayak gini.”
Bara menghela napas panjang seraya memejam. “Ya, lagian lo kayak nggak pernah nonton film biru aja. Suara begituan pake disamperin.” Kesal dengan segala ke-absurd-an istrinya, ia kembali mengungkit yang telah lewat.
“Mana gue tahu, Bara! Gue pikir yang di film-film sama novel itu, kan, trik aja! Mendramatisir! Biar kesannya lebih menggelora! Mana gue ngerti kalau di dunia nyata bisa seliar itu. Belum pernah gue!”
Kelopak mata Bara mengerjap dua kali. Ia yang semula santai malah jadi canggung sendiri. Sudut matanya melirik ke arah Talitha yang memalingkan wajah. Ada semu merah yang semakin kentara di kedua pipi perempuan itu. Sama-sama canggung.
“Lo … lo udah selesai belum, sih, tamu bulanannya?”
Menoleh sekilas, lalu berpaling lagi. “Udah. Dari kemarin.”
“Kenapa baru bilang sekarang?” Bara menuntut. Apa mungkin Talitha sengaja? Seminggu menikah dengannya, perempuan ini masih meragukannya-kah?
“Tadi pagi mau bilang. Lo malah nekat berangkat kerja.” Talitha bergumam dengan wajah cemberut. Lagaknya ia sedang tak terima disalahkan.
Hening. Keduanya tak ada yang mau bersuara terlebih dahulu. Bara bingung. Takut disangka memaksa dan membuat Talitha tak nyaman. Jadi, pelan-pelan aja kayaknya nggak papa. Bara mau menunggu.
“Ya udah, sih, jadi makan nggak ini? Beli makan di luar aja ayok, kalau kamu nggak selera makan di rumah. Beli sate depan kompleks.” Laki-laki itu mengalihkan topik ke tujuan awal.
Talitha mengangguk setuju. Ia menurunkan dua kaki dari tempat tidur, lalu mengekor Bara ke arah gantungan jaket.
Laki-laki itu mengambil dua jaket dan kunci motor. Hanya ke depan kompleks, tapi ia sedang malas jalan kaki. Keduanya sudah turun ke lantai bawah rumah minimalis yang sudah seminggu ini mereka tinggali. Bara belum mau berubah pikiran meski sisi hati lainnya sungguh berisik tak mau menunggu.
Pelan-pelan yang bagaimana? Seminggu ini mereka tinggal satu rumah, tidur satu kamar, dan satu ranjang. Apa pun pernah mereka lakukan. Entah sudah berapa kali bibir keduanya beradu dan saling berbagi kehangatan di atas ranjang. Bara tak munafik, laki-laki itu jelas berharap lebih. Ia yang mulai dan selama tujuh malam itu, tak ada gelagat Talitha menolaknya. Mereka sama-sama mau, kan? Hanya si tamu bulanan Talitha, yang kemarin mendadak datang di malam pertama pernikahan mereka, menghalangi segalanya.
Tepat di dekat rak sepatu yang menempel pada dinding dekat pintu keluar ruang tamu, Bara berbalik. Memperhatikan Talitha yang hendak mengganti sandal busa bertelinga kelinci di kakinya.
“Lo laper banget emang?” tanya Bara tiba-tiba.
Talitha yang hendak membungkuk meraih sandal luar rumah menegakkan tubuh kembali. Samar-samar, Bara masih bisa melihat rona merah di kedua pipi meski lampu utama malam itu mati. Hanya ada sinar dari strip light di akuarium pojok ruang tamu dan lampu pantry.
Kepala perempuan itu menggeleng cepat. “Nggak, sih. Udah makan apel sama pir jam enam sore.”
Bara cepat-cepat berubah haluan. Ia raih lengan kiri Talitha, menggesernya untuk menjauh dari rak sepatu. Bara letakkan kunci motor begitu saja di atas rak.
“Boleh entar aja cari makannya? Habis ini aku janji temenin kamu makan ke mana pun kamu mau,” katanya dengan suara parau sambil membawa Talitha berjalan mundur dalam rengkuhan. Kalau sudah begini, sapaan serampangan seperti gue-elo mendadak berganti jadi aku-kamu. Debat kusir dalam segal hal yang kerap terjadi di antara keduanya pun terlupakan.
Entah karena perempuan itu gugup dan salah tingkah, atau justru Bara yang tergesa, sandal busa di kaki Talitha sampai terlepas satu, tertinggal di undakan lantai ruang tamu. Langkah mereka terhenti ketika tubuh Talitha menubruk pelan sandaran sofa.
Bara yakin sekali malam ini perempuan dalam pelukan akan menjadi miliknya. Tak ada lagi batas di antara mereka. Esok pagi, Bara tak perlu lagi menahan diri di kantor untuk berpura-pura menjadi sahabat baik Talitha. Ia suaminya.
Ada senyum usil di sudut bibir Bara ketika dua telapak tangan Talitha bergerak menelusur ke dadanya. Merenggut kelepak jaket yang dikenakan, sebelum akhirnya perempuan itu sama-sama tersenyum tipis seraya mendongak.
Dua kaki yang hanya terbalut sandal sebelah saja itu berjinjit. Kemudian dua tangan yang semula meremas jaket, berlanjut menelusur hingga ke balik leher kokoh Bara–bergelayut manja. Seketika itu, Bara paham kalau tubuh ramping di hadapannya minta dipeluk.
Laki-laki itu pun sigap merengkuh semakin erat. Membawa tubuh yang lebih pendek darinya semakin melekat, menawarkan hangat yang pekat.
Satu kecupan ringan. Dua kecupan. Sampai entah sentuhan di bibir yang keberapa, gerakan ringan itu berubah menggebu, menuntut, seperti tak ingin ada jeda.
Bara bisa merasakan degup jantung yang semakin kencang. Deru napas keduanya memburu ketika apa-apa yang Bara sentuh berhenti pada satu titik, pada puncak yang mengeras di sebalik kain berenda. Lalu ….
“Ah, ya, Tuhan, Bara …!”
Laki-laki yang wajahnya mulai turun ke ceruk leher itu mendadak berhenti. Bibirnya yang melekat panas di pundak Talitha sontak mengeluarkan kekehan pelan. Satu tangannya yang semula sibuk menelusup di sebalik kaus kebesaran Talitha cepat-cepat bergerak naik. Ia bungkam mulut yang meracau tak keruan itu.
“Belum apa-apa aja udah berisik,” sindirnya di sela kekehan tawa lirih.
Bola mata perempuan itu memelotot marah. Ia kepalkan satu tinju tangan kanan dan bersiap melayangkan pukulan keras ke dada Bara. Namun, pergerakan cepatnya itu masih kalah cepat dengan refleks Bara menangkap kepalan tangan kecil Talitha.
Laki-laki itu masih terkikik geli seraya menangkup dua pipi memerah istrinya yang menggembung karena cemberut. “Sorry, kamu lucu,” katanya sembari melekatkan kening dan ujung hidung bangir ke hidung Talitha.
“Nggak lucu, Barraaa! Emangnya aku badut!” geramnya sebal.
“Iya, maaf. Sampai mana tadi?” Bara masih menahan tawa.
Talitha baru menghela satu tarikan napas, hendak bersuara lagi sambil melonggarkan peluk. Namun, satu helaan napasnya itu terjeda dengan suara ketukan pintu dan suara seseorang.
“Tata! Bara! Mama sama Papa datang nih!”
Bara mengerjap-ngerjap. Ini kenapa setiap kali mau naik tingkat ke jenjang kehidupan rumah tangga yang lebih mesra selalu ada gangguan, ya? Udah sah, lho, ini!
Telapak tangan Talitha yang semula menapak di dada segera mendorong pelan Bara untuk menjauh. Ia meringis sejenak. “Sorry. Aku … lupa kalau tadi sore Mama Diana ngabarin mau jengukin aku malam ini.”
Perempuan itu mengusap rambutnya sendiri dengan pergerakan canggung. Beranjak mendekat ke pintu dan sempat bercermin sebentar pada kaca berbingkai kerang di dinding dekat pintu masuk. Ia berdeham sekali, menengok ke arah Bara lagi dengan wajah seolah sedang berkata, “Bentar, ya. Sabar.”
Aaaarrrgh! Bara menggeram gusar dalam hati. Dengan pergerakan malas ia lempar tubuhnya sendiri ke sofa, melompati sandaran sofa sekenanya. Sabar, Bara. Sabar. Paling Mama cuma bentar, masa, sih, nggak bisa ngertiin gimana rasanya jadi pengantin baru!
***
(13-08-2024)
====🌻🌻🌻====
Di KaryaKarsa aku kesepian, Gais. Ada yang baca, tapi komentar sepi. 😂
Kalau posting full di sini aja dulu gimana?
Sebab aku nulis tuh juga ada tujuan membuang kesepian. Ngobrol sama pembaca di komentar seru aja rasanya gitu, lho. 🤭
Gimana? Up sini aja dulu kali, ya?
Jangan lupa vote yang belum, ya. Komentar yang banyak meski cuma bilang "lanjut" atau malah nagih cerita lain kayak, "Akbar sama Raya kapan update?"
Biar aku kesentil semangat nulis banyak cerita. 🤣
Sehat selalu untuk kalian, ya. Lancar rezeki. Aamiin. 🥰
Terima kasih. 🤗
====🌻🌻🌻====
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top