Bab 2

Untuk pertama kalinya, Nanda bersungut-sungut meninggalkan Cafe di siang hari. Bukan pada teriknya matahari yang jelas terlihat dari dalam Cafe-nya. Tapi pada telpon Bossnya. Dengan seenaknya minta jemput di sebuah Cafe.

"Mbak Nanda mau ke mana?" tanya Jufri, seorang karyawan yang biasa membantu Bayu di kitchen.

"Boss mu minta jemput. Saya nggak tahu kenapa, kan bisa naik taksi atau pesan ojek online," sungut Nanda sambil meraih tasnya.

"Emang Pak Boss nggak bawa mobilnya, Mbak?"

Nanda membuang napas, mengangkat kunci mobil milik Bayu sebagai jawabannya. Tadi pagi Bayu datang, tidak lama lalu pergi terlihat begitu tergesa meminta salah satu karyawannya yang baru datang memarkirkan motornya, berbalik mengantarnya.

"Mbak Nanda," panggil Mella menghampirinya.

"Apa, Mell?" tanya Nanda tanpa bisa menyembunyikan wajah kusutnya. Bukan apa-apa, terkadang Bayu kalau sudah di luar suka lupa waktu. Nanti Nanda yang repot dengan laporan harian tetek bengek cafenya.

"Kunci kasirnya mana, Mbak? Kan Mbak Nanda mau pergi," tanya Mella mengingatkan.

"Aduh, kan, saya sampai lupa. Gara-gara Bayu nih minta jemput. Ini, saya tinggal ya? Mella, saya percayakan sama kamu," ucap Nanda sambil memberikan kunci kasir pada gadis berambut pendek itu.

"Siap, Mbak. Pak Boss lagi manja ya? Cie, Mbak Nanda manggilnya bukan pakai Pak lagi," ledek Mella terkikik sambil kembali ke meja kasir, sementara yang lain hanya terdiam menahan senyum.

Bagi mereka, Pak Boss Bayu dan Mbak Nanda adalah sebuah perpaduan yang seimbang. Sepaham pula. Membuat mereka terkadang gemas, kenapa tidak pacaran saja? Atau menikah mungkin?

Ledekan Mella membuat Nanda mengatupkan rahangnya dan bergegas pergi. Kalau bukan karena mereka sudah dekat dan seperti keluarga, Nanda sudah pasti menggetok kepala mereka satu-satu. Hanya saja mereka sudah seperti adik bagi Nanda.

Beruntung jalanan Jakarta siang ini tidak begitu padat. Tidak membuat Nanda jenuh di perjalanan dari Kemang menuju ke Tebet. Dia segera turun begitu mobil terparkir sempurna, mengabaikan beberapa pesan dan panggilan dari Bayu.

"Ya, udah nyampai, Pak Boss," jawab Nanda menahan geram.

"Langsung masuk aja. Aku di dalam. Panggilnya yang mesra dong. Kalau nggak nanti gajimu aku potong," kata Bayu sengaja meledek Nanda. Tapi memang, Bayu pernah meminta di luar Cafe, cukup panggil nama saja dengan alasan rentang usia tidak begitu jauh. Atau ada tambahan Mas biar mesra katanya.

"Oke, Mas Bayu," ulang Nanda menahan geram, disambut dengan tawa puas dari Bayu.

Nanda membuang napas singkat kemudian berjalan memasuki Kedai Kopi dengan konsep design minimalis itu. Sesaat dia berpendapat kalau yang punya kedai ini orangnya sederhana tanpa meninggalkan kesan perfect.

"Nanda!" Panggilan itu membuatnya menoleh, mendapati Bayu tersenyum lebar mengangkat satu tangannya. Nanda bergegas menghampiri Bossnya itu.

"Ini kuncinya. Saya pulang sendiri atau,"

"Pulang bareng nanti. Duduk dulu aja," potong Bayu.

"Terus kamu ngapain minta aku jemput?" tanya Nanda tidak habis pikir.

"Hemat, Nda. Kalau naek taksi kan pakai ongkos. Percuma dong aku punya kendaraan," jawab Bayu kalem tapi mampu menguras kesabaran.

"Terus kenapa,"

"Ini Cafe teman aku. Punya Ken. Ini pusatnya. Keren kan dia? Sang Barista. Dia yang meracik kopi. Kamu harus coba deh."

"Oh, jadi temannya Bapak eh kamu yang kemarin itu tukang Kopi?" tanya Nanda mengangguk-angguk sambil menatap ke sekeliling ruangan itu.

"Tukang kopi? Barista, Nda, namanya," ralat Bayu.

"Sama aja kan? Tukang kayu istilah kerennya kan Carpenter," jawab Nanda tidak mau kalah.

"Untung orangnya nggak dengar. Coba kalau dengar, bisa digiling kamu pakai mesin kopinya."

"Nggak apa-apa kalau dia yang ngomong, Bay. Hei, Nanda," sapa Ken mengambil duduk tepat di depan Nanda lengkap dengan senyum terbaiknya, melupakan keberadaan Bayu. Bahkan tidak mempedulikan dengusan sebal dari Bayu.

"Ingat, ada gue. Jangan rayu-rayu dia!" dengus Bayu tak senang.

"Kenapa sih? Nanda aja nggak masalah. Iya kan, Nda? Oya, boleh minta kontaknya nggak?"

"Nggak usah dijawab, Nda. Kita pulang sekarang aja," serobot Bayu sambil beranjak, sedikit menyeret tangan Nanda tanpa mempedulikan protes dari Ken.

Sementara Nanda masih mengernyit, tidak tahu dengan apa yang terjadi dengan dua lelaki itu. Lebih mengernyit lagi ketika Bayu terkekeh geli melihat Ken mengerang kesal di dalam sana.

"Bayu," panggil Nanda ketika Bayu membukakan pintu mobil untuknya.

"Nggak apa-apa. Jangan dianggap serius. Ken suka merayu orang, jadi jangan pernah kasih nomer kamu ke dia kalau kamu nggak mau terperangkap sama Ken. Banyak kasus cewek patah hati gara-gara dia," ucap Bayu setelah dia selesai memasang seatbelt.

"Serius?"

"Iya. Kayaknya sekarang agak frustrasi gara-gara nyokapnya mulai nyecar kapan kawin. Makanya dia begitu tadi, datang-datang minta nomor kamu."

"Bapak juga kapan kawin?" tanya Nanda meledek tapi dengan nada datar membuat Bayu terbungkam. Memilih mulai melajukan mobil sedannya meninggalkan Cafe itu.

"Kamu kan juga belum kawin. Kenapa kita nggak bikin undangan kita aja? Cocok kan?"

"Kodenya kurang pas, Pak. Aku udah tahu siapa Bapak Bayu eh Mas Bayu biar seneng dikit tambahin 'Mas'," cibir Nanda.

"Haha. Jangan buru-buru, Nda kalau belum siap. Nikmatin aja dulu. Peduli setan dengan orang yang bicara miring. Mereka cuma bisa lihat tanpa bisa merasakan."

Nanda mengerjabkan matanya, menatap Boss-nya takjub. Tangannya menyentuh lengan Bayu.

"Pak? Eh Mas Bayu?"

"Apa sih, Nda?" decak Bayu mengernyitkan dahi.

"Tumben adem ngomongnya. Bijaksana lagi," ucap Nanda kemudian terkikik. Sementara Bayu tersenyum masam. Lagi, wanita di sampingnya ini selalu bisa menyekak mati kalimatnya.
***

Hari pertama publish, segini dulu ya. Boleh tinggalkan jejak (makasih banget malah).
Salam, S Andi
28 Oktober 2018

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top