Part 5

“Kamu gila? Aku pakai dress, mana bisa naik motor?!” Alesha bersungut, mengamati motor warna merah dengan jok belakang lebih tinggi. “Aku mau naik taksi,” pungkasnya, melangkah tergesa meninggalkan Naresh yang sudah duduk di atas motornya.

“Aku tidak mengizinkanmu naik taksi. Cepat naik!”

“Aku tidak butuh izinmu!” seru Alesha, tanpa menoleh ke belakang. Ia terus melangkah dengan hati yang teramat kesal. Sejak kapan lelaki itu ikut campur urusannya? Di apartemen ada kekasihnya, kenapa harus membuntutinya?!

Berjalan dengan langkah mengentak, Alesha memekik kaget saat tubuhnya terasa melayang—Naresh membopongnya.

“Hei! Apa-apaan ini?!” teriaknya lantang sambil memberontak.

Naresh tetap Naresh, tidak peduli mau Alesha memberontak sampai tubuhnya melanting tak karuan. Terus melangkah lebar, ia segera mendudukkan Alesha di jok motor bagian belakang. Tangannya dengan gesit meraih helm full face, lalu memasangkannya ke kepala gadis itu.

Security yang melihat keributan di antara mereka, maju menghampiri. Namun, langkahnya terhenti saat mendapat pelototan tajam dari Naresh.

“Dia istri saya kepergok selingkuh dengan pria lain. Sudah seharusnya saya membawanya pulang sekarang. Anda tidak perlu khawatir, Pak, saya bukan penculik.”

Mendengar ucapan Naresh, membuat Alesha semakin meradang. Gadis itu naik pitam, menyipitkan mata sambil mengepalkan kedua tangan di atas paha. Ia pun berjanji, suatu hari nanti, akan membalas perbuatan Naresh malam ini. Lelaki itu sudah mempermalukan harga dirinya di depan umum. ‘Lihat saja nanti!’

Naresh duduk di depan Alesha, ia segera men-stater motornya meninggalkan pelataran hotel. Tanpa memakai helm, lelaki itu melajukan kendaraan roda dua dengan kecepatan tinggi di jalanan yang ramai kendaraan. Rambut gondrongnya yang digerai bebas berkelebatan terbawa angin. Dengan gerakan lihai, ia melenggak-lenggokkan setang menyalip setiap kendaraan yang melaju di depannya.

Sementara Alesha ketakutan bukan main. Pikirannya kini dipenuhi oleh bayang-bayang papanya yang meninggal secara tragis karena kecelakaan dengan tubuhnya berlumuran darah. Memeluk Naresh erat-erat, ia menyembunyikan kepala di belakang punggung lelaki itu dengan mata terpejam. Sangat berharap rasa takutnya sirna. Namun, lambat laun justru mual dan pusing yang menghampiri.

Sampai di apartemen, kepala Alesha semakin berputar-putar, perut pun seakan-akan terkoyak dari dalam. Mengabaikan Zenya yang menatapnya horor, ia langsung berlari ke kamarnya menuju kamar mandi—memuntahkan sisa makanan tadi.

“Kamu masih di sini?” tanya Naresh kepada Zenya. Ia meletakkan helm di atas lemari bercat hitam setinggi dadanya.

“Kamu yang memintaku tidur di sini kemarin. Jadi, aku tidak akan pulang.” Zenya memeluk tubuh tegap kekasihnya. Lalu, mengecup bibir merah muda alami milik Naresh.

“Apa saudaramu pergi ke hotel beneran? Dia bermain dengan lelaki tadi siang? Huft! Sungguh murahan sekali,” desis Zenya, masih melingkarkan lengan di pinggang Naresh.

“Kalau aku tidak menyeretnya pulang, mungkin dia bermalam di hotel malam ini. Aku bisa dibunuh orang tuaku jika itu terjadi.”

Merasa tubuhnya gerah, Naresh memutuskan untuk mandi dan meninggalkan Zenya di ruang tamu. Langkahnya terhenti saat melewati depan kamar Alesha. Ia mengernyitkan dahi. Lantas, menempelkan telinga di daun pintu untuk memastikan apakah ia tidak salah dengar ada orang muntah-muntah. Penasaran, Naresh pun membuka pintu bercat putih gading itu, menghela kaki memasuki kamar istrinya.

“Kenapa kamu  muntah-muntah seperti itu?” Naresh menyembulkan kepala di pintu kamar mandi, menatap Alesha penuh tanya juga rasa khawatir tergurat di wajah.

Masih membungkukkan punggung ke arah kloset, Alesha mengibaskan tangan menyuruh Naresh keluar. Ia tidak mau lelaki itu melihat sesuatu yang menjijikkan. Masih memuntahkan isi perutnya, kepala Alesha semakin berat dan pandangan berkunang-kunang. Ia menekan flush, sebelum akhirnya tubuhnya limbung.

“Al!” Naresh berseru kaget melihatnya.

Dengan cekatan ia menangkap tubuh istrinya, mengangkatnya, lalu membawa ke kamar menidurkan di ranjang. Ia duduk di sisinya, memerhatikan wajah Alesha yang tampak pucat pasi. Matanya berair. Merasa kebingungan harus melakukan apa, ia pun memanggil Zenya untuk meminta bantuan.

“Dia muntah-muntah, pasti dia hamil, Naresh! Astaga, saudaramu pasti hamil di luar nikah!” kata Zenya, setelah Naresh bercerita. Padahal ia tidak tahu apa-apa, tetapi sudah menilai Alesha hamil. Berdiri di samping ranjang gadis itu sambil bersedekap, ia melemparkan tatapan menjijikkan seakan-akan Alesha adalah kuman.

Naresh mematung di tempat. Jantungnya seakan berhenti berdetak detik itu juga mendengar penuturan Zenya. Alesha hamil? Benarkah seperti itu? Dan yang ia tahu, gejala orang hamil memang muntah-muntah. Menggeram sambil mengepalkan kedua tangan, berbagai pertanyaan berkecamuk di pikirannya. Siapa gerangan pria yang menghamili Alesha? Pasti tidak hanya satu pria, bukan?

“Besok pagi aku panggilkan dokter untuk memeriksa keadaannya. Jika dia  benar-benar hamil, aku ingin memberi hukuman yang pantas untuknya,” ucapnya dingin. Lalu, meninggalkan kamar Alesha dengan wajah merah padam.

Entah kenapa ia sangat sensitif tentang Alesha dekat dengan pria lain. Apalagi sekarang dengan kondisi gadis itu yang hamil. Hati seakan terbakar, membuat rasa panas menjalar ke seluruh tubuh. Shit! Naresh membanting pintu kamarnya keras.

“Heh, Gadis Murahan! Kau itu menumpang di keluarga Naresh, jadi jangan mempermalukan mereka. Pakai hamil di luar nikah segala! Sadar diri dong, kau itu sudah tidak punya siapa-siapa. Seharusnya kau bisa jaga diri untuk nama baik keluarga Naresh,” caci Zenya, menatap sinis Alesha yang terbungkus selimut.

Dengan mata terpejam, Alesha mendengar jelas makian pedas Zenya. Ia ingin melawan, tetapi kepala terasa berat. Kelopak mata pun seperti dilem, merekat erat. Oke, sekarang ia belum bisa membuktikan. Biarkan dokter yang berbicara besok dari hasil pemeriksaannya.
Menahan hatinya yang berdenyut nyeri, Alesha mencoba tidur dan mengabaikan sekitar. Sebelum akhirnya, ia mendengar langkah kaki menjauh dari ranjangnya dan suara pintu kamar tertutup.

***

Pagi-pagi sekali tepat pukul 06.00, dokter keluarga Irawan sudah datang ke apartemen milik Naresh, atas suruhan Ben. Semalam, lelaki berambut gondrong dengan tinggi badan 184 cm itu menelepon kakak iparnya memberi kabar jika Alesha tidak enak badan.
Berdiri di depan pintu kamar Alesha yang terbuka, Naresh memerhatikan dengan jeli bagaimana dokter itu memeriksa keadaan istrinya.

“Bagaimana dok, keadaannya?” tanyanya, saat melihat dokter menyimpan kembali stetoskop ke saku jas putihnya.

“Tidak ada penyakit serius yang diderita Nona Alesha, Pak. Dia hanya masuk angin dan membutuhkan istirahat yang cukup. Juga, jangan biarkan dia beraktivitas terlalu banyak,” jelas dokter tersebut. “Saya akan memberikan resep obat untuknya. Anda bisa menebus di apotek terdekat, Pak,” sambungnya lagi.

“Hanya itu, dok? Tidak ada yang lain, hamil mungkin?” Naresh langsung bertanya ke inti masalah yang membuat pikirannya meradang dari semalam.

“Belum, Pak. Mungkin Anda harus berjuang keras lagi, supaya segera diberi momongan,” kelakar dokter tersebut, mengulum senyum.

Sementara Naresh tertegun mendengar jawaban dokter. Namun, ada rasa lega dan senang menghinggap di hati. Dugaannya salah. Alesha tidak hamil, dan ia tidak perlu bingung mencari siapa pria yang menghamili.

Lalu, ia mengalihkan perhatiannya kepada Alesha yang sedari tadi diam. Wajah gadis itu masih terlihat pucat tak bertenaga.

“Kamu dengar sendiri, Al. Disuruh istirahat, tidak boleh bekerja dulu,” kata Naresh, memasukkan kedua tangan ke saku celana pendeknya. Mengalihkan rasa malunya karena telah menuduh gadis itu yang tidak-tidak.

Alesha hanya meliriknya sekilas, tidak membalas perkataannya. Ia masih kesal dan marah kepada Naresh dan kekasih lampirnya itu. Sekarang terbukti bukan, ia tidak hamil?

“Ini, Pak, obat yang harus Anda tebus di apotek.” Dokter yang sudah siap pamit, memberi secarik kertas kepada Naresh, yang langsung diterima lelaki itu.

Naresh membacanya, lantas mengangguk paham. “Terima kasih,” ucapnya.

“Saya permisi dulu, Pak.”

Naresh mempersilakan, membiarkan dokter tersebut berlalu. Melangkah menghampiri Alesha, ia berdiri di samping ranjang.

“Aku akan menebus obatnya untukmu.”

“Tidak perlu,” lirih Alesha, melirik Naresh. Suaranya terdengar datar. “Jangan sok peduli denganku.”

Naresh terkekeh, menggeleng pelan. “Jangan ge-er, Alesha. Aku tidak peduli padamu, ini hanya menjalankan tugas dari Ben untuk menjagamu.”

“Untuk apa? Biar terlihat seperti pahlawan di depan kakakku?” Alesha melemparkan tatapan permusuhan. “Apakah itu dirimu, meng-cover sifat busuk dengan perlakuan manis?”

“Aku tidak ingin berdebat denganmu. Tidurlah, aku akan menebus obat ini.” Naresh berlalu, membiarkan Alesha yang masih melemparkan tatapan permusuhan.

Menuju kamarnya, ia mengambil jaket jeans, lalu mengambil kontak mobil yang terletak di nakas.

“Aku harus keluar sebentar,” ujarnya kepada Zenya yang masih berbaring di ranjang.
Perempuan itu menarik selimutnya sedikit ke atas. “Harus pagi-pagi sekali, ya? Apotek juga belum buka.”

“Jika tidak, keadaan dia akan semakin buruk.”

“Apa dia hamil? Kau harus memberi hukuman kepada gadis tak tahu diri itu, Naresh.”

“Tidak. Dokter mengatakan dia hanya masuk angin. Mungkin karena semalam aku naik motornya ngebut.”

“Halah, dianya aja yang manja, suka ngerepotin orang.” Zenya tampak keras kepala, dan masih menyalahkan Alesha yang tidak tahu diri karena menumpang.

Tidak memedulikan ucapan kekasihnya, Naresh meninggalkan kamar lalu keluar apartemen menuju basemen.

Pagi ini jalanan ibu kota masih lengang. Kendaraan pribadi belum memadati jalan raya, matahari pun belum begitu tinggi menyembul. Melajukan mobil dengan kecepatan sedang, Naresh menyusuri jalanan aspal menuju apotek. Namun, sampai di tempat, apotek tersebut belum buka. Dari keterangan akan dibuka pada jam delapan, sedangkan sekarang masih jam tujuh kurang sepuluh menit. Masih harus menunggu satu jam lagi.

Tidak mau menunggu di tempat,  Naresh berinisiatif mencari sarapan lebih dulu. Terlintas di pikiran, bubur ayam adalah sarapan yang tepat untuk Alesha. Ia pun segera mencari penjual bubur ayam tersebut.

Sementara itu, di kamarnya Alesha masih berbincang dengan Dion dari ponsel. Sesekali tangannya memijit pelipis yang berdenyut nyeri.

“Tidak apa-apa, Al. Aku mengerti. Jaga kondisimu baik-baik, agar bulan depan bisa ikut denganku dalam acara fashion show. Kamu harus melihat dengan matamu sendiri, gaun rancanganmu dipamerkan di sana.” Suara Dion di seberang sana terdengar menenangkan, membuat Alesha tersenyum simpul.

“Makasih, Di. Pekerjaanku akan segera kuselesaikan di rumah.”

“Jika masih sakit jangan dipaksakan, Al. Kata dokter harus banyak istirahat, bukan?”

Bukan Alesha jika tidak menyelesaikan pekerjaan tepat waktu. Dalam kondisi apa pun jika masih mampu, gadis itu tetap akan mengerjakan pekerjaannya, karena itu sudah menjadi tanggung jawab dirinya. Apalagi ia bekerja ikut orang, tidak ingin mengecewakan atasannya tentunya. Butik milik Dion pun, bukan butik kelas bawah. Akan tetapi, sudah masuk ke jajaran butik internasional. Ada beberapa karyanya yang sudah dipamerkan di London dan Paris.

“Terima kasih pengertiannya, Di. Ya, sudah, aku tutup dulu teleponnya. Bye.” Mendapat balasan dari seberang sana, Alesha mematikan sambungan telepon. Meletakkan ponselnya ke nakas kembali.

**

Naresh baru saja sampai apartemen, dengan kedua tangan menenteng dua plastik yang berbeda. Sebelah kanan membawa tiga porsi bubur ayam, sedangkan sebelah kiri membawa obat milik Alesha.

Memasuki apartemen, suasana masih sepi. Dua perempuan yang berperan penting dalam hidupnya masih di kamar. Menghela langkah menuju dapur, ia segera menyiapkan sarapan untuk Alesha. Tangannya meraih mangkuk porselen berukuran sedang dari rak, lalu menuang bubur ke dalamnya yang dilengkapi dengan kuah berwarna kuning, serta tambahan toping suwiran ayam, kacang goreng, kerupuk, satu butir telur yang dibelah dua, juga bawang goreng, dan taburan daun bawang yang sudah dipotong kecil-kecil.

Dulu Alesha suka sekali memberi kecap di bubur ayamnya, Naresh masih ingat itu. Mengambil botol kecap di deretan bumbu-bumbu, ia menuang sedikit isinya ke atas toping yang sudah ditata rapi. Lantas, menatapnya sejenak menilai penampilannya. Tidak terlalu buruk, penataannya juga rapi seperti mamang si penjual. Menggugah selera, Alesha pasti tergiur melihatnya.

Memindahkan mangkuk ke atas nampan dan mengambil segelas air putih, Naresh membawanya ke kamar sang istri. Tidak lupa dengan obat yang sudah ia tebus tadi.

“Sarapan dulu, Al. Terus minum obatnya.”

Alesha yang masih terpejam, membuka mata. Ia menoleh, melihat Naresh melangkah menghampiri dengan tangan membawa nampan. Penciumannya pun menghidu aroma bubur ayam. Benar saja, saat nampan itu ditaruh di nakas, bubur ayam lengkap dengan toping terlihat sangat menggiurkan.

Sesungguhnya Alesha sangat malas untuk bangun. Namun, mengingat pekerjaan yang belum selesai, mengharuskannya untuk beranjak duduk. Sedikit kesusahan karena kepala seperti diputar-putar kembali. Mengernyit sembari memegang kepala, Alesha terdiam sebentar sembari menunduk.

Naresh yang melihat tidak tega. Ia mengambil mangkuk, lalu menghempaskan pantatnya di tepi ranjang. “Aku bantu menyuapimu,” ucapnya datar.

Alesha mengangkat kepala, pandangannya langsung berserobok dengan lelaki itu. Jantung pun seperti dipompa begitu cepat, berdebar tak karuan. Dengan jarak mereka yang terlalu dekat, membuatnya merasa salah tingkah. Namun, masih mampu menyembunyikan.

***


Alesha yang masih bersikap santai, walaupun dua orang di sekitarnya seperti cacing kepanasan  🤭🤭🤭

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top