Part 2

Alesha tampak jengah. Telinganya seperti terbakar. Udara di ruang tamu pun terasa pengap mendengar pembicaraan kedua kakaknya, beserta tiga orang tamu yang belum lama datang ke rumahnya. Sedari tadi gadis bergaun merah marun off shoulder itu terus diam. Tidak berminat untuk menimbrung obrolan yang sedang membahas pernikahannya dengan Naresh.

"Baik, pernikahan Naresh dan Alesha akan diadakan dua minggu lagi," pungkas Dirgantara setelah selesai berunding.

Mendengar itu sontak membuatnya kaget. Alesha yang duduk bersandar di sofa warna krem menegakkan punggung tiba-tiba. Matanya melotot menatap bergantian orang-orang di hadapannya.

"Itu terlalu cepat! Aku tidak mau. Bisakah tahun depan atau dua tahun lagi? Biarkan kami saling kenal dan dekat lagi setelah lama tidak bertemu." Ia berargumen, tidak setuju oleh keputusan pria paruh baya seumuran papanya itu.

"Tidak bisa ditunda terlalu lama, Alesha. Kalian sudah saling kenal. Tidak susah untuk dekat dan mengenal satu sama lain."

'Kalian tidak tahu permasalahan kami. Bagaimana aku bisa hidup dengan pria yang membenciku?'

Alesha membuang pandangan, menatap miniatur yang terpajang di lemari kaca. Tidak ada gunanya ia bernegosiasi. Menarik napas panjang, gadis itu beranjak dari sofa begitu saja.

"Terserah kalian! Dan ingat, aku menerima perjodohan ini bukan kemauanku. Tapi, karena Papa dan Mama. Sekadar memenuhi wasiatnya!" ketusnya bersuara tinggi. Tidak peduli mendapat pandangan kaget dari mereka semua.

Sebelum berlalu meninggalkan ruang tamu, ia menatap tajam pria masa lalunya. Lantas, mengayunkan kaki menuju taman belakang, duduk di kursi besi berukir warna hitam.

Ia mendongak, menatap langit gelap yang gemerlapan bintang. Jika hubungannya dengan Naresh baik-baik saja dan tidak ada masalah apa pun, pasti ia akan sangat bahagia menikah dengan pria yang ia cintai. Namun, semua sudah berubah. Seperti kaca tertimpa batu, retak dalam waktu sekejap.

"Menikah dengan mantan, mengasyikkan juga."

Alesha berjingkat. Menoleh ke belakang, pandangannya langsung tertuju kepada pria berpakaian rapi dengan kemeja putih terbalut tuksedo hitam, dipadukan dengan celana kain warna senada. Sedangkan rambut gondrong pria itu dicepol rapi. Masih sama seperti dulu, tampan. 'Ah, sial! Bahkan, ia masih terpesona oleh ketampanannya.'

Sementara Naresh yang berdiri di belakang kursi besi dengan kedua tangan dimasukkan ke saku celana, menyeringai sinis menatap Alesha dengan tatapan menjijikkan.

"Senang bertemu denganmu lagi, Pengkhianat," sapanya datar. Memiringkan kepala, ia memerhatikan penampilan Alesha dari bawah sampai atas, sambil memainkan lidah di dalam mulut.

"Untuk apa kamu kemari?" Alesha menatapnya tajam. Rasa bersalah atas kesalahannya, kini telah berubah menjadi benci. Ya, ia sangat membenci Naresh. Pria itu tidak mau mendengarkan dan memberi kesempatan untuk dirinya menjelaskan. Hingga kesalah pahaman antara mereka tetap tertahan, dalam hubungan yang dijalani secara diam-diam, dulu.

"Menyapamu," balas Naresh santai. Ia melangkah mendekati Alesha, berdiri di hadapan gadis yang hanya sebatas bahunya saja. "Apa kamu sudah memiliki anak sekarang? Tadi, aku melihat banyak mainan anak di dalam." Ia menatap gadis itu lekat-lekat. Sedangkan yang ditatap hanya diam membisu.

"Ah, pasti hasil percintaan kalian telah membuahkan hasil. Menjijikkan sekali kamu, Alesha." Naresh terkekeh meremehkan, sambil geleng-geleng.

Mendengar itu Alesha meradang. Darah terasa mendidih membuat tubuhnya panas dalam. Dengan tatapan menantang, ia berkata mantap, "Oh, jelas. Kami melakukannya. Dia sangat memuaskanku di ranjang. Bahkan, dia menitipkan benihnya di rahimku. Kenapa? Masalah untukmu?"

Dadanya sesak sekali rasanya, tetapi Alesha tetap mengucapkan seperti yang pria itu tuduhkan. Mau mengelak juga percuma. Pria bertahi lalat di bawah mata kirinya itu, tetap tidak akan percaya. Sampai ia mati pun, Naresh akan menilai dirinya wanita murahan.

"Rendahan."

"Sudah tahu aku rendahan, kenapa kamu masih mau menikah denganku, hah?"

"Mau tahu alasannya?"

Alesha diam, mulutnya terasa terkunci. Hanya tatapan tajam yang ia lemparkan.

Menundukkan kepala, Naresh berbisik di telinga gadis itu. "Aku ingin kamu melihat bagaimana rasanya dikhianati. Berciuman, bercinta, bermesraan dengan kekasihku tepat di depan matamu. Ah, mengasyikkan, bukan?"

Menarik tubuh, Naresh menatap wajah Alesha yang sudah merah padam. Pandangannya turun ke bawah, bisa melihat tangan gadis itu mengepal kuat. Pasti sangat geram mendengar ucapannya. 'Bagus! Itu yang ia mau. Melihat Alesha marah, kesal, dan geram.'

"Oke, see you at our wedding, Alesha. Siapkan mentalmu untuk melihat semuanya." Sebelum berlalu, Naresh menepuk pelan puncak kepala Alesha, sembari mengembangkan senyum kemenangan.

Di tempatnya, Alesha berdiri mematung. Menatap punggung lelaki itu sampai tak terlihat. "Aku tidak akan peduli apa pun yang akan kamu lakukan, Naresh. Perasaan ini sudah mati. Sudah mati untukmu. Aku sangat membencimu," desisnya geram, kepalan tangan pun semakin kuat.

***

Dua minggu telah berlalu. Sesuai rencana dan kesepakatan, kini Alesha dan Naresh telah dinyatakan sah sebagai pasangan suami istri. Pernikahan mereka diadakan sangat sederhana dan bersifat rahasia, hanya beberapa orang saja yang tahu. Tidak ada resepsi, ijab kabul pun berlangsung di kediaman gadis itu.

"Kalau sampai dipublikasikan, aku tidak ingin melanjutkan pernikahan ini, Kak. Aku tidak mencintai Naresh. Aku ingin menikah dengan pria yang benar-benar mencintaiku. Andai Papa tidak memberi wasiat laknat ini, aku tidak sudi menikah dengannya," ucap Alesha kepada Ben waktu lalu, saat pernikahannya tinggal menghitung hari.

"Sebenarnya apa, sih, masalahmu dengan Naresh? Dulu, kamu dan dia baik-baik saja, kenapa sekarang jadi musuh? Apa karena Naresh meninggalkanmu ke Hong Kong tanpa memberi kabar?"

Ben sangat penasaran. Adiknya itu tampak sekali membenci Naresh. Bahkan, setelah pria itu pergi, sifat Alesha berubah menjadi pendiam, dingin, dan cuek terhadap sekitar. Namun, di balik itu ia juga sangat profesional dalam pekerjaannya sebagai designer muda. Alesha gigih, semangat, melakukan pekerjaannya dengan sungguh-sungguh, dan tepat waktu. Ben tahu itu.

"Bukan urusanmu, Kak," balas Alesha waktu lalu, dan melengos pergi.

Keesokan hari setelah menikah, Alesha langsung diboyong Naresh untuk tinggal di apartemen lelaki itu. Gedung pencakar langit yang memiliki 45 lantai itu terlihat mewah dan megah interior luarnya. Berlokasi tepat di pusat Kota Jakarta, cukup menguntungkan bagi Alesha karena sangat strategis dari tempat kerjanya.

"Kenapa harus tinggal di sini, sih?!" gerutu Alesha, berdiri di belakang Naresh yang sedang memencet digit password pintu. Hatinya masih kesal karena harus tinggal berdua dengan pria sialan itu. Apalagi sang kakak justru mendukungnya.

"Kenapa? Apa kamu takut untuk melihat apa yang ingin kulakukan?" tanya Naresh balik, menatap Alesha sambil menaikkan sebelah alisnya.

"Tidak. Silakan lakukan sepuasmu." Alesha mengacir masuk, ketika pintu dibuka. Tidak peduli tubuhnya menabrak lelaki itu cukup keras.

Menaruh koper sembarangan, ia melepas sepatu selop warna hitam di samping pintu. Pandangan langsung mengitari seisi ruang tamu. Warna silver dan putih lebih dominan di ruangan itu. Lumayan. Tidak terlalu jelek dan tampak elegan. Pemandangannya pun bagus. Dari ketinggian lantai tiga puluh lima langsung tertuju pada hamparan kota Jakarta, yang tersekat oleh dinding berbahan kaca.

Alesha terus melangkahkan kaki, melihat-lihat seisi ruangan. Dari kolam renang mini, dapur, ruang makan, dua kamar tidur, semua penataannya cukup rapi. Tidak membuat sepet mata. Kemudian, ia kembali ke ruang tamu lagi, melihat Naresh sedang duduk bersandar di sofa warna silver, sibuk dengan ponselnya.

"Lumayan juga apartemenmu," pujinya, bersuara datar. Melangkahkan kaki menuju dinding kaca, ia berdiri di depannya sembari bersedekap. Pandangannya menerawang keluar gedung. Hari yang sudah menggelap, menampakkan kerlap-kerlip lampu di bawah sana. Menakjubkan.

"Kita tidur pisah kamar," kata Naresh, tanpa mengalihkan pandangan dari ponsel.

Alesha menoleh sekilas. "Tentu. Siapa juga yang mau tidur sekamar denganmu, Jerk!"

"Kekasihku akan tidur di sini malam ini. Tolong jangan ganggu kami." Lelaki berkaus putih polos dengan rambut gondrongnya yang di gerai itu, beranjak. Ia meletakkan ponsel di meja kaca depannya, lantas melangkahkan kaki menghampiri Alesha dan berdiri di sebelahnya. Memasukkan kedua tangan di celana jeans panjangnya.

Menahan rasa sesak di dada, Alesha mencoba bersikap biasa saja dan masa bodoh. "Tenang. Aku tidak akan mengganggumu. Lebih penting mengerjakan pekerjaanku yang belum selesai gara-gara pernikahan sialan ini."

Ia melirik lelaki itu sekilas, lalu melengos pergi. Mengambil koper dan menariknya, tetapi ia menghentikan langkah tiba-tiba saat teringat sesuatu. "Kamarku yang mana?" tanyanya meninggikan suara.

"Yang lebih kecil ukurannya dari kamarku," jawab Naresh sambil menoleh ke belakang. Ia menyeringai menatap punggung Alesha sampai tak terlihat. Sebentar lagi partner kencannya akan datang. Dan ... 'Bersiap-siaplah, Alesha. Kau akan merasakan sakit seperti yang aku rasakan dulu. Aku akan membalasmu lebih kejam dari itu.'

***

Alesha harus menahan geram saat mendengar bel apartemennya terus berbunyi. Masih berkutat dengan pensil dan kertas-kertas untuk mendesain gaun pengantin modern, ia mengembuskan napas berat dan lelah. Konsentrasinya kini benar-benar terpecah belah oleh gangguan tamunya Naresh. Namun, lelaki itu justru tak acuh, padahal suara bel terus berbunyi seperti kerincingan bayi.

Dengan rasa malas dan terpaksa, Alesha beranjak dari duduknya menghela langkah kasar keluar kamar. Matanya menatap pintu kamar lelaki itu yang tertutup rapat. Masih berdiri di depan kamarnya, ia terdiam sejenak menimang-nimang untuk memanggil Naresh atau mengabaikan. Namun, suara bel yang terus berbunyi membuatnya sadar, lalu memutuskan melanjutkan langkah.

Gadis itu membuka pintu utama, langsung dibuat terperengah oleh sosok wanita sexy berdiri di hadapannya. Ia mengernyitkan dahi menilai setiap jengkal penampilan wanita itu, memakai dress hitam pas body yang hanya menutupi bagian dada sampai bawah pantatnya saja. Dandanannya sangat menor. Bibirnya yang sedikit tebal dilapisi lipstik merah menyala, mengesankan jika wanita itu dewasa sungguhan.

"Mau cari siapa?" tanya Alesha, masih menatap wanita itu dari atas sampai bawah.

"Kekasihku tentu saja. Apa dia ada di dalam?" Wanita memiliki warna rambut blonde dan berikal bagian bawah itu menampilkan senyum manis. Kepalanya celingukan ke dalam mencari sesuatu.

"Oh. Naresh?" Alesha memastikan. Suaranya terdengar datar menatapnya tak suka.

"Iya, bet-"

"Hai, Ze. Kamu sudah datang?"

Belum sampai wanita bernama Zenya itu selesai bicara, suara Naresh menggema dari belakang Alesha. Dua wanita itu kompak menoleh ke arahnya. Alesha terkesiap, mulutnya sedikit terbuka melihat Naresh bertelanjang dada, hanya memakai celana pendek warna hitam serta rambut gondrong yang tergerai basah. Malu sekali rasanya. Namun, tidak dengan wanita satunya lagi yang kegirangan kesenangan.

"Naresh, I miss you so much." Zenya berlalu melewati Alesha yang berdiri termangu. Langsung menubruk tubuh lelaki itu, mencium aroma sampo dan sabun yang membaur jadi satu, sangat harum dan menenangkan.

"Tiga minggu tidak bertemu, rasanya sudah lama sekali," adu Zenya setelahnya. Lalu, mengalihkan pandangan ke arah Alesha yang masih berdiri di depan pintu. "Siapa dia? Bukankah kamu tidak memiliki saudara perempuan?" tanyanya, menatap Naresh kembali.

"Hanya saudara papaku yang numpang tinggal saja." Naresh menatap Alesha tak acuh.

Sementara gadis itu dibuat mencelus hatinya. Ada rasa sesak dan tidak terima ketika secara gamblang Naresh tidak mengakui.

Ah, Alesha lupa. Siapa dirinya untuk lelaki itu? Sementara ia dan Naresh sama-sama tidak memiliki perasaan, kecuali benci. Mau dianggap istri? Bahkan, ia sendiri sangat enggan menganggap lelaki itu suami. Mencoba bersikap biasa saja, Alesha mengalihkan perhatian dengan menutup pintu dan menguncinya.

"Kamu pasti lelah bukan, setelah melakukan penerbangan dari Hong Kong ke sini?"

Zenya mengangguk manja. "Tadi langsung ke hotel, terus ke sini. Tahu gitu, aku tidur di sini saja, ya? Apartemenmu lumayan besar," ucapnya sambil mengitari pandangannya ke sekitar ruangan.

"Al, tolong buatkan minuman untuk kekasihku," perintah Naresh, saat melihat Alesha akan berlalu.

"Hem."

"Besok bawa barang-barangmu ke sini saja," kata Naresh lagi, menggiring kekasihnya menuju sofa.

"Kau serius, aku boleh tinggal di sini?" Zenya mengenyakkan pantatnya di sofa, pun dengan Naresh yang duduk di sebelahnya.

"Ya, tentu saja." Lelaki itu mengecup pipi sang kekasih. Tangan kirinya terulur merengkuh bahu Zenya.

"Aku lihat hanya ada dua kamar. Aku tidur dengan saudaramu?"

Naresh menggeleng. "Nope. Kamu bisa tidur di kamarku denganku," ucapnya, tepat saat Alesha datang.

Ia memerhatikan gadis itu. Wajahnya tampak datar. Tidak ada sedikit pun senyum yang terbit dari bibirnya. "Ada kekasihku, tolong disambut dengan ramah, Alesha. Mulai besok dia akan tinggal di sini."

"Terserah. Perlu banget ya, laporan kepadaku?" balas Alesha tak acuh sambil menegakkan tubuh setelah meletakkan dua gelas jus jeruk di meja. "Satu lagi, mau aku ramah-tamah atau tidak. Itu bukan urusanmu."

"Sayang, saudaramu gak ada sopan santunnya sama sekali." Zenya menatap Alesha tak suka.

Melirik ke arah perempuan itu, kemudian Alesha berlalu meninggalkan ruang tamu. Tidak penting meladeni mereka, sedangkan pekerjaan sudah menunggu dirinya di kamar.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top