Part 8

Naresh menepikan mobil di jalanan yang sepi, tidak banyak lalu lalang kendaraan melintas di sana. Melihat jam di layar multi information display sudah menunjukkan pukul 23.10, kemudian ia beralih menatap Alesha. Sedari tadi gadis itu bungkam. Tampak kesal dan marah, kentara sekali dari wajahnya yang muram.

“Kenapa kamu bilang sama Zenya tentang status kita?” Naresh bertanya dengan suara datar.

Alesha yang sedang memandang keluar jendela, menoleh. “Karena aku bukan babu di apartemenmu yang seenaknya disuruh-suruh. Dia bilang, aku perempuan yang tidak tahu diri, lalu bagaimana dengan dirinya? Statusku jelas istrimu, sedangkan dia? Dia hanya orang asing, tapi gayanya sok bossy!”

“Kamu cemburu padanya?”

“Cemburu? Yang benar saja! Aku justru sangat muak melihat kalian.” Alesha memalingkan wajah lagi. “Daripada denganmu, mending Pak Dion yang tidak kalah tampan darimu,” lanjutnya lagi tanpa menatap Naresh.

Lelaki itu menggeram, mencengkeram stir erat-erat. Ia tidak terima dibandingkan oleh pria yang sudah membuat rahangnya nyeri. “Katakan lagi, Al,” ucapnya dingin.

“Apa?” Alesha menoleh sekilas ke arah Naresh.

“Kamu membandingkanku dengan pria tadi.” Rasa panas langsung menjalar ke seluruh tubuh Naresh. Rasanya seperti terbakar, tetapi tidak berapi. Sial! Kenapa justru dirinya yang tersulut cemburu?

Alesha menatap Naresh, melemparkan tatapan menantang.

“Iya, Pak Dion lebih tampan dan lebih pengertian daripada dirimu. Dia lebih dewasa, tidak temperamen, dan mau mendengarkan semua penjelasan atas kesalahanku. Tidak seperti dirimu, Naresh! Kamu itu pria pengecut yang menghindar dari masalah tanpa mau menyelesaikannya. Kamu pria paling berengsek yang pernah aku kenal! Sialnya, aku pernah jatuh cinta kepadamu. Aku sangat-sangat membencimu! Kenapa kamu harus hadir di kehidupanku lagi?! Kenapa? Aku ingin jauh darimu, kenapa kamu harus kembali?!” Luruh sudah pertahanannya. Unek-unek yang selama ini disimpan, akhirnya bisa ia keluarkan.

Sementara Naresh yang mendengar teriakan Alesha, hatinya berdenyut nyeri. Ia menatap lekat-lekat gadis bergaun merah yang sedang menangis. Detik itu juga ia menarik tubuh Alesha, mencium bibirnya, dan melumatnya pelan. Menyalurkan rasa berkecamuk dalam hati.

Alesha yang mendapat ciuman dadakan pun terkesiap. Ia mematung, merasakan debaran jantung yang tak karuan. Sedangkan sensasi gelenyar aneh mengalir dalam darah. Ciuman Naresh begitu lembut. Dengan kedua tangan lelaki itu yang menangkup wajahnya, membuat ia tidak bisa menghindar saat itu juga.

Cukup lama Naresh mencium Alesha, sampai keduanya kehabisan oksigen. Lelaki itu menarik diri, tetapi tangan masih menangkup wajah gadis itu.

“Maaf,” lirihnya.

Plak!

Tanpa kata Alesha langsung menampar pipi Naresh cukup keras. Ia terdiam, ditatapnya lelaki itu lekat-lekat. Sebelum akhirnya, ia berucap dengan bibir bergetar menahan tangis.

“Karenamu ... karenamu hatiku benar-benar mati, Naresh! Kenapa kamu begitu jahat denganku, tidak mau mendengarkan semua penjelasanku?!”

Alesha mengusap wajahnya, kasar. “Aku tidak pernah berkhianat darimu. Aku dijebak Rendy dan teman-temannya jika kamu ingin tahu. Aku dijebak! Semua tidak seperti yang kamu bayangkan! Kenapa kamu tidak mau mendengarkan penjelasanku sedikit pun? Kenapa?!” Ia menjerit sampai suaranya melengking.

“Kamu bahkan langsung meninggalkanku begitu saja, tanpa memberi akses untukku menjelaskan semua.” Alesha tergugu, luruhan air mata pun semakin deras mengalir. “Aku membencimu. Sangat membencimu!” serunya lagi sambil memukul dada Naresh membabi buta.

Lelaki itu membiarkan, hanya diam, dan menatap Alesha tak berkedip dengan perasaan yang campur aduk. Merasakan pukulan Alesha melemah, ia menarik tubuh gadis itu ke pelukannya.

“Maafkan aku, Al.” Dua titik air mata pun luruh dari pertahanannya.

Alesha menggeleng. Tangannya mencengkeram dada Naresh kuat-kuat, menyalurkan rasa sakit hatinya. “Aku tidak bisa. Terlalu sakit bersama dirimu. Aku ingin bahagia dengan pria yang mencintaiku sungguh-sungguh. Bukan pria egois sepertimu.”

Naresh semakin mengeratkan pelukannya. Ia tidak ingin kehilangan Alesha. Gadis itu hanya miliknya. Sedari kecil, Alesha hanya miliknya. Namun, karena sakit hati yang memorak-porandakan perasaan, semua berubah. Alesha benar, ia egois. Seharusnya ia tidak meninggalkannya begitu saja waktu itu.

“Beri aku kesempatan untuk memperbaiki semuanya, Alesha.”

Alesha menggeleng lagi. “Kamu memiliki kekasih. Hubungan kalian sudah sejauh itu. Jangan jadi pria berengsek, Naresh.”

Walaupun dalam hati berkata lain, masih mengharapkan Naresh. Namun, Alesha tidak akan memberi maaf begitu saja. Ia ingin melihat seberapa besar cinta Naresh kepada dirinya. Seberapa besar pengorbanan yang akan ia lalui, jika memang masih mencintai.

Alesha juga tidak ingin menjadi wanita egois, merebut lelaki yang ia cintai dari wanita lain. Biarkan takdir yang mengarahkan. Tuhan yang memutuskan. Kepada siapa Naresh akan melabuhkan hatinya.

Cinta pertama yang sulit dilupakan pun, membuat Alesha masih terjebak dalam lingkaran masa lalunya. Banyak kenangan indah bersama Naresh semenjak ia masih kecil. Dari hubungan persahabatan, yang lambat laun menumbuhkan rasa cinta begitu besar. Itu sebabnya, kenapa sampai sekarang ia belum bisa melupakan Naresh, juga belum bisa menerima pria lain di hati.

Jujur, Alesha pun masih mencintai Naresh begitu besar, seperti dulu. Meskipun terlihat biasa saja, tetapi ketika melihat kemesraan lelaki itu dengan Zenya, hatinya hancur. Ia hanya bisa menangis dalam diam, tanpa seorang pun yang tahu. Sekuat tenaga ia berusaha tegar, hatinya tetap tercabik-cabik, menghasilkan luka yang begitu nyeri. Namun, ia beruntung karena topeng yang ia pasang cukup membantu, sehingga tidak memperlihatkan kerapuhan dan kesedihan hatinya.

Naresh mengurai pelukan. Kedua tangannya memegang ujung bahu Alesha, menatap wajah gadis itu yang sembab oleh air mata. Sementara Alesha mengalihkan pandangan, menatap lurus ke jalanan depan.

“Aku juga sudah dekat dengan Pak Dion, kami saling cocok. Jadi, aku mohon kepadamu jangan ganggu hubungan kami. Kamu lihat sendiri bukan, betapa murkanya dia saat kamu mengakuiku sebagai istri? Dia tidak terima aku hidup dengan orang berengsek. Bahkan, kamu dan Zenya sangat terang-terangan bermesraan di depanku,” ucapnya tanpa menatap Naresh.

“Suatu saat, jika sudah waktunya aku akan mengajukan surat cerai. Aku tidak ingin berada di antara hubungan kalian. Aku perempuan waras dan tidak akan merebut kekasih dari wanita lain,” lanjut Alesha lagi, seperti tidak ingin memberi kesempatan untuk Naresh bersuara.

Mendengarnya, hati Naresh mencelus. Seketika itu juga tubuhnya menegang dengan debaran jantung berdetak semakin tak karuan. Rasa takut akan kehilangan Alesha, kini menggelayut pilu dalam kalbu.

“Sampai kapan pun, aku tidak akan melepaskanmu, Alesha,” ucapnya penuh penekanan.

Alesha menoleh menatap Naresh, memiringkan kepala. “Kenapa? Bukannya kamu yang meninggalkanku lebih dulu? Bukannya kamu yang tak sudi lagi denganku? Aku bukan wanita sempurna. Aku perempuan kotor, seperti yang kamu katakan, bukan?”

Kalah telak dari Alesha, Naresh bungkam. Semua yang dikatakan Alesha benar. Ia begitu kejam kepada gadis di sebelahnya itu, sedangkan ia masih sangat mencintainya. Ia juga sadar, jika selama ini masih memendam rasa cinta itu begitu dalam. Sekarang ia tidak akan mengelak lagi. Ia tidak akan menyangkal dari rasa cemburu yang menyergap jiwa, setiap melihat Alesha dekat pria tadi.

“Jawab, apa alasanmu tidak akan melepaskanku, Naresh? Kamu memiliki Zenya.”

Dengan suara berat, Naresh berucap, “Aku masih mencintaimu, Alesha. Aku masih sangat mencintaimu.”

“Jika kamu mencintaiku, kamu tidak akan menyakiti hati perempuan yang kamu cintai.”

“Sakit hati yang membuatku seperti ini, Alesha.”

Mereka saling beradu tatap, diam, membuat suasana di mobil semakin sunyi. Alesha sendiri menyelami tatapan pada bola mata Naresh. Ada sarat kerapuhan dari lelaki itu.

‘Kuatkan hatimu, Alesha! Jangan sampai goyah. Biarkan Naresh berjuang untukmu, jika memang benar masih mencintai.’

Naresh pun melakukan hal yang sama, menatap mata almond milik Alesha. Menangkup wajah gadis itu, tatapannya turun ke bibir tipis yang dilapisi lipstik merah. Tanpa perintah, ia menundukkan kepala mencium bibir itu, lantas memagutnya pelan. Tidak mendapat penolakan dari Alesha, ia menarik tengkuk gadis itu ke depan semakin memperdalam ciumannya. Hal itu membuat Naresh semakin gila dan tidak ingin menyudahi.

Sementara Alesha sendiri membiarkan Naresh melakukannya. Setidaknya sebelum mereka berpisah, ada kenang-kenangan indah dari lelaki yang ia cintai. Alesha memejamkan mata, membalas pagutan Naresh sembari mencengkeram erat kerah lelaki itu. Tak disangka erangan kecil pun keluar dari mulutnya.

Tidak berselang lama mereka menyudahi ciumannya, napasnya memburu. Masih berhadapan dengan Alesha menatap dada Naresh, gadis itu terpejam saat merasakan usapan lembut di bibirnya.

“Tolong, jangan melakukan itu. Aku tidak ingin kehilanganmu lagi,” ucap Naresh, bersuara parau.

Alesha membuka mata sembari mengangkat kepala menatap Naresh. Lantas, menggeleng. “Tidak bisa. Kamu memiliki Zenya, dan aku memiliki Pak Dion. Kita sama-sama mempunyai pasangan sendiri-sendiri.”

Alesha terdiam sejenak. Lalu, menarik napas panjang dan berucap lagi, “Untuk ciuman ini anggap saja tidak ada, dan jangan berpikir lebih dari itu. Bisa jadi, ciuman ini untuk pertama dan terakhir kita.”

***

Keesokan pagi, suasana terasa canggung antara Alesha dan Naresh. Tidak ada tatapan permusuhan dari pria itu. Namun, masih sama dengan Alesha yang menampilkan wajah datar seperti hari-hari sebelumnya. Bisa dibilang pagi ini ia lebih pendiam, berkata pun jika ditanya saja.

Duduk bertiga di ruang makan, Zenya menatap nyalang Alesha dan Naresh bergantian. Semalam mereka berdua pulang larut malam sekali, membawa banyak perubahan kepada Naresh yang tampak murung dan pendiam.

“Walaupun status kalian suami-istri, aku tidak akan menyerah untuk mendapatkan hakku,” ucap Zenya, memecahkan keheningan.

Alesha yang sedang mengaduk oatmeal dicampur susu cair, blueberry, strawberry, dan potongan kacang almond, menatap perempuan itu sekilas. Sama sekali tidak terpengaruh oleh ucapannya.

“Kamu dengar, Alesha?” tanya Zenya, karena Alesha masih diam dan sibuk berkutat dengan sarapannya.

“Aku tidak suka ketika sedang makan ada yang berbicara, itu akan merusak mood-ku, Ze.” Naresh berucap, menatap Zenya. Peraturan yang dibuat papanya pun, sudah melekat di dirinya. “Bisa bicara sepuasmu nanti setelah selesai makan,” lanjutnya lagi.

Zenya mencebik. Lalu, menatap Alesha tajam. Ia pun mengaduk kasar oatmealnya dalam mangkuk. Selera makan hilang. Sejak semalam, ia sudah dibuat kesal oleh Naresh yang keluar tanpa pamit, dan pulang bersama Alesha. Bahkan lelaki itu lebih memilih tidur di sofa ruang tamu, daripada di kamar. Itu pasti karena pengaruh Alesha!

“Apa peduliku.” Alesha berucap datar, lalu beranjak dari kursi. Berlalu menuju wastafel untuk mencuci mangkuk dan sendok kotornya. Setelahnya ia menuju kamar, tanpa menoleh kedua orang yang masih sarapan.

“Libur kerjamu masih lama?” Naresh bertanya, menatap Zenya yang duduk di sebelah kanannya.

“Dua hari lagi aku harus pulang ke Hong Kong,” jawab Zenya, masih merasakan kesal di hati. “Selama aku di Hong Kong, kamu jangan bermain hati dengan mantan sialanmu itu. Kamu hanya milikku, Naresh.”

“Dia istriku.”

“Oh, jadi sekarang kamu sudah menganggapnya istri? Apa semalam dia sudah meracuni otakmu?”

“Ze.”

“Aku tidak mau dengar apa pun alasanmu. Aku tidak suka kamu bersikap lembut kepada dia. Dia hanya mantanmu, kalian menikah juga dijodohkan. Apa lebihnya dia untukmu, Naresh? Ada aku yang mencintaimu di sini.”

“Aku sedang tidak ingin berdebat, Ze.” Naresh meletakkan sendok di mangkuk. “Hari ini aku harus ke Semarang, meninjau pabrik mebel di sana. Lebih baik kamu kembali ke hotel, aku tidak ingin ada kekacauan antara dirimu dan Alesha selama aku tidak di sini.”

“Aku ikut denganmu.”

“Ini urusan pekerjaan, bukan liburan. Aku tidak bisa mengajakmu ke sana.”

“Kapan kamu pulang?”

“Empat hari ke depan.”

“Percuma aku berada di sini jika tanpa dirimu. Lebih baik hari ini aku pulang ke Hong Kong.”

“Nanti aku antar ke bandara. Sebelum pergi ke sana, aku ingin mengajakmu ke suatu tempat.”

'Maaf, harus berbohong padamu, Ze. Aku ingin menyudahi permainan ini,' batin Naresh.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top