Bab 6
Tidak ada yang tahu. Nyatanya nama Nanda menjadi pembangkit semangat bagi Ken. Pagi ini Ken sengaja bangun pagi setelah semalam begadang bersama biji-biji kopi yang harus dia pilih sebelum dia meramunya untuk didistribusikan ke tiga Cafenya.
Lelaki itu begitu mencintai kopi. Impiannya menjadi Barista begitu melekat di dalam dirinya sampai dia tidak mempedulikan berapa rintangan yang harus dia hadapi. Dia belajar mengenal jenis-jenis kopi, meramunya sendiri agar orang menikmati rasa yang berbeda. Tidak ada hal lain yang dia pedulikan apalagi masalah perempuan. Dunianya adalah kopi.
Tapi kali ini, seseorang di dalam dirinya seperti bangkit dari tidur panjangnya setelah sesaat melihat Nanda. Perempuan itu seperti biji kopi di mata Ken. Membuatnya penasaran ingin mengulik lebih dalam, menikmati aromanya dan meramunya, menjadikan sesuatu dalam hidup Ken. Ken tidak berani menyebut dirinya sudah jatuh cinta.
"Harus berapa kali Mami bilang, jangan terlalu banyak mengkonsumsi kopi. Dia mengandung cafein tinggi. Itu nggak baik buat kesehatan," tegur Maminya begitu melintas di dapur, mendapati Ken sedang menuang air panas ke dalam drip kopi.
"Bukan buat Ken," jawab Ken tanpa mengalihkan perhatiannya dari tetesan kopi yang mulai mengisi cangkir kosong itu.
"Semoga Tuhan mengabulkan doa Mami. Cafemu tutup dan kamu mau membantu Papi mengurus usahanya," ucap Mami dengan nada ketusnya.
Ken sudah hafal. Kalimat seperti ini pasti tidak pernah absen dari telinga Ken setial waktu. Papinya memiliki usaha di bidang jasa travel, saat ini memiliki 13 cabang. Dan orangtuanya menginginkan Ken sebagai satu-satunya penerus, mulai belajar mengurusnya sebelum Papinya Ken melimpahkan seluruh tanggungjawabnya pada Ken.
"Kenapa harus Ken?" tanya Ken, kembali memberontak.
"Kamu pikir kamu punya kakak atau adik? Sudahlah. Sebelum Papi menghibahkan ke orang lain."
"Kalau gitu, hibahkan aja," jawab Ken enteng, membuat Maminya melotot tajam.
"Otakmu sudah nggak bisa berpikir waras? Gara-gara kopi sialan itu kamu jadi nggak nurut sama Mami!"
"Mi, masih pagi," tegur seorang pria sambil membenahi kancing kemejanya, menghampiri ibu dan anak itu.
"Anak ini semakin hari semakin susah diaturnya!" dengus Mami dengan napas tersengal-sengal, menatap pria itu.
"Belum waktunya. Nanti Ken pasti akan mengerti dengan sendirinya. Ken, berangkatlah sekarang," ucap Papi sambil merengkuh bahu Mami.
Ken menghela napasnya, memindahkan kopi ke dalam botol minum kemudian bergegas pergi. Tidak tahu sampai kapan keadaan ini akan berakhir tenang. Dalam hidupnya, Ken ingin, sekali saja Mami memberinya kebebasan untuk memilih, menikmati secuil dunianya.
"Ken!" seru Mami membuatnya menghentikan langkah.
"Mami memberimu pilihan. Kopi dan menikah dengan Prisma atau meninggalkan kopi untuk membantu Papi!"
"Mi!" desis Ken tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya.
"Waktumu sampai akhir tahun!" tegas Mami sebelum kemudian beranjak lebih dulu meninggalkan Ken yang terdiam lesu.
Dari sekian banyak anak, kenapa harus Ken yang berada di posisi ini? Ken menatap luruh punggung Maminya. Kalau bunuh diri dihalalkan, Ken pasti sudah lakukan sejak dulu. Tidak tahu apa salah Ken sampai harus dikutuk dalam kehidupan yang seperti ini. Bahkan memiliki mimpi saja seakan tidak boleh.
"Jangan dipikirkan. Kamu bisa datang ke Papi kapan saja. Ken, Papi masih sanggup mengurus usaha Papi."
Ken hanya tersenyum masam. Dia tahu dengan benar bagaimana Papi. Papi juga tidak mendukung impiannya. Papi hanya menunggu, dengan sabar menunggu Ken datang dengan sendirinya, bersedia belajar mengurus usaha travel itu yang katanya dibangun berdua oleh Papi dan almarhum kakeknya.
"Sampai kapan, Pi? Ken ini aset atau anak?" tanya Ken menahan sakit yang selama ini dia tahan sejak dia mengenal apa itu impian.
"Ken,"
"Nggak ada yang bisa dipercaya!" dengus Ken kemudian bergegas pergi. Rumahnya adalah neraka bagi Ken.
Tangannya menyambar kunci mobil dan sweaternya begitu sampai di kamar. Rasanya Ken ingin meledak saat itu juga. Apa nanti akan ada seseorang yang bisa memahami dunianya? Mengerti apa yang menjadi impian serta tujuannya?
Mendadak Ken mentertawakan dirinya sendiri, melangkah meninggalkan kamarnya. Masih dengan botol kopi di tangannya. Dia melesatkan mobilnya, sesekali membuang napas kasar. Kalau saja dia tidak mengenal apa itu etika, mungkin dia sudah mengikuti luapan emosinya, memberontak dari kedua orangtuanya. Sayang, Ken masih menyimpan rasa hormat itu.
Ken memarkirkan mobilnya di depan Cafe yang menyediakan aneka dessert itu. Tidak tahu, kenapa dia malah membelokkan mobilnya di Cafe milik temannya itu. Ken melangkah masuk tanpa meninggalkan botol kopinya. Duduk, menghempaskan tubuhnya dengan keras, menggambarkan bagaimana kekesalannya.
"Pak Bayu belum datang. Mungkin agak siang," kata Nanda menghampiri Ken, menyambut kedatangan teman Bossnya itu.
Suara Nanda membuat Ken mengangkat wajahnya. Menatap lurus perempuan itu. Sementara yang ditatap malah mengernyit. Mungkin sedikit bingung. Tapi tidak ada hal lain yang terlintas di benak Ken selain rasa asing yang turut bergelut dengan kekesalannya.
"Nanda," panggil Ken lirih, menatap sayu perempuan itu. Ada rasa ingin lebur di pelukan perempuan yang sedang menatapnya bingung itu. Tapi Ken tahu diri, perempuan itu pasti akan lari terbirit-birit menganggap Ken sudah gila.
"Aku manggilnya Bapak apa Mas Ken ya?" gumam Nanda.
"Nda."
"Iya?" sahut Nanda mengernyit. "Kamu sakit?" tanya Nanda meluncur begitu saja.
"Kamu beneran nggak mau nikah sama aku?" tanya Ken tanpa melepaskan tatapan sayunya.
"Ini beneran sakit. Aku telfonin Pak Bayu aja ya?" ujar Nanda bersiap beranjak menuju ke meja kasir untuk mengambil ponselnya. Tapi tangan Ken lebih dulu meraih tangan Nanda, menahannya lengkap dengan mimik mukanya.
"Marry me, Please," pinta Ken. Lelaki itu menekatkan dirinya, mendesak Nanda agar mau menikah dengannya. Setidaknya, sekali seumur hidupnya, Ken bisa bersenang-senang dengan dirinya. Dan pilihannya jatuh pada perempuan itu. Meski Ken tahu, cinta itu tidak ada, atau memang belum jelas saja. Tapi sesuatu dalam dirinya mengatakan ingin berbuat lebih.
Sesuatu yang belum pernah dia lakukan. Menikah. Meski terbilang konyol, tapi itu yang terlintas di benaknya untuk saat ini. Ketika semua menekannya, dia membutuhkan tempat untuk bersandar.
"Ken?"
Ken mengernyit ketika kali ini suara yang terdengar bukan milik Nanda. Dia mengerjabkan matanya dengan segera, mendapati Nanda dan Bayu menatapnya khawatir. Ah, atau ini hanya perasaan Ken saja?
"Ken, lo nggak apa-apa kan?" Bayu bertanya seraya menyentuh lengan Ken.
"Kayaknya dia sakit atau lagi ada masalah deh Pak. Coba Bapak ajak bicara, saya buatin teh ya, Pak?" ujar Nanda.
"Boleh. Yang hangat, Nda. Jangan panas-panas. Ke ruangan saya aja ya. Saya mau ajak dia ke atas aja," kata Bayu.
Ken mendengar semuanya. Dalam hati dia tertawa lirih. Reaksi Nanda atas dirinya, membuat Ken larut dalam dunia mimpinya. Kali ini saja, Ken menginginkan hal yang normal. Satu hal yang menjadi pilihannya. Kenapa rasanya begitu sulit?
***
30 Oktober 2018
S Andi
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top