Part 9

"Kau jahat, Naresh." Zenya tidak kuasa menahan tangis, kala mendengar ucapan yang keluar dari mulut lelaki itu. Dadanya terasa sesak, hatinya remuk redam seperti dihempaskan dari tebing tinggi ke jurang paling dalam.

"Maaf, Ze. Tapi, keputusan ini sudah kupikirkan matang-matang." Naresh menunduk. Berdiri di tepian danau, tatapannya memerhatikan rumput jepang yang tumbuh subur di sana.

"Karena istrimu?" Perempuan itu menoleh, menatap wajah Naresh dari samping yang tertutup rambut gondrongnya yang digerai, berantakan terbawa embusan angin.

Mengangguk lemah, Naresh pun berkata, "Iya."

"Aku tidak ingin pisah darimu." Tangisnya semakin pecah. Suara isakan pun semakin jelas terdengar. Mengulurkan kedua tangan, Zenya mencengkeram kuat lengan kiri lelaki itu.

Naresh menatap iba perempuan berkulit eksotis di sampingnya. Keputusan yang ia ambil sudah bulat, tidak bisa diganggu gugat lagi. Ini sudah waktunya ia berjuang untuk Alesha, sebelum terlambat, sebelum Alesha mengakhiri pernikahannya, dan sebelum lelaki bernama Dion merebut hati gadis itu.

Menarik napas panjang, Naresh pun menggeleng. "Aku tidak bisa. Aku tidak bisa membohongi hatiku, jika masih mencintai dia, Ze. Batinku tersiksa setiap melihat dia dengan pria lain."

"Lalu, bagaimana denganku, Naresh? Kenapa kau hanya memikirkan hatimu sendiri?!" seru Zenya di sela isakan.

"Kamu akan mendapatkan pria yang lebih baik dariku. Pria yang akan mencintaimu dengan tulus."

Zenya mengatupkan bibir rapat-rapat sembari menggeleng kuat. Lelaki itu enteng sekali berkata setelah membawa dirinya jatuh lebih dalam ke hatinya.

"Aku hanya cinta denganmu. Sedari dulu, saat pertama kita bertemu, aku sudah jatuh cinta kepadamu. Kau tahu itu, Naresh," ucapnya penuh penekanan.

"Aku minta maaf, tapi aku tidak bisa, Ze." Naresh tahu ini terlalu jahat. Namun, jika hubungannya terus berlanjut, ia juga kasihan dengan Zenya. Perempuan itu berhak bahagia, dan sudah seharusnya mencari pendamping yang tulus mencintainya.

Naresh menarik lengan kirinya yang terselip di saku celana kain, membuat tangan Zenya terlepas. Lantas, ia melihat arloji yang melingkar di pergelangannya.

"Sudah jam dua, kita harus pergi ke bandara sekarang. Jam empat pesawatmu sudah terbang." Membalikkan badan, lelaki itu melangkah lebih dulu meninggalkan Zenya yang masih berdiri, menangis, dengan tangan mengepal menahan geram bercampur sakit hati yang begitu dalam.

'Suatu saat aku akan membalasmu, Alesha. Aku akan merebut Naresh darimu,' batin Zenya. Kemudian, ia mengikuti Naresh masuk ke mobil, menuju bandara.

Dalam perjalanan mereka saling diam, hanya suara radio yang terdengar. Zenya yang masih meluruhkan air mata membuang muka dari Naresh, menatap keluar jendela dengan perasaan kalut. Sedangkan Naresh tetap fokus menyetir, pandangannya menatap lurus ke jalanan di depannya. Ia bahkan tidak menyesali keputusannya barusan, yang ada dalam benak justru bagaimana cara membuat Alesha luluh kembali.

Setengah jam perjalanan, mereka pun sampai di Bandara Soekarno-Hatta. Naresh menghentikan mobil, menatap Zenya yang masih diam dalam posisinya duduk.

"Aku berharap kamu bahagia di sana, Ze. Menemukan pria yang benar-benar mencintaimu. Maafkan aku, jika ini terlalu menyakitkan untukmu. Namun, ini demi kebaikan kita, Ze."

"Kau terlalu enteng bicara seperti itu, Naresh. Kau tidak mengerti bagaimana perasaanku," ucap Zenya bersuara parau, tanpa menoleh menatap Naresh. Kemudian, ia bergegas turun, mengambil koper dari bagasi.

Begitu pun Naresh, turun dan membantu menarik koper hitam milik mantan kekasihnya. Mengucapkan kata perpisahan, ia menatap perempuan itu berlalu dari hadapannya berjalan memasuki bandara. Naresh masih berdiri di tempat sambil bersedekap, memerhatikan Zenya sampai tak terlihat. Setelahnya, ia segera pergi dari pelataran bandara menuju kantor.

Selang satu jam Naresh sampai di kantornya. Kaki panjangnya melangkah lebar memasuki lobi, sesekali ia mengangguk kala mendapat sapaan dari para pegawai. Terus melangkah memasuki lift untuk membawanya ke lantai empat, pikiran Naresh bercabang ke mana-mana, bingung, pusing, bahkan ia sendiri tidak tahu kata apa yang pas untuk menguraikan perasaannya kali ini.

"Selamat siang, Pak." Rio yang sedang berkutat dengan komputer, bergegas berdiri menyapa bos mudanya yang baru datang.

Naresh menoleh, menatapnya.

"Siang," balasnya singkat.

"Ah, iya, Pak. Ini ada titipan undangan pernikahan dari klien untuk Anda." Rio mengambil undangan berwarna emas di meja, menyodorkan kepada Naresh yang masih berdiri di depan mejanya.

"Undangan pernikahan?"

"Iya, dia seorang pengusaha properti yang biasa mengambil furnitur di pabrik kita. Sudah cukup dekat dengan Pak Dirgantara."

"Oh, baiklah. Aku terima."

"Saya juga dapat, Pak. Bisa berangkat bersama jika berkenan. Maklum, saya masih jomlo. Tidak enak sekali jika berangkat sendiri, seperti orang hilang." Rio menyengir malu-malu.

"Hm, bisa diatur." Naresh melanjutkan langkah menuju ruangannya. Meletakkan tas kerja di meja, ia menghempaskan pantat di kursi kebesaran. Lantas, membuka undangan tersebut, membacanya.

"Rafael dan Meisya, masih minggu depan acaranya." Menyandarkan punggung sambil mendongak menatap langit-langit, Naresh tampak berpikir. Sedangkan undangan masih dalam genggamannya.

"Mengajak Alesha ke acara itu, semoga dia mau menerima ajakanku," gumamnya.

***

"Al, jika kamu sudah tidak kuat, lebih baik cerai dengan suamimu itu," ucap Dion, bersandar pada meja pantri menatap Alesha yang sedang mengaduk kopi. Jam empat memang waktu para karyawan mengambil istirahat sejenak, sekadar meregangkan otot-otot mereka yang kaku.

"Bisa kupikirkan lain kali, Pak." Alesha menyeruput kopi hitam kesukaannya, memiliki aroma harum menenangkan yang bisa membawa dirinya dalam kedamaian. Setelahnya, ia menoleh menatap Dion, serius. "Aku berharap kamu tidak memberitahu kepada siapa pun tentang pernikahanku."

Dion mengernyit, tetapi Alesha abaikan. Gadis itu tidak ingin rumor pernikahannya sampai terdengar publik. Sedangkan, hubungannya dengan Naresh tidak bisa dikatakan baik, yang ada, nanti ia akan dipermalukan dan dibodoh-bodohi oleh semua orang. Di sini dirinya yang menjadi orang ketiga. Zenya jelas memiliki kuasa lebih akan Naresh, dan bisa saja perempuan itu akan mencari pembelaan dari luar. Menuding dirinya sebagai perebut kekasihnya. Apalagi jaman sekarang media sosial lebih tajam dari pada omongan tetangga, berita apa pun cepat viral dalam waktu sedetik saja. Pun, dengan perundungannya akan lebih pedas dan kejam di dunia maya daripada di dunia nyata. Alesha tidak mau itu terjadi. Kariernya bisa hancur, juga keluarganya akan menerimanya getahnya.

Meletakkan cangkir di meja, Alesha menghela napas kasar.

Dion masih menatapnya lekat-lekat. Rasa penasaran kini semakin menghantui pikiran. "Kenapa?" tanyanya.

"Belum saatnya," balas Alesha, menundukkan. Menatap cangkir berisi air hitam pekat.

"Lalu, kamu ingin hidup di tengah-tengah mereka yang terlalu berengsek dan tidak punya otak?"

Alesha terdiam. Menyeruput kopinya lagi dengan pikiran tak menentu. Lalu, diletakkan kembali cangkir itu ke meja, menangkupnya.

"Minggu depan acara pernikahan saudara kamu, apakah gaunnya sudah disiapkan? Sebulan lalu Meisya fitting, aku tidak menyangka jika hari pernikahannya sudah sedekat ini." Alesha mengalihkan pembicaraan. Ia tidak mau terlalu dalam membahas tentang Naresh, ingin menguatkan hati untuk menghadapi lelaki itu dan si lampir.

"Sudah. Dia menyuruhmu menjadi bridesmaids katanya. Sebagai ucapan terima kasih atas rancangan gaun pengantin spesialnya."

"Iya, dia sudah mengatakannya padaku."

"Mau berangkat denganku?"

Alesha menatap Dion, mengangguk pelan. "Boleh, nanti bersama Diana juga. Kami sudah berjanji akan berangkat bersama."

"Mau kujemput?"

"Tidak usah. Kami akan berangkat dari sini, tidak mau repot membawa gaun ke rumah soalnya."

"Baiklah, nanti kita berangkat dari sini."

Alesha mengangguk. Melihat arloji berukuran mungil yang melingkar di pergelangan tangan kirinya, ia berucap, "Sudah waktunya kerja lagi. Aku duluan, Dion."

Tanpa menunggu jawaban dari Dion, Alesha berlalu sembari membawa minumannya yang masih setengah gelas.

"Ekhem! Yang lagi pedekate."

Alesha terlonjak kaget, Diana tiba-tiba saja berada di hadapannya. Beruntung, kopi dalam cangkir tidak tumpah mengenai pakaiannya.

"Kamu dari kapan ngumpet di situ?" tanya Alesha, wajahnya menegang, khawatir jika Diana mendengar obrolannya dengan Dion tentang Naresh dan pernikahannya.

Perempuan itu malah menyengir, memasang tatapan menggoda. "Lima menit yang lalu. Melihat kalian lagi mengobrol asyik, aku mengurungkan niat ke pantri."

"Jangan salah paham, Ana. Kami hanya ngobrol biasa, tidak ada pedekate-pedekatean." Alesha melanjutkan langkah.

Diana mengikutinya berjalan cepat menyejajarkan langkah Alesha. "Aku senang kalau kamu sama Pak Dion menjalin hubungan. Kamu dan dia terlihat cocok, Alesha. Seluruh karyawan di sini pun tahu, jika Pak Dion jatuh cinta kepadamu. Ayolah, mau sampai kapan berstatus jomlo terus-menerus. Andai saja yang disukai Pak Dion itu aku, sudah dari dulu aku terima dia jadi kekasihku," katanya antusias.

Alesha mendorong pintu ruangannya, tidak menanggapi ucapan Diana yang panjang lebar. Ia tidak bisa menerima pria lain, hatinya masih dibawa Naresh. Meskipun begitu, Alesha juga tidak akan gampang luluh oleh pria yang sudah menyakitinya. Walaupun ia tahu, jika Naresh masih mencintainya.

Ah, sial! Bahkan, menyebut nama Naresh saja, pikirannya langsung teringat ciuman panasnya saat di mobil. Darahnya berdesir, jantung pun berdebar tak karuan. Jika hawa nafsu menguasai dirinya semalam, mungkin ia dan Naresh sudah melakukannya di mobil, tanpa tahu tempat.

"Aku berasa ngomong sama patung, tidak mendapat tanggapan," sindir Diana, duduk di depan meja Alesha.

Wanita itu memerhatikan gerak-gerik Alesha yang sedang merapikan kertas-kertas desain di meja kerjanya. Lalu, mengambil kertas baru yang siap diberi bubuhan goresan dari pensil.

"Aku masih ingin menikmati kesendirianku, Diana. Umurku juga masih muda, belum ingin memikirkan hal seperti itu."

Diana mengangguk-angguk, paham. "Aku pun. Ternyata kita se-server."

"Nah, kamu sendiri merasakan itu, masih jomlo juga. Kenapa mendesakku untuk menerima Pak Dion?"

"Kasihan, sih, tepatnya melihat dia seperti orang menanti harapan palsu," ucap Diana sembari menatap lurus ke dinding yang terdapat tempelan kertas desain. Sedetik itu juga, ia berjingkat, beranjak dari duduknya tiba-tiba. "Aku jadi lupa, kan, tadi mau ke pantri, tapi malah ikut kamu ke sini. Di tubuhmu sepertinya ada magnet, Alesha. Selalu menarikku mengikuti langkahmu jika berpapasan."

"Dasar!" ketus Alesha, menggeleng heran menatap Diana yang keluar dari ruangan.

***

Sudah sedari tadi Naresh menunggu Alesha di depan butik, setelah mendapat informasi jika gadis itu masih di dalam. Bersandar pada jok, sesekali ia mengecek waktu dan hampir satu jam bertahan di sana.

"Sudah jam delapan, belum keluar juga," gumamnya, saat melirik arlojinya kembali.

Ia masih sabar menunggu. Jemarinya tidak tinggal diam yang terus mengetuk setir. Mungkin jika bukan Alesha, ia sudah melesat pergi dari tadi. Sebab, menunggu adalah hal yang membosankan bagi Naresh.

Tidak berapa lama gadis itu pun menampakkan diri. Naresh mengembuskan napas lega. Menegakkan tubuh, ia segera keluar dari mobil menghampiri Alesha. Namun, langkahnya terhenti tiba-tiba melihat gadis yang ditunggunya dari tadi berjalan beriringan dengan pria kemarin, yang berhasil membuat hatinya panas meradang, bahkan rasa nyeri di rahangnya masih terasa sedikit.

"Al," panggil Naresh, sedikit meninggikan suara. Sedangkan kedua tangan sudah mengepal kuat.

Alesha yang sedang bercengkerama dengan Dion menoleh, ia terkesiap melihat tubuh menjulang tinggi Naresh berdiri tidak jauh darinya. Wajah lelaki itu tampak datar menahan geram, serta rahangnya mengeras. Ia juga tidak paham apa maksudnya lelaki itu datang kemari. Mau menjemput lagi? Sangat konyol rasanya. Sejak kapan mau menjadi sopir pribadinya.

Alesha masih memerhatikan Naresh yang kini mulai melangkah menghampiri setelah lama terdiam seperti patung.

"Untuk apa kamu datang ke sini?" tanyanya dengan nada tak suka.

"Menjemputmu."

"Aku tidak menyuruhmu menjemputku."

"Aku sendiri yang ingin menjemputmu."

"Maaf, tapi aku akan pulang dengan Pak Dion. Sebaiknya kamu pulang lebih dulu, kekasihmu menunggu di sana. Nanti dia kumat gilanya melihat kamu pulang denganku."

"Aku tidak peduli. Di sini aku suamimu, dan aku berhak atasmu." Naresh menarik tangan Alesha begitu saja, membuat Dion geram melihatnya.

"Jangan main paksa. Dia sudah bilang kepadamu akan pulang bersamaku." Dion menarik sebelah lengan Alesha, menatap tajam Naresh yang sedang menatap dirinya juga.

"Ini urusanku. Dia istriku, dan aku yang lebih berhak darinya. Sementara kau, hanya orang lain di antara hubungan kami."

"Aku juga berhak atas Alesha. Aku atasannya, aku bosnya. Dan Alesha harus mematuhi semua perintahku."

Di sini Alesha yang dibuat pusing. Ternyata dua orang di sampingnya terlalu alot untuk mempertahankan dirinya. Ia mengentakkan kedua tangannya lalu mengambil keputusan.

"Aku pulang dengan Pak Dion. Aku juga tidak memintamu untuk menjemputku."

Alesha melangkah lebih dulu memasuki mobil Dion, lantas menoleh ke arah Naresh yang masih berdiri di sana dengan tangan mengepal. 'Maafkan aku, Naresh.'

"Al, sudahlah, biarkan saja suami berengsekmu itu," ucap Dion, yang sudah duduk di jok belakang kemudi.

"Lelaki yang tidak memiliki pendirian seperti itu, tidak pantas kamu pertahankan," ucap Dion lagi, sembari melajukan mobil memasuki jalan raya. Diikuti mobil Naresh yang berjalan di belakangnya.

Alesha hanya diam sembari menundukkan kepala. Dada terasa sesak sebenarnya. Namun, ia harus tega, seperti yang Naresh lakukan kepada dirinya.

Di tengah perjalanan suasana diliputi keheningan. Sesekali Dion mencuri pandang ke samping, melihat Alesha yang menyandarkan kepala di jok. Sedangkan tatapan gadis itu fokus keluar jendela, melamun. Persis seperti orang yang memiliki banyak beban.

"Jika terjadi sesuatu hubungi aku, Al," kata Dion, sambil menghentikan mobil di depan lobi tower apartemen Alesha, yang sudah diberitahu sebelumnya oleh gadis itu.

"Terima kasih, Pak. Maaf, sudah menyeretmu ke dalam masalahku."

"Tidak apa-apa. Aku akan membantumu sebisaku. Salah satunya memberi pelajaran batin kepada suamimu itu."

Alesha mengangguk. "Aku turun. Sekali lagi terima kasih."

Ia melepas seat belt, lalu menarik hendel, kaki jenjangnya mulai menapak di lantai cor-coran, lantas melangkah agak gontai memasuki lobi. Mendapat sapaan dari security yang bertugas malam ini, Alesha yang menunduk mengangkat kepala membalas sapaannya. Masih memasang senyum simpul, ia terus melangkah menuju lift. Kemudian, menekan tombol ke atas, menunggu sejenak, pintu lift terbuka, dan siap membawa dirinya ke lantai 35.

Memasuki apartemen, pandangan Alesha langsung tertuju kepada Naresh yang duduk di sofa seorang diri. Ia pun celingukan mencari sosok Mak Lampir yang beberapa hari ini merecoki kehidupannya. Tidak ada, bahkan suaranya pun hilang seperti ditelan bumi. 'Huft! Syukurlah, ia berharap si Lampir benar-benar enyah dari kehidupannya,' batinnya.

Alesha mengabaikan Naresh yang menatapnya tajam. Ia berlalu menuju kamarnya, ingin segera bersih-bersih tubuh. Rasanya sudah lengket dan terasa tidak nyaman, meski masih ada aroma wangi dari parfum.

Akan memutar hendel, Alesha terkejut saat tubuhnya ditarik ke samping dan dibenturkan ke tembok. Naresh mengurung dirinya, dengan sisa jarak hanya beberapa senti saja.

"Kenapa menolakku?" tanyanya dingin, menunduk, menatap Alesha yang sedang menatapnya juga.

"Aku tidak ingin pulang bersamamu. Sudah kutekankan kepadamu, jangan mengganggu hubungan kami."

"Aku suamimu."

"Suami berengsek yang berani membawa perempuan lain tidur di sini. Aku tidak butuh suami seperti itu."

Naresh menggeram. Sepertinya ia harus memberi pelajaran kepada Alesha. Tanpa basa-basi ia pun langsung mencium bibir tipis itu secara brutal, tidak memberi kesempatan kepada gadis itu untuk menarik napas. Menekankan tubuh, ia membuat Alesha semakin terkurung dan tidak bisa bergerak.

"Hukuman ini belum seberapa. Jika masih bersama dia, aku akan memberi hukuman lebih kejam untukmu," ancam Naresh, setelah melepas pagutannya. Ia menarik tubuh, lantas berlalu menuju kamarnya.

"Zenya sudah tidak di sini, dan hubungan kami sudah selesai," ucap Naresh sebelum memasuki kamarnya.

Alesha tidak menjawab. Ia masih terkesiap oleh ciuman brutal Naresh, yang membuat bibirnya perih dan terasa semakin tebal. Sedangkan debaran jantung meletup-letup seperti air mendidih. Setelah sadar, ia segera masuk ke kamar. Mengunci pintu rapat-rapat.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top