Bab 8

"Nda, saya boleh minta pendapat kamu nggak?" tanya Bayu saat mau tutup Cafe.

Nanda mengernyit sebelum menoleh, menatap Bayu. Lelaki itu terlihat sedikit ragu untuk bicara pada Nanda. Tidak biasanya dia bersikap seperti itu.

"Kenapa, Pak?" tanya Nanda sambil mengambil alih kunci dari tangan Bossnya.

"Kalau teman kamu suka sama seseorang, kamu mau bantu dia nggak?" tanya Bayu pelan.

"Tergantung. Oya, ini di luar jam kerja kan?"

Bayu mengangguk, menerima kunci Cafe dari tangan Nanda yang tersenyum tipis padanya. Ah, senyumnya, padahal begitu tipis tapi meninggalkan bekas bagi yang melihatnya. Pantas saja Ken bersikeras dekatin Nanda.

"Aku tahu ini ada hubungannya sama Ken. Tapi Mas Bayu kan tahu gimana Nanda. Nanda belum mau nikah, Mas," jawab Nanda menyekak mati pertanyaan yang bahkan belum Bayu ucapkan.

"Kalau kamu kenalan dulu sama Ken, mau nggak?" tanya Bayu kali ini dengan nada sangat hati-hati.

Nanda menarik napas. Ada yang ingin Nanda tanyakan tapi kelu untuk diucap. Sejauh apa tingkat persahabatan dua lelaki itu?

"Emh, enggak. Tapi nggak tahu kalau nanti," jawab Nanda mengedikkan bahunya.

"Tapi, Nda,"

Kalimat Bayu tertahan ketika Nanda meninggalkannya begitu saja. Menulikan dari hal yang berbau pernikahan dan Ken. Bayu hanya bisa menatap punggung Nanda dengan luruh, mengembuskan napasnya pelan.

Di dalam langkahnya, Nanda sesekali mengangkat wajahnya menatap langit malam seiring dengan helaan napas berat juga mata mengerjab. Nanda berusaha menghalau rasa sesak yang kembali menggelitik kenyamanannya. Mengapa harus Bayu yang membangunkannya dari zona nyamannya? Itu yang Nanda pikirkan sejak tadi.

Tidak banyak yang tahu apa yang Nanda sembunyikan. Sikap keras dan terlihat tidak peduli dengan kematangan usianya adalah kamuflase dari ketakutan Nanda. Selektif adalah satu-satunya cara bagi Nanda menyelamatkan diri dari kepahitan.

Nanda tidak ingin mencecap kembali pahit itu. Cukup sekali seumur hidup dan cukup melihat orang-orang di sekitarnya saja. Biar Nanda membentengi diri lewat kariernya. Menghabiskan waktu untuk berkarier setidaknya efektif bagi Nanda. Dia tidak akan terkurung kesepian dan merana karena status single-nya.

"Nanda."

Panggilan itu menghentikan langkah Nanda yang sudah mencapai depan pintu rumahnya. Nanda tinggal sendiri di rumah yang dia sewa sejak dia kecil bersama orangtuanya dulu. Sebelum ayahnya meninggal saat Nanda lulus SMA. Sedang ibunya memilih melanjutkan hidupnya tanpa Nanda. Meninggalkannya jauh tanpa pernah ada kabar lagi. Memang sepertinya wanita itu memutus hubungan dengan Nanda. Beruntung dia memiliki tetangga yang sudah menganggapnya seperti anak sendiri.

"Ibu? Kenapa, Bu?" tanya Nanda membalikkan tubuhnya mendapati tetangga yang dia panggil ibu, menatapnya berkaca-kaca.

"Bapak selingkuh, Nda," lirih wanita itu membuat Nanda terdiam kaku.

Bukan hal aneh lagi ketika Ibu berkeluh kesah pada Nanda. Tapi tidak pernah dengan selarut ini, menunggu Nanda pulang hanya untuk bercerita kali ini tentang suaminya.

"Bapak?" tanya Nanda mengulang dengan terbata.

"Ibu lihat di facebook. Sakit, Nda. Di sini," kata Ibu dengan tersengal-sengal menahan tangisnya.

Nanda menelan ludahnya susah payah. Tidak tahu harus menjawab apa. Yang ada di benaknya adalah kemelut yang tidak seorangpun tahu. Tubuhnya menggigil dalam diam. Permintaan Ken, penawaran Bayu dan fakta-fakta buruk mengenai kisruh rumah tangga membuat Nanda ingin berlari jauh. Untuk apa? Untuk apa memaksa menikah kalau hanya untuk menjemput sakit? Sedang sendiri selama ini Nanda terbilang cukup bahagia dan merdeka.

"Kita bicara besok ya, Bu. Ibu istirahat, jangan terlalu dipikirkan biar bisa tidur nyenyak. Masih ada Nanda buat Ibu," ucap Nanda akhirnya setelah menghela napas panjang. Tangannya menyentuh bahu Ibu, memberikan usapan lembut di sana.

"Oya, Ibu lupa kasih tahu. Temanmu ada di dalam. Dari sore nungguin kamu," kata Ibu begitu merasa sedikit lega. Teman? Nanda mengernyit. Tidak salah lagi, pasti Diya. Makanya Ibu mau membukakan pintu rumah untuk tamu itu. Nanda memang menitipkan satu kunci duplikat pada Ibu.

"Oke. Ibu istirahat ya," Nanda tersenyum, sekali lagi mengusap bahu ibu.

Tidak tahu siapa yang salah di sini untuk perkara rumah tangga. Yang jelas, fakta-fakta itu hanya bisa Nanda telan sendiri. Tanpa mereka tahu apa yang akan mereka sebabkan dari cerita kisah mereka. Ya, Nanda jadi berpikir ulang untuk membina rumah tangga. Maunya, nanti Nanda tidak seperti mereka. Maunya, Nanda menikah sekali seumur hidup. Nanda takut sakit.

Nanda masih menatap pintu rumah sebelah yang kini sudah tertutup rapat begitu Ibu masuk. Kemudian Nanda menghela napas, masuk ke rumahnya. Dia mendapati apa yang menjadi tebakannya. Diya dan seorang gadis kecil bernama Talia. Anak perempuan enam bulan itu terlelap di kasur Nanda.

"Maaf, ngerepotin lagi," bisik Diya takut membangunkan putri kecilnya.

"Suamimu tugas ke luar kota lagi?" tanya Nanda sambil meletakkan tasnya di nakas.

Diya menggelengkan kepala. Nanda paham, kalau tidak ke luar kota, pasti sedang bertengkar.

"Ada apa lagi?" tanya Nanda tanpa basa-basi lagi, menarik kursi duduk menghadap Diya.

"Dia pulang ke rumah orangtuanya," ucap Diya lirih tanpa bisa menahan tetesan air matanya. Perempuan yang baru menikah hampir dua tahun itu mulai menangis, meluruhkan kesesakannya.

"Masalahnya?" tanya Nanda kali ini bangkit dari duduknya mengambil minuman kemasan dari lemari pendingin. Dia mengulurkan satu botol untuk Diya. Tapi perempuan itu menolaknya.

"Aku udah ngambil sendiri tadi. Nda, sakit, Nda. Cuma gara-gara aku ketiduran pas ibunya datang ke rumah, dia marah, Nda. Katanya aku nggak sopan sama Ibu. Katanya aku nggak menghargai Ibu. Masa aku istirahat sebentar nggak boleh, Nda? Gendong Talia seharian, bikin ini itu buat Ibu emang nggak capek, Nda?" isaknya meluapkan kesakitannya.

"Suamimu ngantar Ibu pulang?" tanyaku masih bersikap tenang.

Diya menggeleng, "Nggak cuma anter. Katanya mau pulang kalau aku ke rumah ibu buat minta maaf sama ibu. Ibu tersinggung katanya. Mertua dicuekin. Semua salah aku, Nda?"

Nanda terbungkam. Masih, tidak tahu harus bersikap bagaimana. Hal ini pula yang menambah Nanda berpikir berapa kali lipat untuk menikah.

"Kedewasaan nggak memandang umur, Ya. Akan susah kalau kita yang muda ngasih tahu orangtua. Jalan pikir dan cara menerimanya akan jauh berbeda. Ya, malam ini kamu boleh tidur di sini. Bukan karena aku belain kamu, atau siapa. Aku hanya kasihan sama Talia. Kalau bisa, besok bicara baik-baik sama suamimu."

"Kapan dia bisa mengerti, Nda. Rasanya capek."

"Dan kamu kapan bisa mengerti untuk nggak dikit-dikit kabur ke rumah aku?" tanya Nanda membuat Diya memberengut.

Nanda tertawa kecil. Tangannya terulur menyentuh tangan Diya di pangkuan, menatap perempuan itu dengan senyum tipisnya.

"Lihat Talia. Sampai kapan dia akan punya orangtua kabur-kaburan macam gini? Kamu kabur ke rumahku dan suamimu kabur ke rumah orangtuanya. Kalian menikah bukan pacaran."

"Jangan menikah, Nda. Kalau waktu bisa diputar, kalau tahu akan begini jadinya, jujur aku iri sama kamu. Yang masih single tanpa masalah sedikitpun."

Kalimatnya membuat Nanda tersenyum masam. Masalahnya, mereka tidak melihat masalah apa yang sedang Nanda hadapi. Masalahnya, mereka tidak peka kalau ceritanya malah membuat Nanda takut untuk berumahtangga. Masalahnya, mereka jadi membuat Nanda menutup diri dari kata cinta.

"Udahlah. Jalan hidup orang itu nggak sama. Cara menciptakan bahagia juga berbeda. Yang pasti, kesempurnaan hidup nggak bisa dilihat dari satu sisi. Semua punya versinya masing-masing. Tidur, udah malam. Aku juga mau tidur."

"Makasih ya, Nda."

Hanya anggukan kepala yang menjadi jawaban Nanda. Dia kemudian mengambil karpet dan selimut untuk dirinya tidur. Malam ini, dia merelakan tempat tidurnya untuk ibu dan anak itu. Ini yang mereka tidak sadari ketika datang dengan keluh kesahnya. Tanpa disadari malah menambah masalah bagi yang dia datangi.

***

Kisah pendamping ini real loh, cuma mau berbagi kalo menikah itu bukan sekedar janji terus kata sah aja.

31 Okt 2016
S Andi

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top