Part 17

Sedari tadi pandangan Naresh tidak terlepas dari gadis bergaun pengantin, berkalung mutiara yang melingkar di leher jenjangnya. Rambut yang digerai indah dengan sejumput bagian kanan-kiri diikat ke belakang, menampilkan wajahnya yang imut dan cantik. Siapa saja yang melihat pasti akan dibuat terpesona, termasuk dirinya.

Shit! Bahkan, rival-nya saja menatap Alesha penuh kekaguman dan pemujaan. Meskipun ia duduk paling belakang, tetapi masih bisa melihat jelas jika lelaki di seberang runway duduk paling depan itu, matanya tak berkedip dengan senyum mengembang lebar menghias wajahnya.

Ia geram, kedua tangan mengepal erat-erat. Seluruh aliran darah pun berdesir membawa hawa panas menjalar ke seluruh tubuh. Astaga! Harus berapa lama lagi gadis itu berdiri di runway, menjadi tontonan para lelaki serta sorotan kamera?

Oke, tenangkan hatimu, Naresh. Jangan bertindak gegabah untuk menyeret Alesha turun dari catwalk sialan itu!

Menunggu dan terus menunggu, beberapa jam kemudian, acara fashion show selesai ditutup oleh sambutan dari pemilik butik. Lelaki itu berdiri dengan gagahnya di tengah runway, sembari menerima beberapa buket bunga dari para tamu undangan.

"Brengsek!" umpat Naresh, suara tertahan di tenggorokan. Pandangan menatap tajam Dion yang merangkul pinggang Alesha, tampak posesif.

"Tenangkan hatimu, Pak. Dia hanya memperkenalkan kepada tamu undangan jika beberapa rancangan gaun itu hasil karya istri Anda."

"Tapi, tidak perlu merangkul pinggang segala. Itu hanya modus!" Naresh menggertakkan gigi, rahangnya mengeras. See! Alesha justru menebarkan senyum menawannya.

Selesai mengucapkan kata terima kasih kepada para tamu undangan, Dion dan para modelnya meninggalkan runway berjalan menuju belakang panggung.

Naresh bernapas lega, tetapi hati masih geram dan panas. Beranjak dari kursi, ia mengayunkan kaki ke balik panggung. Sekali lagi, ia harus mengumpat kasar saat mendapat kendala akan memasuki ruangan private tersebut. Dua scurity berseragam hitam yang berdiri di depan pintu mencegah dirinya, dianggap sebagai orang asing dan tidak memiliki kuasa untuk masuk ke ruangan.

"Aku harus menemui istriku. Tidak seharusnya Anda melarangku seperti ini," protes Naresh, menatap tajam kedua scurity tersebut.

"Maaf, Pak. Tapi, Anda tetap tidak bisa masuk," ucap salah satu scurity berbadan kekar.

"Istriku sedang hamil muda, dia mengalami kram pada perutnya saat berjalan di catwalk tadi. Jika terjadi sesuatu dengannya, aku tidak segan-segan akan menuntut kalian ke jalur hukum!" ancam Naresh, terdengar serius dan tidak main-main.

Kedua scurity itu saling pandang dan menimang-nimang keputusan. Berurusan dengan nyawa dan hukum, tentu sesuatu yang sangat berat. Lagi pula pria yang berdiri di depannya adalah suami dari salah satu model tersebut. Mengangguk bersama, akhirnya mereka pun memberi keputusan.

"Silakan, Pak." Salah satu scurity membukakan pintu, mempersilakan Naresh dan Rio masuk.

Mengembangkan senyum kemenangan berjalan di belakang Naresh, Rio pun berucap lirih, "Anda jago bersandiwara, Pak." Ia terkekeh kecil.

"Urusan seperti ini gampang bagiku," sahut Naresh, bangga. "Aku harus mencari istriku. Kamu tunggu di sini saja, biar tidak menjadi pusat perhatian mereka."

Rio mengangguk, lalu duduk di kursi rotan yang tersedia tidak jauh dari pintu utama. Sedangkan Naresh masih melanjutkan langkah mencari keberadaan Alesha. Ruangan itu cukup luas. Dalamnya terdapat meja dan kursi untuk merias, serta peralatan lainnya. Lalu lalang para kru, model, dan fotografer pun berseliweran, menghalangi pandangannya mencari keberadaan Alesha.

Sementara itu, Alesha dan Dion masih berdiri di balik sekat pembatas panggung. Berbincang akrab.

"Terima kasih Alesha, sudah mau menggantikan Carolyn malam ini. Aku tidak tahu akan seperti apa jika tidak ada dirimu." Dion, mengembangkan senyum sampai lesung di kedua pipinya terlihat.

Gadis itu mengulas senyum tipis. "Jangan berlebihan, Pak. Aku melakukan ini juga karena gaun rancanganku. Akan sia-sia kalau tidak dipamerkan, sementara kita sudah susah-payah membuatnya."

Dion mengangguk setuju. "Kamu benar. Tapi, penampilanmu memang sangat menakjubkan, Alesha. Aku tidak menyangka kamu memiliki bakat menjadi model."

"Mungkin karena dulu pernah belajar menjadi pragawati di sekolah. Jadi, masih terbawa sampai sekarang."

Dion terkekeh, lantas mengacak puncak kepala Alesha, gemas. Tanpa mereka sadari, jika ada sepasang mata yang menatapnya murka.

"Aku ingin mengajakmu makan malam, hanya berdua saja. Di tepi pantai dengan suasana malam yang sangat indah, Alesha. Aku juga sudah memesan tempat itu."

Mendengarnya, Alesha terkesiap. Pikirannya langsung tertuju kepada Diana. Apakah ini salah satu rencana perempuan itu? Padahal perjanjian tadi akan melakukan aksinya jika ada Naresh saja untuk membuat lelaki itu cemburu. Bukan di waktu seperti ini, yang ada justru dirinya memberi harapan palsu kepada Dion.

Beberapa menit terdiam memikirkan jawaban. Akhirnya, Alesha berkata, "Maaf, Pak. Tapi, aku---."

"Terima kasih ajakannya Pak Dion, yang terhormat. Anda tidak perlu mengajak istriku, karena aku sendiri yang akan membawanya makan malam. Tentunya di tempat yang sangat romantis, sudah kupersiapkan." Naresh yang sudah berdiri di belakang Alesha, menyela ucapan gadis itu sembari tersenyum. Ia melepaskan jaket kulitnya warna hitam lalu memasangkan ke bahu sang istri, setelahnya merengkuh tubuh ramping itu secara posesif.

"Maaf, Sayang, aku telat datang ke sini," ucap Naresh lagi, lalu mengecup bibir Alesha yang sedang mendongak menatap dirinya dengan wajah terkejut. "Seharusnya sudah dua hari lalu. Tapi, karena pekerjaan yang menuntutku, jadi baru bisa datang hari ini."

Alesha belum menyahut, masih terpana melihat Naresh yang tiba-tiba berada di tempatnya. Lelaki itu seperti setan, bisa mengendus keberadaan dirinya di mana saja.

"Aku sengaja memberimu surprise. Kaget, ya?" Naresh mencubit hidung Alesha, gemas. Lalu, membubuhkan banyak kecupan di kening gadis itu, membiarkan Dion menatapnya. Dari sudut matanya, ia bisa melihat lelaki itu sedang mengepalkan kedua tangan. Dalam hati ia tertawa senang. Siapa suruh membuat dirinya terbakar cemburu oleh perlakuannya tadi.

"Ayo, aku juga punya hadiah untukmu. Hadiah spesial tentunya, dan hanya aku yang bisa memberikan itu padamu." Naresh membimbing Alesha melangkah, meninggalkan Dion berdiri mematung di sana. Menoleh ke belakang, ia melemparkan senyum smirknya kepada lelaki itu.

"Lepas, Naresh. Aku harus ganti baju." Alesha berkelit, mencoba melepaskan rengkuhan Naresh.

"Tidak perlu, Alesha."

Alesha mengernyit bingung. Suara Naresh berubah dingin, berbeda sekali dengan tadi. "Kamu tidak bisa membawaku dalam keadaan seperti ini. Aku masih memakai gaun pengantin."

"Aku tidak peduli." Terus melangkah, Naresh membawa Alesha keluar dari ruangan tersebut. Diikuti Rio berjalan di belakangnya.

"Yo, kamu jalan duluan. Pesankan kamar untukku."

"Baik, Pak."

"Pesan dua kamar. Satu untukmu."

"Baik, Pak." Menjalankan perintah bosnya, Rio pun segera berlalu.

Sementara Naresh menghentikan langkah. Ia mendorong tubuh Alesha ke dinding, lalu mengurungnya. "Kenapa menjaga jarak dariku, Alesha? Kenapa tidak pernah mengangkat telepon selama tiga hari belakangan ini?" tanyanya, menatap Alesha dingin.

Pandangan mereka bersirobok. Dengan berani Alesha berucap, "Berhenti bersandiwara, Naresh. Aku tahu, kamu sedang menjebakku untuk menghancurkanku."

Menjebaknya? Naresh terrcengang dengan jawaban Alesha. Seburuk itukah ia di mata gadis itu?

"Siapa yang mempengaruhi isi kepalamu, Alesha? Kenapa kamu tiba-tiba memiliki pikiran kotor seperti ini terhadapku? Bosmu, hah?"

"Berhenti menyalahkan orang lain. Aku sendiri yang sadar akan hal itu. Mana ada orang yang yang membenci, tiba-tiba berubah baik. Di balik itu pasti ada rencana-rencana yang telah disusun."

Alesha mendorong Naresh, membuat lelaki itu mundur beberapa langkah. "Bahkan, dulu kamu sendiri yang bilang akan menghancurkanku, Naresh! Kamu yang selalu bilang akan balas dendam terhadapku! Sebelum itu terjadi, aku yang harus sadar diri untuk menjaga diri."

"Aku tidak berniat untuk balas dendam kepada dirimu, Alesha. Apa yang aku lakukan untukmu tulus dari lubuk hati."

"Aku tidak peduli! Pencuri mana ada yang mau ngakuuu! Penjara penuh!" seru Alesha, lantas meninggalkan Naresh.

Tidak terima, Naresh pun mengejar Alesha langsung mengangkat tubuh gadis itu ala bridal. Bertepatan dengan Rio yang datang menyerahkan kunci card system untuk dirinya, Naresh melangkah cepat menuju kamarnya yang berada di lantai dua.

Sampai di depan kamar sesuai nomor yang diberitahu Rio, Naresh membuka pintu segera masuk. Ia meletakkan tubuh Alesha ke ranjang, menatap gadis itu dengan mimik wajah yang sulit diartikan.

"Aku harus membuktikan seperti apa untuk membuatmu percaya, Alesha? Dulu, aku memang ingin menghancurkanmu, tapi itu tidak lagi ada dalam listku."

"Mulutmu bisa berkata tidak, tapi berbeda dengan hatimu, Naresh! Aku ingatkan lagi, kamu bahkan dengan gagah berani membawa Zenya tidur di apartemen, sekamar denganmu. Itu sudah membuktikan dengan jelas jika pikiran picikmu sangat kuat!"

Skakmat! Naresh tidak tahu harus berkata apa lagi. Jika, dipikir, ia juga tidak jauh brengseknya seperti Alesha. Apakah masih pantas untuk menuduh gadis itu yang tidak-tidak?

Alesha beranjak bangun. Berdiri berhadapan dengan Naresh. "Introspeksi diri, sebrengsek apa dirimu," ucapnya penuh penekanan sambil mendorong dada lelaki itu. "Bahkan, Pak Dion lebih terlihat tulus mencintaiku daripada dirimu," sambungnya lagi, lantas berlalu.

Naresh mengepalkan kedua tangan erat-erat sampai otot-otot di tangannya terlihat jelas. Ia benci ucapan terakhir yang dilontarkan Alesha. Membalikkan badan, ia mengejar gadis itu lalu merengkuhnya dari belakang. Mengangkat tubuh itu, lantas melemparnya ke ranjang cukup kasar membuat sang empunya mengaduh. Beruntung, kasur itu cukup empuk sehingga tulang-tulang masih aman. Tidak ada yang retak.

Naresh segera menindih tubuh Alesha. Mengunci pergerakannya, lantas mencengkeram tangan gadis itu di atas kepala. "Aku sudah pernah bilang padamu, Alesha. Aku tidak suka dibandingkan dengan pria itu," ucapnya, suara tertahan di tenggorokan. "Jangan lupakan hukuman yang harus kamu terima malam ini. Memakai baju yang memperlihat belahan dadamu cukup jelas. Sengaja menggoda pria itu, huh?"

Masih menetralisir dari keterkejutan, jantung Alesha berdebar tak karuan. Seketika memekik kaget saat Naresh menggigit dan menghisap lehernya cukup keras. Menggeliat menahan sakit, lelaki itu justru semakin menambah hisapannya. Tidak puas di satu tempat, isapannya kini berpindah ke lain tempat.

"Lepas, Nareesh!" teriak Alesha, di sela desahannya.

"Bagaimana, Alesha? Masih kurang dengan hukumannya?" tanya Naresh, mengangkat kepala menatap wajah Alesha yang merah bak kepiting rebus. Gadis itu masih terpejam dengan mulutnya yang terbuka. Tanpa berpikir dua kali, ia langsung menyambar bibir ranum itu.

Alesha menggeliat mencoba untuk melepaskan. Namun, terlalu sulit. Tenaganya kalah oleh Naresh.

"Kamu menginginkan, hem?" tanya Naresh, pandangan sudah berkabut oleh gairah. Ia melepaskan cengkeraman tangannya. Beranjak dari tubuh gadis itu, lantas melepaskan kaus putih polos yang membungkus tubuh berototnya.

Melihatnya, Alesha terkesiap. Ia menelan saliva susah payah. Kemudian, merasakan tubuhnya berat kembali saat ditindih oleh lelaki itu.

"Katakan, harus dengan cara apa untuk membuatmu percaya kepadaku, Alesha? Aku tidak pernah berpikir untuk menghancurkanmu. Apa yang kulakukan tulus dari hatiku. Aku ingin memperbaiki semuanya denganmu. Tapi, apa sebegitu buruknya aku di matamu, sampai tidak bisa menerima usahaku untuk berubah?" Naresh membalikkan tubuh Alesha, membuat gadis itu berada di atasnya. Dengan segera ia menarik resleting gaun itu ke bawah. Membukanya, lalu berpindah posisi kembali dengan Alesha di bawah.

Mereka sama-sama tertegun melihat tubuh bagian atasnya polos. Saling bersitatap, Naresh menyambar bibir Alesha kembali. Kali ini lebih lembut dan hati-hati, sembari memejamkan mata dan meremas rambut gadis itu.

Alesha menggeliat kala tubuhnya bak kesetrum listrik. Aliran darahnya berdesir membawa gejolak aneh dalam perut. Ya Tuhan, bagaimana aku bisa menjaga bentengku kembali jika harus seperti ini?

Ia wanita normal. Menerima perlakuan seperti itu membuat gairahnya meningkat dan menginginkan lebih. Akal sehat pun serasa diangkat, menyisakan kewarasannya tinggal lima persen jika bisa dihitung.

Membalas ciuman Naresh, Alesha meremas rambut lelaki itu dengan satu tangannya. Sedangkan satu tangannya lagi mencengkeram punggung polos lelaki itu. Membuat keduanya semakin gila melakukan permainannya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top