Part 15

Ada pertemuan pasti ada perpisahan. Ada kebahagiaan pasti ada kesedihan. Hal itu mutlak terjadi ketika sedang terpisah jarak, dan kata rindu akan menyapa tanpa diminta. Semakin tumbuh subur ketika nama selalu disebut. Semakin dekat saat wajahnya selalu terbayang dalam benak. Namun, akan kembali menyakitkan lagi ketika tangan tak bisa menggapai. Menyiksa, tersiksa, dan merasa kehilangan.

Alesha merasakan itu sekarang. Ia menyadari akan kehilangan sosok Naresh setelah tiga minggu lalu kembali ke Jakarta. Kesepian, kata itu seakan sudah melekat dalam dirinya ketika sedang berada di apartemen. Naresh jarang menghubungi, mungkin sangat sibuk di sana mengurus pabriknya agar segera pulih.

Duduk melamun di ruang kerjanya, pikiran Alesha kini melayang membayangkan hari di mana ia dan Naresh menghabiskan waktu bersama ketika di Semarang. Walaupun cuma sehari, tetapi terasa lama sekali. Setiap detiknya seakan-akan sangat berharga. Baginya, setelah lima tahun menjalani hari-hari yang terasa monoton, momen bersama Naresh saat itu adalah momen yang paling menyenangkan dan berharga. Ia akan selalu mengingat dan merekamnya dalam memori. Semoga saja tidak menghilang.

Tanpa sadar sudut bibirnya terangkat membentuk senyum simpul. Ia menggeleng-geleng, heran sendiri jadinya. Meskipun sedang dilanda rindu yang menyiksa, Alesha tetap harus bersikap biasa saja. Menekankan hati untuk tidak berlebihan dan terlihat menyedihkan. Sebab, ia tidak ingin dikasihani dan diledek oleh rekan-rekannya, termasuk Diana.

“Maaf, Alesha, klienmu sudah datang.”

Alesha mengerjap mendengar suara rekannya dari ambang pintu. Menegakkan punggung sembari mengubah posisi duduk, ia mengangguk.

“Silakan masuk.”

Klien wanita itu masuk, lantas duduk di depan meja kerja Alesha, memangku tas tangannya.

“Maaf aku telat datangnya, Alesha. Ada pekerjaan yang harus kuselesaikan lebih dulu tadi.”

“Tidak apa-apa.” Alesha tersenyum hangat.

“Jadi, gaun model apa yang ingin kamu pakai saat acara pernikahan nanti?” tanya Alesha to the point.

“Aku belum ada bayangan. Menurutmu, gaun seperti apa yang pas untuk tubuhku ini? Masalahnya badanku lumayan berisi.”

Alesha memperhatikan lekat-lekat postur tubuh wanita di hadapannya. “Boleh berdiri dulu? Maaf, aku harus menilai lebih detail bentuk tubuhmu. Karena untuk pemilihan gaun yang pas dengan ukuran tubuh tentu tidak sembarangan, dan kamu akan terlihat cantik dalam balutan gaun yang tepat,” kata Alesha.

Wanita yang memiliki berat badan sekitar 70 kg dengan tinggi badan sekitar 168 cm itu beranjak. Tidak terlihat gemuk, hanya saja tubuhnya lebih padat berisi. Alesha mulai menilai berdiri di hadapannya dengan satu tangan memeluk perut, serta satu tangan lainnya memegang dagu, mengamati dan memerhatikannya lekat-lekat. Sedikit memiringkan kepala melihat dari atas sampai bawah postur tubuh kliennya tersebut.

“Untuk venue resepsi, apakah memiliki silling ballroom yang tinggi? Kalau memiliki venue luas dan besar, kamu akan cocok memakai gaun dengan desain ball gown,” kata Alesha. Ia melangkah mengitari kliennya, dengan  pandangan mengamati postur tubuh berisi itu.

“Ya, venue yang kami pilih cukup luas dan besar.”

“Cocok. Gaun itu akan menyatu dengan suasana tempatnya dan terlihat semakin elegan. Namun, untuk acara resepsi sendiri bagusnya memakai gaun ball gown yang memiliki ekor panjang. Sedangkan untuk seating dinner lebih sederhana lagi dengan ball gown yang tidak terlalu mengembang dan berekor lebih pendek.”

“Baik, Alesha. Aku ikuti saranmu. Aku percaya pilihanmu tidak akan mengecewakan.”

“Untuk bagian atas, bagusnya hanya sebatas dada atau off shoulder. Ini untuk membebaskan gerakanmu. Apakah kamu nyaman memakai yang tidak berlengan?” tanya Alesha lagi.

“Ya, tentu saja. Aku tidak ingin menyiksa tubuh saat acara sakral nanti. Pastinya aku ingin memakai gaun yang nyaman dan membebaskanku bergerak.”

Alesha mengangguk paham. “Aku akan mengukur tubuhmu lebih dulu. Di sini ada dua model yang harus kurancang, bukan?”

Mengambil meteran dari laci, Alesha mendengarkan jawaban dari kliennya yang mengatakan iya. Ia pun mulai mengukur tubuh wanita tersebut dari lingkar pinggang, lingkar dada, lingkar lengan atas, panjang pinggang sampai punggung dan panjang pinggang sampai dada, serta panjang A line ke bawah, dan mencatatnya di buku khusus klien.

“Kamu boleh duduk kembali. Aku akan mendesain gaunnya, kamu bisa menilai dan memberi masukan jika masih ada yang kurang sreg.”

Alesha mengenyakkan pantat di kursi kebesarannya, lantas mengambil beberapa kertas HVS dari bawah meja. Meraih pensil, tangannya mulai bergerak lincah mendesain gaun sesuai naluri yang ada dalam otak.

Klien wanita tersebut mengamatinya dalam diam. Tidak bersuara maupun menyela pekerjaan Alesha yang tampak serius. Sesekali ia mengitari pandangan ke penjuru ruangan berpendingin. Ada tiga gaun yang menggantung di dekat dinding, serta satu gaun yang terpasang di manekin. Di dinding bercat putih pun terdapat beberapa piagam penghargaan berbingkai, tertata rapi.

Hampir dua jam, dua desain gaun pengantin bergaya bridal modern telah siap Alesha selesaikan. Gadis itu mencondongkan tubuh, menyodorkan dua kertas desainnya kepada sang klien.

“Yang ini untuk acara resepsi.” Ia menunjuk desain yang memiliki ekor panjang. “Bagian pinggang sampai dada full embroidery, bagian A line-nya juga diberi embroidery, tidak full. Terus bagian ekor full embroidery. Sementara bagian punggung menggunakan tali sebagai pengait, ini memudahkan untuk mengatur kenyamanan tubuhmu. Nah, untuk gaun resepsi ini aku memberi gaya off shoulder, berbeda dengan gaun seating dinner-nya.”

Alesha beralih menatap kliennya yang sedang mengamati hasil rancangannya. Memberi waktu sejenak kepada wanita itu untuk menilai, yang tampak berpikir dan mengangguk sesekali. Ia pun melanjutkan penjelasan untuk gaun kedua.

“Untuk gaun seating dinner, bagian pinggang ke dada full swarovski dan lebih simple. Ball gown tidak terlalu mengembang, seperti yang kukatakan tadi.”

Menghela napas panjang, Alesha menarik tubuh. Tangannya meraih botol minuman di meja, segera mungkin meneguk cairan bening itu sampai cukup membuat dahaganya lega.

“Baik, Alesha. Aku menyukai rancangan desainmu.” Wanita itu mengembangkan senyum, setelah menyetujui. “Rasanya sudah tidak sabar menunggu hari H untuk memakainya.”

Membalas senyuman itu, Alesha mengangguk.

“Kalau begitu aku permisi dulu, Alesha. Terima kasih banyak atas waktunya.”

“Ya, sama-sama. Sudah tugasku untuk melayani kalian yang membutuhkan rancangan gaun.”

Setelah kliennya keluar dari ruangan, Alesha membereskan peralatan gambarnya dan mengembalikan ke tempat semula. Ia beranjak, membawa dua kertas desain tadi untuk diberikan kepada Dion, sebagai bentuk laporan.

Mengetuk pintu berwarna putih gading, Alesha masuk ke dalam setelah mendapat sahutan.

“Hai, Al.” Dion yang duduk di kursi kebesarannya, mengembangkan senyum ramah menatap gadis bertubuh ramping itu menghampiri dirinya.

“Selamat siang, Pak.” Mengangguk sopan, Alesha menghempaskan pantat di kursi depan Dion, menyodorkan dua kertas rancangan gaun yang dibawanya.

“Ini ada dua desain gaun permintaan costumer, dibutuhkan enam bulan lagi.”

Dion menerimanya, lalu mengangguk. “Terima kasih, Al. Nanti langsung pasrahkan ke penjahit saja.”

“Iya, Pak. Oh, ya. Hari ini aku mau izin pulang cepat, boleh?”

“Ada urusan penting?”

“Ya, aku ingin menyekar ke makam orang tuaku, meminta doa restu untuk acara fashion show nanti.”

“Baiklah. Mau kuantar?”

“Tidak perlu. Aku bisa berangkat sendiri, Pak. Permisi.” Gadis itu beranjak, mengayunkan kaki menuju pintu.

“Alesha ....”

Belum sampai di pintu, langkahnya terhenti saat Dion memanggilnya. Ia menoleh ke belakang, menatap lelaki memakai kemeja putih terbalut jas biru muda sudah berdiri dan melangkah menghampiri.

“Iya, Pak.”

Memasukkan kedua tangan di saku celana kain, Dion menunduk sejenak. Lalu, mengangkat kepala menatap mata jernih gadis di hadapannya.

“Bagaimana hubunganmu dengan suamimu?”

Terkesiap mendapat pertanyaan itu, Alesha terdiam sejenak setelahnya sedikit mengulas senyum. “Baik,” jawabnya singkat sambil angguk-angguk.

“Secepat itukah perasaanmu diberikan untuk dia, Alesha?” Tersirat nada kesedihan dari ucapan Dion. Lelaki itu menatap Alesha lekat-lekat yang sedang membuang muka.

“Kami sering bertemu dalam satu atap, mungkin itu salah satunya kenapa bisa saling akrab dan melibatkan perasaan.”

“Apa kamu yakin dia benar-benar mencintaimu dan tidak seberengsek dulu? Apa kamu lupa kalau dia memiliki kekasih, bahkan hubungannya teramat romantis? Aku hanya ingin mengingatkan kepadamu, Al. Seorang lelaki kalau sudah bermain dengan wanita, sulit untuk setia pada satu wanita. Kamu paham maksudku, kan? Aku hanya tidak ingin kamu jatuh di tangan lelaki yang salah.”

Dion sudah mendengar kabar kedekatan Alesha dengan suaminya dari Diana. Perempuan itu bercerita beberapa hari lalu. Sungguh, ia juga sangat berat melepaskan Alesha ke tangan pria berengsek tersebut. Namun, tidak mungkin juga ia merebut Alesha dengan cara kotor, yang ada gadis itu akan benci dan muak terhadap dirinya. Baiklah, ia harus sabar menunggu waktu yang tepat.

Sementara itu, Alesha terdiam mendengar ucapan Dion, ditatapnya manekin terpasang gaun pengantin pas body yang terletak di pojok ruangan depan lemari arsip. Ia jadi teringat hubungan Naresh dan Zenya waktu itu. Mereka memang teramat romantis, bahkan terang-terangan bermesraan di depan dirinya dan tidur sekamar. Mengingat itu kembali hatinya berdenyut nyeri, masih sakit rasanya. Tidak menutup kemungkinan jika mereka sudah melakukan hubungan badan, bukan?

Menarik napas panjang, sembari menormalkan rasa yang berkecamuk. Alesha menatap Dion, lalu mengulas senyum tipis sambil mengangguk. “Iya, aku yakin, Pak.” Padahal sesak sekali di dada.

“Aku berharap pria itu tidak mengkhianatimu lagi, Alesha. Aku takut jika itu terjadi.”

Alesha mengangguk, terus menekankan hati untuk tidak terpengaruh ucapan Dion. Walaupun hati dan pikirannya sedikit terusik. “Aku harus pergi sekarang Pak, sebelum hari menjelang sore. Permisi.”

“Tiket kita berangkat pagi, jangan lupa mempersiapkan semua kebutuhanmu, Alesha.”
Sebelum menghilang dari balik pintu, Alesha mengangguk patuh.

***

Melangkah santai menginjak tanah pemakaman, Alesha menuju pusara kedua orang tuanya dengan kedua tangan membawa dua buket bunga serta dua keranjang bunga tabur. Rasanya sudah lama ia tidak menjenguk kedua orang tuanya. Sampai pangling saat melihat dua pusara yang dibuat serapi dan sebagus itu. Gundukan tanahnya diselimuti rumput jepang, tampak indah dan terawat. Ia sangat berterima kasih kepada pengurus pemakaman yang merawatnya sungguh-sungguh.

Berjongkok di antara dua pusara yang bersisian, Alesha menaruh masing-masing buket bunga di kepala pusara. Kedua tangan terulur memegang batu nisan mama dan papanya, membelai pelan batu yang tertuliskan nama keduanya. Tanpa terasa air mata pun mengalir, merasakan kerinduan begitu dalam kepada mereka yang tak bisa digapai lagi.

“Ma, Pa, Alesha kangen sama kalian,” ucapnya, suaranya tercekat di tenggorokan.

Ia memejamkan mata, mengingat memori bersama mereka yang masih terekam jelas. Membuka matanya kembali, Alesha mengulas senyum manisnya.

“Pa, Ma, Alesha sudah menikah dengan Naresh. Kalian pasti bahagia bukan, mendengar kabar ini? Sesuai rencana dan permintaan kalian,” ucapnya lirih, suaranya terdengar parau.

Diam sejenak menjeda ucapannya, ia pun menatap bergantian batu nisan di kanan-kirinya. Kemudian, berkata lagi. “Awalnya, aku terpaksa menerima pernikahan ini, Pa, Ma. Waktu itu kami memiliki masalah yang cukup rumit. Kalian tidak mengetahuinya, karena kami cukup pandai merahasiakan hubungan yang lebih dari sahabat.”

Sunyi, sepi, berbicara sendiri, gadis itu mengembangkan senyum hambar. Namun, masih melanjutkan ucapannya lagi. “Tapi, kalian jangan khawatir, kami sudah baikkan sekarang. Oh, ya. Alesha datang ke sini untuk meminta doa restu kepada kalian, tiga hari lagi Alesha ada fashion show di Bali. Doakan acaranya lancar, Pa, Ma. Dan banyak yang meminati gaun rancangan Alesha.”

Setengah jam menghabiskan waktu di makam, Alesha meninggalkan tempat itu dan kembali ke rumah kakaknya. Entah mengapa, ucapan Dion masih terngiang-ngiang sampai sekarang. Apalagi menyangkut hubungan Zenya dan Naresh yang terlampau jauh, membuat ia enggan untuk menginjakkan kaki di apartemennya saat ini.

Sering kali ia merutuki dirinya sendiri, karena terlalu gampang terlena oleh buaian Naresh. Apakah keputusan yang ia ambil sudah tepat? Memaafkan Naresh begitu saja? Ia benci, tetapi tidak bisa menyangkal jika masih mencintai.

Berbaring di kamarnya yang sudah lama tidak ditiduri, Alesha mengacak rambutnya kasar. Ia membenci pikiran labil seperti ini, tetapi yang diucapkan Dion ada benarnya juga. Bagaimana jika Naresh masih menjalin hubungan dengan Zenya secara diam-diam di belakang dirinya? Bisa jadi, ini rencana lelaki itu untuk membalas dendam. Lalu, setelah ia jatuh ke dalam cintanya kembali, Naresh akan meninggalkan begitu saja. Dengan luka yang sama.

‘Masih ingat bukan? Ancaman lelaki itu untuk membuat dirinya hancur?’

Ponsel Alesha kembali berdering, entah sudah berapa kali Naresh meneleponnya sejak tadi sore. Namun, tidak ia hiraukan. Alesha harus mengembalikan akal sehatnya, dan harus antisipasi mulai saat ini. Kembali ragu itu wajar, melihat bagaimana sifat lelaki itu sebelumnya.

****

Di lain tempat, Naresh mengernyit bingung. Sedari tadi Alesha tidak mengangkat teleponnya, membalas pesan pun tidak. Ia khawatir, takut terjadi sesuatu kepada gadis itu.

“Kenapa lagi, Pak?” tanya Rio, melihat bosnya gelisah tidak tenang.

“Aku takut terjadi sesuatu dengan Alesha. Dari tadi tidak mengangkat telepon dan tidak membalas pesanku.”

“Coba dihubungi lagi.”

“Ini sudah ke dua puluh kali aku menghubungi. Masih sama.”

“Aku tanyakan ke Diana dulu. Siapa tahu dia sedang bersama istri, Bapak.”

“Ya, cepat tanyakan.”

Naresh yang sedari tadi berjalan ke sana-kemari, menghempaskan pantat secara kasar di sofa ruang kerjanya. Matanya dengan awas mengamati Rio berbicara dengan lawan bicaranya di seberang sana.

“Diana tidak bersama Alesha. Dia bilang istri Bapak sudah meninggalkan butik sejak siang, pergi ke makam, dan tidak kembali ke butik lagi.”

“Lalu, kenapa teleponku tidak diangkat? Jika terjadi sesuatu di jalan bagaimana?” Naresh mengacak rambut gondrongnya yang digerai. Frustrasi sekali rasanya. Mana urusan di Semarang belum selesai. Ia bingung harus berbuat apa sekarang.

“Mungkin dia sedang sibuk bersiap-siap untuk ke Bali besok, Pak. Kata Diana, tiga hari lagi acara fashion show gaun rancangan akan diselenggarakan di Bali.”

“Shit! Itu artinya dia bersama bosnya ke sana? Tidak bisa kubiarkan.” Naresh menggeram, dengan hati kembali panas. Ia harus datang ke sana. Jika tidak, rival-nya akan memiliki banyak kesempatan mendekati Alesha.

“Besok kita ke Bali,” pungkas Naresh tiba-tiba.

Rio melongo tak percaya. “Bagaimana dengan urusan di sini?”

“Pikir nanti. Terpenting istriku jauh-jauh dari bosnya.”

“Mereka seperti kita, Pak. Bagaimana bisa berjauhan?”

“Beda. Kita tidak saling tertarik. Sedangkan Alesha, bosnya yang kurang ajar itu terus mendekatinya.”

“Posesifnya kambuh,” lirih Rio.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top