Part 22

Selesai menyuir ayam rebus, memotong tomat ceri, tiga macam sayur selada, alpukat, serta dua butir kentang rebus, Alesha mencampurkan bahan-bahan saladnya ke dalam mangkuk berukuran besar. Pagi ini ia tidak telat bangun sehingga bisa menyiapkan sarapan. Bahkan, pekerjaan rumah pun sudah ia selesaikan dari setengah jam lalu.

Dalam benak Alesha berpikir, jika ia sudah bisa menjadi seorang istri sempurna untuk Naresh. Selain menyenangkan lelaki itu di ranjang, ia juga sudah pandai dalam mengurus pekerjaan rumah. Untuk bersaing dengan Zenya, tentu tidak merasa takut. Ia sudah percaya diri jika Naresh tidak akan berpaling dari dirinya lagi.

Meraih botol saus salad berisi cairan pekat warna cokelat terang, ia memutar tutupnya lalu menuangkan cairan pekat itu ke atas sayuran. Aroma khas dari wijen sangrai menguar begitu sedap. Tanpa sadar air liur keluar dari lidahnya, membuat Alesha cepat-cepat menelan sebelum keluar melewati sela bibir.

Perempuan itu menutup botol kembali setelah isinya tinggal separuh. Mengaduk-aduk sayur sampai saus tercampur rata, ia mengambil sepotong selada, lalu memasukkannya ke mulut untuk dicicipi. Alesha mengangguk-angguk. Rasa gurihnya sangat pas, ada sedikit rasa asam dari mayones. Perfect, saus salad favoritnya memang tidak diragukan untuk rasa.

Tanpa ia sadari jika sedari tadi, Naresh memerhatikannya sambil menyandarkan tubuh di dinding pembatas ruang keluarga dan dapur. Lelaki itu bersedekap, mengamati gerak-gerik Alesha yang memakai kemeja putih miliknya, tampak kebesaran sampai menutupi bawah pantat. Sedangkan kaki jenjangnya tidak terbungkus sehelai benang pun, memperlihatkan kulitnya yang putih bersih dan mulus.

Perempuan itu melangkah ke samping, membuka kulkas, lalu mengambil botol jus jeruk. Kemeja putih itu tersingkap saat ia menungging, memperlihatkan dengan jelas celana pendek di dalamnya. Merasa cukup menatapnya dalam diam, Naresh melangkah mendekat langsung merengkuh tubuh sang istri dari belakang, membuat sang empunya berjingkat.

“Astaga, Naresh! Hampir saja jatuh botolnya,” sungut Alesha.

“Sorry, Sweety.” Naresh menyengir. Menyibakkan rambut istrinya, lalu mengecup pipi yang memiliki pahatan tirus itu. “Bikin salad? Aromanya harum sekali.” Ia menumpukan dagu di bahu Alesha.

Perempuan itu mengangguk. “Hehem. Mumpung ada waktu bikin sarapan.”

Mengeratkan pelukan, Naresh mengecup pipi istrinya kembali. “Ini kemeja yang aku pakai kemarin, kan? Kenapa sekarang kamu pakai, Sayang? Sudah kotor, loh.”

Alesha menuang jus jeruk ke dua gelas, lalu menyingkirkan ke tempat yang lebih luas bersampingan dengan mangkuk berisi salad. Menutup botol itu kembali, ia menaruhnya asal di meja konter. Ia membalikkan tubuh, mengalungkan tangan ke leher sang suami sambil menatapnya. “Aku suka aroma parfum kamu. Menenangkan sekali.” Ia tersenyum sampai memperlihatkan gigi-giginya yang rapi. “Tadinya mau dimasukkan ke mesin cuci, tapi aku pakai dulu saja.”

“Bisa pakai yang baru, Sayang.”

Menggeleng pelan, Alesha berucap, “Aromanya lebih sedap kalau parfum dan keringat sudah membaur. Khas kamu sekali, aku suka.”

“Mulai bucin sekarang.” Lelaki itu mencubit hidung Alesha. Sudah menjadi kebiasaannya, sejak dulu sebenarnya.

“Belajar dari kamu.” Memberanikan diri, Alesha mengecup bibir Naresh. Biarkan saja ia dibilang agresif, ini salah satu usaha agar Naresh semakin betah dengan dirinya.

Jangan lupakan bagaimana usaha lelaki itu saat meluluhkan hatinya kembali. Sangat agresif ketika sedang cemburu. Lalu, menggunakan alasan hukuman untuk mencumbu dirinya. Jadi, sekarang biarkan ia melakukan hal yang sama. Impas bukan?

Mengangkat tubuh sang istri mendudukkannya di meja konter, Naresh melingkarkan tangan di pinggang perempuan itu, kencang.
Sementara Alesha semakin erat melingkarkan tangan di leher Naresh, sampai bisa merasakan terpaan napas lelaki itu yang memiliki aroma mint. Mengenyahkan rasa malu, ia menyerbu memberi kecupan-kecupan ringan di bibir yang sudah menjadi candunya.

Naresh tersenyum bahagia. Menahan tengkuk Alesha, ia melahap bibir ranum itu dan mengulumnya.

Alesha membalas. Matanya terpejam sambil meremas rambut gondrong yang terasa lembut dalam genggaman. Memiringkan kepala, ia semakin memperdalam ciuman. Seakan pasokan oksigen masih tersedia banyak sampai kuat bertahan lama.

Satu tangan Naresh membuka kancing-kancing kemeja Alesha, menyusupkan tangan ke balik kemeja putih itu. Melepaskan pagutan, ia beralih menyusuri leher jenjang istrinya dengan gerakan pelan ke bawah.

Alesha yang merasakan cumbuan sang suami semakin menggila, menggelinjang sambil mendongak memberi akses lebih luas. Tubuhnya selalu menegang, panas seperti terbakar, dan menginginkan lebih.
‘Astaga! Naresh benar-benar seperti narkoba yang membuatnya kecanduan dari cumbuannya.’

Kemesraan pun terhenti saat suara bel berbunyi. Kesadaran mereka kembali, meski api gairah masih menyelimuti. Mengancingkan kemeja milik istrinya, Naresh mengecupi bibir ranum itu seakan meminta maaf.

“Siapa pagi-pagi sekali datang ke sini? Kalau Kak Ben tidak mungkin,” tanya Alesha sambil merapikan rambut suaminya yang berantakan karena ulahnya.

“Tidak tahu. Apakah security gedung ini?” Namun, insting Naresh tertuju kepada Zenya yang katanya tinggal di sebelah apartemen miliknya.

“Sudah rapi. Turunkan aku.”
Tanpa berucap, Naresh menurunkan tubuh Alesha.

“Aduuh, berisik sekali. Kalau tamu tidak mungkin. Mereka pasti memiliki attitude dalam bertamu, apalagi ini masih pagi-pagi sekali.” Alesha terus ngedumel ketika suara bel tidak berhenti berbunyi.

Mereka berjalan bersama menuju pintu utama, kemudian Naresh yang membuka pintu.

“Kamuuu!” seru Alesha membelalakkan mata, menatap tak percaya siapa yang berdiri di depannya. “Ngapain ke sini? Astaga, ganggu pagi hari kami yang indah saja.”

“Bertemu dengan kekasihku,” balas Zenya, mengembangkan senyum yang dibuat semanis mungkin. “Aku mau mengajaknya sarapan bersama. By the way, itu apartemenku. Sekarang aku tinggal dan menatap di sini.” Ia menunjuk pintu di sebelah kiri apartemen Naresh.

‘Terniat sekali ingin merebut Naresh dariku sampai pindah tempat tinggal segala. Tidak akan kubiarkan, enak saja!’ gerutu Alesha dalam hati. Ia menatap Zenya yang masih berdiri di depan pintu, lantas merengkuh lengan suaminya secara posesif. “Maaf, suamiku akan sarapan bersama istri sahnya. Sebaiknya kamu pergi dari sini, karena kamu bukan siapa-siapanya lagi. Dan ... tolong jangan ganggu pagi hari kami lagi.”

“Baik, kalau begitu aku akan sarapan di sini.” Tanpa permisi, Zenya melintas masuk begitu saja.

Alesha melongo, bibirnya terbuka, pandangannya mengikuti langkah Zenya yang langsung duduk di kursi ruang makan. “Aku lupa, mantan kekasihmu itu spesies lampir. Mana tahu sopan santun dia,” gumamnya. Sedangkan Naresh menutup pintu.

“Maaf, aku tidak memiliki makanan lebih untukmu. Jadi, kamu tidak mendapat jatah sarapan dariku,” kata Alesha dengan nada tidak suka. Naresh berjalan mengikutinya, dalam genggaman tangannya.

“Aku mencium aroma salad. Kamu membuat salad?” Zenya tidak mengindahkan ucapan Alesha. Beranjak menuju dapur, ia melihat semangkuk salad sayur di meja konter. “Ah, cocok sekali. Terima kasih, Alesha.”

“Heiii! Itu sarapanku dengan Naresh. Jangan diambil!” seru Alesha, melihat Zenya mengangkat mangkuk.

“Aku akan membawanya ke meja makan.” Seperti sang nyonya pemilik apartemen, Zenya menata sarapannya. Mengambil dua set alat makan, serta dua gelas jus jeruk yang sudah Alesha tuang tadi. Ia menyendok salad dari mangkuk ke dua piring, sampai salad dalam mangkuk habis.

Alesha yang berdiri di antara ruang makan dan dapur tidak tersekat dinding, hanya bisa memandang Zenya dengan tatapan tak percaya. Pertama, ia masih kaget oleh kedatangan perempuan itu yang tiba-tiba. Kedua, ia terperengah melihat tingkah Lampir yang seenak udel di apartemennya.

“Naresh, mari kita sarapan. Aku sudah selesai menyiapkannya untukmu.” Zenya menghampiri Naresh. Menarik lengan lelaki itu yang masih berdiri di samping istrinya, lalu membimbingnya duduk setelah menarik kepala kursi.

Terbersit ide di otak, Alesha menghampiri mereka lantas mengenyakkan pantat di pangkuan Naresh. Mengalungkan lengan di leher sang suami sembari menatap matanya, ia pun berucap, “Sayang, sepertinya jatahmu harus berkurang. Kita makan sepiring berdua saja, ya.” Ia melirik Zenya, mengembangkan senyum penuh kemenangan karena perempuan itu tampak geram dengan mata melotot.

“Boleh. Tidak apa-apa.”

“Naresh! Aku tidak mengizinkanmu,” seru Zenya, lantang. Tersirat jelas rasa cemburu.

“Tidak membutuhkan izinmu, Ze. Silakan mulai sarapan. Aku akan sarapan. Ingat! Aku tidak suka ada suara ketika sedang makan.”

Dalam hati Alesha terkikik. Akhirnya, bisa membalas kelakuan si lampir yang dulunya songong dan sombong. ‘See, Naresh lebih memilih dirinya, bukan?’

Memulai sarapan, Alesha menyuapi Naresh, begitu pun Naresh bergantian menyuapi Alesha. Mereka memakan saladnya dengan nikmat, berbeda dengan Zenya yang menelannya susah payah. Terkadang sampai tersedak karena menelan sayurannya tanpa mengunyah lebih dulu.

Tidak berselang lama, sarapan mereka pun tandas hanya menyisakan saus salad wijennya. Alesha meraih jus jeruk, lalu meneguknya sampai tinggal separuh. Kemudian ia mengarahkan sisanya ke mulut Naresh yang langsung diterima.

“Mbak, tolong piringnya dicuci sendiri. Numpang makan harus tahu diri.” Alesha beranjak dari pangkuan Naresh, membawa piring, mangkuk bekas salad, dan gelasnya.

Zenya menurut, membawa piringnya ke dapur lalu meletakkannya di wastafel. “Sebagai seorang tamu harus dilayani dengan ramah. Cuci sekalian piringku.”

Jika membunuh orang sudah dihalalkan, tolong segera beritahu Alesha. Ia ingin sekali mencekik perempuan tak tahu diri itu.

Zenya berdiri di sebelah Alesha sambil menyandarkan pantat di meja konter. Tangannya bersedekap, menatap sinis perempuan itu.

“Bersiaplah kehilangan suamimu, Alesha. Aku ke sini untuk mengambil hakku kembali. Naresh hanya milikku, sudah selesai aku meminjamkannya untukmu.”

Alesha menghentikan gerakan yang sedang menyabuni piring. Mencengkeram erat spons di tangan, ia menoleh menatap Zenya dengan pandangan datar.

“Dia bukan barang. Dan yang lebih berhak atasnya adalah aku, istri sahnya. Seharusnya kamu tahu diri. Dia sudah memutuskan hubungan denganmu dan lebih memilihku. Itu artinya dia lebih mencintaiku.”

“Dengar Alesha, aku bisa mengambil Naresh dari tanganmu kembali. Dia pasti akan memilihku sekarang, daripada reputasi namanya buruk di mata kakakmu. Kamu tahu, aku sudah memiliki senjata mengikat dia untukku.”

“Kamu memikirkan reputasi dia buruk? Lalu, bagaimana reputasi dia jika meninggalkanku atas paksaanmu? Itu sama saja kamu menjatuhkan reputasinya di depan kakakku. Kalau mau bertindak mikir dulu, dong. Kamu ini tidak mencintai dia, tapi hanya obsesi semata. Ingin balas dendam karena tidak terima diputuskan.”

“Diam kamu. Tahu apa tentang perasaanku. Seharusnya kamu yang sadar diri sudah menjadi duri dari hubunganku dengan Naresh.”

“Oke, kita mencintai satu pria yang sama. Kita sama-sama ingin memilikinya. Jadi, ayo kita bersaing secara sehat untuk mendapatkan hatinya kembali. Buang cara kotor dan licikmu untuk mendapatkan dia. Itu kalau kamu memang perempuan berkelas, bukan murahan.”

Tertohok dan merasa terhina oleh ucapan Alesha, darah Zenya terasa mendidih membuat tubuhnya gerah dan geram. “Oke, aku terima tantanganmu. Aku pasti bisa mendapatkan hatinya kembali.”

“Ingat! Tidak boleh menggunakan cara licikmu. Jika itu terjadi, fix! Kamu wanita murahan yang mengemis karena cinta.” Alesha melanjutkan kesibukannya kembali.

Sementara Zenya menuju ruang tamu. Menghempaskan pantatnya di sofa samping Naresh, lalu menyandarkan kepala begitu saja di bahu lelaki itu.

Naresh terkesiap, langsung menggeserkan pantat, menjauhi Zenya. “Ze, kita harus jaga jarak.”

“Kenapa sih, kamu. Aku kangen sama kamu.”

“Kita tidak lagi memiliki hubungan. Aku mohon, tolong terima keputusanku ini.”

Menggeleng kuat, Zenya berkata, “Tidak, Naresh. Aku percaya kamu mencintaiku. Jangan halangi aku untuk menyadarkan hatimu, jika kamu masih mencintaiku.”

“Ze, aku sudah berkata berulang kali, bahkan alasannya pun kamu sudah tahu.”

“Aku tidak peduli. Hari ini aku ingin kamu menemaniku ke tempat pemotretan.”

“Aku sibuk kerja. Jelas tidak bisa.”

“Kamu bosnya, pemilik perusahaan itu. Bebas untuk keluar masuk kantor, tidak akan ada yang memarahimu.”

“Justru karena aku bosnya harus memberi contoh teladan untuk para karyawanku.”

“Aku tidak menerima penolakan. Kamu harus—”

“NAREEESH! BANTUIN AKUUU! KAITAN BRAKU NYANGKUT DI BAJUU!” teriak Alesha dari dalam kamar, memotong ucapan Zenya.

“Aku harus membantu Alesha. Kami juga akan segera berangkat kerja. Sebaiknya kamu pulang.” Beranjak dari sofa, Naresh mengayunkan kaki menuju kamar. Namun, langkahnya terhenti saat Zenya berseru.

“Aku akan ke kantormu nanti!”

“Tidak perlu, Ze. Aku tidak di kantor pusat,” balas Naresh menatap perempuan itu, lantas melanjutkan langkah. Meninggalkan Zenya yang tampak geram sampai ubun-ubun.







Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top