BAB 22

Bayu mengernyit ketika melihat Arul bersikap aneh. Menahan senyum tak jelas, seperti berusaha mengembalikan raut wajah seriusnya namun gagal. Semakin mendekat langkah, malah Bayu semakin melihat jelas bagaimana lelaki itu salah tingkah sendiri.

"Rul? Kenapa?" tanya Bayu menelengkan wajahnya.

Seketika Arul menegapkan tubuhnya, menyurutkan senyum tanpa sisa. Menatap Bayu serius, penuh hormat sebagaimana dia menghormati Bossnya sendiri.

"Nggak ada apa-apa, Pak."

"Oh? Ken baik kan?" tanya Bayu. Begitu selesai mengurus pajak mobilnya, Bayu langsung kembali ke Cafe milik Ken. Pertama dia mencemaskan kondisi Ken. Takut sahabatnya itu akan hilang kendali. Kedua, dia mencemaskan Nanda. Jangan sampai gadis itu terkena imbas marah Ken.

Bayu tahu benar bagaimana Ken kalau sudah marah. Dia bisa mengacaukan semuanya ketika diamnya sudah berakhir berganti dengan luapan kemarahannya.

"Bapak? Baik, Pak Bayu. Baik banget malah," jawab Arul dengan mantap.

"Ah, yang benar?" tanya Bayu sedikit heran.

Arul mengangguk mantap, "Benar, Pak. Pak Ken dalam kondisi yang sangat baik. Jauh sangat baik dari biasanya."

"Ah, ngacau aja kamu. Dia lagi dalam masalah," elak Bayu menggeleng tak percaya sama sekali. Bayu memutuskan bergegas untuk masuk. Tapi dengan cepat Arul menghalangi Bayu dengan tubuhnya.

"Jangan, Pak."

"Rul, Boss kamu lagi nggak baik. Kamu kan tahu tadi gimana dia diam aja kayak patung."

"Itu kan tadi, Pak. Pokoknya Bapak jangan ganggu Pak Boss dulu."

"Gimana sih? Asisten saya gimana?"

"Asisten Bapak ada di dalam. Tapi semuanya baik kok," sahut Arul dengan sangat yakin menjawab dengan cepat.

Bayu mengernyit lebih dalam. Dia berusaha untuk masuk tapi sekali lagi Arul menghalanginya lengkap dengan senyuman lebar hingga deretan giginya nampak jelas.

"Arul,"

"Pokoknya Bapak nggak boleh masuk."

"Asisten saya, Rul, gimana nasibnya."

Arul hanya diam menyembunyikan senyum. Bergeser ke sana kemari agar Bayu tidak memiliki celah untuk masuk membuka pintu. Bahkan dia tidak peduli ketika Bayu mulai berdecak kesal.

"Asisten Bapak aman kok, saya jamin."

"Masalahnya...,"

"Masalahnya, saya lihat Pak Ken lagi cium tangan Mbak Nanda. Kayaknya abis jadian, Pak. Tapi Bapak jangan bilang-bilang. Pura-puranya aja nggak tahu," potong Arul berbisik.

"Apa? Coba ulangi kamu bilang apa?" tanya Bayu menautkan alisnya. Merasa tak senang dengan gosip sembarangan itu. Dia tahu benar bagaimana gigihnya Nanda menolak Ken.

"Jadian, Pak. Saya lihat Pak Boss lagi cium tangan Mbak Nanda. Makanya saya larang Bapak buat masuk."

"Kamu cuci muka nggak tadi? Kayaknya kamu salah lihat. Mereka nggak mungkin akur. Lagi juga kamu tahu sendiri asisten saya kerasnya kayak apa. Kadang aja saya takut. Mana ada Boss takut sama asisten?!" sanggah Bayu berapi-api sampai lupa mengontrol suaranya.

"Jadi asisten Bapak lebih galak dari Bapak?"

"Iya! Apalagi kalau dapet telpon disuruh jemput saya malam-mal... Nanda!"

Bayu terbungkam ketika menyadari suara lembut bernada memperingatkan itu bukan milik Arul. Lelaki itu menarik senyum lebar, mendapati Nanda melirik tajam padanya. Sementara Ken menahan senyum gelinya di balik wajah santainya.

"Oke, terima kasih lho, Pak buat kejujuran Bapak. Tapi saya nggak mungkin galak kalau Bapak nggak nyusahin saya malam-malam. Jemput Bapak di cluu.. Mpph!"

"Ayo, pulang, Nda. Ken, nanti telfon aja ya!!!" potong Bayu sambil membungkam mulut Nanda, membawa gadis itu meninggalkan Cafe sebelum kelepasan bicara di depan orang lain.

"Bay! Bay! Jangan tarik-tarik dia!" seru Ken tapi Bayu tidak mempedulikan seruan itu.

***

"Aduh, Pak!" lenguh Nanda sambil mengambil napas banyak-banyak begitu Bayu melepaskan tangannya dari mulut Nanda.

"Kamu suka lepas kontrol kalau bicara. Oya, kamu apain tadi sampai Ken nggak ngamuk-ngamuk."

"Nggak ada!" jawab Nanda cepat sambil masuk ke mobil Bayu.

"Kata Arul, dia lihat tangan kamu lagi dicium Ken. Dia bohong kan?"

"Bapak percaya sama saya apa Arul?" tanya Nanda menaikkan alisnya sebelah.

"Kamu lah."

"Ya udah, kita pulang. Mella pasti lagi sibuk," tegas Nanda. Sebenarnya Nanda sendiri sedikit bingung. Sama sekali tidak ada hubungannya dengan Mella. Tapi demi menghindari pertanyaan mengenai Ken, Nanda rela mencari pengalihan isu.

"Oke. Ken nggak cerita apa-apa sama kamu?"

Nanda melenguh dalam diam. Ken lagi, batinnya merutuki Bayu.

"Nggak. Emang kenapa Cafe Pak Ken diserang orang?" tanya Nanda tanpa pikir panjang.

"Ken itu teman saya sejak kecil. Kita bertolak belakang. Saya hidup bebas selayaknya anak-anak. Sementara Ken hidup di bawah aturan orangtua. Dia dikekang sampai nggak pernah tahu rasanya memilih, Nda.

Orangtuanya menekankan kalimat anak harus patuh pada orangtua tanpa melebarkan konteksnya. Bahkan sampai detik ini. Ken mulai belajar memberontak ketika kenal dunia luar. Ken kuliah di luar negri. Di sana dia tahu apa itu memilih. Belajar dari teman-temannya tanpa pengawasan orangtua yang begitu ketat."

Nanda terdiam mendengarkan cerita dari Bayu mengenai Ken. Cerita yang membuat Nanda paham mengapa Ken selalu bilang,, 'sekali ini aja, Nda. Biar aku tahu gimana rasanya pilihan aku.'

Ada tangan samar yang meremas hatinya saat ini. Nanda tahu, Ken sudah memilihnya. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya.

"Cafe itu impian Ken. Dia baru tahu apa itu impian dan tujuan ketika dia kuliah, Nda. Dia belajar mati-matian untuk berani memperjuangkan impiannya dari kekangan orangtuanya. Ken punya cita-cita jadi Barista profesional dan memiliki cafe.

Sayang, orangtuanya nggak suka. Mereka lebih ingin Ken turun di bawah kuasanya, mengurusi usaha travel keluarga. Nda, kamu tahu kan dia ngejar-ngejar kamu? Jangan terima dia, Nda kalau emang kamu nggak suka. Kalau tarik ulur, aku nggak bisa lihat dia jatuh. Kasihan, dia nggak minta banyak dalam hidupnya. Cukup pengen hidup dalam pilihannya."

Nanda menarik napas panjang lalu mengangguk. Bisa disimpulkan oleh Nanda. Pasti orangtuanya akan melakukan segala cara agar Ken kembali dibawah kuasa orangtuanya. Tapi, sesuatu dalam dirinya, percaya bahwa Ken tidak akan semudah itu menyerah. Seperti Ken yang tidak pernah menyerah untuk mengejar Nanda.

"Pak Ken nggak akan jatuh, Pak Bayu."

"Semoga aja, Nda. Udah cukup sakit yang dia cecap selama ini. Sebagai teman, aku cuma mau dia bebas. Orangtuanya paham kalau anak itu berbeda dari tawanan atau buruh. Yang hanya patuh pada perintah. Kamu setuju nggak, Nda?"

Lagi, Nanda hanya mengangguk. Karena rasanya tenggorokannya seperti tercekik.

Jika dengan bersamaku, kamu bisa merasa senang, aku rela Ken. Untuk suatu hal yang kamu sebut pilihan dari sebuah tujuan.

***
Tbc
13 November 2018
S Andi

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top