Part 21
Sibuk berjibaku dengan dokumen laporan pengeluaran dan pemasukan dari perusahaannya, Naresh dikagetkan oleh kedatangan sosok perempuan yang belum lama ia putus hubungannya. Perempuan berambut panjang berikal terbalut mini dress warna kuning keemasan dengan belahan dada terlihat sangat jelas, melangkah gemulai menghampiri. Senyum lebarnya tak pudar dari bibir berlapis lipstik merah menyala.
“Zenya,” panggilnya lirih, menatap perempuan itu tak berkedip yang sudah berdiri di hadapan.
“Aku sangat merindukanmu, Naresh. Bagaimana kabarmu?” Seperti tidak memiliki masalah sebelumnya, Zenya langsung memeluk mantan kekasihnya yang duduk di kursi kebesaran.
Lelaki itu menegang. Jika dulu merasakan hal biasa saat mendapatkan sentuhan dari Zenya, tetapi berbeda dengan sekarang yang terasa sangat asing. Ia berusaha melepaskan lingkaran tangan perempuan itu dari lehernya. Namun, bukannya terlepas, Zenya justru semakin mengeratkan dan mengenyakkan pantat di pangkuannya begitu saja.
“Lepas, Ze. Tidak pantas dilihat karyawanku.” Naresh sangat risi, terus berusaha melepaskan tangan perempuan itu.
“Aku sangat merindukanmu, Naresh.” Tanpa tahu malu, Zenya mengecup bibir lelaki itu. “Aku tidak peduli kamu memutuskan hubungan kita. Aku masih sangat mencintaimu. Sampai saat ini, hanya ada dirimu di hatiku.”
“Aku tidak bisa, Ze. Aku sudah memiliki istri.”
“Dan aku tidak peduli. Kamu sendiri yang sudah menyeretku masuk ke hubungan kalian. Jadi, mari kita lanjutkan hubungan ini. Seperti saat pertama kamu mengenalkanku pada istrimu.”
Naresh menggeleng. “Jangan bodoh, Ze. Ini sudah menjadi jalan terbaik kita.”
“Tidak, Naresh. Ini bukan jalan terbaik. Di sini aku yang paling tersakiti. Aku yang jadi korban kalian.”
Melepaskan Zenya penuh paksa, Naresh beranjak. Namun, perempuan itu justru memeluknya begitu erat.
“Tolong jangan tinggalkan aku, Naresh. Jika kamu melakukan itu, aku akan membeberkan kepada kakaknya Alesha, jika kita sedang merencanakan kehancuran istrimu. Dengan kamu membawaku ke apartemen, tidur sekamar, dan bermesraan di hadapan Alesha. Aku juga memiliki bukti kuat dari rekaman video dan foto-foto kita saat sedang tidur bersama.”
Mendengar ucapan Zenya, Naresh seperti tersambar petir di siang bolong. Jantungnya berdetak cepat memikirkan hal apa yang akan terjadi ke depannya. Dari kata rekaman video dan foto-foto tidur seranjang, tentu itu akan menjadi boomerang untuk hubungannya dengan Alesha yang mulai membaik. Sedangkan Ben yang tidak tahu permasalahannya sama sekali, pasti akan sangat murka jika mengetahui semuanya.
‘Bodoh, Naresh! Sekarang dirimu yang terjebak dalam permainanmu sendiri!’
Melepaskan pelukan Zenya secara paksa, ia menatap nyalang perempuan itu sembari bertanya, “Dari mana kamu tahu Alesha memiliki kakak?”
“Aku bukan perempuan bodoh dan miskin, Naresh. Aku memiliki banyak uang untuk memata-matai kehidupan istrimu. Aku tahu tentang kehidupan dia, bahkan saat kalian di Semarang dan Bali, aku mengetahuinya.”
“Kamu ....” Naresh memekik. Membelalakkan mata memandang Zenya tak percaya. “Menyuruh orang untuk memata-matai kami?” lanjutnya lagi.
“Ya. Aku tidak terima kamu memutuskanku demi perempuan itu. Dan aku sangat benci mendengar kamu sangat perhatian dan romantis kepadanya. Maka dari itu, mulai hari ini, aku pindah ke Jakarta dan akan tinggal di sebelah apartemen kalian.”
Mengusap wajahnya gusar, Naresh merasakan penyesalan dari perbuatannya dulu. Ia tidak pernah berpikir jika akibatnya akan seperti ini. Ya Tuhan, bagaimana jika Alesha tahu?
“Jangan membuat keadaan semakin rumit, Ze,” ucap Naresh, duduk kembali sembari menangkup wajah. Rasanya seperti tertimpa benda dengan beban berton-ton, membuat kepalanya berat dan pusing luar biasa.
“Kamu yang lebih dulu membuat keadaan ini rumit. Jika kamu bisa berjuang untuk mendapatkan Alesha, kenapa aku tidak boleh berjuang untuk mendapatkan dirimu kembali? Kita sama-sama berjuang untuk mendapatkan cinta, bukan?”
Zenya menyandarkan pantat di meja bercat pelitur sambil bersedekap, menatap Naresh yang tampak frustrasi mendengar argumennya.
“Sudah kukatakan, aku tidak memiliki perasaan cinta terhadapmu. Akan percuma kamu berjuang untukku, Zenya. Yang ada kamu akan semakin sakit hati.”
“Akan kubuat kamu mencintaiku, seperti kamu membuat Alesha mencintaimu. Jadi, ayo lanjutkan hubungan kita lagi, Naresh.”
Naresh menggeleng kuat. “Aku tidak bisa. Kita sudah memiliki kehidupan masing-masing, Ze.”
“Fine! Kalau begitu, tunggulah kehancuran rumah tanggamu. Bukan aku yang akan memisahkan kalian, tapi kakaknya Alesha.”
“Berani melakukan itu ... aku akan membuat hidupmu sengsara, Zenya!” seru Naresh, menatapnya tajam.
“Aku tidak peduli! Semua pilihan ada di tanganmu. Melanjutkan hubungan kita, atau ... aku memberi tahu kakaknya Alesha tentang sifat berengsekmu.”
Perempuan itu menegakkan tubuh. “Pilihan ada ditanganmu, Naresh. Dan aku akan menunggu keputusan itu darimu.”
Setelah mengatakan itu ia berlalu. Namun, sebelum keluar dari ruangan ia menoleh ke belakang, mengerlingkan mata. “Aku tunggu keputusanmu secepatnya, Sayang.”
Melihat Zenya menghilang dari balik pintu, Naresh menggebrak meja sangat keras sembari mengumpat. Ia benar-benar menyesali perbuatannya sekarang.
Menyandarkan punggung, dengan mata terpejam serta kepala mendongak, ia memukul-mukul keningnya untuk meredakan pening yang semakin menjadi. Pikiran kini diliputi berbagai kemelut yang baru datang dari sang mantan. Tidak ada pilihan yang bisa ia pilih. Semua berisiko untuk hubungannya dengan Alesha.
****
Alesha duduk di sofa ruang tamu dengan pikiran berkecamuk. Ia baru saja pulang kerja, apartemen masih kosong dan gelap saat ia masuk tadi. Hampir satu jam dalam posisi diam dengan pandangan datar dan kosong menatap hamparan kota Jakarta yang menggelap. Ia masih sabar menunggu Naresh yang belum juga menunjukkan batang hidungnya, padahal sudah jam sembilan. Bahkan, lelaki itu tidak menelepon balik atau memberinya kabar.
Yeah, ia tahu. Mungkin Naresh sedang bersenang-senang dengan Zenya, melepas rindu setelah lama tidak bertemu. Seperti yang dulu mereka lakukan, langsung bermesraan begitu saja di depan matanya. Tidur sekamar dan ... pasti bercinta, seperti yang dilakukan dirinya dengan Naresh saat sedang bermesraan.
Memikirkannya, hati Alesha terasa nyeri. Sebenarnya apa yang diinginkan dari Naresh? Lelaki itu menginginkan dirinya, tetapi juga menginginkan perempuan itu. Nyatanya, sekarang Zenya kembali ke Indonesia langsung menghampiri Naresh ke kantornya. Waktunya juga sangat tepat, saat lelaki itu sudah menetap di Jakarta kembali.
‘Bodohnya kamu, Alesha! Kenapa tidak pernah mengecek ponsel lelaki itu? Bisa jadi mereka masih lancar berkomunikasi di belakangmu. Sedangkan ucapan Naresh selama ini hanya bualan saja. Lelaki itu tidak benar-benar mencintaimu, hanya ingin merenggut keperawananmu, menanamkan benih, lalu setelahnya meninggalkanmu begitu saja.’
Berbagai macam pikiran negatif, membuat Alesha bermonolog dalam hati. Ia lelah. Beranjak dari sofa, melangkah gontai mematikan lampu, lalu mengayunkan kaki menuju kamar. Kemudian, membersihkan tubuh. Setelahnya berbaring di ranjang milik Naresh, menunggu lelaki itu pulang di sana. Ia memejamkan mata, tetapi tidak tidur.
Sementara itu, tepat jam sepuluh Naresh baru saja pulang. Ia mengernyit, saat membuka pintu disambut kegelapan dan kesunyian. Setelah melepas sepatu pantofel, ia segera berlalu menuju kamar. Mengembangkan senyum melihat sang istri sudah tidur dalam balutan selimut.
Meletakkan tas kerja di meja, ia segera ke kamar mandi membersihkan tubuh. Tidak lama, hanya memakan waktu lima belas menit. Setelahnya ia ikut bergabung merebahkan diri di sebelah sang istri, yang tidur dalam posisi membelakangi dirinya.
Merapatkan tubuh, ia merengkuh tubuh ramping itu, lalu membubuhi kecupan-kecupan ringan di pelipis dan pipi Alesha.
“Maaf, pulang telat, Sayang,” gumamnya.
Alesha yang belum terlelap, menyahutnya lirih, “Baru menghabiskan waktu dengan Zenya?”
Naresh terkesiap. Apakah istrinya sudah bertemu dengan Zenya? Apa perempuan itu mengatakan sesuatu kepada Alesha?
Tidak mendapat jawaban dari Naresh, Alesha berucap lagi, “Sampai tidak ada waktu untuk menghubungi dan mengabariku sama sekali. Bahkan, teleponku saja tidak kamu angkat.”
Tersirat nada kesedihan dari perempuan itu. Naresh pun membalikkan tubuh Alesha secara paksa untuk menghadap dirinya. Lalu, satu tangannya menangkup wajah yang tampak sayu.
“Sayang, itu tidak seperti yang kamu pikirkan. Aku tidak menghabiskan waktu dengan dia. Maaf, jika aku tidak mengangkat teleponmu. Ponselnya aku silent, tidak tahu kamu meneleponku.”
“Kenapa tidak telepon balik?” Suara Alesha terdengar bergetar.
“Aku tidak membuka ponsel sama sekali.”
“Bohong!”
“Sungguh, aku tidak berbohong.”
“Kamu baru saja menghabiskan waktu dengan perempuan itu. Dia kembali lagi ke sini, pasti atas permintaanmu, kan?”
Naresh menggeleng cepat. “Tidak. Tadi siang dia memang ke kantorku, tapi hanya sebentar. Aku juga tidak tahu dia datang ke sini, tiba-tiba sudah ke ruanganku.”
“Kenapa waktunya sangat pas, dengan menetapnya kamu di Jakarta lagi? Katakan jujur, Naresh. Kamu masih berhubungan dengan dia?” Mata Alesha berkaca-kaca. Setetes air mata pun mengalir cepat melewati pelipisnya, yang langsung diusap dengan ibu jari Naresh.
“Tidak sama sekali. Aku sudah memutuskan hubungan dengannya. Tapi—”
“Tapi, apa?” Potong Alesha cepat.
“Dia mengancamku. Selama ini dia memata-matai kita. Zenya juga tahu jika kamu masih memiliki kakak, sehingga menjadikan Ben sebagai senjatanya.”
“Maksudmu?”
“Dia memintaku untuk tetap melanjutkan hubungan. Jika aku menolak, dia akan memberi tahu Ben tentang keberengsekanku yang pernah mengajaknya menginap di sini. Zenya memiliki video dan foto-fotonya sebagai barang bukti.”
“Kalian bercinta?”
Naresh menggeleng. “Aku memang berengsek mengajaknya menginap di sini, Al. Tapi, untuk bercinta tidak aku lakukan. Walaupun terlihat mesra di depanmu, aku tidak sampai melewati batas itu.”
“Lalu, kamu menerima ajakannya?”
“Aku belum memberi jawaban. Semua pilihan berisiko untuk hubungan kita. Kalau aku menolak, dia akan nekat memberi tahu Ben. Kalau aku menerima, kamu yang akan tersakiti.”
“Lampir tidak berotak!”
“Kamu tidak marah denganku?” tanya Naresh heran. Padahal jantung sudah berdebar menceritakan ini kepada Alesha. Takut menjadi masalah besar dan perang dingin. Namun, di luar dugaan, perempuan itu justru mengumpati Zenya.
“Aku marah denganmu juga, tapi lebih banyak marah ke dia. Ini juga karena kesalahanmu yang memberinya harapan palsu. Sudah kukatakan dulu, jangan jadi lelaki pengecut! Kalau masih cinta denganku, jangan sok-sokan pakai acara memanas-manasi kemesraan kalian. Kalau kamu tidak cinta dengannya, berhubunganlah secara normal, tidak mengajaknya tidur sekamar.”
Baru saja merasakan lega, omelan pun Naresh dapatkan. Anehnya, ia merasa lucu. Seperti sedang mendapat omelan dari sang mama.
“Aku harus bagaimana, Al? Aku tidak ingin memilih keduanya. Tapi, ancaman dia tidak main-main. Perempuan itu memiliki jiwa tega yang besar.”
“Salah sendiri memilih spesies lampir jadi kekasihmu.” Namun, Alesha juga memikirkan jalan keluarnya. Ia tidak ingin kalah dengan perempuan itu. Harus tetap mempertahankan rumah tangganya, apalagi dalam rahimnya sudah ada benih Naresh yang sedang berkembang biak.
“Aku berhubungan lagi dengan dia? Biar rahasia kita aman dari Ben?”
“Berarti kamu siap melepaskanku.”
“Tidak. Aku tidak ingin berpisah denganmu lagi.” Naresh langsung menarik Alesha ke dalam dekapannya.
Hening. Mereka sibuk dengan pikirannya masing-masing.
“Biar aku yang berbicara dengannya,” ucap Alesha setelah ide tercetus di otaknya.
“Jangan. Aku takut perang dunia akan dimulai kalau kamu dan Zenya bertemu.”
“Aku yakin ini akan berhasil. Tapi, aku harus merelakanmu.” Alesha melingkarkan tangan ke pinggang Naresh. Menduselkan kepala mencari tempat ternyaman.
“Katanya tidak ingin pisah denganku.”
“Dengarkan dulu. Aku akan membiarkan dia mendekatimu, biarkan kami bersaing secara sehat. Kalau dia sudah lelah, pasti akan mundur sendiri. Dengan catatan, kamu tidak boleh memberi harapan.”
“Kalau aku jatuh cinta dengannya bagaimana?”
“Jangaaan!” Alesha mencubit kencang pinggang Naresh, membuat lelaki memekik kesakitan.
“Iya, iya. Sakit, Al.” Naresh menggigit telinga perempuan itu gemas, tetapi tidak kencang.
“Makanya serius.” Alesha bersungut. “Aku benci keributan. Seperti anak SMA rebutan pacar kalau bersaingnya saling jambak-jambakan dan cakar-cakaran.”
“Kamu tidak cemburu kalau dia mengajakku jalan?”
“Jangan mau diajak jalan. Buat dia tidak nyaman denganmu.”
Naresh mengangguk. “Makin cinta sama kamu.” Lalu, mendekap erat tubuh Alesha sambil menggoyang-goyangkan.
“Sesak napas, Naresh.”
Meregangkan dekapan, Naresh mengecup kening istrinya, lalu mencium bibir tipis itu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top