Part 16
"Alesha, kamu sedang ada masalah dengan suamimu?"
Gadis berambut panjang berikal bagian bawah itu, menoleh ke arah Diana yang duduk di tepi ranjang hotel. Ia menggeleng pelan. Lantas, melanjutkan memoles wajah kembali, mengaplikasikan beberapa make up di sana.
"Kata Rio kalian jarang komunikasi. Lebih tepatnya kamu yang menghindar," lanjut Diana lagi, menatap serius Alesha.
Sudah dua hari ini, gadis itu memang menjaga jarak dengan Naresh. Kembali menutup gerbang yang kemarin sempat ia buka. Ucapan Dion berhasil menampar dirinya, menyadarkan akal sehat yang hampir saja terbuai oleh perlakuan manis Naresh.
Tangan mengambang di depan mata, Alesha berhenti membubuhkan eyeliner di tepi pelopaknya. Ia menghela napas panjang, lalu menurunkan tangan dan membenarkan posisi duduk menghadap Diana. Menunduk lesu memperhatikan eyeliner di tangannya, ia berucap lirih, "Aku takut terbawa perasaan lebih terhadapnya, Ana. Aku takut ... jika perhatian yang dia berikan selama ini hanyalah salah satu jebakan batman untuk menghancurkanku."
"Why?" Diana mengernyit bingung, sedikit mencondongkan punggung dengan kedua tangan menumpu di tepi ranjang. Jiwa keingintahuan pun memberontak. Selama ini ia hanya tahu jika Alesha dan Naresh menikah karena dijodohkan, lalu benih-benih cinta itu muncul di antara keduanya. Tidak lebih.
Alesha terdiam dan tampak berpikir. Apakah ia harus bercerita tentang masa lalunya kepada Diana? Jika dipendam sendiri, ia takut salah jalan. Ingin bercerita, tetapi seperti mengumbar aib sendiri. Namun, ia juga butuh teman cerita, cukup tertekan dengan perasaan yang menyiksa hati. Selama lima tahun, masalah itu ia pendam sendiri. Dan selama lima tahun itu juga, hatinya terjebak dalam kondisi yang sulit untuk dihindari. Ia merasa seperti gadis plin-plan sekarang yang tidak memiliki pendirian. Astaga! Kemana sifat keras kepalanya? Ia benci menjadi gadis lemah dan rapuh seperti ini!
Mengembuskan napas kasar, akhirnya ia berucap, "Sebenarnya kami pernah menjalin hubungan, Ana. Kami memiliki masalah yang pelik, anggap saja salah paham yang tak berujung. Dia pergi ke Hong Kong, meninggalkanku tanpa mau mendengar penjelasan sedikit pun. Selama lima tahun, dia berhasil menghindar dariku tanpa memberiku akses untuk menjelaskan semuanya. Selama itu juga dia memiliki dendam terhadapku. Bodohnya lagi aku masih mencintai dia sampai sekarang, Ana. Aku takut ... aku takut jika kebaikan dan perhatian dia hanyalah sandiwara untuk memuluskan rencana balas dendamnya untuk menghancurkanku."
Alesha mengangkat kepala, menatap Diana yang tampak serius mendengarkan cerita darinya. Lalu, ia melanjutkan ucapannya lagi. "Dari awal pernikahan, dia sering berkata ingin balas dendam denganku. Bahkan, kekasihnya itu diajak menginap di apartemen. Apa aku harus percaya begitu saja dengan dia, Ana? Perubahan sifat dia yang tiba-tiba baik dan perhatian membuatku berpikir lagi. Rasanya sangat mustahil, bukan? Orang yang memiliki dendam mendalam kepada orang yang sudah menyakitinya, berubah drastis seperti itu?"
"Wait. Jadi, kekasih Naresh pernah diajak tinggal di apartemen dengan status kalian sudah menikah?" tanya Diana memastikan.
Alesha mengangguk lemah. Rasanya menjadi serba salah karena telah mengumbar aib Naresh ke orang lain. Namun, yang namanya manusia juga ada batas kesabaran. Dan ia benar-benar butuh teman untuk bercerita, alih-alih bisa membantunya mencari solusi. Ia percaya, Diana adalah orang yang tepat. Ia sudah mengenal perempuan itu lama, dan tahu bagaimana sifatnya.
"Mereka tidur sekamar?"
Alesha mengangguk lagi.
"Shit! Sebrengsek itukah dia?!" Diana mengepalkan kedua tangan, memukul ranjang dengan geram. "Awalnya aku mendukung hubunganmu dengan dia, Alesha. Sampai aku bela-belain bawa kamu ke Semarang. Tidak tahunya dia sebrengsek itu. Katakan padaku, apa yang harus aku lakukan untuk memberinya pelajaran, Alesha?"
"Tenangkan hatimu dulu, Ana. Aku bercerita denganmu bukan minta bantuan untuk menghajarnya. Tapi, bantu aku cari solusi. Aku harus bagaimana? Aku lelah dengan perasaanku. Aku membencinya, tapi juga mencintainya. Aku takut terbuai oleh sikap manisnya, lalu dia dengan mudahnya menghancurkanku lagi. Dia bilang masih mencintaiku, apa kamu juga percaya itu?"
Hening. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Diana sendiri bingung harus memberi solusi apa. Mempercayai jika Naresh masih mencintai Alesha? Kini ia sendiri pun ragu. Apalagi setelah mendengar penjelasan Alesha, jika Naresh berniat balas dendam akan sakit hatinya. Argh! Rumit sekali hubungan mereka.
"Hanya ada dua opsi, Alesha. Melepaskan atau mempertahankan. Tapi, keduanya memiliki dampak yang sama besarnya. Jika, melepaskan, itu artinya kamu harus siap kehilangan Naresh untuk selamanya. Sementara jika kamu mempertahankan, itu artinya kamu harus siap menerima patah hati-patah hati yang akan datang."
"Aku bingung, Ana. Aku benci perasaan seperti ini. Sangat menyiksaku sekali." Tak kuasa menahan bendungan air mata yang membuat matanya memanas, ia meluruhkan bulir bening itu. Dada terasa sesak. Kapan ia bisa keluar dari jeruji yang tak kasat mata ini? Yang terus menjebaknya sampai kesulitan untuk bergerak.
"Andai hubungan kami biasa-biasa saja, aku tidak akan seperti ini. Banyak kenangan indah saat kami masih bersama dulu, Ana. Setiap aku ingin melupakan, kenangan itu selalu berputar di ingatan seperti kaset yang menyala. Aku membencinya." Alesha menangis dalam pelukan Diana, yang sedang memeluknya.
Diana bisa merasakan betapa rapuhnya gadis itu sekarang. Jika, biasanya akan terlihat tegas dan cuek, kini gadis itu sedang berada di titik terendahnya. Hati Diana terenyuh mendengar tangis Alesha yang terdengar pilu. Mengelus rambut gadis itu dengan perhatian, ia bungkam. Mulut seakan terkunci dari dalam, lidah terasa kaku untuk digerakkan.
"Dari kecil kami sudah bersama. Dari kecil juga, Naresh yang sering menemani hari-hariku di saat semua orang sibuk dengan pekerjaan. Mama dan Papa yang hampir setiap hari tidak di rumah, Kak Ben yang sibuk dengan urusan sekolahnya. Dan Naresh, lelaki itu yang selalu ada untukku. Aku memiliki perasaan dengannya, sejak belum mengenal apa itu arti cinta."
Diana diam dan masih mendengarkan Alesha bercerita. Ia membiarkan gadis itu mengeluarkan semua yang sempat dipendam. Dalam keadaan seperti ini jiwa keibuannya keluar. Meskipun terlihat bar-bar dalam suatu waktu, tetapi ia juga memiliki sifat keibuan yang begitu besar.
"Begitu pun Naresh, dia memiliki perasaan lebih terhadapku. Akhirnya, kami menjalin hubungan secara diam-diam. Tapi, hubungan kami hancur saat acara prom night SMA-ku. Aku dijebak sama cowok yang menyukaiku, dia memberi obat perangsang di minumanku dan aku hampir hilang kendali. Naresh melihat semuanya, dia juga yang menyelamatkanku. Tapi ... malam itu juga dia meninggalkanku tanpa mau mendengarkan semua penjelasanku." Luruhan air mata Alesha semakin deras Mengingat kembali ke masa lalu yang indah, tetapi menyakitkan.
"Seharusnya dia mendengarkan penjelasanku, Diana. Bukannya pergi begitu saja. Aku tahu dia kecewa denganku, tapi semua kejadian itu bukan keinginanku." Gadis itu tergugu, tubuhnya bergetar dalam pelukan Diana.
"Aku mengerti perasaanmu, Alesha," lirih Diana, setelah lama terdiam. Kini ia mengerti inti permasalahan mereka. Yeah, orang yang sudah terlanjur cinta, memang gampang patah hati, salah paham, dan cemburu buta. Ia bisa melihat itu dari tindakan Naresh.
Diana mengurai pelukan, mengusap jejak air mata di wajah Alesha. "Jika, memang dia masih mencintaimu, biarkan dia berjuang untuk mendapatkan hatimu kembali, Alesha. Jangan beri dia jalan yang mulus dan gampang, kasih dia jalanan yang terjal dan susah. Dan kamu akan melihat seberapa besar perjuangan dia untuk melaluinya, sampai benar-benar bisa menggapai hatimu tanpa ada unsur balas dendam."
"Caranya?"
Diana membisikkan sesuatu di telinga Alesha, membuat gadis itu mengernyit. Namun, sesaat kemudian mengangguk menyetujui.
"Kamu yakin ini akan berhasil? Apa dia tidak semakin membenciku?"
"Kalau dia takut kehilanganmu, dia akan memikirkan cara untuk mendapatkanmu kembali."
"Bagaimana memulainya? Waktu di Semarang, kami sudah dekat."
"Tanpa sadar, kamu sudah memulainya dari dua hari ini bukan? Menjaga jarak dengan komunikasi tidak lancar."
Alesha mengangguk.
"Ya, sudah. Teruskan saja. Aku akan mengabari Rio, mengajak dia kongkalikong lagi." Diana tersenyum senang. "Laki-laki seperti dia itu harus diberi pelajaran. Apalagi sudah terang-terangan membawa perempuan tidur di apartemen, sekamar lagi. Lalu, sekarang dengan seenak jidat ingin menarikmu kembali? Tidak bisa dibiarkan, Alesha."
Dua jam kemudian, selesai berbincang di kamar hotel, Alesha dan Diana sudah berkumpul bersama kru dari Dion's Boutique. Saat ini mereka sedang mempersiapkan acara fashion show untuk nanti sore, berada di Hotel Cornad, Bali, dan mengusung tema out door.
"Kita kekurangan model. Carolyn mendadak sakit dan tidak bisa datang untuk menjadi model kita," lapor salah satu kru penanggung jawab dari para model, kepada Dion.
Mendengarnya, Dion tampak geram. "Kita tidak punya cadangan model. Sementara fashion show tinggal beberapa jam lagi dimulai. Shit! Kenapa perempuan itu harus sakit?"
"Tapi, mau tidak mau kita harus cari model lain, Pak. Sangat disayangkan, jika salah satu rancangan gaunnya tidak pamerkan."
"Lalu, siapa? Harus mencari ke mana? Tidak semudah itu mencari model dadakan. Semua harus ada prosedur dan kesepakatan." Dion kebingungan. Ia berjalan ke sana-kemari sambil mengacak rambut pendeknya.
Satu jam lagi fashion show dimulai. Waktu sesingkat itu tidak bisa ia gunakan untuk mencari model dadakan. Sedangkan, kini ada beberapa tamu undangan yang sudah hadir lebih awal, sembari menikmati keindahan hotel yang langsung tertuju pada laut, serta sekeliling hotel yang begitu menakjubkan dengan interior bangunan yang elegan dan modern.
Sementara kru tersebut, sibuk menelisik pandangan ke sekitar. Mengamati satu per satu kru wanita yang yang barada di sana, sedang sibuk menata segala macamnya.
"Ada satu yang cocok menjadi model, Pak. Alesha. Dia memiliki body ramping, wajah cantik dan imut, kulitnya putih mulus, tinggi tidak diragukan."
Dion mengikuti arah pandang krunya yang sedang mengamati Alesha berdiri di dekat runway. Ia pun ikut menilai penampilan gadis pujaannya dari atas sampai bawah. Krunya benar. Alesha memiliki kriteria sempurna menjadi seorang wanita cantik, dan gadis itu pantas berjalan di atas runway berlalut gaun pengantin dari beberapa rancangannya.
"Aku setuju. Bawa Alesha ke ruang ganti, suruh perias meng-make over secantik mungkin."
Kru tersebut mengangguk, lantas membawa Alesha ke ruang ganti. Menyuruh gadis itu mengganti pakaiannya dengan gaun pengantin. Ada sedikit perdebatan sebelumnya, sampai akhirnya Alesha memahami dan menerima untuk menjadi model sesaat.
Kini gaun pengantin dengan model tanpa lengan, serta a line yang tidak terlalu mengembang lebar sudah menempel indah di tubuh gadis itu. Gaun rancangan dirinya. Memiliki full swarovski bagian pingangga sampai dada, serta memiliki lengan terpisah dari gaun dengan model mengembang.
Tiga puluh menit duduk di kursi menghadap meja rias, ia baru selesai di-make over dengan make up tipis yang tidak terlalu tebal. Namun, masih memperlihatkan kecantikan natural gadis itu. Bibir tipisnya yang dilapisi lipstick merah, membawa kesan kedewasaan dari penampilannya.
Sempurna! Semua menatap takjub gadis itu.
"Kamu bisa jadi model papan atas, Alesha. Kecantikanmu tidak ada yang mengalahkan," puji kru tadi, yang mendapat persetujuan dari penata riasnya.
"Penampilanmu akan semakin menakjubkan dengan kalung mutiara ini." Sang penata rias, mengambil kalung mutiara dari kotak perhiasan, lantas memasangkan ke leher jenjang gadis itu. "See! Penampilanmu semakin cantik."
***
Pekerjaan sialan! Aku menjadi telat datang ke Bali. Pasti si brengsek bosnya Alesha mencari kesempatan dalam kesempitan, untuk berdekatan dengan gadis itu.
Dari Bandara I Gusti Ngurah Rai, Bali, Naresh terus mengumpat tiada henti, bahkan sampai sekarang memasuki Hotel Cornad--tempat fashion show diselenggarakan. Tentu ia mendapat informasi dari orang dalam, Diana. Yeah! Cukup menguntungkan Rio dekat dengan wanita itu, karena ia bisa mendapat banyak informasi tentang istrinya.
Langsung menuju tempat fashion show yang berada di out door dekat dengan pantai, Naresh dan Rio sempat dicegah petugas karena tidak membawa undangan fashion show. Beruntungnya, Naresh memiliki senjata pamunungkas memperlihat foto berduanya dengan Alesha sewaktu di Semarang, mengatakan jika saat ini istrinya sedang menunggu kehadirannya.
Kedua petugas yang berhasil dikelabuhi pun, mempersilakan mereka masuk tanpa syarat. Dengan senang hati, Naresh bergegas menuju tempat fashion show yang sudah ramai didatangi oleh para tamu undangan dan fotografer. Mereka duduk di kursi terbungkus kain putih yang tertata rapi di kanan-kiri runway. Cahaya remang-remang di sekitar dan sorot lampu yang hanya tertuju ke runway, membuat acara tersebut tampak serius dan berbobot.
"Aku tidak melihat keberadaan istri Bapak, dari tadi," ucap Rio, kepala celingukan ke sana-kemari mencari keberadaan Alesha.
"Apa dia ada duduk di depan? Sedangkan kita duduk di kursi paling belakang," sahut Naresh, sama halnya dengan Rio, celingukan ke sekitar tempat tersebut.
Sepertinya mereka belum telat datang karena para model baru saja keluar dari tempat persembunyian. Hilir bergantian para model itu berjalan di runway sambil melenggak-lenggokkan tubuh. Semua tamu undangan tampak menikmati, tepuk tangan riuh mengiringi langkah para model tersebut. Sedangkan para fotografer berlomba-lomba membidik para wanita terbalut gaun pengantin dengan berbagai macam model.
Naresh sama sekali tidak menikmati acaranya. Kedatangannya ke sana bukanlah untuk melihat model-model itu, tetapi karena Alesha. Sedangkan ia belum melihat batang hidung gadis itu sedari tadi.
"Pak, Pak, lihat model yang berjalan di runway sekarang." Rio menyenggol-nyenggol heboh lengan bosnya, yang sedang membuang muka dari pusat objek fashion show itu.
Mengikuti arahan Rio, Naresh terkejut bukan main. Mata melotot seperti akan keluar dari tempatnya. Ia pun menelan saliva susah payah. Pandangan terus tertuju kepada gadis yang sedang berlenggak-lenggok di runway. Berpakaian gaun pengantin, memperlihatkan bagian atas dada dan bahunya yang polos putih mulus. Sedangkan polesan make up tidak terlalu tebal melapisi wajahnya, menambah kecantikan gadis itu berkali-kali lipat.
Shit!
Naresh mengumpat dalam hati, rasanya ingin segera menyeret Alesha untuk turun dari catwalk. Meminta penjelas kenapa menjaga jarak dengan dirinya, dan satu lagi. Hukuman. Konsekuensi gadis itu yang melanggar aturan darinya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top