Bab 18

Ken membuang napasnya untuk kesekian kalinya. Tangannya mengepal kuat, menampakkan otot-ototnya tanda dia bersusah payah meredam emosinya ketika mendapati pintu kamarnya terbuka. Asisten rumah tangga sedang sibuk membawa pergi barang-barang Ken dengan takut. Dia juga tidak melewatkan suara melengking memenuhi kamarnya lengkap dengan kata-kata menyakitkan.

Kenapa untuk menjalani hidup sesuai dengan pilihannya saja begitu sulit bagi Ken? Kenapa Tuhan membedakan hidup Ken dengan yang lain? Giginya kini bergemerutuk hampir lepas kendali sekalipun sejak awal Ken sudah tahu apa yang akan terjadi. Hanya saja Ken masih merasa terguncang dan tidak mengerti dengan jalan hidupnya. Sekeras mungkin Ken mendapatkan kembali bayangan Nanda dalam pikirannya. Berharap itu bisa membantunya untuk mendapatkan kembali kendali atas dirinya. Mengais kekuatan dari dalam dirinya.

"Buang kopi-kopi sialan itu. Saya nggak mau barang-barang itu ada di rumah ini lagi! Barang sialan yang hanya bikin anak saya tersesat! Membangkang! Dasar, memalukan!"

Rentetan kata-kata menyakitkan itu kembali terdengar keluar dari mulut Mami. Ken melangkah dengan tatapan datar menahan luapan emosinya mati-matian.

"Oh, berani pulang? Setelah kamu bikin semuanya kacau? Apa cafe dan kopi sialanmu itu lebih penting dari acara keluarga? Kamu tahu bagaimana malunya Mami? Gelagapan di hadapan orangtua Prisma?!

Kamu tahu bagaimana kecewanya orangtua Prisma? Terlebih Prisma sendiri? Papi telfon kamu berapa kali? Apa kamu lupa cara menghormati, berbakti sama orangtua? Ken Pratama Wiratmaja!"

Ken menghela napasnya. Bahkan orangtuanya sendiri tidak mampu memahaminya. Jelas, Ken tidak lebih dari sekedar aset bagi sepasang suami istri itu. Bahkan sepertinya anak adopsi jauh lebih tepat.

"Jadi apa lagi yang Mami inginkan?" tanya Ken datar.

"Apa kamu bilang?"

"Apa lagi yang Mami inginkan dari Ken?" Ken menatap Mami serius. Terlihat wanita itu terkejut dengan sikap Ken kali ini.

"Kembali pada Ken kami yang dulu!"

Ken tertawa lirih. Ken yang dulu, yang selalu menurut pada perintah Mami. Ken mendekat satu langkah. Menatap lekat-lekat wanita di hadapannya.

"Empat tahun yang lalu, Mi. Apa yang Ken nggak turuti? Semua Ken lakukan, tanpa peduli Ken suka atau nggak. Sekarang, boleh Ken tanya?"

Mami membalas tatapan Ken. Sementara itu Ken tersenyum samar.

"Pernah nggak Mami tanya Ken, Ken mau apa? Lalu Mami turuti apa mau Ken. Pernah? Enggak kan, Mi? Seumur hidup, Mi. Ken cuma minta satu aja. Jalan hidup Ken biar Ken yang menentukan."

"Apa yang Mami lakukan demi kebaikan kamu!"

"Kebaikan yang mana, Mi? Pernah nggak Mami berpikir kalau apa yang Mami lakukan itu bikin Ken tertekan? Kadang Ken ingin tanya sama Mami, Ken ini anak kandung Mami atau sekedar anak yang boleh nyomot di jalan?"

"Mulutmu!" desis Mami terkejut, merasa terhina. Bahkan tangannya tanpa sadar menampar keras pipi Ken. Matanya merah meradang lengkap dengan napas tersengal-sengal.

"Aku yang mengandungmu! Darimana asal pikiran kotor kayak gitu?!" teriak Mami meradang tak tertahan.

"Mami!" seru Papi tergopoh-gopoh menghampiri Mami.

"Apa kopi itu membuat jalan pikirmu jadi sinting?" teriak Mami sambil menepis tangan Papi yang mencoba meredakan kemarahan Mami.

"Kalau Ken ini anak kalian, kenapa kalian memperlakukan Ken nggak lebih dari sekedar aset? Tanpa perlu memikirkan bagaimana perasaan Ken. Dua puluh sembilan tahun parenting kalian gagal total!"

"Ken Pratama!!!" Kali ini Papi menyerukan namanya. Wajahnya mendadak merah padam. Kalimat Ken sudah meluluh lantakkan status sebagai orang tua. Faktanya memang sangat payah.

"Ini fakta, Pi. Kalian cuma sibuk menjaga nama baik. Bukan sibuk membesarkan anak. Tapi Ken nggak mau seperti kalian. Dan, menikah dengan Prisma, apa bedanya dengan kalian?"

"Kurang ajar!"

Ken hanya tertawa lirih ketika kepalan tinju dari Papi mengenai keras tepat di tulang pipinya. Ini pertama kalinya Ken menerima kekerasan fisik itu. Dan itu karena Prisma. Ironis, lelaki yang terpasung di ketiak orangtua itu adalah Ken.

"Makasih, Pi. Setidaknya sekarang Ken tahu, bahwa Ken tidak begitu penting dibanding nama baik keluarga juga bisnis Papi."

"Nggak tahu diri! Bisa-bisanya kamu bicara seperti itu! Papi terpaksa harus menyuruh mereka untuk meratakan Cafe sialanmu itu!"

"Ratakan, Pi. Tapi mimpi seorang Ken nggak akan bisa berhenti di sini!"

***

Ken terdiam, menatap langit malam dari balkon kamarnya. Bibirnya meringis tipis.

Sekali ini saja, kenapa sulit, Tuhan? Sekali seumur hidup, cuma mau tahu rasanya menentukan pilihan. Menjalani apa yang sudah menjadi pilihan. Mengapa dipersulit?

Iya, Ken tidak meminta banyak. Yang dia inginkan mewujudkan mimpinya dan hidup bahagia bersama wanita yang menjadi pilihannya. Bukan Ken tidak tahu berapa puluh kali orangtuanya mencoba meruntuhkan usaha Cafe yang Ken bangun sendiri.

Ken tidak buka suara. Selagi mimpi masih menjadi tujuannya dan semangat selalu ada. Tapi kali ini, rasanya begitu melelahkan. Ketika orangtuanya mulai menekan dengan menghadirkan seorang wanita, anak teman arisan Mami.

Hal yang baru Ken sadari. Bahwa status anak tidak menjamin dirinya menjadi prioritas. Bahwa dirinya tidak lebih dari sekedar aset bagi keluarga wiratmaja. Oh, sebegitu berhargakah status sosial?

Ken tergagap ketika ponselnya bergetar. Sesaat dia tertegun, Nanda menelponnya. Demi apa? Serasa ada usapan lembut di bahu Ken ketika menyebut nama Nanda di dalam hatinya.

"Hai?" sapa Ken menahan serak.

"Kamu udah sampai? Katamu, kamu mau ngasih kabar kalau udah sampai."

"Udah. Nda?"

"Ya?"

Ken menarik napasnya dalam-dalam. Sedikit ragu untuk bicara.

"Ken?"

"Nggak. Aku mungkin nggak tahu diri. Cuma aku mau minta, jangan jauhi aku, Nda."

***
Tbc
Ini cuma repost dari akun aku di lapak sebelah ya gaess, aku belum nulis apapun 😅😅😅
Enjoy reading, vote comen boleh.
08 November 2018
S Andi

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top