Bab 21

"Nikah yuk, Nda," ucap Ken seraya menguraikan pelukannya setelah beberapa saat lamanya. Tentu saja setelah merasakan ketenangan itu.

"Hei!" Nanda mendengus sebal. Namun lelaki itu tertawa kecil. Dia pikir ini lucu? Dengus Nanda dalam hati. Setelah berhasil menyentuh perasaan Nanda, seperti biasa, lelaki itu menghancurkan momen yang sudah tercipta dengan baik lewat sikap tengilnya.

"Marry Me, Nanda Parasayu," ucap Ken lagi.

"Sinting."

"Serius."

"Oya, kabarnya Cafe kamu ada yang nyerang?"

"Nanti aku ceritain kalau kamu udah jawab aku."

"Ken."

"Iya, Nda. Aku cuma nggak mau nanti kamu nerima aku karena kasihan dengar cerita aku."

Nanda berdecih. Meninggalkan Ken untuk duduk di sofa. Sementara Ken tertawa kecil mengekori langkah Nanda. Lelaki itu duduk merapat di samping Nanda. Menghela napas beratnya.

"Jadi, sampai kapan aku harus menunggu jawaban kamu?" tanya Ken membuka suara.

"Jadi, seserius apa kamu pengen nikah?" balas Nanda bertanya.

"Seserius kamu nolak aku. Tahu nggak, kamu udah nolak aku berapa kali? Yang pasti lebih dari tiga kali," jawab Ken mendekatkan wajahnya pada Nanda.

"Ken, menikah itu...,"

"Aku udah tahu. Kamu udah sering ngasih tahu kalau nikah itu banyak resiko sebagai alasan kamu nolak aku."

Kali ini giliran Nanda yang diam. Menoleh, bertemu dengan sepasang mata Ken yang bicara mengenai kekosongan. Untuk sesaat Nanda larut dalam tatapan itu. Tangannya bergerak perlahan, menyentuh sisi wajah Ken. Kenapa harus pada Ken, Nanda merasakan perasaan asing itu?

"Kamu nggak tahu aku, Ken."

"Yang aku percaya kamu itu baik."

"Bukan itu,"

"Terus?"

Nanda mengedikkan bahunya. Dia mencoba mengembalikan kewarasannya. Mengingat hal-hal pahit yang mendorongnya untuk berjuang, bertahan hidup sendiri. Nanda tidak ingin seperti mereka.

"Pokoknya lupain aja," ucap Nanda.

"Mau sampai kapan, Nda, ketakutan itu nguasain kamu?" tanya Ken membuat Nanda terhenyak.

Bagaimana bisa Ken tahu kalau Nanda takut menikah? Takut bernasib sama seperti ayahnya yang meninggal akibat depresi ditinggal selingkuh. Takut seperti ibu, tetangga sebelah, yang diam-diam ditinggal selingkuh sama suaminya, sementara anak-anak pun tidak ada yang peduli. Takut seperti Diya, yang hidup susah padahal suami bergaji besar. Dan yang paling mendasar adalah takut ketika Nanda sudah begitu cinta tapi akhirnya berpisah.

"Aku nggak bisa janji banyak. Tapi, Nda, aku cuma ingin melakukan ini, sekali seumur hidup. Buang rasa takut itu, Nda."

"Lupain, Ken. Nanti kamu sakit," lirih Nanda dengan mata mengerjab menahan untuk tidak berair.

"Tapi aku tahu, kamu nggak akan setega itu buat nyakitin aku," sahut Ken begitu yakin. Kali ini perasaannya turut meyakinkan dirinya.

"Kamu itu pantang menyerah ya orangnya," kekeh Nanda.

"Itu kamu tahu. Jadi?"

"Jadi apa?"

Ken menarik napasnya mengulur kesabarannya demi Nanda. Dia meringis tipis lalu merosot dari duduknya. Berlutut di hadapan Nanda dan meraih tangan lembut itu. Matanya menatap Nanda penuh puja.

"Marry Me, Nanda Parasayu. Will you?" Ken berkata dengan begitu lembut sampai membuat Nanda takjub.

Mata Nanda siap mengeluarkan air matanya. Bukan apa-apa. Suara lembut Ken mengingatkan pada kenangan bersama ayahnya dulu. Bagaimana Nanda sangat mengagumi ayahnya yang selalu lembut. Mungkin sangking lembutnya, ibunya merasa bosan. Atau mungkin sebenarnya ibunya tidak mencintai ayahnya.

"Ya," lirih Nanda meluncur begitu saja. Suaranya membuat Nanda larut dengan mudah. Tapi satu hal yang membuat Nanda menegang dalam diam. Nanda hanya takut nanti akan seperti ibunya. Yang pergi tanpa alasan demi lelaki lain.

"Serius, Nda, kamu jawab iya?"

"Hah?" Nanda tergagap seketika, terdiam untuk beberapa saat demi menyelami mata Ken, "Iya."

Nanda tidak bisa menjawab tidak. Tidak tahu, mata itu menarik kuat dirinya juga perasaannya. Ada rasa tidak tega untuk menyakiti lelaki itu. Ken benar, Nanda tidak mungkin tega menyakiti Ken. Tapi tidak tahu nanti.

Mungkin orang bilang Nanda mulai kehilangan akal sehatnya. Menerima Ken yang jelas-jelas Nanda tidak tahu asal usulnya.

"Makasih, Nda. Aku...,"

Ken terdiam, menatap Nanda untuk sesaat kemudian memeluk Nanda begitu erat. Yang Nanda rasakan adalah tubuh itu bergetar, dadanya naik turun.

"Ken?"

"Makasih, udah ngasih kesempatan buat aku untuk tahu gimana rasanya punya pilihan sendiri. Aku nggak akan nyerah, Nda. Cukup kamu bersamaku, jangan jauhi aku," bisik Ken untuk kesekian kalinya meminta Nanda untuk tidak menjauhinya tanpa alasan yang Nanda tahu.

Kalimat yang membuat Nanda mengingat kembali rasa sakit itu. Ketika ayahnya dulu memohon pada ibunya untuk tidak pergi demi lelaki lain. Nanda menarik napasnya, mengeratkan pelukan balasan untuk Ken. Nanda tidak ingin berakhir sama seperti orangtuanya.

"Kalau nanti aku mulai menjauh, ingetin aku," lirih Nanda.

Sementara Ken tertawa lirih, masih menikmati pelukan Nanda yang berefek meluruhkan segenap beban dan penatnya selama ini. Rasa bahagia yang menyelimuti diri Ken, menyamarkan rasa sakit yang dia cecap selama ini.

"Aku tahu, kamu nggak akan jauhin aku."

"Merasa lebih baik?" tanya Nanda menguraikan pelukan Ken. Tertawa samar saat Ken menunjukkan rasa tidak rela pelukannya dilepas lewat raut wajahnya.

"Baik. Sangat baik."

"Itu bagus. Fokus sama masalah Cafemu. Aku akan selalu dukung kamu kok."

Tidak ada yang tahu, kalau ada seseorang yang begitu terkejut melihat kedekatan itu hingga urung untuk masuk. Arul menutup kembali pintu ruangan Bossnya dengan wajah pias terkejutnya. Meski sesaat kemudian lelaki itu tersenyum-senyum tak jelas. Turut bahagia untuk apa yang dia lihat. Ketika Bossnya tersenyum bahagia mengecup punggung tangan Nanda. Mengingat, Arul tahu betul bagaimana kerasnya Nanda menolak Bossnya itu.

"Sesaat lagi Happy ending buat Boss!" bisik Arul menahan senyum agar tidak ada yang curiga ketika melihat.
***

Tbc
12 November 2018
S Andi

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top