Part 7

Seusai berdebat dengan Zenya, Alesha memutuskan untuk berangkat ke butik. Ia sangat muak jika harus berada di apartemen berdua dengan si Lampir, yang sedari tadi terus mengeluarkan sumpah serapah kepada dirinya.

Keluar dari taksi, kaki jenjangnya melangkah memasuki bangunan berlantai lima bernuansa putih. Pandangannya langsung tertuju kepada pengunjung laki-laki yang duduk di sofa tunggu seorang diri, sedang menunggu kekasihnya mungkin. Tidak memedulikan, Alesha terus melangkah melewati deretan gaun pengantin yang menggantung rapi, dan beberapa gaun terpajang di manekin. Terkadang ia juga melihat langit-langit yang memiliki interior sangat elegan. Lampu-lampu kristal menggantung indah sebagai pajangan, serta lampu di setiap sudut menyala terang.

“Alesha, astaga! Katanya kamu izin tidak masuk duluuu.” Diana yang sedang menuruni anak tangga, terbelalak melihat Alesha di lantai bawah.

Gadis itu tersenyum, menyapa perempuan yang lebih tua dua tahun darinya melangkah menghampiri. “Aku tidak bisa berdiam diri di rumah, Diana. Sedangkan pekerjaanku sangat menumpuk,” ucapnya.

“Bandel kamu. Bukannya Pak Dion sudah memberimu izin untuk istirahat?”

Mengangguk, Alesha pun menjawab sembari menaiki anak tangga menuju lantai tiga. “Sudah. Tapi mau bagaimana lagi? Aku tidak bisa diam di rumah  Keadaanku juga sudah membaik, tidak separah tadi pagi.”

“Baiklah, Alesha yang keras kepala.” Diana, pasrah. Gadis ber-make up tipis itu memang keras kepala jika soal pekerjaan. Ia akui, Alesha adalah gadis yang sangat profesional meski umurnya lebih muda darinya.

“Hari ini butik ramai, ya,” ucap Alesha, melihat lantai dua yang ramai pengunjung, sedang memilih-milih gaun pengantin yang menggantung.

“He’em. Musimnya orang menikah.” Diana mengangguk, arah pandang mengikuti Alesha.

“Aku mau menemui Pak Dion dulu. Memberikan desain baruku yang buat fashion show. Dia ada, kan?”

“Ada di ruangannya. Ya, sudah, aku jadi lupa mau ambil apa tadi di bawah, malah ikut kamu ke sini lagi.”

Alesha menggeleng, tetapi ia mengembangkan senyum. “Makasih, sudah nemenin sampai atas.”

Alesha melanjutkan langkahnya menuju ruangan Dion, sudah tidak sabar untuk menjelaskan hasil desain barunya kepada lelaki itu. Mengetuk pintu warna putih gading, lalu ia masuk setelah mendapat instruksi dari dalam.

“Loh, Al, bukannya kamu sakit? Kenapa masuk kerja sekarang?” Dion terkejut melihatnya, lantas beranjak dari kursi kebesarannya menghampiri Alesha.

“Sudah lebih baik kondisinya, Pak. Oh, ya, aku mau memberikan hasil desain buat fashion show.” Alesha menuju sofa diikuti Dion, lalu menghempaskan pantat di sana. Membuka tas kerja, ia mengambil dua kertas desain barunya.

“Ini, Pak.” Ia menyodorkan dua kertas kepada Dion. “Aku baru desain dua model gaun yang berbeda. Yang ini hanya sebatas dada. Bagian sebelah dada sampai pinggang diberi ornamen motif bunga-bunga dan crystal swarovski. Kemudian, bagian a line sampai bawah mengembang dengan bagian belakangnya berekor. Agar bisa masuk untuk semua ukuran, aku sarankan menggunakan tali pengait bagian punggung.”

Alesha meletakkan satu kertas desain yang baru dijelaskan kepada Dion. Kemudian, ia melanjutkan menjelaskan satu desainnya lagi. “Sedangkan yang ini aku membuatnya pada bagian atas tertutup, berlengan panjang, tetapi bagian lehernya lebih luas. Di bagian pinggang ke atas serta lengan, diberi full crystal swarovski supaya lebih terlihat elegan dan glamor. Pada lingkaran pinggang diberi crystal swarovski berukuran besar, agar lebih menonjol dan terkesan mewah. Untuk bagian belakangnya sama, berekor.”

Alesha menghela napas, kering juga tenggorokan menjelaskan panjang lebar kepada Dion. Lantas, ia menatap pria yang duduk di sebelahnya sedang mengangguk-angguk. Sedari tadi Dion hanya fokus mendengarkan tanpa menyela.

“Baik, Alesha. Aku terima desainmu. Sepertinya akan bagus jika sudah menjadi bentuk nyata. Kalau gitu, sekarang kita menemui penjahitnya dan memberi tahu sesuai yang kamu inginkan, biar jelas lagi.”

Mengangguk patuh, Alesha mengikuti Dion yang beranjak, lalu menghela kaki keluar ruangan, menuju tempat para penjahit gaun  yang berada di lantai empat.

Sementara itu, di kantor pusat perusahaan furnitur yang terletak di Jakarta Pusat, Naresh sedang sibuk berkutat mempelajari misi dan visi perusahaan yang akan berada dalam bimbingannya. Menjadi direktur utama yang dipasrahkan oleh papanya tentu tidak mudah  bagi dirinya. Setidaknya, ia harus lebih meningkatkan kualitas perusahaannya menjadi lebih baik agar tidak jatuh bangkrut. Mengambil satu dokumen di lemari arsip, gerakan tangan Naresh terhenti seketika saat pintu terbuka tiba-tiba. Di sana Zenya melangkah tergesa menghampiri dirinya, lantas berseru lantang.

“Naresh, kau pembohong!”

Naresh kebingungan. Ia pun mengernyit heran menghadap Zenya yang berdiri di sampingnya. “Maksudmu?”

“Kau pembohong! Katakan padaku kalau itu semua tidak benar!”

Naresh semakin penasaran. Ditatapnya perempuan itu lekat-lekat sambil menaikkan sebelah alis. “Maksudmu apa? Ngomong yang jelas, Ze.”

“Kau sudah menikah, bukan?! Gadis di apartemenmu bukan saudaramu, tapi istrimu!”
Bagai dihantam palu, Naresh terkesiap mendengarnya. Jadi, Alesha sudah membongkar semuanya? Memberi tahu kepada atas pernikahannya?

“Apa itu alasanmu tidak mau menikahiku, hah?!” seru Zenya, tangisnya pun pecah seketika. “Aku yang pacaran sama kau. Aku yang mencintaimu, Naresh! Tapi, kenapa kau menikah dengan wanita lain?! Bahkan ... bahkan dengan mantanmu sendiri. Apa kau termasuk orang yang gagal move on, hah?!” cemooh Zenya.

Gagal move on? Benarkah seperti itu? Naresh bahkan sangat membenci Alesha. Sangat. Rasa kecewa dan dendam, kini yang lebih mendominasi diri. Dalam hati pun selalu ia tegaskan, jika rasa cinta untuk gadis itu sudah tidak ada. Itu karena luka yang Alesha berikan begitu dalam kepada  dirinya.

Naresh tidak menyangkal ada pencetus yang mengatakan “Sakit hati yang paling menyakitkan itu, dari orang yang paling kamu cintai”. Nyatanya, semua benar adanya. Ia terlalu mencintai Alesha dulu.

Zenya menubruk tubuh Naresh, menangis tergugu di dada bidang lelaki itu. “Aku tidak mau pisah sama kau. Jangan putus denganku, Naresh,” ujarnya di sela isakan.

Naresh terdiam dengan perasaan bimbang dan hati berkecamuk. Sedangkan yang bisa ia lakukan sekarang hanya mengelus punggung Zenya untuk menenangkan.

“Aku akan membantumu move on dari dia. Katanya kau masih mencoba mencintaiku, bukan? Maka, aku akan membantumu untuk mencintaiku,” ucap Zenya lagi.

“Aku takut menyakitimu lebih dalam, Ze,” lirih Naresh, menghela napas panjang menatap langit-langit.

“Kau sudah menyeretku ke dalam permainanmu, Naresh. Dan aku tidak ingin kalah dari gadis itu.” Zenya menarik tubuh, mata sembabnya menatap Naresh lekat-lekat. “Aku akan berusaha membuatmu jatuh cinta kepadaku,” tekannya lagi.

Terjebak dengan permainan sendiri, itu yang Naresh rasakan saat ini. Rasa bersalahnya kepada Zenya semakin bertambah, dan itu gara-gara Alesha yang membongkar statusnya. Andai saja gadis itu diam tidak mengatakan soal pernikahannya, ia bisa membicarakan baik-baik kepada Zenya jika suatu saat akan mengakhiri hubungan. Lalu, sekarang ... ‘Ah! Alesha sialan! Membuat semuanya menjadi rumit!’

***

Naresh dan Zenya sampai di apartemen tepat jam sembilan malam. Kesunyian dan kegelapan menyapa mereka saat memasuki apartemen. Lelaki itu mengernyit bingung, kenapa Alesha tidak menyalakan lampu satu pun? Terbenak dalam pikirannya pasti terjadi sesuatu kepada gadis itu. Ia  melangkah lebar, mengayunkan kaki menuju kamar Alesha setelah menyalakan lampu ruang tamu.

“Kenapa dia tidak ada di apartemen? Ke mana dia?” gumamnya, saat mengecek kamar Alesha yang gelap gulita.

“Kalau kau mencari gadis itu, dia pergi. Entah lah, ke mana. Gadis tidak tahu diri seperti itu kamu jadiin istri,” cecar Zenya, berdiri di samping Naresh.

“Dia masih sakit, Ze.”

“Kamu khawatir dengannya, huh?” Zenya menatap tajam Naresh. Tidak percaya kekasihnya akan sepeduli itu.

“Bagaimana pun, aku bertanggung jawab atas kehidupannya.”

“Ceraikan saja dia.”

Naresh menggeleng tegas. “Tidak segampang itu.”

“Kenapa?”

“Tidak semuanya harus kamu tahu, Ze.”

Mendengkus sebal, Zenya berlalu meninggalkan Naresh menuju kamar untuk membersihkan diri. Sedangkan lelaki itu menuju ruang tamu meletakkan tas kerja yang masih ditenteng ke sofa, lalu mengambil ponsel yang tersimpan di saku celana untuk menghubungi Alesha.

Tidak diangkat. Naresh mencoba menghubunginya lagi. Berulang kali sampai telepon yang keenam masih sama, diabaikan oleh Alesha.

“Shit! Ke mana gadis itu? Bikin susah saja. Sudah tahu kesehatannya belum membaik, malah keluyuran tidak jelas. Jika terjadi sesuatu di jalan bagaimana? Aku juga yang repot,” gerutunya sebal.

Dengan pikiran tidak tenang, ia berjalan ke sana kemari sembari berpikir sesuatu. Terbersit ide dalam benak, ia pun segera keluar apartemen tanpa memberi tahu Zenya.

Memasuki mobil setelah sampai di basemen, Naresh menanggalkan jas yang mengganggu kebebasannya bergerak diletakkan di jok belakang. Lantas, segera melajukan mobil dengan kecepatan sedang menyusuri jalan raya.

“Apa dia pulang ke rumah Ben?” gumamnya, dengan jemari mengetuk-ngetuk setir. Pandangan mengitari ke sekitar jalan, siapa tahu Alesha melintas.

“Telepon mereka saja lah, jika seperti ini aku tidak tahu arah ke mana untuk mencarinya,” pungkasnya, sembari mengambil ponsel di saku celana, menghubungi telepon rumah Ben. Ia menunggu sejenak sebelum mendengar suara Nayaka di seberang sana.

“Apa Alesha pulang ke sana, Kak?” Tanpa basa-basi Naresh langsung menanyakan Alesha, dengan pandangan menatap fokus jalanan yang masih ramai kendaraan.

“Tidak. Alesha tidak ke sini. Ada apa? Apa kalian ada masalah?”

“Oh, tidak. Kami baik-baik saja. Kamu jangan khawatir. Hanya saja dia tidak ada di apartemen, sedangkan kondisinya masih sakit.”

“Astaga, gadis itu.” Terdengar helaan napas panjang dari Nayaka. “Coba kamu ke butik. Biasanya Alesha berangkat kerja, walaupun kondisinya kurang fit.”

“Baik, terima kasih infonya, Kak.”

“Iya. Aku share location butiknya lewat chat.”

***

Di butik, Alesha masih lembur mendesain beberapa busana yang kemarin sempat lenyap. Ia bahkan melupakan makan malam, hanya meminum kopi agar mata tetap terjaga. Seperti tak ada kata lelah, gadis itu mengambil satu kertas HVS dari bawah mejanya, lalu menggoreskan pensil mendesain gaun sesuka hati. Ia memang sengaja berlama-lama di sana yang memiliki suasana nyaman dan sunyi, sehingga mampu memberinya kedamaian. Daripada harus di apartemen, ia merasa seperti di Ragunan. Setiap kali harus mendengar ocehan Zenya, melebihi kera yang tidak pernah berhenti bersuara.

“Alesha, maaf mengganggumu.”

Jemari yang sedang asyik melenggak-lenggok sesuai insting pikirannya itu terhenti seketika. Alesha kehilangan fokus lalu mengangkat kepala untuk melihat orang tersebut.

“Ada apa?” tanyanya datar, memandang rekan kerjanya dari bagian divisi lain. Ia sering melihatnya jika berada di lantai dasar, tetapi tidak begitu dekat bahkan lupa nama perempuan itu.

“Ada yang menunggumu di bawah.”

“Siapa?”

“Tidak tahu namanya, tapi orangnya cakep. Rambutnya gondrong, tubuhnya tinggi kekar, juga memiliki tahi lalat di bawah mata kiri seperti dirimu.”

‘Naresh, untuk apa lelaki itu kemari?’
Sedikit rasa bahagia menyentuh hati Alesha. Setidaknya lelaki itu masih mengkhawatirkan keadaan dirinya, sampai mau repot-repot mencari ke butik. Gadis itu mengangguk, lalu berkata, “Suruh dia menunggu sebentar, aku akan turun.”

“Oke,” balas perempuan itu, segera berlalu dari ruangan Alesha turun ke lantai dasar kembali.
Tidak mau membuang waktu, Alesha langsung merapikan peralatan kerjanya. Ia mengambil satu map kosong dari lemari arsip, lalu menyimpan kertas-kertas desain ke dalamnya. Meletakkan beberapa pensil ke dalam wadahnya, lantas ia meraih tas kerja, dan memasukkan kertas desain yang belum selesai dikerjakan.

Alesha mengecek mejanya lagi sebelum berlalu. Melihat semuanya sudah tertata rapi, ia pun berlalu dari ruangannya menuju lantai bawah dengan tangan kanan menenteng tas.

“Al, kamu lembur?” tanya Dion, membuat  Alesha menoleh ke belakang dan melambatkan langkah menuju ruang tunggu khusus tamu.

“Iya, Pak. Pekerjaanku nanggung, jadi sekalian kerjakan saja,” balas Alesha yang kini berjalan bersisian dengan Dion.

“Mau pulang? Aku antar mau?”

“Tidak usah, Pak. Terima kasih.”

“Sudah jam sembilan lebih loh, ini.”

“Aku sudah dijemput, sekarang lagi ditunggu di depan.”

“Siapa? Kakak kamu?”

“Bukan, tapi saudara. Disuruh Kak Ben jemput aku katanya,” kata Alesha bohong. Ia tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya.
Sementara Naresh yang melihat Alesha berjalan ke arahnya segera beranjak dari duduknya. Ia terkesiap mengetahui gadis itu berjalan beriringan dengan pria kemarin. Entah kenapa emosinya kembali naik, ia geram, tidak suka, dan hati terasa panas tiba-tiba. Mengepalkan kedua tangan erat-erat, tatapannya semakin menyorot tajam saat mereka sudah berada di hadapan.

“Al, ayo, pulang,” ajak Naresh, datar, kemudian menatap nyalang Dion, seperti mengibarkan bendera peperangan.

“Loh, Al, bukannya dia yang kemarin di restoran bertemu kita?” Dion pun terkejut.  Ditatapnya Naresh lekat-lekat dengan mimik wajah penuh tanya.

“Iya, Pak.”

“Bukannya kamu tidak mengenal mereka? Maksudku lelaki itu.”

“Hem, sebenarnya dia saudaraku.”

“Bukan. Aku suaminya.” Naresh menyela cepat, tidak terima mendengar ucapan gadis itu.
Pernyataannya pun mampu membuat Alesha dan Dion tercengang. Gadis itu melototkan mata menatapnya tajam. Bisa-bisanya lelaki itu mengatakan kepada orang lain tentang statusnya. Di sini, ia mencium bau-bau tidak enak. Pasti si Lampir sudah mengadu tentang kejadian tadi siang kepada Naresh.

“Jangan mengada-ngada mengaku sebagai suami Alesha, Pak. Bukankah Anda memiliki kekasih?” Dion terkekeh dan merasa lucu oleh ungkapan Naresh. Mana ada lelaki yang memiliki istri, tetapi bermesraan dengan wanita lain tepat di depan istrinya. Hanya orang tidak waras yang melakukan itu.

“Terserah mau percaya atau tidak. Yang pasti aku dan Alesha adalah suami istri.” Naresh melemparkan tatapan tajam kepada Dion. Lalu, beralih menatap Alesha. “Ayo, pulang.”

Alesha masih berdiri terpaku di tempat. Sedangkan Dion semakin meradang dan emosi mendengar pernyataan lelaki berambut gondrong itu. Tanpa aba-aba ia langsung menerjang, menghajar Naresh begitu saja. Menonjok rahang tegasnya sampai lelaki itu terpelanting ke belakang.

“Lelaki sepertimu tidak pantas menjadi suami Alesha! Kau lelaki pengecut, beraninya mempermainkan perasaan perempuan! Di mana otakmu, hah?! Kau bermesraan dengan wanita lain tepat di hadapannya. Apa kau tidak memikirkan perasaannya?!” Dion naik pitam, sumpah serapah pun ia keluarkan. Rasanya tidak terima wanita yang ia cintai disakiti pria seberengsek itu. Alesha pantas bahagia. Alesha pantas mendapatkan pria yang benar-benar mencintainya, bukan pria pemain wanita!

“Pak Dion, sudah, Pak.” Alesha menahan tubuh Dion, saat pria itu akan menerjang Naresh kembali.

“Dia pantas mendapatkan bogeman mentah dariku, Al! Pria seperti itu tidak pantas bersanding denganmu!” kata Dion berapi-api.

“Kami dijodohkan. Dia memiliki kekasih, dan aku tidak berhak ikut campur urusan mereka. Aku tidak apa-apa. Suatu saat kami juga akan cerai. Tidak ada cinta di antara kami.”

Mendengar kata cerai, Naresh mengetatkan rahang. Itu tidak akan pernah terjadi. Tanpa sepatah kata pun, ia menarik lengan Alesha dan membawanya ke luar. Masuk ke mobil, ia segera melajukan kendaraan roda empatnya meninggalkan pelataran butik, mengabaikan Dion yang merah padam.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top