Bab 12

Ken tersenyum sendiri di antara kegiatannya memilah biji kopi sambil sesekali menghirup wangi biji kopi yang sudah menjadi candu baginya. Tapi kali ini, bersama Nanda di pikirannya. Entah, perempuan itu semakin ke sini, semakin menarik dirinya bertambah dalam menggilainya. Sama seperti kopi, Nanda mulai menjadi candu bagi Ken.

Hanya dengan melihat senyum singkat Nanda saja atau mengingat bagaimana suara Nanda, mampu membuat Ken menggugah kembali semangat yang nyaris surut. Semakin menulikan apa yang Maminya katakan mengenai Prisma. Anak perempuan sahabat Mami. Sahabat? Ah, sepertinya teman rumpi Mami di arisan.

Dan Nanda pula yang membuat Ken yakin untuk membentuk jalan hidupnya. Memperjuangkan Nanda berserta Cafenya adalah harga mati bagi Ken. Entah bagaimana caranya dia tidak peduli. Katanya, ada banyak jalan menuju Roma. Ken akan mencoba untuk membuktikan itu. Bukan ke Roma. Tapi masa depan Cafe dan masa depan dirinya. Sudah saatnya Ken berani menunjukkan dirinya tanpa embel-embel orangtuanya.

"Ken, nanti malam Prisma sama orangtuanya akan datang. Mami undang untuk makan malam di rumah kita. Jangan pulang terlambat," ucap Mami mengingatkan ketika Ken melintas keluar dari kamarnya dengan botol kopi di tangannya. Untuk Nanda katanya. Ken memutuskan memindah peralatan hobinya ke dalam kamarnya demi menghindari keributan pagi hari yang biasa Mami ciptakan.

"Kalau nggak bisa?"

"Harus bisa, Ken. Kecuali kalau kamu mau bikin malu keluarga Wiratmaja," tegas Mami seperti biasa, ancaman mematikan dari Mami. Wiratmaja adalah identitas kebesaran keluarganya. Hanya saja Ken lebih memilih melepas nama Wiratmaja sejak empat tahun lalu. Tepatnya sejak Ken memutuskan untuk menekuni hobi yang sangat ditentang keluarga. Kopi. Tidak tahu apa alasan yang membuat keluarganya tidak menyukai kopi.

Ken tertawa kecil, mengangkat wajah, menatap Mami. Kalau tidak dimulai sekarang, lalu kapan lagi? Begitu pikirnya.

"Jangan berharap Ken akan datang. Ken sudah punya janji dengan orang dan itu penting. Wiratmaja nggak akan jatuh hanya dengan nggak hadirnya Ken dalam makan malam yang bagi Mami sangat penting itu," tolak Ken diakhiri dengan senyum tipis kemudian meninggalkan Mami. Wanita itu sepertinya tidak mempercayai apa yang baru saja Ken katakan. Sesaat kemudian Mami berdesis, menyumpahi kopi yang sudah membuat anak semata wayangnya tidak bisa diatur.

"Ken!!!" pekik Mami tersengal-sengal. Wajahnya merah padam.

"Mi?" Papi menyembulkan kepalanya dari pintu kamarnya.

"Anakmu, Pi! Semakin ke sini susah diaturnya. Ini kenapa Mami dulu melarang keras Papi untuk menguliahkan dia ke luar negri!"

"Demi pendidikan yang bagus, Mi. Kita juga yang bangga."

"Sekarang lihat sendiri anak itu selalu menguras emosi! Kuliah di luar negri bukan bikin bangga. Mami udah ingatin Papi, anak jauh dari pengawasan orangtua resikonya menjadi liarnya besar. Tapi papi nggak pernah mau dengar Mami!"

Papi hanya terdiam. Menjawab Mami malah akan memperpanjang masalah. Papi tahu, menguliahkan Ken ke luar negri memiliki resiko besar. Tapi tidak pernah menyangka akan seliar ini. Yang Papi pikirkan kala itu, kuliah di luar negri, membuat orang-orang berdecak kagum. Memandang ke atas. Lagi, demi harga diri katanya.

Ken mendengar semuanya sebelum dia melanjutkan langkahnya meninggalkan rumah besar itu. Dia menghela napas panjang. Sudah jelas, status sosial lebih penting bagi orangtuanya.

"Semangat berjuang, Ken! Untuk Nanda dan Cafe," bisik Ken menyemangati dirinya sendiri sambil membuka pintu mobil.

Ya. Ken sudah memilih. Kuliah di luar negri jauh dari pengawasan dan tekanan orangtuanya membuat mata dan pikiran Ken terbuka. Belajar banyak mengenai apa itu menikmati kehidupan, menciptakan tujuan. Memiliki mimpi. Ken berteman dengan bebas, berkenalan dengan seorang barista yang berujung dengan perkenalannya pada biji-biji kopi.

Aroma biji kopi yang pertama kali menyapa Ken, menariknya untuk jatuh cinta. Hingga dia belajar keras pada barista itu ketika Ken menemukan kesenangannya. Aromanya yang menjadi candu, membebaskan Ken dari tekanan-tekanan itu. Membuat Ken terbangun dan berani untuk melawan tekanan-tekanan itu. Ken seorang lelaki yang belajar berani dan tanggungjawab dalam waktu yang terbilang terlambat. Tapi mimpinya memacu keras dan liar sampai-sampai selalu membuat orangtuanya menarik urat setiap kali perintahnya tidak lagi Ken penuhi. Ken bukan lagi anak kecil di bawah ketiak orangtuanya yang bisa diatur dengan mudah.

"Maaf, Mi. Kali ini saja, biar Ken yang memilih tujuan Ken," lirih Ken kemudian melesatkan mobilnya, meninggalkan rumah besar itu. Dia tidak akan memilih salah satu dari yang Mami tawarkan. Menikah dengan Prisma tapi Cafe berjalan. Atau tidak menikah dengan Prisma tapi menutup Cafe dan kembali pada orangtua, mengurusi bisnis keluarga. Tidak keduanya bagi Ken.

"Ken Pratama Wiratmaja udah terkubur lama. Sebelas tahun yang lalu, Mami. Yang pulang lima tahun yang lalu, Ken Pratama. Sayang, kalian masih tidak mempercayai," kekeh Ken sambil menambah kecepatan laju mobilnya.

Ada senyum miring di sudut bibirnya dengan mata menatap tajam ke depan sana. Tangannya mencengkeram bulatan kemudi seperti siap melibas siapapun yang menghalangi jalan untuk menuju tujuannya.

Tapi bagaimanapun juga, dia mengucapkan terima kasih pada Papinya yang bersikeras mengirimnya ke luar negri. Memerdekakan Ken tanpa disadari. Entah ini hanya masalah kelalaian orangtua atau keberuntungan bagi Ken. Sepertinya dua-duanya.

"Pagi, Boss," sapa seorang lelaki mengangguk hormat melihat kedatangan Ken.

"Pagi, Rul. Hari ini saya mau lihat laporan tiga Cafe, evaluasi sama ide-ide brillian dari kalian. Meeting jam sepuluh di lantai atas. Jangan sampai telat dan kabari semuanya," ucap Ken tegas dan dingin pada asistennya. Ken suka mengadakan meeting dadakan. Katanya, untuk menghindari kecurangan. Memanipulasi data dalam waktu singkat itu mustahil. Kedisiplinan dan kejujuran tidak membutuhkan waktu lama dan alasan bertele-tele. Kapanpun meeting pasti akan siap.

Mendengar kata Meeting, Arul segera melesat untuk menghubungi tiga penanggungjawab Cafe-Cafe itu. Sementara Ken dengan sikap santainya menuju ke ruangannya namun terhenti sejenak menatap botol kopi di tangannya. Alisnya naik sebelah.

"Kenapa lo nggak teriak minta diturunin pas lewat di depan Cafe Bayu tadi, huh?" gerutu Ken pada botol kopi itu.

Dia berdecak sambil bergegas meninggalkan tempat itu. Kali ini dengan bersiul, semangat bertemu Nanda. Tidak peduli dengan tatapan aneh para karyawannya setelah tadi sesaat menatap Ken takut-takut.

***
Tbc

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top