Bab 4
"Nda, dompet saya mana?" tanya Bayu begitu memasuki Cafe miliknya sambil meraba-raba saku celananya.
"Emang Bapak nitipin ke saya?" tanya Nanda mengedikkan bahunya.
"Hosh! Pasti ketinggalan di tempat Ken," dengus Bayu merasa kesal dengan dirinya sendiri, berniat segera menelpon Ken untuk mengamankan dompetnya.
Seketika kekesalannya bertambah. Lagi, pada dirinya sendiri. Dia melupakan bagaimana payahnya dirinya. Kebiasaan buruknya tidak pernah mengecek saldo pulsa di ponselnya.
"Argh! Sialan," erangnya.
"Lupa isi pulsa lagi, Pak?" tebak Nanda.
"Kok kamu nggak ingetin saya? Harusnya kamu bantu saya ingetin dong," protes Bayu.
"Partner kerja apa asisten, Pak? Sampai segalanya minta diingetin," ledek Nanda.
"Semuanya! Sini mana HP kamu!"
"Buat?"
"Ada pulsa kan? Nanti saya ganti pulsanya. Penting nih, dompet saya. Saya males urus surat-suratnya kalau hilang," ucap Bayu merungut kesal, merebut ponsel Nanda dengan tidak sabar.
Nanda hanya menghela napas lalu berjalan menuju ke kasir, menghampiri Mella. Sementara Bayu menghempaskan tubuhnya di salah satu kursi sambil menunggu Ken menjawab telfonnya.
"Lancar, Mell?" tanya Nanda menyentuh pundak Mella.
"Lancar, Mbak Nanda. Sama tadi ada yang datang pesan dessert buat acara arisan 50 pak. Orangnya udah DP, Mbak," ucap Mella memberi tahu sambil membuka buku reservasi.
"Oke, nanti saya kasih tahu Pak Boss. Thanks, Mella."
Mella tersenyum tulus. Sementara Nanda membiarkan Mella kembali melanjutkan pekerjaannya.
"Nda," panggil Bayu sambil mendekat.
"Apa, Pak? Dompet ketemu?" tanya Nanda mengangkat wajahnya.
"Ketemu. Di tempat Ken. Nanti malam saya ambil. Thanks ya. Ini HP kamu. Tunggu,"
Bayu mengernyit seperti berpikir. Membuat Nanda ikut mengernyit, menerima ponselnya dengan gamang.
"Ah! Sial!!!" erang Bayu kali ini turut menyita perhatian Mella.
"Pak?" panggil Nanda pelan.
"Kenapa juga saya harus pakai HP kamu. Kan saya yang pesan sama kamu supaya nggak kasih nomer kamu ke dia. Sekarang malah saya yang bilang kalau saya pakai HP kamu. Ah! Kamu sih nggak ngingetin saya buat isi pulsa!" keluh Bayu lengkap dengan wajah lesunya. Merasa gagal dan tidak terima melihat reaksi kemenangan Ken.
Entah dia bisa begitu ceroboh kali ini. Bayu membuang napas kesal. Lebih merutuki dirinya sendiri. Dia benar-benar payah. Sementara Nanda hanya terkikik.
"Ya udah, Pak. Tinggal cuekin aja kalau dia hubungin saya," jawab Nanda santai.
"Masalah, ah! Kamu nggak kenal Ken."
"Ken siapa, Pak?" tanya Mella dengan wajah bingungnya.
"Ken? Lupakan, oke! Ini bukan hal penting. Nda, kasih tahu saya kalau ada sesuatu," ucap Bayu kemudian bergegas ke ruang kerjanya sebelum Mella bertanya lebih jauh lagi.
Nanda menggelengkan kepalanya singkat, menatap sekilas lelaki itu kemudian kembali menatap laptopnya, menyiapkan apa yang harus dibelanjakan besok untuk Cafe ini.
"Mbak Nanda, Pak Boss kenapa?" tanya Mella setengah berbisik.
"Kamu kayak nggak tahu Boss kamu aja gimana sifatnya," kekeh Nanda.
"Mbak Nanda kenapa nggak pacaran aja sama Pak Boss?"
Seketika Nanda meledak tawanya. Pertanyaan yang berusaha mereka pendam selama ini akhirnya keluar juga. Nanda terdiam saat Mella menatapnya memberengut.
"Kenapa harus? Lagian apa untungnya pacaran? Cuma nambah masalah. Udah ah, lanjut kerja aja," jawab Nanda sambil mengibaskan tangannya.
"Mbak Nanda kan cantik. Pak Bayu juga ganteng. Cocok lho, terus saling melengkapi pula."
"Ganteng bukan jaminan hidup bahagia. Jodoh juga enggak selalu akur. Oke, kerja aja dulu, Mell," cetus Nanda dengan senyum bijaknya.
"Tapi, Mbak,"
"Mella," panggil Nanda dengan nada memperingatkan.
"Iya, Mbak, iya," jawab Mella mengalah.
Tidak ada yang bisa memahami prinsip dan keputusan seseorang. Nanda tahu itu. Apa yang Bayu katakan memang benar, orang hanya bisa bicara dari apa yang dilihat tanpa bisa tahu dan paham rasanya.
Yang Nanda lakukan saat ini adalah memulihkan diri dari rasa sakit. Butuh waktu bertahun-tahun untuk meredakan sakit itu. Saat ini, Nanda memang sudah baik. Tapi Nanda masih merasa perlu untuk menjaga diri dari yang namanya patah hati.
"Hai, Nanda!" sapaan penuh semangat itu membuat Nanda terlonjak setelah dua jam dia larut dalam pekerjaannya.
Nanda mengangkat wajahnya, mendapati sesosok tersenyum manis dengan tangan menopang satu sisi wajahnya. Dalam diam Nanda menelan ludah susah payah.
"Antar dompet Boss kamu cuma alasan biar ketemu kamu lagi. Jangan kaget kalau tiba-tiba aku nongol. Atau aku sering telfon kamu."
"Ken?" lirih Nanda terbata menyebut nama laki-laki sinting itu.
"Nomer kamu udah aku save," kata Ken sambil memamerkan satu kontak di layar ponselnya. Bukan Nanda. Tapi dia menamainya 'Calon'. Benar-benar sinting. Calon apa?
"Calon?" tanya Nanda mengernyit.
Ken tersenyum misterius. Memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku celananya. Lalu menegakkan tubuhnya dengan kedua tangan di saku celananya, bersikap sok paling keren. Tapi memang dia keren, Nanda harus mengakui itu meski dengan terpaksa.
"Iya, Calon. Calon Nyonya Ken Pratama. Oke, sampai nanti, Nanda," ucap Ken penuh percaya diri, melambaikan tangannya sebelum berpamit.
"Gitu doang?" tanya Nanda pada Mella tak habis pikir ketika lelaki itu sudah meninggalkan cafe ini dengan mobilnya.
"Siapa, Mbak?" tanya Mella.
"Orang sinting!" jawab Nanda singkat sambil bergidik. Masih tidak menyangka dengan sikap ajaib dari teman Pak Boss-nya.
Dia datang hanya untuk mengantar dompet sama pamer nama kontak buat Nanda? Sepertinya kelima penilaian Nanda terhadap Ken Pratama itu tidak ada yang salah.
***
29 Oktober 2018
S Andi
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top