Part 4

“Aku bilang apa, Alesha. Pak Dion akan berbaik hati padamu.”

Ucapan Diana membuat Alesha terkekeh. Ia merasa lega dan sangat berterima kasih kepada atasannya itu. Mau memberi kelonggaran waktu untuk ia menyelesaikan desain gaunnya lagi.

“Aku benar-benar minta maaf atas kejadian tadi. Sungguh, itu semua di luar perkiraanku,” ucap Alesha. Ia meraih gelas, lantas menyeruput jus jeruknya.

“Anggap saja itu kecelakaan, Alesha,” Dion menyahut, mengulas senyum manis untuk Alesha.

“Sepertinya aku harus lembur di butik malam ini. Takut jika keponakanku merusak desainku lagi.” Alesha menyibakkan rambutnya ke belakang, memperlihatkan leher jenjangnya yang putih mulus.

“Jangan seperti itu, Al. Ah, ya, nanti malam aku mau mengajakmu makan malam di luar. Apakah kamu ada waktu?” Dion menatap Alesha penuh harap.

Sementara gadis itu tampak berpikir. Di apartemen juga rasanya membosankan, ada dua manusia sialan yang membuat sepet mata. Menerima ajakan Dion mungkin tidaklah buruk, pikirnya.

“Ayolah, Al. Terima saja, itung-itung buat tanda terima kasih hari ini.” Diana berucap antusias, membuat Alesha mengangguk pasrah.

“Baiklah. Jam berapa, Pak?”

“Jam setengah delapan bagaimana? Nanti aku jemput kamu ke rumah.” Dion menumpukan kedua lengan di atas meja, pandangannya tak lepas dari Alesha.

“Baiklah, kita ketemuan di tempat saja.”

“Kalau gitu makan siang ini Bapak yang bayar, ya. Kan, aku juga mau ditraktir.” Diana menyengir.

“Ana, macam gak punya uang minta traktiran segala,” tegur Alesha menatap tajam Diana.

“Gak apa-apa, Al. Uangnya bisa aku tabung. Lagian, Pak Dion juga tidak masalah.” Diana menyengir kembali. Urusan uang memang nomor satu untuk gadis itu. Untuk modal menikah katanya, walaupun jodoh belum ada.

“Iya, gak apa-apa.” Dion mengangguk menatap bergantian Alesha dan Diana.

Merasa tidak enak, Alesha mengitari pandangannya ke penjuru restoran. Tanpa sengaja ia menatap Naresh yang sedang menatapnya juga. Lelaki itu bersama kekasihnya. Memandang dirinya seperti ingin memakannya hidup-hidup. ‘Dasar! Lelaki aneh.’ Alesha menggeleng pelan.

Pandangan mereka masih beradu tatap, sampai Zenya menyadari keberadaan Alesha di sana.

“Itu saudaramu ada di sini. Pria sebelahnya kekasihnya, ya? Tidak jelek-jelek banget, sih.”

Mendengar ucapan Zenya, darah Naresh semakin mendidih. Kekasihnya, katanya? Ya, mungkin saja benar. Gadis itu pasti sudah berganti-ganti pasangan berulang kali. Dari remaja saja sudah jadi cewek murahan, apalagi sekarang? Pasti sudah seperti wanita malam yang melemparkan tubuhnya ke sana kemari kepada sembarang pria.

“Kita duduk dekat mereka saja, yuk.”

“Sana saja.” Naresh menahan tubuh Zenya yang akan menyeretnya, sembari menunjuk meja yang lebih jauh jaraknya.
Tidak memedulikan Naresh, Zenya tetap menarik lengan lelaki itu.

“Hai, Alesha, bertemu di sini kita,” sapa Zenya, sembari menyeringai menatap Alesha.

Ia mendaratkan pantat di sebelah tempat duduk Alesha, membelakanginya. Sedangkan Naresh saling berhadapan dengan Alesha.

“Siapa, Al? Kamu kenal dengan mereka?” tanya Diana penasaran, menatap dua orang yang duduk di sebelah mejanya.

“Gak kenal. Sok kenal saja mereka denganku.” Alesha sengaja meninggikan suara. Ia masih kesal dengan Zenya karena masalah tadi pagi. Begitu pun kepada lelaki yang duduk berhadapan dengannya, tidak memiliki otak sama sekali. Ah, Naresh mana punya otak? Dari dulu selalu menyalahkan dirinya tanpa mau mengerti kebenarannya.

“Oh, ya, Pak Dion. Jadi, nanti malam kita bertemu di mana? Biar aku langsung menuju ke tempat tujuan,” tanya Alesha mengalihkan perhatian dari dua orang itu.

“Di hotel biasa, Alesha. Yang sering kita datangi.”

“Baik, Pak. Nanti aku langsung ke sana.”

‘Hotel? Benar dugaanku, bukan? Alesha menerima booking-an untuk lelaki hidung belang itu.’

Di bawah meja, Naresh mengepalkan kedua tangan kuat-kuat. Memandang Alesha tajam. Tidak tahu kenapa hatinya terasa panas dan berdenyut nyeri. Rasanya ia sangat marah, mendengar gadis itu akan pergi dengan pria lain, apalagi ke hotel. Pikiran Naresh sudah berkelana ke mana-mana.

‘Shit! Apa peduliku?!’

***

Malam hari, tepat pukul 19.00 Alesha sudah siap untuk pergi makan malam dengan Dion. Dress selutut warna peach polos tanpa lengan itu telah membalut tubuh rampingnya yang putih mulus. Rambutnya yang panjang ia gelung, sedikit menjuntaikan anak rambut bagian depan sisi kiri-kanannya hingga penampilannya tampak memukau. Sedangkan make up yang melapisi wajah tirusnya tidak terlalu tebal dan masih terlihat natural. Apalagi lipstik warna peach yang membingkai bibirnya sangat cocok dengan penampilannya malam ini, elegan.

Gadis itu menatap diri dari pantulan cermin, memutar gerakan ke kanan dan kiri. Merasa semuanya sudah oke, ia mengambil pouch yang sudah disiapkan di ranjang, lalu menghela kaki menuju ruang tamu. Seketika pandangannya berubah mendung ketika melihat Naresh dan kekasihnya duduk di sofa, bersantai sambil menonton TV. Perempuan itu menyandarkan kepalanya di bahu Naresh, sambil bercerita yang ia tidak tahu topiknya.

Tidak mau memedulikan, Alesha menghela napas panjang, lalu melanjutkan langkah ke tempat rak sepatu. Mau mereka bermesraan atau apa pun itu bukan urusannya. Sekuat hati ia harus terlihat biasa-biasa saja di hadapan mereka. Jangan sampai terlihat menyedihkan dan terbawa perasaan, karena Naresh pasti akan tertawa bahagia melihatnya menderita. Ya, itu pasti. Bukankah tujuan utama lelaki itu untuk membuatnya sakit hati?

“Kamu mau ke mana?! Aku tidak mengizinkanmu pergi, Alesha!” Naresh berseru, melihat Alesha sudah berpakaian rapi dan tampil cantik. Kini, gadis itu sedang memakai high heels di dekat pintu keluar.

“Bukan urusanmu. Urus saja hidupmu dengan kekasihmu. Bukankah itu kesempatan bagus untuk kalian bercinta? Aku tidak ada di rumah, jadi kalian bebas melakukannya,” balas Alesha tanpa menoleh ke arahnya, lantas membuka pintu.

Menggeram, Naresh tidak bisa membiarkan Alesha pergi dengan pria tadi siang. Sial! Lagi dan lagi, ia merutuki hatinya yang entah kenapa.

“Biarkan saja dia pergi, Sayang,” ucap Zenya, melihat Alesha berlalu keluar.

“Tidak bisa. Aku sudah dipasrahkan untuk menjaga dia. Kalau dia sampai diapa-apakan pria tadi siang, aku yang akan di salahkan. Sepertinya malam ini kamu harus pulang ke hotel, aku akan membuntuti dia.”

Belum sampai Zenya membalas ucapannya, Naresh sudah berlalu menuju kamar mengambil jaket kulit warna hitam dan kunci motornya. Ia harus segera turun sebelum kehilangan jejak Alesha.

“Naresh, aku tidak mau ditinggal sendiri!” seru Zenya, berdiri sambil mengentakkan kaki. 

Naresh yang sedang sibuk memakai sepatu tidak memedulikan. “Kamu pulang ke hotel dulu malam ini, mungkin aku akan malam pulangnya.”

Ia mengambil helm full face di atas lemari sepatu, lalu memakainya. Lantas, keluar dari apartemen sambil memakai jaket kulit. Langkahnya agak cepat menuju lift untuk turun ke basemen, takut jika akan kehilangan jejak Alesha. Sedangkan dirinya tidak tahu hotel mana yang akan di datangi gadis itu.

Terburu mengendarai motor ninjanya keluar basemen, Naresh menghela napas lega melihat Alesha baru saja memasuki taksi. Ia pun melajukan motornya dengan kecepatan sedang mengikuti taksi tersebut dari belakang. Tatapannya tetap fokus pada kendaraan roda empat yang membawa sang istri.  Jika beralih pandang barang sedetik saja, seakan-akan kendaraan itu bakal menghilang.

Selang tiga puluh menit menyusuri jalan raya yang padat oleh kendaraan, taksi berwarna biru itu berhenti tepat di depan lobi hotel. Naresh menghentikan motornya dari radius lima meter agar tidak ketahuan oleh Alesha. Masih bertengger di jok, lelaki jangkung itu dengan sabar menunggu Alesha keluar. Sorot matanya menajam dari balik helm, serta bibirnya yang mengerut menahan geram.

Sementara di dalam taksi, Alesha baru saja membayar ongkos dan menunggu uang kembalian. Ia juga masih belum menyadari jika sedari tadi dibuntuti oleh Naresh.

“Terima kasih, Pak,” ucap Alesha sambil menerima uang kembalian. Setelahnya ia turun, melangkah memasuki lobi hotel, lalu menaiki lift menuju restoran rooftop. Jantungnya sedikit deg-degan, tetapi masih terbilang wajar. Hal apa yang akan diucapkan oleh atasannya pun sudah terangkai dalam benak. Ia sudah hafal. Setiap kali bosnya mengajak makan malam, pasti akan diselingi ucapan cinta dari pria itu.

Mengembuskan napas lelah, Alesha bersandar pada dinding lift yang masih berjalan ke atas sambil bersedekap.

Di luar, Naresh kelabakan sendiri saat kehilangan jejak Alesha. Ia baru saja memasrahkan motornya kepada security, meminta tolong untuk menjaganya. Memasuki lobi sedikit berlari, ia berhenti di depan lift. Kepalanya celingukan mengamati empat lift yang sedang berjalan naik. Seperti mendapat soal dengan pola zig-zag, ia harus menjawab sesuai insting yang tepat. Tidak tahu gadis itu berada di dalam lift yang mana.

Naresh mengacak asal rambut gondrongnya, frustrasi  Seharusnya ia tidak perlu membuntuti Alesha sampai sejauh ini. Apa urusannya juga? Namun, hati dan pikiran terus bertolak belakang dan penuh penyangkalan untuk mengabaikan gadis itu. Entahlah, dalam lubuk hatinya paling dalam, tetap ada rasa tidak terima jika Alesha berdekatan dengan pria lain. Anggaplah ia pengecut dan gila. Suka semaunya sendiri, bahkan ia tega meninggalkan sang kekasih  di apartemennya.

Masih memerhatikan lift yang berjalan, salah satunya ada yang berhenti di huruf R. Instingnya sangat kuat Alesha turun di lantai itu, jika pun tidak, jalan ninja satu-satunya adalah menanyakan kepada resepsionis.
Naresh segera menekan tombol naik. Menunggu sebentar, lalu ia memasuki lift yang terbuka untuk membawanya menuju lantai R. Dalam hati ia harap-harap cemas jika tebakannya salah dan mengharuskan dirinya bekerja lebih keras untuk mendapatkan Alesha.

Hanya membutuhkan waktu tiga menit, lift pun berdenting bersamaan dengan pintu aluminium itu terbuka. Ia melangkah keluar. Cukup terkesiap saat pandangannya langsung disuguhi dengan restoran bernuansa rooftop yang luas. Memiliki pencahayaan lampu temaram dan ada hiasan dari lampu LED, pemandangannya juga tertuju langsung pada hamparan kota Jakarta yang begitu indah, pengunjung pun lumayan  banyak, dan berpakaian formal. 

Naresh melangkah hati-hati memasuki restoran tersebut, mencari keberadaan Alesha jika memang berada di sana. Kepalanya celingukan mengitari sekitar, tetapi belum menemukan sosok gadis itu. Terus melangkahkan kaki, tidak berselang lama pandangannya tertuju pada dua orang yang duduk di pojokkan saling berhadapan, melempar senyum.

Naresh mengepalkan kedua tangan, lalu menghempaskan pantat di sembarang kursi, yang masih bisa menjangkau pandangannya untuk mengintai. Lucu rasanya, ini kali pertama ia bermain detektif-detektifan. Namun, mau bagaimana mana lagi? Demi keamanan gadis itu.

Shit! Bahkan ia masih memikirkan keamanannya. Sebenarnya apa maunya? Apa yang ada dalam pikirannya? Membenci, tapi peduli. Ingin menyakiti, tapi ingin melindungi. Siapa pun, tolong. Sadarkan Naresh dari pikirannya yang bimbang.

Kini dahi Naresh dibuat mengernyit ketika melihat Alesha menggeleng. Ia ingin tahu pembicaraan mereka, tetapi volume suara keduanya terlalu rendah. Persepsi demi persepsi pun mulai bermunculan di benak. ‘Pasti lelaki itu akan mengajak Alesha ke kamar hotel dan bercinta, tetapi Alesha menolak atau meminta hal lain, seperti bayarannya kurang besar, mungkin.  Ah! Tapi, apa peduliku?! Oke, ini hanya menjalankan tugas menjaga gadis itu, karena Ben. Jika gadis itu pergi ke kamar hotel sungguhan, jangan heran jika aku akan menyeretnya langsung.’

“Al, apa kamu bisa mempertimbangkannya lagi?” Dion menatap Alesha sendu dan penuh harap. Berkali-kali ia mengutarakan cinta kepada gadis di hadapannya. Namun, selalu ditolak meski dengan cara halus.

Sudah Alesha duga, bukan? Lelaki itu pasti akan mengungkapkan kata cintanya lagi. Menggeleng lemah, ia berkata, “Aku tidak bisa, Pak.”

“Tolong, jangan panggil aku Bapak, kalau sedang berdua seperti ini, Al. Cukup Dion saja.” Lelaki berusia 28 tahun itu memprotes. Dan Alesha hanya mengangguk.

“Kalau boleh tahu apa alasannya, Al?” tanya Dion lagi.

“Aku lebih nyaman jadi bawahan kamu, Di,” jawab Alesha, sambil menatap piring berisi steik yang tinggal separuh.

“Hanya itu?” Dion mengangkat sebelah alisnya.

“Aku tidak memiliki perasaan lebih kepadamu, selain hubungan atasan dan bawahan.”

“Begitukah?” Cukup menyakitkan mendapat alasan dari Alesha. Namun, ia juga tidak bisa memaksa kehendak. “Setelah ini, aku mohon, tolong jangan jauhi aku, Al. Tetaplah bersikap apa adanya seperti biasanya.” Ia takut Alesha tidak nyaman dan menghindari dirinya.

Mengangkat kepala menatap Dion, Alesha mengangguk sembari mengembangkan senyum. “Tentu. Menjadi teman baik, aku rasa tidak buruk, Dion.”

Naresh yang masih fokus memandang mereka pun geram sendiri. Tadi gadis itu menggeleng, tetapi sekarang mengangguk. Mengepalkan kedua tangan di atas meja, ia menatap tajam Alesha.

“Benar dugaanku. Gadis itu pasti sudah termakan rayuannya. Tadi saja sok-sokkan jual mahal menolak ajakan pria itu. Sekarang mengangguk, pasti mengiyakan ajakan bercinta setelah ini,” gumam Naresh, kesal.

Tidak berselang lama Alesha beranjak dari tempatnya, melangkah anggun menuju toilet dengan sebelah tangan menenteng pouch.

Naresh  mengikutinya secara diam-diam, tidak ingin kehilangan jejak gadis itu. Lantas, menghentikan langkah di luar toilet perempuan, saat Alesha memasuki ruangan tersebut. Bersandar pada dinding, ia bersedekap menunggu istrinya dengan sabar. Ia juga mencoba tak acuh kala perempuan-perempuan lewat di hadapannya, memandang dirinya tampak terpesona. Bahkan, gumaman pujian serta suara cekikikan dari mereka pun terdengar jelas, tetapi ia hanya meliriknya dengan tatapan datar.

Sementara di dalam toilet, kini Alesha sedang merapikan penampilannya setelah selesai buang air kecil. Ia menatap diri dari pantulan cermin, menata rambutnya yang sedikit berantakan, serta mengoleskan lipstik sedikit. 

Memasukkan lipstik ke pouch kembali, ia terdiam sejenak dengan pikiran tertuju kepada Dion. Sebenarnya merasa tidak enak kepada atasannya itu, sering mengutarakan rasa cinta, tetapi berakhir penolakan dari dirinya .

Ia tahu, Dion adalah pria baik, dewasa, serta umurnya sudah matang. Namun, mau seberapa banyak lelaki itu mengungkapkan perasaannya, ia tetap tidak bisa menerima. Perasaan untuk mencintai pria lain tidak ada, dan sialnya ia masih terjebak pada cinta masa lalu.

Bukankah sebaiknya seperti ini? Menolak cinta-cinta pria mana pun dan menyendiri dalam kesepian. Daripada harus menerima, tetapi sembunyi dalam kepalsuan. Dan itu akan lebih menyakitkan lagi, ketika tanpa sengaja menjadi seorang penjahat bagi mereka. Karena pada dasarnya, untuk memulai hubungan baru, memang harus lepas dari masa lalu.

Alesha menundukkan kepala sambil menarik napas panjang. Entah sampai kapan hatinya akan terjebak pada satu pria. Sedangkan pria tersebut sudah tidak lagi menganggapnya, tidak lagi mencintai, bahkan sangat membenci.

“Aku lelah, Tuhan. Tetapi,  kenapa sulit sekali untuk melupakan.” Alesha mendesah pelan. Ia lelah, dan benar-benar lelah oleh perasaannya yang masih membeku. Ditambah lagi, sekarang pria itu hadir bersama wanita lain.

“Mampukah hati ini tetap bertahan tegar?” tanyanya pada diri sendiri. Lalu, berlalu keluar setelah merasa cukup lama di dalam toilet.
Sampainya di luar, Alesha terperanjat bukan main melihat Naresh berdiri bersandar pada dinding.

“Kamu!” pekiknya. Menatap tajam lelaki itu. “Apa yang kamu lakukan di sini?!”

“Menjemputmu,” balas Naresh santai, sambil menegakkan tubuh.

“Why?!” tanya Alesha meninggikan suara. Ia masih tidak percaya Naresh akan membuntutinya. Seperti penguntit.

“Jangan ge-er. Aku hanya menjalankan tugas dari Ben untuk menjagamu.”

“Aku tidak butuh! Dan jangan pernah urusi urusanku.” Alesha mengayunkan kaki, meninggalkan Naresh begitu saja. Ia tidak ingin berdebat di tempat umum, yang ada akan mempermalukan diri sendiri nanti.

Melangkah cepat mengikuti Alesha, Naresh langsung menarik lengan gadis itu saat akan berbelok menuju restoran.

“Lepas!” Alesha meronta. Cengkeraman Naresh terlalu kuat, membuat pergelangan tangannya panas.

Tidak memedulikan, Naresh menarik Alesha menuju lift.

“Hei, lepasin tanganku, Berengsek!”
Gadis itu masih saja meronta, tetapi Naresh masih mencengkeramnya kuat.

“Diam, Al. Nanti dikira orang, aku menculikmu.” Lelaki itu menekan tombol panah ke bawah, tidak berselang lama llift pun naik ke atas.

“Memang itu yang kamu lakukan sekarang, Berengsek!”

“Aku hanya menjemputmu,” balas Naresh, tepat saat pintu lift terbuka. Ia melangkah masuk sambil menyeret Alesha. Lalu, melepaskan cengkeraman tangannya.

Alesha mengibas-ngibaskan tangannya sembari berdecak kesal, dahinya mengernyit. Cengkeraman Naresh sangat kuat menyisakan rasa panas dan nyeri di kulit pergelangannya. Memang tidak punya perasaan sama sekali lelaki itu. Suka seenak jidatnya sendiri dalam melakukan hal apa pun. ‘Dasar pria tidak berperasaan!’

Alesha mengerutkan bibir menghadap pintu lift. Sedangkan Naresh bersandar pada dinding berbahan kaca, mengamati gadis itu dalam diam yang terlihat marah sekali dengan napasnya memburu. Entah mendapat dorongan dari mana, ia melepas jaket kulitnya menyelimuti tubuh Alesha dari belakang.

“Aku lagi baik hati. Tidak mau kamu sakit. Yang  ada akan semakin merepotkanku nanti,” ketus Naresh, suaranya terdengar berat.

Alesha yang tersentak langsung mendongak menatap wajah Naresh. Pandangan mereka berserobok. Hanya berjarak beberapa jengkal saja dengan Naresh yang merengkuh dirinya dari samping.

Lagi dan lagi, Alesha dibuat olahraga jantung oleh Naresh. Masih bertatapan, saling diam, dan bergelut dengan pikirannya, ia pun membatin, ‘Mencintaimu memang kesalahan terbesar dalam hidupku. Sulit berpaling darimu, juga sulit untuk melupakan semua kenangan indah yang pernah kita rajut dulu.’

****

Greget sama Naresh gak?

Aku sih, iyes. Pengen tak jambak rambut gondrongnya. Hahahaha

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top