Part 13
Gadis itu tampak lesu dan tak bersemangat saat melakukan aktivitasnya. Semuanya terlihat menjemukan. Jika biasanya ia akan menghasilkan banyak ide untuk mendesain gaun, kali ini pikirannya benar-benar buntu. Berkali-kali ia menggoreskan pensil ke kertas putih polos, berkali-kali itu juga kertas akan berakhir menjadi gumpalan.
“Aargh!” Alesha mengerang frustrasi, melempar kertas ke tong sampah. Lantas, ia menangkup wajah dengan siku menumpu di meja kerjanya.
Lima hari ini, isi kepala hanya Naresh, Naresh, dan Naresh. Alesha membencinya. Kenapa selalu pria itu yang menguasai pikirannya? Itu sangat tidak bagus dan mengganggu konsentrasi kerjanya.
“Hai, Alesha. Ayo, makan siang. Sudah waktunya makan siang.”
Mendengar suara Diana, ia menurunkan tangan. Tatapannya berserobok dengan perempuan yang menyembulkan kepala di ambang pintu.
“Aku belum lapar, Ana,” katanya.
Diana berdecak sebal. Melangkah masuk, ia berdiri di depan meja. “Selalu saja begitu. Kamu harus isi nutrisi agar tidak berubah jadi lidi, Alesha. Apa kata suamimu saat pulang nanti?”
Alesha hanya mengedikkan bahu sebagai jawaban.
“Astaga, Alesha.” Diana geram dan geregetan, melihat sikap cuek gadis berpakaian kaus putih terdapat tulisan sablon warna hitam, yang dipadukan dengan rok bercorak kotak-kotak hitam-putih selutut. Mendekati Alesha, ia pun menarik paksa lengannya.
“Aku memaksamu dan aku sudah sangat lapar, Alesha. Aku seperti orang hilang kalau makan sendiri di restoran.”
Dengan terpaksa dan kasihan, Alesha pun pasrah. “Sebentar, aku ambil jaketku dulu.”
Diana melepaskan genggaman, membiarkan Alesha mengambil jaket kulit warna hitam yang menggantung, lalu memakainya. Setelah siap, gadis itu menyambar tas Chanel warna putih bertali rantai warna emas, sangat matching dengan sepatu dan kausnya yang memiliki warna senada. Kemudian, mereka keluar ruangan menuju restoran yang tak terlalu jauh dari butik. Alesha sedang malas bergerak banyak, katanya.
“Aku tahu, kamu sedang merindukan suamimu, bukan?” tanya Diana, bertepatan dengan pelayan yang mengantar pesanannya.
“Hah? Tidak. Tidak. Bukan itu,” elaknya sambil menggeleng. “Aku memang sedang malas saja melakukan aktivitas apa pun. Mungkin karena sering memforsir tenaga untuk menyelesaikan pekerjaanku. Kamu sendiri tahu, beberapa minggu ini aku dibuat kalang kabut oleh desain-desain busana. Aku jarang ambil istirahat, jadi wajar jika imunku menurun.”
Diana tidak gampang dibohongi. Mau Alesha mengelak pun, ia bisa membaca raut wajah gadis yang sedang mengunyah spageti. Dari sorot matanya saja sudah terlihat jika Alesha sedang kesepian dan sedih. Ya, bisa ditebak jika gadis itu sedang merindukan suaminya.
Walaupun Alesha memberi tahu jika pernikahannya itu karena perjodohan, bukan karena cinta. Namun, ia paham, sesungguhnya Alesha memiliki perasaan lebih kepada Naresh. Hanya saja gadis itu malu untuk berterus terang.
“Setelah malam itu kamu tahu, Alesha?”
“Apa?”
“Aku belum selesai bicara.” Diana melahap sepotong steak-nya. “Pak Dion terlihat sangat cemburu. Apalagi ketika suamimu terang-terangan mengecup bibirmu. Dia murka sekali, wajahnya saja sampai merah padam.”
“Aku tidak tahu, dan baru tahu sekarang.”
“Setelah hari itu dia langsung pergi ke Bali. Entah untuk liburan atau meredakan patah hatinya.”
“Jangan berlebihan, Ana. Mungkin dia sedang mengurus pekerjaan di sana. Apalagi fashion show ini, nanti digelar di sana. Jadi, wajar jika dia pergi ke sana mempersiapkan semua yang harus diurus. Kita saja masih kekurangan model.”
“Pekerjaan, mungkin hanya sebagai tameng untuk menutupi patah hatinya.”
“Cenayang kamu?” Alesha menatap Diana sekilas, lalu beralih ke piring yang masih ada separuh spageti aglio olionya.
“Dia sudah lama jatuh cinta kepadamu, Alesha. Sebenarnya kasihan, sih, selalu mendapat penolakan darimu.”
“Cinta tidak bisa dipaksakan. Itu masalah hati.”
“Ya, ya, ya, I know. Karena kamu sudah memiliki hati yang harus dijaga, bukan?”
Sungguh, Alesha sangat membutuhkan lakban saat ini juga, untuk menutupi mulut Diana yang sedari tadi memojokkan dirinya. Perempuan itu benar-benar seperti cenayang, yang bisa membaca pikiran orang.
“Makanlah, jangan bicara terus. Aku ingin kembali ke butik lagi. Butuh ketenangan, pusing mendengar pertanyaan unfaedah darimu ini.”
Ucapan Alesha yang terdengar sarkas, tidak membuat Diana marah. Ia justru menyengir tanpa merasa bersalah. Menyeruput jus alpukat, setelahnya ia mengitari penjuru restoran dengan tempat duduk semacam kubikel, memiliki sekat setiap mejanya. Interior Restoran Italia itu mengusung desain modern classic dengan dominasi warna hitam dan pelitur. Ada beberapa lukisan yang terpajang di dinding, yang membuat restoran itu semakin hidup. Ya, pantas saja banyak pengunjung berdatangan, tempatnya pun terasa nyaman.
Terbersit ide dalam benak, Diana meraih ponsel yang ia taruh di meja. Ibu jari segera menari-nari di layar, membuka galeri, lalu mengirimkan foto Alesha kepada Rio, yang ia bidik sebelum masuk ke restoran tadi.
[Rio, tolong bilang sama bosmu, istrinya sangat merindukan dia. Lihat, wajahnya memelas sekali. Senyumnya sangat dipaksakan, bahkan dia sengaja memejamkan mata waktu berpose, supaya tidak terlihat sedih.]
Pesan terkirim, Diana pun tersenyum bangga. Tidak berapa lama, balasan pesan dari Rio masuk ke ponselnya.
[Sama saja, Diana. Bosku juga banyak melamun. Apalagi kasus kebakaran ini masih belum diketahui penyebabnya apa, pihak polisi masih berusaha mencari bukti-bukti. See! Tampangnya memelas sekali. Belahan hati di sana, jantungnya di sini]
Diana terkikik membaca pesan Rio, yang disertai foto Naresh sedang duduk melamun.
[Astaga! Dua orang ini sama-sama memendam rindu. Kira-kira kapan kalian balik ke Jakarta?]
Diana meletakkan ponsel ke meja kembali, tetapi belum ada satu menit ponsel sudah bergetar.
[Belum tahu. Sepertinya akan lama di sini. Menunggu hasil penyelidikan dari polisi. Mengurus kerugian pabrik yang sangat fantastis. Memikirkan ribuan karyawan yang terpaksa diberhentikan kerja. Juga, bosku masih memikirkan pembangunan pabriknya kembali. Itu memakan waktu lama sekali.]
Diana menautkan kedua alis, tampak berpikir. Melihat foto Naresh, kemudian beralih menatap Alesha yang masih sibuk dengan makanannya.
[Aku ada ide. Besok kami memiliki hari libur selama dua hari. Bolehkah, minta alamat tempat kalian tinggal di sana? Kita harus memberi surprise untuk mereka.]
“Ana, kamu kenapa senyum-senyum sendiri?”
Pertanyaan Alesha membuat Diana terkesiap. Perempuan itu mendongak, menatap sahabatnya yang sedang mengernyitkan dahi. Menggeleng pelan, ia pun berkata, “Tidak ada. Aku lagi bahagia saja, Alesha. Baru dapat kabar dari adikku, katanya dia baru melahirkan, anaknya cewek. Apa kamu mau menemaniku pulang kampung? Tapi, perjalanan cukup jauh.”
“Of course. Aku akan menemanimu ke sana.” ‘Daripada di apartemen aku kesepian. Lebih baik ikut Diana, tidak buruk untuk mengalihkan pikiran dari Naresh.’
Keesokan paginya, Diana dan Alesha sampai di tempat tujuan setelah semalam melakukan perjalanan panjang dari Jakarta-Semarang. Langit masih sedikit gelap dan menampilkan warna kemerahan dari arah timur, matahari juga masih malu-malu untuk menampakkan wujud. Saat ini baru jam setengah lima, dan perjalanan mereka bisa dikatakan lebih cepat saat melewati jalur tol.
Memasuki kota Semarang yang padat akan penduduknya, Alesha bisa melihat beberapa gedung berdiri di pinggiran jalan, tetapi tidak terlalu tinggi seperti di Jakarta. Jalanannya juga masih sedikit lengang, belum banyak kendaraan pribadi melintas. Bahkan, ia juga hanya mendapati beberapa bus yang berpapasan tadi. Namun, Alesha sangat yakin siang sedikit saja jalanan ini sudah padat kendaraan karena banyaknya pabrik yang berdiri. Ia juga melihatnya tadi, ada pabrik rokok, makanan ringan, dan pabrik-pabrik lain yang tidak ia ketahui namanya. Pantas saja keluarga Naresh juga mendirikan pabrik di sana, lahannya memang luas dan Semarang ini seperti memiliki julukan kota produksi.
Mobil Diana kini melaju memasuki area gedung bertuliskan Panda Hotel. Alesha mengernyit dan bertanya-tanya dalam hati. Kata perempuan yang sedang mengemudi itu, katanya akan ke rumah saudaranya. Namun, kenapa justru ke hotel?
“Untuk apa ke sini?” Akhirnya Alesha melemparkan pertanyaan saat Diana memarkirkan mobilnya di pelataran hotel.
“Istirahat di hotel dulu, Al. Lelah banget soalnya. Kalau langsung pulang pasti ramai orang di sana, gak enak,” jawab Diana, lantas keluar dari mobilnya, diikuti Alesha.
Mereka berjalan beriringan memasuki lobi, tetapi Alesha merasakan keanehan lagi. Diana tidak melakukan check-in ke resepsionis dan berlalu begitu saja menuju lift.
“Kita tidak check-in dulu?” Alesha bertanya lagi sambil memasuki lift, ditarik Diana.
“Tidak perlu. Adik iparku sudah membantu mengurus semuanya. Kita tinggal terima beres. Kamar kita ada di lantai sepuluh.”
Alesha mengangguk, pasrah saja. Tidak berapa lama lift pun sampai di lantai sepuluh. Lantai berlapis karpet warna cokelat terang dan gelap itu menjadi pemandangan pertama saat pintu lift terbuka. Menginjaknya, mereka mulai menyusuri koridor mencari nomor kamar yang dituju.
Lagi dan lagi, Alesha hanya pasrah mengikuti langkah Diana. Rasanya ia seperti anak hilang yang tidak tahu apa-apa.
“Nah, ini kamarnya,” kata Diana melihat nomor 326 kamar tujuan. Ia memencet bel, lalu menginstruksi Alesha berdiri di depan tembok, tidak menghadap pintu bercat hitam.
“Kenapa harus di sini?” Alesha bingung lagi. Sahabatnya memang sangat aneh.
“Udah, nurut aja.” Diana tidak ingin rencananya gagal. Di daun pintu itu ada lubang untuk mengecek luar, bisa saja Naresh melihatnya lebih dulu.
Menunggu hampir lima menit, akhirnya pintu terbuka dari dalam. Diana yang melihat orang itu untuk pertama, mengembuskan napas lega. Tidak salah sasaran. Ia pun menarik lengan Alesha, lalu mendorongnya ke dalam.
“Selamat bersenang-senang, Alesha!” seru Diana langsung melesat begitu saja.
Sementara dua orang itu tertegun, tatapannya melongo. Alesha belum bisa berkata apa-apa saking terkejutnya.
“Al,” panggil Naresh lirih. Ia masih tak berkedip menatap gadis yang ia rindukan telah di hadapan.
Ada yang pernah mengalami serangan jantung dadakan? Seketika dada berdebar tak karuan dalam waktu cepat, napas terasa sesak, serta otak blank tiba-tiba. Dan itu yang Alesha rasakan sekarang. Jantungnya seperti akan copot dari pertahanan saking kencangnya berdebar.
Mendongak menatap wajah lelaki yang ia rindukan selama lima hari ini, Alesha bingung harus bagaimana. Ia masih bungkam, mulut seakan-akan terkunci rapat. Kaku dan susah digerakkan.
“Kamu datang ke sini?” Naresh bersuara lagi. Kali ini mampu membuat kesadaran Alesha kembali sepenuhnya, gadis itu mengerjap.
“Anu ... itu ....” Alesha tergagap, bibirnya bergetar. Ia pun merasakan telapak tangannya dingin sekarang.
Tidak butuh jawaban Alesha, Naresh menutup pintu, lalu menarik tubuh gadis itu ke pelukan. “I miss you so much,” katanya.
Alesha masih diam, sebelum akhirnya membalas pelukan Naresh. “I miss you, too,” lirihnya, entah lelaki itu mendengarnya atau tidak.
“Aku tidak mimpi, kan? Ini benar-benar kamu, Alesha?” Pasalnya lelaki itu baru saja bangun tidur, garis-garis bantal masih tercetak jelas di wajahnya, dan yang ia takuti ini hanya mimpi.
Alesha mengangguk. “This is real, I am.”
Naresh mengurai pelukan, menangkup wajah gadis itu ditatapnya lekat-lekat sembari mengulas senyum. Lalu, membimbing Alesha menuju sofa, duduk bersebelahan.
“Kok, tahu kamarku sini?” tanya Naresh.
Alesha yang menatap tumpukan majalah di meja menoleh ke arah suaminya. Lantas, menggeleng. “Aku tidak tahu, tapi Diana yang tahu.”
“Ini pasti rencana Rio sama temanmu itu. Mereka memang sedang dekat akhir-akhir ini,” kata Naresh, sambil menggenggam tangan istrinya.
“Siapa Rio?”
“Sekretarisku.”
“Mereka bersekongkol?”
“Ya, bisa jadi.”
“Awas saja nanti Diana. Dia bilang adiknya lahiran, ternyata ....”
“Tidak apa-apa. Aku senang kamu ke sini. Maaf kalau aku belum bisa pulang.” Naresh meremas genggamannya.
Alesha mengangguk. “Aku mengerti.”
“Apa kamu jarang makan? Wajahmu semakin tirus.” Naresh menangkup sebelah wajah gadis itu, mengusap pelan. Memang terlihat lebih tirus dari sebelum-sebelumnya.
“Makan, kok.”
“Aku tahu kita sedang jauhan. Tapi jangan menyiksa diri. Aku tidak ingin kamu kenapa-kenapa.”
Alesha mengangguk. Setelah ia pikir, ini kali pertama setelah sekian lama ia banyak bicara dengan Naresh tanpa amarah yang mengiringi. ‘Apa hatiku sudah benar-benar menerimanya kembali?’
Ia mengamati wajah lelaki itu yang masih terlihat berantakan. Memakai kaus oblong warna putih tanpa lengan serta celana sport.
“Kangen, hem?” tanya Naresh, menyadari Alesha mengamatinya tanpa kedip. Tanpa aba-aba ia memajukan kepala mencium bibir Alesha, lalu memagutnya pelan.
Terkesiap, Alesha tidak bereaksi apa-apa. Tanpa sadar ia mengalungkan kedua lengan ke leher Naresh sembari memejamkan mata. Membalas ciuman lelaki yang mampu meluluhlantakkan hatinya. Bahkan, ia juga tidak membantah ketika tubuhnya diangkat ke pangkuan lelaki itu.
Merasakan pasokan oksigen menipis, Naresh melepaskan ciuman. Napas keduanya tersengal-sengal. Kemudian, lelaki itu membubuhkan kecupan-kecupan ringan ke bibir tipis itu. Ia tidak butuh pengakuan jika Alesha sudah memaafkan dirinya. Dari reaksi gadis itu, ia sudah tahu jika Alesha sudah membuka hatinya kembali untuk dirinya.
“I love you more than you love me,” ucap Naresh, lantas memeluk gadis dalam pangkuannya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top