Part 20

Naresh menatap Alesha dari ambang pintu yang dibuka sedikit. Di dalam ruang bermain sana, perempuan itu sedang bermain dengan keponakannya. Entah apa yang sedang dibicarakan, karena setelahnya Alesha tertawa renyah sembari mencubit pipi gembul Kinara. Begitu pun dengan Nayaka dan babysitter-nya yang ikut mengiringi tawanya.

"Alesha bisa tertawa seperti itu setelah ada Kinara. Dulu, setelah kamu meninggalkan Indonesia dan tidak memberi kabar sama sekali, hidupnya terlihat suram. Jarang tertawa, tertutup, bahkan menjadi pendiam. Sama mendiang Mama yang lebih dekat saja, dia sungkan untuk berbagi cerita tentang masalahnya."

Naresh menatap Ben yang berdiri di sampingnya. Lelaki itu mengintip ke dalam, hanya melihat sedikit bagian punggung istrinya.

"Apa dia tidak bahagia sama sekali?"

"Mungkin. Sering memasang wajah datar, menyunggingkan senyum saja jarang sekali. Terkadang sangat keras kepala dan lebih dominan cuek. Tapi, setelah ada Kinara, sedikit meluluhkan hatinya yang kaku." Ben beralih menatap Naresh. "Kenapa kamu tiba-tiba pergi meninggalkan Indonesia dulu, Resh?"

Menghela napas panjang, Naresh berucap, "Ingin ikut orang tua saja. Aku seperti anak hilang di sini. Tinggal sendirian. Walaupun dulu kita tetangga, tapi aku merasa kesepian setelah Nenek meninggal."

Ben mengangguk paham. "Sebenarnya kalau rumahmu tidak dijual, kalian bisa menempati rumah itu, bukan? Berdekatan dengan kami."

"Ya, seharusnya seperti itu. Tapi, seperti yang kubicarakan tadi, Alesha menginginkan rumah di tempat yang tenang dan sejuk. Aku masih ingat keinginannya dia dulu."

"Rasanya masih tidak percaya kamu jadi adikku, suami Alesha." Ben terkekeh kecil. "Mungkin, kalian memang ditakdirkan untuk berjodoh. Dari kecil selalu bersama, bahkan diam-diam orang tua kita pun sudah merencanakan perjodohan sebelum kalian ada."

"Kamu tahu?"

Ben mengangguk. "Papa memberitahu semua sebelum mengembuskan napas terakhirnya. Pak Dirgantara juga pasti sudah cerita denganmu, 'kan?"

"Iya. Aku pun kaget."

"Ayo, masuk. Biar Kinara kenal dengan Omnya juga."

Ben memasuki ruang bermain yang cukup luas itu. Dalamnya berisi berbagai macam mainan serta terdapat rumah-rumahan warna pink cukup besar. Dilengkapi karpet karet bermacam warna melapisi lantai, sebagai pelindung pergerakan Kinara yang kini mulai aktif berlarian. Naresh berjalan di belakang Ben, mengembangkan senyum saat Alesha menoleh ke arahnya.

"Anak Papaaa. Sedang main, hem? Senang ya, ketemu Tante Alesha." Ben meraih tubuh gadis kecil yang masih berusia dua tahun itu. Menggendongnya, lantas mengecupi pipinya dengan gemas membuat Kinara menggeliat menghindar. Geli merasakan cambang papanya yang tercukur rapi menusuk-nusuk kulit pipinya.

"Eegh!" Kinara terus menggeliat, minta diturunkan.

"Kenalan dulu sama Om Naresh. Kinara belum pernah melihat, 'kan?" Ben mengarahkan Kinara kepada Naresh, gadis kecil itu terdiam dan tampak malu-malu.

"Salim dulu, Sayang. Salim ... bagaimana kalau salim?" Ben membimbing tangan Kinara mengulur ke arah Naresh. Bukannya mengikuti arahan sang papa, gadis kecil itu juntru menduselkan kepala di ceruk leher papanya.

"Malu sama aku," ucap Naresh, tersenyum menatap tingkah lucu Kinara.

Kinara mengangkat kepala menatap Naresh sekilas, lalu menyembunyikan kepalanya kembali. Berulang kali, membuat yang di dalam sana menertawai tingkahnya yang menggemaskan.

"Coba aku gendong." Naresh mengambil alih Kinara dari gendongan Ben. Gadis kecil itu menurut, tetapi wajahnya tampak tegang menatap Naresh. "Jangan takut sama Om, Kinara." Ia mencubit gemas hidung Kinara, tetapi tidak keras. Kemudian, mengecup pipinya, gemas. Aroma harum dari pewangi pakaian, bedak, dan shampo dari gadis kecil itu begitu menyeruak di penciumannya. Menyegarkan dan menenangkan sekali.

"Tadi dia sangat aktif. Lihat Naresh kenapa langsung diam tidak berkutik?" Nayaka yang duduk di karpet karet, beranjak berdiri di sebelah suaminya. Begitu pun Alesha, ikut beranjak menghampiri Naresh.

"Kinara, mau sama Om atau sama Tante?" Alesha mengulurkan tangan, berniat menggendong. Namun, diluar dugaan, gadis kecil itu justru mengalungkan tangan di leher Naresh sembari merebahkan kepala di bahu lelaki itu.

"Huh! Tadi gayanya malu-malu, sekarang mau-mau! Om Naresh punya Tante. Kinara tidak boleh."

"Noooo!" Gadis kecil itu berseru sambil geleng-geleng, dan mengeratkan lingkaran tangannya.

Semua tergelak melihatnya. Alesha pun semakin gencar untuk menggodanya. Melepaskan tangan Kinara dari leher Naresh, bergantian ia yang melingkarkan tangannya di sana. "Punyaku, Kinara. Kinara punya Papa, tuh."

Tidak terima, Kinara menarik rambut Alesha kuat, membuat sang empunya memekik kaget.

"Aoow! Kenapa jadi galak seperti ini? Iya, iya, Om Naresh punyamu!" sungut Alesha mengusap-usap kepala, sembari mengernyit.

Sementara Naresh yang melihat keributan dari dua orang beda usia itu tersenyum lebar. Satu tangannya terulur mengusap kepala Alesha bekas jambakan Kinara. "Kinara tidak boleh nakal, okay. Om punya kalian berdua.

"Biasanya tidak seperti itu dia. Mungkin tahu sama orang ganteng, ya." Nayaka menggeleng, lalu mengambil alih Kinara. "Sama Mama, ya."

Kinara menggeleng. Rambutnya yang diikat dua terombang-ambing mengikuti gerakan. Lalu, melingkarkan kedua tangan di leher Naresh sembari merebahkan kepalanya lagi.

"Bakat jadi pelakor sepertinya," celetuk Alesha sekenanya. Langsung mendapat cubitan di hidung dari Naresh.

"Cemburu, hem?" tanya Naresh.

"Lihat saja tingkahnya. Belum kenal kamu langsung nempel-nempel akrab seperti itu. Padahal akrab sama orang baru, dia susah sekali."

"Kalau dia sudah besar pun, aku izinkan untuk merebut Naresh darimu, Al. Memperbaiki keturunan."

"Eh!" Spontan, Alesha menatap Ben. "Anak dan Bapak sama saja, ih."

"Lagian sama anak kecil cemburu."

"Bukan cemburu, tapi niat menggoda, dan berujung kesal karena dia lebih memilih Naresh. Pakai acara jambak rambut segala." Alesha mencebik.

"Jangan lepaskan Om Naresh, Kinara." Ben terkekeh, menutup mulutnya. Senang sekali bisa menggoda Alesha.

"Ayo, culik dia, Naresh. Bawa pulang ke apartemen." Alesha menarik tangan Naresh, tetapi tangannya langsung dipukul-pukul oleh Kinara.

"Jangan pegang!"

"Astaga, anak ini! Kenapa jadi galak sih, sama Tante?" Alesha menatap heran Kinara. Sedangkan Naresh menertawakan.

"Udah, ya. Sama Mama sini. Tante Al ngambek, tuh." Nayaka pun mengambil alih paksa Kinara dari gendongan Naresh. Gadis kecil itu terpaksa menurut.

"Mbak, tolong rapikan kembali mainannya, ya," perintah Nayaka. Setelahnya ia dan tiga orang dewasa itu keluar dari ruangan, menuju ruang keluarga di lantai dasar.

Mereka berbincang, mengobrol, bahkan Ben sempat menanyakan status pernikahan Alesha dan Naresh apakah sudah dipublikasikan atau belum. Dan bahagia saat mendengar jawaban ya dari mulut keduanya. Bahkan, lelaki itu pun menawarkan untuk mengadakan resepsi pernikahan, tetapi mendapat penolakan.

"Kalian harus mengadakan pesta resepsi. Kamu anak terakhir di keluarga ini, Alesha. Naresh pun anak satu-satunya Om Dirgantara."

"Kenapa harus? Yang penting pernikahan kami sudah sah secara agama dan negara, 'kan?" balas Alesha.

"Harus, Alesha. Penting juga untuk mengumumkan hubungan kalian kepada rekan-rekan kami. Jika, kalian sudah menjadi sepasang suami-istri."

"Aku setuju dengan usul Ben. Kalian harus mengadakan pesta resepsi. Untuk mengurus semua kebutuhan, kalian jangan bingung. Biarkan aku yang mengurusnya. Kecuali gaun pengantin. Tentu Alesha lebih paham."

Pasrah. Alesha mengembuskan napas kasar, sedangkan Naresh mengangguk.

"Rencananya kapan?" tanya Naresh.

"Nanti aku berunding sama Tante Sandra dan Om Dirgantara. Mereka pasti senang mendengar kabar ini."

Perbincangan pun masih berlanjut. Sampai tidak berasa jika di luar sana cuaca sudah mulai menggelap. Teringat akan pergi ke mall membeli barang kebutuhan, Alesha dan Naresh pun pamit meninggalkan rumah bergaya eropa klasik tersebut.

Mobil melaju sedang di tengah jalanan yang dilalui lalu lalang kendaraan lumayan padat. Alesha terdiam, membuang muka ke jendela menatap mobil-mobil yang berlalu. Sedangkan pikiran berkelana memikirkan pesta resepsi pernikahan yang diusulkan Ben. Seketika ia teringat kedua orang tuanya yang sudah tenang di atas sana. Hati berdenyut nyeri, rasa rindu pun menyelinap mengusik hati.

Seharusnya mereka ada di dekatnya. Melihat kebahagiaan anaknya yang akan menggelar pesta pernikahan. Lalu, apa artinya pesta itu jika tidak ada kedua orang tuanya. Semeriah apa pun pesta tersebut, pasti akan terasa hampa. Meskipun banyak bibir menyunggingkan senyum bahagia di sekitarnya, tetap akan terasa sepi dan sunyi.

"Al, are you okay?" tanya Naresh, melajukan mobil memasuki basement mall.

Alesha mengerjab, baru sadar jika mobil memasuki gedung. Menoleh ke samping, ia menyunggingkan senyum. "Hem, I'm okay."

"Kamu melamun dari tadi. Memikirkan apa?"

"Tidak ada, Naresh."

"Apa kamu keberatan dengan pesta resepsi itu. Jika, iya. Bisa dibatalkan sebelum disiapkan."

Alesha menggeleng tidak membenarkan. "Bukan. Aku tidak keberatan dengan pestanya. Tapi ...." Ia menunduk, memilin jemarinya.

Memarkirkan mobil, Naresh belum turun. Ia menelengkan kepala menatap Alesha, lalu bertanya, "Tapi, apa?"

"Rasanya berbeda saja tidak ada Papa-Mama. Aku rindu mereka, Naresh," lirihnya.

Naresh menyunggingkan senyum, lalu menggenggam tangan Alesha dan meremasnya pelan. "Mereka akan bahagia melihat anaknya bahagia. Bahkan, mereka sudah bahagia karena keinginannya terkabul, aku dan kamu menikah. Bukankah ini salah satu kemauan mereka?"

Alesha mengangguk tanpa menatap Naresh, sembari merasakan remasan di tangannya semakin terasa.

"Jangan sedih. Kalau kamu seperti ini, justru mereka akan sedih melihatnya." Naresh menarik bahu Alesha ke samping, lalu mengecup kening dan bibirnya. "Everything will be okay. Don't be sad."

"Ayo, turun. Katanya mau makan sushi dulu."

Tanpa menjawab, Alesha membuka pintu dan turun. Lalu, mengayunkan kaki memasuki mall dengan tangan digenggam Naresh. Menuju lantai lima tempat restoran Jepang berada, ia mengembuskan napas kasar melihat antrian cukup panjang di restoran tersebut.

"Malasnya seperti ini," keluh Alesha.

"Cari restoran lain saja." Naresh mengitari pandangan ke sekitar. "Makan Thai Food, mau? Longgar tempatnya."

Mengikuti arah pandang Naresh, Alesha mengangguk. Perut sudah keroncongan. Sebenarnya tadi ditawari makan di rumah kakaknya, tetapi ia menolak karena ingin quality time bersama Naresh.

Menuju Restoran Thailand berkonsep kafe klasik, dengan bagian depan terdapat lemari etalase rak kue berpendingin. Mereka masuk melewati depan bar yang terdapat gelas-gelas kaki menggantung di rak atasnya. Sedangkan di bagian belakang bar terdapat botol-botol minuman alkohol berjajar rapi. Suasana cukup nyaman, dengan interior ruangan bergaya modern yang lebih dominan warna hitam, cream, dan cokelat pelitur. Lampu hias yang menyala di setiap atas meja dengan pencahayaan yang tidak terlalu terang, membuat sinarnya tidak menerangi seluruh ruangan.

Pelayan yang menyambut kedatangannya, mengarahkan mereka duduk di tempat paling ujung. Alesha dan Naresh pun menurut, lantas menghempaskan pantat di kursi saling berhadapan.

Naresh mengambil buku menu makanan, membolak-balikkan setiap halaman mencari makanan yang pas untuk lidahnya."Kamu mau makan apa?" tanyanya kepada Alesha.

Perempuan itu masih berpikir sembari meneliti setiap menu. Tidak berapa lama menunjuk satu menu, memperlihatkan kepada sang pelayan. "Tom yum sama ... cah kangkung saja. Minumnya infused water mix green lemon, yellow lemon, and mint leaves. That's enough." Alesha mengangkat kepala, menatap Naresh. "Kamu mau pesan apa?"

"Kaeng khiao wan pakai roti canai. Minumnya sama dengan istriku saja," kata Naresh, kepada pelayan yang sedang sibuk mencatat menu pesanannya. "Mau dessert, Al?"

"Nanti saja. Lihat kapasitas perut mampu menampung atau tidak."

Naresh mengangguk. "Oke, itu saja," ucapnya kepada pelayan.

"Baik, Tuan, Nona. Mohon ditunggu sebentar." Pelayan itu berlalu.

***

Perempuan bertubuh cokelat eksotis berpakaian mini dress itu, duduk di bar sembari menyeruput bir dalam gelas kaca berukuran kecil. Ia tersenyum smirk, membayangkan jika sebentar lagi akan datang untuk menjemput lelakinya. Merebutnya kembali dari gadis sialan yang sudah menghancurkan semua mimpi indahnya.

"Kita lihat siapa yang akan menang, bitch!" lirihnya, terkekeh kecil. Lalu menyeruput birnya kembali.

"Kau sungguh-sungguh ingin pindah ke Indonesia, Ze?" tanya Zack--managernya--yang duduk di sebelahnya.

"Ya. Aku harus memperjuangkan lelakiku kembali, Zack. Kau tahu, gara-gara bitch sialan itu, Naresh memutuskanku secara sepihak. Aku seperti kulit kacang yang dibuang begitu saja setelah dimakan isinya. Siapa pun perempuan yang ada di posisiku, tentu tidak terima diperlakukan seperti itu."

"Orang tuamu sudah menyetujui perpindahanmu ini?"

Zenya mengangguk. "Daddy sudah membelikan apartemen yang aku minta, bersebelahan dengan apartemen mereka. Dengan begitu, akan memudahkanku mendekati Naresh."

"Baiklah, aku juga sudah menghubungi Modeling Agency di Jakarta, salah satu temanku. Dia yang akan membantumu masuk menjadi salah satu modelnya. Tidak susah untukmu bisa bergabung, dilihat dari talentmu di sini yang tidak diragukan lagi."

"Thank you, Zack. You're the best." Zenya menubruk lelaki gemulai itu dan merengkuhnya. "Kau harus ikut denganku tinggal di sana."

"Ya, Daddymu sudah memerintahkanku."

"Bagus." Zenya tersenyum senang. "Aku sudah tidak sabar melihat kagetnya mereka."

"Hehem. Aku penasaran perempuan seperti apa yang bisa merebut Naresh darimu."

"Sangat jelek, tubuhnya tidak berisi, dan perempuan itu sangat aneh. Pokoknya minuse semua. Entah kenapa Naresh lebih memilih dia daripada diriku. Argh! Mungkin karena ikatan pernikahan itu yang membuatku kalah."

"Kau tenang saja. Banyak yang sudah menikah, tapi berakhir perceraian."

"Yupz! Kau benar. Tidak ada yang abadi di dunia ini. Benarkah begitu?"

Zack menanggapinya hanya dengan anggukan. Lantas, menyeruput birnya sampai tandas.

***

"Kamu menyukai tom yum ini, Al?" tanya Naresh, menatap tom yum berkuah merah dalam mangkuk yang terlihat segar.

Alesha mengangguk. "Kuahnya segar. Ada asem, pedes, dan gurih. Cocok sama lidahku. Kamu harus coba ini, Naresh." Alesha menyendokkan kuah serta jamur yang entah apa namanya. Hanya saja bentuknya bulat, tetapi dibelah dua. Lalu, menyuapkan kepada Naresh, yang langsung diterima oleh lelaki itu.

"Ya, rasanya segar. Rasa serainya lebih kuat."

"Dalamnya banyak potongan serai ini."

"Kamu coba ini juga." Naresh memotong roti canai, mencelupkan ke kari hijau kuah dari kaeng khiao wan, lalu menyuapkan untuk Alesha.

Perempuan itu melahapnya. Mengunyah pelan, merasakan campuran rempah-rempah di dalam bumbu kari tersebut. "Tidak kalah enaknya. Pedasnya juga dapat," ucap Alesha sembari ngangguk-ngangguk. "Ini pakai daging kambing, ya? Ada rasa apek-apeknya," sambungnya lagi.

"Iya, mungkin nama Indonesianya kari kambing."

Alesha mengangguk. Lantas, melanjutkan makannya lagi saling bertukar suapan, sampai makanan dalam wadahnya tak tersisa sedikit pun.

Setelah selesai menyantap makan malam, mereka melanjutkan jalan untuk berbelanja kebutuhan rumah serta make up milik Alesha. Hampir tiga jam berjalan mengelilingi mall, semua kebutuhan pun sudah didapat.

"Capek banget," keluh Alesha langsung merebahkan tubuh di sofa, setelah sampai di apartemen.

Sementara Naresh meletakkan barang belanjaan di meja dapur. Menaruh barang yang harus berada di kulkas, lalu merapikan barang-barang kering lainnya dan menyimpannya di lemari dapur bercat putih.

"Mulai malam ini tidurlah di kamarku, Alesha," ucap Naresh, sedikit meninggikan suara.

"Iyaaa!" balas Alesha sekenanya. Sedangkan mata sudah terpejam, menetralisir tubuhnya yang terasa pegal dan lelah.

Naresh menghampiri Alesha, setelah selesai menyimpan barang dan bekas plastik belanja. Berjongkok di samping sofa, tangannya terulur mengusap pelan wajah istrinya. "Mandi dulu sebelum tidur," ucapnya bersuara rendah.

Alesha membuka mata. Satu tangannya menangkup wajah Naresh, dengan ibu jari bergerak mengusap-usap. "Sebentar lagi, ya."

Lelaki itu mengangguk. Memberi kecupan singkat di bibir istrinya, lantas berpindah posisi duduk di sofa. Memangku kepala Alesha dan mengelus kepalanya memberi kenyamanan.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top