Bab 11
Nanda mengembuskan napas lelahnya. Dia ingin berteriak betapa lelah dan penat itu bertumpuk-tumpuk. Mengapa orang-orang merengek-rengek pada Nanda. Bukankah seharusnya Nanda yang merengek-rengek sebab Nanda hanya hidup seorang diri? Mencari perhatian selayaknya orang kesepian. Tapi yang terjadi malah orang datang pada Nanda untuk menumpukkan keluh kesahnya. Terus siapa yang akan mendengarkan Nanda. Nanda juga butuh untuk dimengerti, didengar.
"Nda, kamu masih di situ kan?" tanya Diya menarik kembali kesadaran Nanda.
"Iya. Kenapa lagi, Diya?" tanya Nanda mengalah, menahan diri untuk tidak kesal.
"Aku nggak punya duit lagi, Nda. Boleh tolong pinjam nggak? Duit aku dipinjam kakak. Kasihan dia cuma dikasih sepuluh ribu sama suaminya," ucap Diya dengan nada memelas. Jujur, Nanda sangat tidak menyukai ini. Cerita Diya mengenai kehidupan rumah tangga Kakaknya tidak jauh beda sakitnya. Terkadang kakaknya hanya dijatah sepuluh ribu untuk sehari-hari. Anaknya mau jajan apa? Lalu mau makan apa? Mie instan pakai nasi?
Terkadang malah lima ribu sehari. Beruntung ada Diya yang siap membantu. Tapi apa iya, hidup akan terus menyusahkan orang lain? Ini pula yang membuat Nanda jauh-jauh berpikir ulang untuk menikah. Bukan meragukan kuasa Tuhan yang katanya Jangan takut menikah, Tuhan sudah menyiapkan rejekinya masing-masing.
Tidak, Nanda bukan meragukan itu. Tapi memikirkan jalan baiknya bukan hal yang salah kan? Termasuk melihat apa lelaki itu sanggup mencukupi kebutuhan Nanda? Nanda tidak ingin seperti yang lain. Bukan Nanda tidak ingin susah, tapi Nanda tidak ingin orang menjadi tertekan.
"Diya, maaf, bukan aku nggak mau bantu. Tapi tolonglah, ini yang aku maksud, Diya. Menikah bukan perkara gampang. Tolong, Diya, kali ini aja, belajar tanggungjawab, berani mengambim resiko untuk keputusan yang udah kalian ambil," Nanda bicara kali ini tidak bisa menyembunyikan kelelahannya.
Menikah itu kesepakatan berdua kan? Mengapa untuk resiko, orang lain juga harus merasakan? Nanda merapatkan matanya. Katanya teman, ini namanya teman? Dihubungi ketika ada masalah? Nanda tertawa miris, seketika dia jadi meragukan sebuah kata teman. Setelah dia berhasil membenci kata cerai.
"Nda,"
"Enggak, Diya. Kamu temanku kan? Hargai aku kali ini aja."
Nanda memutus telfon dari Diya, meletakkan ponselnya di meja kasir dengan sedikit jengkel.
"Makan itu cinta!" dengus Nanda dengan dada naik-turun menahan kesal.
"Nanda," Suara rendah di hadapannya membuat Nanda mengangkat wajah. Mendapati Ken dengan senyum lebarnya. Sejak kapan dia datang. Bukan tadi siang Nanda meninggalkannya bersama Prisma? Ah! Nanda mengerang dalam hati. Mengapa Tuhan harus mempertemukan lagi dengan Prisma? Apa benar, dunia hanya selebar daun kelor?
"Apa?"
"Galak amat malam ini. Tapi nggak apa-apa. Mau ya, Nda, nikah sama aku?"
"Enggak!"
"Ya ampun, Nda. Kenapa sih? Buat kamu nih, biar nggak senewen," ujar Ken menyodorkan botol stainless yang berisi kopi dingin buatannya. Spesial untuk Nanda.
"Ini aku kasih tahu. Kamu pikir nikah itu enak? Mending pikir ulang. Aku yang belum nikah aja ikutan pusing. Nikah bukan perkara pelaminan aja. Setelahnya kamu harus tahu resikonya. Belum sanggup menanggung hidup anak orang nggak usah belagu nikahin anak orang. Jangan jadiin cinta alasan.
Ekonomi susah ngrepotin siapa kalau bukan teman apa saudara. Masih untung kalau punya saudara. Yang kasihan yang jadi temannya. Tiap hari nggak jauh beda sama mesin atm. Nikah berdua yang repot orang sejagat. Pikir itu, sebelum kamu nikah!" omel Nanda tak terbendung, meluapkan kekesalannya. Bahkan kini napasnya tersengal-sengal meskipun sedikit lega sudah bisa meluapkan kejengkelannya.
Omelan Nanda membuat Ken terdiam menelan ludah susah payah. Dia baru melihat kesalnya Nanda yang mengubah Nanda menjadi cerewet. Hilang sudah kesan kerasnya. Malah Ken melihat sisi menggemaskan dari Nanda tanpa meninggalkan pikiran kritisnya.
"Tapi aku nggak gitu, Nda. Sekali seumur hidup pokoknya. Nggak akan berubah," ucap Ken meyakinkan lengkap dengan mimik mukanya.
Nanda kembali terpekur. Menatap Ken dengan sorot tak terbaca.
"Kamu itu keras kepala ya?"
"Bukan keras kepala, Nda. Tapi pantang menyerah. Konsisten sama kamu," bantah Ken mengerlingkan matanya.
"Terserah!" Nanda mulai bertambah jengkel juga geregetan dengan lelaki di hadapannya ini. Rasanya dia ingin mencakar sampai lelaki itu bilang ampun dan tidak akan mengganggu Nanda lagi.
"Ya udah kalau terserah, berarti kamu mau nikah sama aku. Mau kan? Mau kan?"
"Terserah!" geram Nanda tidak mau ambil pusing. Kepenatannya membuat Nanda tidak mendengar dengan seksama apa yang Ken katakan.
"Beneran, Nda? Kamu mau nikah sama aku? Iya?"
Seketika Nanda mengatupkan mulut. Terserah maksud Nanda, bukan berarti dia mau menikah dengan Ken. Dia hanya tidak mau ambil pusing mengenai apa yang Ken katakan.
"Siapa bilang? Terserah maksudku, kamu mau ngomong apa aku nggak peduli," jengit Nanda, menekankan garis keras agar Ken paham apa yang Nanda inginkan.
"Oke. Mungkin sekarang, enggak. Tapi mana tahu nanti berubah. Hati manusia gampang berubahnya," jawab Ken berbesar hati. Menghadapi Nanda harus bersedia sabar dengan sangat. Itu yang Bayu ingatkan pada Ken kalau benar-benar ingin meluluhkan kerasnya Nanda.
"Ya, benar. Sama kayak kamu, sebentar lagi juga berubah."
"Berubah lebih sabar demi dapetin hati kamu, Nda. Gimana? Lelaki idaman banget kan?"
Nanda berdecih. Bukan Nanda namanya kalau hanya dengan kalimat manis itu langsung luluh. Sementara Ken hanya terkekeh. Kata Ken, sampai nanti dia akan terus berjuang mengejar Nanda untuk menjadi istrinya.
Padahal, Ken tahu, perasaannya pada Nanda sendiri belum begitu jelas. Apa ini sekedar rasa penasaran, merasa tergugah untuk meluluhkan kerasnya Nanda. Atau memang ini murni, jalan Tuhan untuk menjemput jodohnya. Nanda jodohnya Ken? Tidak ada yang tahu. Hanya saja, apapun yang mengenai Nanda pasti menimbulkan sensasi asing bagi Ken.
***
Sedikit curhat. Ini yang saya rasakan ketika teman-teman udah pada nikah. Bukan ga mau nolong teman. Tapi coba dong jangan dikit-dikit lari ke teman. Mana tahu mereka sengaja hemat biar ada yang pegangan. Tapi kalian datang dengan gampangnya bilang minjem uang, yang alasan anaknya sakit lah, ga dikasih uang belanja lah dan lain lain. Belajar memanage uang dengan baik, please..
Tbc, 02 November 2018
S Andi
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top