Bab 20
KEN: Nda, jangan makan siang dulu. Aku pengen ngajak makan siang kamu. Oke? Nggak usah dibalas. Cukup tunggu aku aja.
Sebaris pesan dari Ken cukup membuat Nanda tertawa kecil di antara rasa yang meletup-letup. Ini, hari ketiga setelah malam itu Ken mengajaknya bicara di atas Kap mobilnya.
Sejak itu, Ken semakin dekat dengan Nanda. Dan entah, Nanda yang dulu setengah mati menghindari Ken, seolah sudah pergi jauh. Yang ada hanya Nanda yang seperti sudah berteman lama dengan Ken. Cukup dekat dan akrab. Meski satu hal yang tidak Nanda tahu, masalah mendasar dalam hidup Ken.
"Mbak Nanda," panggil Mella pelan sambil saat sampai di hadapan Nanda.
"Kenapa, Mell?" tanya Nanda mengangkat wajah.
"Barusan Pak Boss bilang, minta jemput di Cafenya Pak Ken. Kalau bisa cepetan."
Nanda mengernyit, "Cepetan? Ada masalah?"
Biasanya kalau Bayu memintanya untuk menjemput cepat pasti ada masalah. Lebih seringnya malam hari. Dan hampir semua masalahnya adalah Bayu mabuk.
"Bapak mabuk pagi-pagi begini?" tanya Nanda menautkan alisnya, merasa kesal. Memangnya tidak ada hal lain yang bisa dilakukan pagi hari selain minum minuman berakohol itu? Lagipula tidak biasanya Bayu mabuk di pagi hari. Atau mungkin Bossnya sudah sinting.
"Nggak tahu, Mbak. Tapi kayaknya nggak mbak. Suaranya normal kok," ucap Mella berhati-hati.
"Oya?" Nanda menatap Mella menyipit, membuat gadis itu mengangguk cepat takut-takut.
"Oke. Mungkin dia berantem lagi sama Pak Ken sampai babak belur. Dia pikir dia masih anak SD apa?" dengus Nanda lalu beranjak sambil mengambil kunci mobil Bayu di laci. Melangkah tergesa sebelum kabar buruk menghampiri Nanda.
Karena pernah sekali, Nanda datang dengan santai ketika dikabari Bayu berkelahi dengan musuh saat SMA hanya karena lelaki itu cemburu pacarnya menggoda Bayu. Itu awal tahun baru kemarin. Sikap santai Nanda, nyaris membuat nyawa Bayu melayang.
"Mbak Nanda! HPnya ketinggalan!" seru Mella berlari mengejar langkah Nanda.
"Aduh, Nanda. Selalu aja ada yang ketinggal kalau lagi buru-buru," omel Nanda pada dirinya sendiri.
Sepanjang perjalanan, Nanda mencoba menebak apa yang membuat dua sahabat itu berkelahi. Tidak mungkin mereka memperebutkan wanita, sungguh konyol. Lagipula mereka beda selera Nanda tahu itu.
"Ah, kenapa nggak coba telfon Ken dulu?" gumam Nanda dengan senyum merekah saat mendapatkan ide cemerlang. Mana tahu, ini bukan tentang perkelahian dua sahabat itu. Nanda segera menekan speeddial kemudian bersikap setenang mungkin sambil menunggu Ken menjawab telfonnya di tengah mengemudi.
"Lah, kenapa dia nggak angkat telfon aku?" tanya Nanda mengernyit. Sekali lagi dia mencoba menghubungi Ken.
Panggilan tak terjawab itu semakin menguatkan dugaan Nanda bahwa dua lelaki itu berkelahi. Tanpa pikir panjang, Nanda segera melesatkan laju mobilnya. Secepat mungkin untuk segera sampai. Bayangan darah di kepala Bayu saat tahun baru waktu itu membuat Nanda bergidik. Jangan sampai terulang untuk kedua kalinya.
Begitu sampai, dia langsung berlari masuk. Sedikit mengernyit ketika suasana Cafe itu nampak sepi dan lengang seperti tidak ada keributan sama sekali. Tapi kecemasannya mengenai Bossnya itu belum berkurang.
"Pak Bayu...,"
"Oh, Bu Nanda. Saya Arul. Pak Bayu ada di atas menemani Pak Ken," potong seorang lelaki dengan setelan kemeja rapi, menyambut Nanda dengan sopan dan ramah.
"Mereka berkelahi?" tanya Nanda tanpa basa-basi.
"Nyaris, Bu. Mari saya antar."
"Apa?! Nyaris?" pekik Nanda terkejut. Napasnya tersengal-sengal seketika.
Tangannya mengepal, menekan rasa penasaran dan cemasnya. Langkahnya cepat mengikuti langkah lelaki itu, yang Nanda tahu adalah asisten Ken.
"Pak Bayu?" panggil Nanda bergegas lebih cepat menghampiri Bayu ketika Arul membukakan pintu.
"Iya, Nda. Makasih udah mau datang," sahut Bayu menoleh pada Nanda lengkap dengan senyum tipisnya.
"Jadi apa masalahnya? Bapak nggak apa-apa kan?" tanya Nanda menelusuri tubuh Bossnya dengan tatapannya.
"Baik, Nda. Cuma...,"
"Oh, syukurlah. Yang ada di bayangan saya, Bapak berkelahi kayak pas tahun baru itu," sahut Nanda jujur, seiring dengan napasnya melega.
"Sini!" perintah Bayu tiba-tiba dengan bisikan.
"Apa?" tanya Nanda polos, mendekat begitu saja.
"Kamu bisa temenin Ken nggak? Saya nggak tega buat ninggalin. Tapi saya ada perlu mau urus pajak."
"Pak Ken kenapa?" tanya Nanda berganti dengan suara berbisik.
"Tadi ada masalah. Masih syok kayaknya dia. Salah satu Cafenya diserang orang."
"Astaga! Yang benar?"
"Iya. Baru aja kejadiannya."
"Lapor polisi?"
"Nggak perlu. Cuma masalah keluarga. Ya udah, saya titip Ken ya? Kalau udah selesai nanti saya ke sini."
Cuma? Cuma masalah keluarga? Nanda mengernyit lebih dalam. Merasa terusik rasa penasarannya. Jadi seperti apa keadaan keluarga Ken yang sebenarnya? Melihat dari pengeroyokan Cafe yang dibilang cuma masalah keluarga.
Nanda menghela napas ketika terdengar pintu tertutup begitu Bayu sudah keluar. Mata Nanda menatap ke seluruh ruangan itu, mencari sosok Ken yang sejak tadi tidak dia temukan. Lalu berhenti di satu sudut jendela besar. Menemukan lelaki itu diam menatap ke luar sana dengan tangan mengepal.
Ada niat ingin tidak peduli. Tapi sialnya, kalimat Ken malam itu malah datang seperti menagih janjinya untuk tidak meninggalkan lelaki yang terlihat mengenaskan itu.
"Ken," panggil Nanda hati-hati sambil mendekat. Takut-takut lebih tepatnya.
Tidak ada reaksi apapun dari lelaki itu. Hanya helaan napas berat di tengah dia berusaha menahan ledakan emosi.
"Pak Bayu bilang...,"
"Kamu bisa genggam tangan aku kayak malam itu nggak?" tanya Ken serak sedikit bergetar, tanpa menoleh sedikitpun memotong kalimat Nanda.
Nanda terhenyak. Sesaat dia ragu. Tapi gerakan kepala Ken, menoleh padanya membuat Nanda perlahan mengulurkan tangannya. Menggenggam kepalan tangan lelaki itu, merangkumnya dalam tangkupan kedua tangannya.
"Jangan lupa, kamu itu istimewa," ucap Nanda memberikan seulas senyumnya.
Lelaki itu hanya menghela napasnya lalu menghadap Nanda tanpa melepaskan tangannya dari genggaman Nanda. Matanya menatap Nanda sejenak. Sebentuk senyum tipis dan tatapan tulus menyemangati dirinya, Ken temukan di sana.
Letupan di dadanya mendorong Ken untuk menghambur memeluk Nanda. Seperti berbicara kalau dia butuh sandaran. Meski terdengar konyol, mana ada lelaki butuh sandaran. Tapi itu yang Ken rasakan sekarang.
Sementara Nanda cukup terkejut tapi bahasa tubuh lelaki itu membuatnya paham. Nanda melepaskan genggaman tangannya pada Ken, berganti membalas pelukan itu. Satu tangannya menepuk-nepuk punggung Ken. Tidak perlu bicara atau cerita. Biar saja bahasa tubuh yang meredakan apa yang membuat lelaki itu marah.
***
Tbc
10 November 2018
S Andi
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top