BAB 24

"Kamu bisa obatin sendiri kan?" tanya Nanda sambil mengambil kotak obat dari dalam laci meja kerja Ken. Lelaki itu hanya mengangguk samar.

Nanda menduga ada beberapa kejadian menyakitkan di ruangan ini beberapa saat lalu. Melihat adanya barang-barang yang berantakan tergeletak di lantai. Bahkan ada beberapa yang pecah. Orang kaya tidak selamanya tenang dan bahagia. Nanda tersenyum singkat, melangkah dengan hati-hati menghampiri Ken yang terduduk di sofa dengan mata terpejam.

"Nggak ada orangtua yang berniat jelek sama anaknya," ujar Nanda menghibur.

"Sekali aja seumur hidup, Nda. Biar aku menentukan pilihan," jawab Ken sambil mengambil kapas untuk membersihkan darah di sudut bibirnya.

"Aku ngerti. Tapi orangtua pasti pengen yang terbaik buat anaknya. Hei, kamu masih bisa mengurusi Cafemu tiap weekend kan?"

"Nda,"

Nanda tersenyum, menyentuh bahu Ken dan memberinya usapan. Ada hasrat yang menggebu dalam diri Ken. Namun sayangnya lelaki itu belum mampu untuk mengendalikannya dengan baik. Bukan suatu hal yang salah, Nanda paham, lelaki itu tahu dunia luar baru sesaat.

Lelaki itu tahu mengenai pilihan dan tujuan dalam waktu yang terbilang cukup terlambat. Saat orang-orang sudah bisa memilih ketika masa TK, dia belum tahu apa-apa. Belum punya keberanian untuk berjuang. Jadi ibaratnya, Ken seperti anak singa yang terkurung di penangkaran lalu dilepas saat sudah dewasa.

Akan berbeda dengan orang yang terbiasa menentukan sejak kecil, hidup mandiri pasti tidak sulit untuk mengendalikan diri juga emosinya. Di sini, Nanda merasa sangat beruntung ketika hidup membuatnya terbiasa untuk menentukan.

"Kamu bisa, Ken. Katanya kamu diberi pilihan, terus kenapa kamu nggak coba menawarkan?"

Ken mengernyit, menatap Nanda dengan kapas menggantung di tangannya. Tidak mengerti dengan jalan pikiran Nanda.

"Iya, kenapa kamu nggak coba menawarkan? Kamu bisa menuruti apa yang orangtuamu inginkan tanpa harus menutup Cafe milikmu. Ken, hobi itu jangan yang memaksa kita. Itu ambisi namanya."

"Tapi sesuatu hal yang dipaksa berjalan beriringan juga nggak baik. Kamu tahu itu kan?"

Nanda mengulas senyum tipis untuk Ken. Tangannya meraih tangan Ken, menggenggamnya hangat setelah sebelumnya dia mengambil kapas bekas di tangan Ken dan membuangnya ke kotak bekas. Dia tahu, ini bukan waktu yang tepat untuk bicara. Dan Nanda harus menunggu nanti saat Ken sudah kembali mendapatkan otak segarnya.

"Oke. Kamu benar. Ganti topik yang lain aja. Mungkin lain kali kita bisa diskusikan ini," ucap Nanda mengalah.

"Nanda," lirih Ken sambil merebahkan kepalanya di pangkuan Nanda. Matanya entah sudah menjelajah jauh kemana.

Yang Nanda tahu, ada banyak pemikiran yang berputar di kepala lelaki itu. Mengenai impiannya dan juga niat-niat bersama rencana lain untuk memperjuangkan apa yang menjadi keinginannya. Sudut bibir Nanda terangkat, menemukan fakta kecil dari seorang Ken. Lelaki itu keras kepala dan sangat gigih memperjuangkan apa yang dia inginkan.

"Kalau nanti aku jatuh, kamu masih mau di sini nggak? Sama aku?" tanyanya setelah beberapa saat terdiam. Matanya kini menatap serius pada Nanda.

"Menurutmu?"

Ken mengembuskan napas. Di hadapan Nanda dia mati langkah. Gadis itu tidak bisa ditebak jalan pikirannya. Itu yang membuat Ken begitu ngotot ingin mendapatkan Nanda.

"Kalau aku tahu, aku nggak bakal nanya, Nda."

"Ya menurut kamu emang aku sejahat itu?"

"Mana tahu kan. Kamu susah ditebak. Kamu selalu bikin aku jungkir balik mengira-ngira apa yang kamu mau. Apa yang kamu suka. Tapi selalu aku merasa aku gagal."

"Bukan gagal. Cuma belum berhasil."

"Ish! Sama aja, Nda."

"Beda lah. Bahasanya juga beda," kekeh Nanda di atas angin.

"Ini serius, Nda."

Nanda memberikan mimik muka yang tak kalah seriusnya menjawab kalimat Ken. Sementara lelaki itu mendengkus, kembali mengalah. Lain di dalam hatinya dia berusaha keras menahan kegelisahan hatinya. Nanda hanya tidak tahu kalau Ken menyimpan banyak asumsi mengenai sosok Nanda yang sebagian besar meragukan jika Nanda benar-benar menerima perasaannya. Atau mungkin hanya sekedar rasa kasihan. Sesuatu hal yang Ken tidak bisa siapkan adalah ketika Nanda menyerah dan memilih beranjak dari sisi Ken. Di saat seperti ini, keraguan itu kian nyata seperti mendramatisir keadaannya. Entah siapa yang harus Ken umpat kali ini.

"Nggak ada yang perlu kamu takutkan. Aku cukup komit sama keputusanku. Dan yang harus kamu lakukan itu, jangan pernah berhenti," ucap Nanda memberikan jawaban yang sialnya kembali harus membuat Ken memutar otak untuk memahaminya.

Ah bagaimana bisa si Bayu bisa tahan dengan Nanda. Bahkan sepertinya sudah mengenal dekat. Mendadak dia iri. Seandainya saja Ken bisa meleburkan dirinya sedekat itu pada Nanda. Waktu dan kesempatan sepertinya meminta menjadi bagian utama dari proses peleburan itu. Dan Ken hanya bisa kembali mendesah. Hidupnya seperti lebih rumit dari yang sebelumnya. Padahal dulu dia seperti hampa tanpa beban. Tapi sisi batinnya tersenyum mengerti bahwa ini yang dia inginkan, kehidupan yang sewajarnya.

***
Tbc.
Selasa, 14 Mei 2019
S Andi

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top