Part 6
Suasana canggung melingkupi Alesha dan Naresh. Keduanya saling diam. Tidak ada percakapan yang diciptakan untuk memecahkan keheningan. Naresh yang baru selesai menyuapi Alesha, masih duduk di tepi ranjang. Menunggu gadis itu selesai meminum obatnya.
“Kenapa mau menyuapiku? Bukankah kamu senang jika aku terlihat menyedihkan?” Alesha menyandarkan punggung ke kepala ranjang. Menunduk, menatap gelas yang masih dalam genggaman.
“Aku manusia biasa yang masih memiliki hati nurani,” balas Naresh, memandang gadis itu lekat-lekat. Meskipun wajahnya tampak pucat pasi, tetapi Alesha masih terlihat cantik. Tidak salah jika banyak pria yang tergila-gila dengannya.
“Terima kasih,” lirih Alesha.
“Hem.”
Hening, mereka saling diam kembali. Hanya terdengar deru napas teratur dari keduanya.
Menarik napas panjang, Alesha berucap, “Sampai kapan kamu akan salah paham kepadaku, Naresh?”
Naresh mengembuskan napas berat, memalingkan wajah. Lalu, menggeleng pelan. “Tidak ada kata salah paham, Al, semua nyata. Aku lihat dengan mata kepalaku sendiri kamu selingkuh, mengkhianatiku.”
Masih sama. Naresh masih menganggap dirinya berkhianat, padahal malam itu ia tidak sadar atas apa yang dilakukan. Obat perangsang sialan! Itu karena Rendy yang melakukan. Cowok seangkatan SMA-nya itu sangat terobsesi, sehingga menghalalkan segala cara untuk mendapatkan dirinya.
Malam itu, jika Naresh tidak datang menyelamatkan dirinya, yang sedang sekarat akan hawa nafsu merangsang tubuh. Mungkin Alesha sudah melakukan hal yang tak diinginkan, dan tidak lagi perawan oleh kelakuan berengsek Rendy.
Mencengkeram erat gelasnya, Alesha mengangguk. “Oke. Itu hakmu mau mempercayaiku atau tidak. Yang jelas, apa yang kamu lihat waktu itu tidak seperti yang kamu bayangkan. Semua di luar kendaliku karena pengaruh obat perangsang.” Ada rasa sesak di hatinya. Sungguh, rasanya ia ingin menangis, tetapi berusaha ditahan.
“Terima kasih sudah membantu menyuapiku. Sekarang keluarlah dari kamarku. Aku mau istirahat.” Alesha meletakkan gelas di nakas, langsung berbaring membelakangi Naresh. Ternyata ia kalah, karena sekarang air matanya luruh begitu saja dari pertahanan. Menangis tanpa suara, tangannya mencengkeram dada yang terasa sesak.
‘Aku benci perasaan ini, Tuhan! Keluarkan aku dari jerat yang membelenggu hati! Aku tidak kuat!’ seru Alesha dalam hati.
Naresh tahu Alesha sedang menangis. Namun, ia tak acuh dan tetap beranjak dari duduknya. Menatap gadis itu sejenak, lantas ia merapikan bekas sarapan ke nampan dan membawanya keluar.
Di depan pintu kamar ia berhenti sejenak. Hatinya berdenyut nyeri, tercabik, dan terasa sakit. Akan tetapi, ia berusaha menekankan lagi, jika yang Alesha lakukan hanyalah sandiwara. Gadis itu pandai sandiwara.
Menghela napas lelah, ia melanjutkan langkah lagi.
“Sayang.”
Baru lima langkah berlalu, lelaki itu berhenti kembali saat mendengar kekasihnya memanggil. Ia menoleh ke belakang, menatap perempuan berpakaian piama dress berbahan satin warna hitam dengan tali spageti terpaut di bahu, sedikit memperlihatkan belahan dadanya.
“Kau baru kasih dia makan?” tanya Zenya, masih berdiri di ambang pintu.
Hanya dibalas anggukan oleh Naresh.
“Kenapa perhatian banget, sih?!” Zenya berdecak tidak suka.
“Sudah berapa kali aku bilang, Ze. Dia adalah tanggung jawabku,” jawab Naresh sembari melangkah menuju dapur, diikuti Zenya dari belakangnya.
Meletakkan nampan di wastafel stainless, Naresh berkata lagi, “Aku beli bubur ayam, kamu bisa sarapan itu pagi ini.”
Zenya membuka plastik keresek yang terletak di meja granit, melihat isinya. “Ini sarapan berat, aku tidak suka,” tolaknya.
Dengan tangan penuh busa, Naresh menoleh menatap Zenya yang sedang bersandar pada meja, menghadap dirinya. “Ya, sudah, jangan dimakan.”
“Kau kenapa? Marah sama aku?” Zenya mendekat. Berdiri di samping lelaki itu, ia menatapnya dengan pandangan tidak suka. Suara kekasihnya terlalu ketus, dan itu menyakiti hatinya.
“Tidak. Kalau kamu tidak suka, ya, jangan dimakan. Kamu bisa makan sereal atau apa pun yang kamu suka,” kata Naresh, sedikit memelankan suara, tetapi masih terdengar datar.
Zenya mengangguk, lalu bergelayut manja di lengan lelaki yang masih sibuk mencuci mangkuk. “Kapan kau akan melamarku, Sayang? Aku ingin kita segera menikah.” Ia mendongak, menunggu jawaban Naresh.
Sementara lelaki itu terdiam, tetapi memikirkan pertanyaan Zenya. Tidak pernah terpikir dalam benaknya, jika ia akan melanjutkan hubungan sampai ke jenjang pernikahan. Ia memiliki Alesha. Meskipun saling membenci, tetapi tidak mungkin untuk memadu gadis itu. Sedangkan dengan Zenya, sebenarnya ia terpaksa menyuruh perempuan itu datang ke apartemennya. Hanya untuk satu tujuan, memanas-manasi Alesha, agar gadis itu tahu bagaimana rasanya disakiti dan dikhianati.
“Bisa kupikirkan lagi nanti,” pungkas Naresh setelah terdiam cukup lama. Ia membilas gelas dan mangkuk, lalu menaruhnya ke rak khusus piring basah.
“Sampai kapan? Kau selalu berkata seperti itu dan suka sekali menyiksa tubuhku terangsang gairah. Setiap diajak bercinta, kamu juga selalu banyak alasan,” ucap Zenya penuh penekanan.
“Aku tidak ingin merusakmu sebelum kita menikah, Ze. Apa kamu tidak berpikir akibatnya nanti? Iya, kalau kita jadi menikah, tapi kalau tidak. Kamu yang akan rugi, tahu? Aku tidak ingin kamu menyesal.”
“Di Hong Kong bahkan banyak yang melakukannya di luar nikah.”
“Aku tahu. Aku juga tidak ingin mengecewakan keluargaku, jika nanti terjadi sesuatu denganmu. Aku belum siap menikah.”
“Lalu, untuk apa kita menjalin hubungan selama setengah tahun ini?”
“Untuk memenuhi keinginanmu. Bukannya kamu yang selalu mengincarku terus?”
“Jadi, kau tidak mencintaiku, tapi karena terpaksa?”
“Masih mencoba.”
Sungguh di luar perkiraan. Zenya pikir, Naresh mau menerimanya karena mencintai dirinya. Namun ternyata, lelaki itu bahkan belum tersentuh hatinya.
‘Oke, dia bilang masih mencoba, maka aku harus membuatnya jatuh cinta dan membuatnya bertekuk lutut kepadaku. Aku bukan wanita yang gampang menyerah, Naresh. Apa pun akan aku lakukan sampai kau benar-benar menjadi milikku.’
***
Siang ini jadwal Naresh meninjau pabrik mebel yang ada di Cikarang, ditemani Rio—sang sekretaris—serta Erlangga—manajer pemasaran—pabrik tersebut. Lelaki yang hari ini memakai jas warna silver bermotif kotak-kotak, dengan rambut gondrongnya dicepol rapi itu, berjalan mengelilingi lokasi pembuatan mebel dengan luas 25 hektar.
Sesekali Naresh mengernyit saat merasakan gendang telinganya sakit. Deru suara keras dari mesin pemotong kayu, mesin ukir, dan mesin ampelas terdengar sangat memekakkan telinga. Ia mengitari pandangannya ke sekitar, banyak debu beterbangan dan untung saja ia sudah memakai pelindung muka yang transparan.
Karena baru pertama kali menginjakkan kaki di pabriknya, Naresh belum begitu kenal kepada seluruh karyawan. Ia juga belum begitu paham dari keseluruhan bagian-bagian dalam pabrik itu. Sedari tadi ia hanya mendengarkan Erlangga bercerita dan mengangguk sebagai balasan. Terkadang ia juga melemparkan pertanyaan-pertanyaan yang membuatnya penasaran dari apa yang dilihat. Sedangkan lelaki sekitar 45 tahunan itu dengan sabar menjelaskan kepada Naresh, dari mulai tempat penyimpanan bahan mentah, proses merangkai kursi, meja, lemari, dan lain-lainnya.
“Kursi dan meja ini pesanan untuk dikirim ke Eropa, Pak. Pengerjaannya sudah hampir setengah tahun, dengan jumlah pesanan 1500 piece kursi dan 1300 piece meja. Sampai saat ini baru separuhnya yang jadi,” jelas Erlangga, sambil menunjuk para karyawan yang sedang menata kursi-kursi yang baru selesai dicat pelitur.
Naresh menghentikan langkah. Mengitari pandangan ke sekitar sembari mengangguk. “Saat pengiriman ke luar negeri, pernahkah mengalami kendala?” Ia menatap Erlangga, dengan kedua tangan bertaut di belakang pinggang.
“Sampai saat ini aman dan lancar. Shipping dari perusahaan Pak Irawan tidak pernah mengecewakan.”
Melanjutkan langkah lagi, Erlangga kembali menjelaskan dengan detail pembuatan mebel dari pesanan mana saja dan apa saja bahan yang dibutuhkan. Tidak sulit untuk Naresh memahami, karena di Hong Kong pun ia sering melakukan peninjauan ke toko mebelnya. Sedangkan sang papa sibuk mengurus properti yang bekerja sama dengan pemerintah Hong Kong, sehingga menetap di sana sampai bertahun-tahun.
Sementara itu, di apartemen Alesha sudah beraktivitas kembali. Kondisinya sudah lebih baik, kepala pun tidak sepusing dan seberat tadi pagi. Duduk di kursi kamarnya dengan pensil terselip di antara ibu jari dan telunjuk, ia sudah bisa menghasilkan dua goresan desain gaun pengantin ala bridal, persiapan fashion show bulan depan.
Alesha tersenyum. Menatap takjub dengan hasilnya, tidak terlalu buruk. Untung saja ia masih ingat seperti apa desain awal yang sudah ia siapkan. Jika bukan gara-gara lampirnya Naresh, ia tidak akan kehilangan sepuluh desain gaunnya. Di sana juga ada beberapa desain permintaan dari costumer untuk acara pernikahan. Menyebalkan sekali, bukan? Sudah menumpang di tempat orang, tetapi membuat kegaduhan.
“Hei, Parasite! Buatkan aku makan siang, dong!”
Mendengar teriakan Zenya dari luar, Alesha menggeram. Ia masih tak acuh dan melanjutkan kegiatannya lagi.
“Hei! Dengar tidak aku bicara! Cepat buatkan aku makan siang! Aku lapar!” teriak Zenya lagi, sambil menggedor pintu kamar Alesha keras-keras.
Perempuan itu seperti akan mengajaknya ribut. Alesha tentu tidak takut dan semangat 45 jika harus adu panco. Meskipun ukuran tubuhnya lebih ramping dan kecil, ia memiliki tenaga cukup untuk mengalahkan si Lampir. Dari luar ia memang terlihat feminim, tetapi sebenarnya juga jago bela diri. Niatnya hanya untuk menjaga diri jika sewaktu-waktu ada pria jahat menghampiri.
Jakarta itu kota metropolitan. Banyak preman bertebaran dan tak jarang kejadian pelecehan kepada perempuan. Maka dari itu, setelah Naresh pergi meninggalkan dirinya, Alesha memutuskan mengikuti olahraga bela diri di sela waktu kosong.
“Woiii! Kau tuli, ya?! Cepat buatkan aku makan siang!”
Menggebrak meja karena geregetan, Alesha beranjak, lalu melangkah lebar menuju pintu dan membukanya. Tatapannya menajam melihat perempuan yang mungkin seumuran dengan Naresh, 27 tahunan.
“Tidak mau repot masak, mati saja sana! Jangan ganggu orang yang sedang sibuk. Aku punya banyak pekerjaan, tidak sepertimu yang bisanya ongkang-ongkang kaki di apartemen orang!” ketus Alesha, tajam.
“Hei, ingat, ya! Aku ini pacar Naresh, calon istrinya. Sudah seharusnya kau melayaniku di sini, seperti yang Naresh katakan, layani tamu sebaik mungkin.”
Alesha menyeringai sinis. Perempuan itu baru pacar, tetapi sombongnya sudah tidak ketulungan. Sedangkan posisi dirinya di apartemen itu sudah istri sah Naresh, yang jelas-jelas sebagai tuan rumah sesungguhnya.
Bersandar pada kusen pintu sambil bersedekap, Alesha melayangkan tatapan mencemooh kepada Zenya. “Baru pacar, ya, Buk. Tapi, gayanya sok bossy. Tidak punya sopan santun dan ... seperti pelacur!” Gadis itu menekankan ucapan terakhirnya dengan kepala sedikit maju.
Zenya mengerutkan bibir dengan kedua tangan mengepal, geram. Ia tidak terima harga dirinya direndahkan. “Daripada dirimu, hanya parasite di keluarga Naresh. Sadar diri dong, kau itu hidup numpang di sini!” desis Zenya, tak kalah tajam menatap Alesha.
“Apa bedanya dengan dirimu? Kamu juga hidup numpang di apartemen lelaki orang tanpa ikatan pernikahan. Ah, pasti Naresh masih menyembunyikan statusnya dari dirimu, bukan? Kasihan.” Alesha terkekeh mengejek, memiringkan kepala.
“Maksudmu apa?” tanya Zenya cepat. Ia bingung sendiri mendengar ucapan Alesha.
“Aduuuh, benarkan, dugaanku. Naresh belum memberi tahumu. Kasihan sekali, sih. Sini-sini aku beri tahu.” Alesha menegakkan tubuh, memajukan kepala ke samping telinga Zenya, lalu berbisik, “Naresh sudah menikah. Kamu tahu itu?” Suaranya sangat pelan, agar perempuan itu memahami.
Menarik tubuh menjauh dari Zenya, Alesha mengulum senyum kemenangan. Perempuan itu terkesiap dan seketika itu juga wajahnya memerah. Entah sedih, atau marah. Intinya Alesha suka melihat tontonan di hadapannya sekarang.
“Kau bohong! Naresh belum menikah. Jika dia sudah menikah, pasti akan tinggal bersama istrinya di sini!” Zenya berseru. Tidak akan mempercayai ucapan gadis yang masih memakai piama setelan celana panjang itu. Ia yakin, Alesha hanya ingin memanas-manasi dirinya saja agar kalah berdebat.
“Kamu salah. Dia tinggal bersama istrinya di sini. Kamu mau tahu siapa dia?” Alesha berkata santai.
Zenya menggeleng. “Jangan bilang ... kau istri Naresh.”
“True! Aku istri Naresh, Nona,” kata Alesha sambil menjentikkan jari.
“Jangan mengada-ngada! Kau itu hanya saudara dia!” Zenya tertawa lantang. Gadis di hadapannya terlalu tinggi mimpinya, sampai mengaku-ngaku Naresh sebagai suaminya. Tidak tahu kah, kalau jatuh itu sakit?
“Masih tidak percaya?” tanya Alesha memastikan.
“Lihat ini?” Gadis itu mengangkat tangan kiri, menunjukkan sebuah cincin terselip di jari manisnya. “Cincin pernikahanku dengan Naresh. Kamu pasti mengenali cincin yang ada di jari Naresh, bukan?” Ia menjeda ucapannya untuk melihat reaksi Zenya. Sedangkan perempuan itu langsung diam, bungkam.
“Yupz! Cincinnya sama seperti ini. Jadi, yang seharusnya tahu diri di sini siapa? Aku ... atau kamu?” Alesha menunjuk dirinya sendiri, lalu beralih menunjuk dada Zenya.
Perempuan itu menggeleng kuat, mengatupkan bibir membentuk garis lurus. Sedangkan hati teramat sangat mencelus mendengar pernyataan dari gadis di hadapannya. Pantas saja, selama ini Naresh selalu menolak ajakan menikah dari dirinya dan terlalu banyak alasan.
Menahan hati yang sesak dan sakit, selang beberapa detik Zenya tersadar akan sesuatu. Tawanya pun meledak begitu saja.
Membuat Alesha mengernyit bingung melihatnya. Perempuan itu benar-benar sudah tidak waras. Tadi sedih, sekarang tertawa seperti orang gila.
“Kau istri Naresh? Sungguh?” Zenya masih tertawa lantang, sampai perut terasa kram.
“Hei, kalau seperti itu, kau sadar tidak? Kau itu istri yang tak dianggap! Tidur saja pisah kamar, dan Naresh lebih memilih tidur denganku. Kasihan sekali dirimu.”
“Kami memang memutuskan untuk pisah ranjang. Did you know, aku dan Naresh sempat menjalin hubungan sebelumnya, cukup lama. Bisa dibilang kami ini, mantan menikah dengan mantan. Ah, orang tua memang ada-ada saja. Mungkin aku dan Naresh memang sudah ditakdirkan untuk bersama.” Alesha berkata sangat santai dan tidak memasukkan hati atas perkataan Zenya. Ia justru ingin memanas-manasi perempuan itu lebih pedas lagi.
“Hati-hati, bisa jadi kamu hanya menjadi pelarian atau pelampiasan Naresh saja atas sakit hatinya kepadaku dulu,” bisik Alesha sebelum masuk ke kamarnya lagi, meninggalkan Zenya yang naik pitam di tempatnya berdiri.
“Aku tidak peduli kau istri Naresh atau bukan! Yang jelas, aku akan merebut Naresh dari dirimu dan meninggalkanmu untuk selamanya!” teriaknya dengan napas yang menggebu.
Alesha tidak memedulikan. Jika memang ia berjodoh dengan Naresh, Tuhan yang akan mempersatukan. Berjuang pun percuma, jika hanya satu hati yang bergerak.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top