Part 12
Sinar mentari menyusup melewati celah gorden. Gadis yang masih bergelung dalam selimut tebal itu mengerjap. Ia menggeliat pelan. Namun, sesaat kemudian, tertegun ketika merasakan berat di bagian pinggangnya. Melirik ke bawah, ia mendapati lengan kekar melingkar di sana. Seketika, senyum pun mengembang di bibirnya yang tipis. Ia teringat, semalam Naresh memeluknya begitu posesif, memberikan rasa nyaman sampai tidurnya terlelap sangat nyenyak. Dan lihatlah, bahkan, pagi ini ia masih dalam posisi yang sama, membelakangi lelaki itu.
Membalikkan tubuh perlahan, ia menatap wajah berahang tegas yang memiliki hidung mancung, bulu mata lentik, serta alis yang tebal. Bahkan, ia bisa melihat jelas tahi lalat di bibir bawah lelaki itu. Ya, bibir yang selalu membubuhkan ciuman sampai ia seperti terkena serangan jantung dadakan.
Tanpa sadar, tangannya terangkat menyingkirkan rambut gondrong milik lelaki itu yang berantakan menutupi wajah. Gerakannya sangat pelan dan hati-hati, takut jika sampai sang empunya terbangun. Kemudian, ia mengamati setiap jengkal pahatan wajahnya. Tidak bisa dipungkiri Naresh memanglah sangat tampan dan memesona. Kadar ketampanannya pun semakin bertambah ketika sedang terlelap seperti itu, sama sekali tidak memperlihatkan wajahnya yang tegas, dingin, dan angkuh.
Kini tangannya beralih membelai wajah lelaki itu. Alesha berjingkat saat sentuhan jemarinya bergesekan dengan kulit pipi Naresh yang terasa dingin. Hatinya bergetar, seperti tersengat listrik bertegangan tinggi menjalar ke seluruh tubuh.
'Astaga! Kenapa aku berani sekali membelai pipi ini? Ingin menyudahi, tetapi enggan untuk menjauhkan tangan. Pipi Naresh teramat mulus dan lembut, bahkan tidak ada jerawat satu pun yang menghias wajahnya.'
Sementara Naresh yang merasakan elusan lembut itu hatinya menghangat. Ia membiarkan Alesha bergerak sesukanya. Sedangkan mata masih terpejam, pura-pura tidur. Sepertinya ia harus menunggu beberapa menit untuk bangun, tidak akan merusak pagi hari istrinya yang ... cukup indah mungkin.
"Kenapa berhenti?" tanya Naresh bersuara parau, saat tangan Alesha berhenti mengelus wajahnya. Membuka mata, ia tertegun melihat wajah terkejut gadis itu yang melongo dengan bibir terbuka.
'Ya Tuhan, godaan pagi-pagi. Rasanya ingin mencecapnya sekarang juga.'
Naresh terdiam, fokus memandang bibir ranum itu. Tanpa perintah, ia mendorong tubuh Alesha, lantas menindihnya. Tatapannya berserobok, sedetik kemudian ia menyatukan bibirnya ke bibir gadis itu. Awalnya hanya mengecupi dan mencecapnya biasa. Namun, melihat Alesha tidak menolak, ia semakin memperdalam ciumannya.
Sementara Alesha, ia lebih memilih memejamkan mata rapat. Merasakan sensasi aneh dengan debaran jantung yang tak karuan. Pagutan Naresh begitu memabukkan. Lelaki itu dengan lihainya memperlihatkan bagaimana cara berciuman. Ya, kini Alesha seperti dibawa terbang ke awan dan tak ingin mendarat. Ia terhanyut dalam pagutan lelaki itu. Tanpa sadar, jika sekarang tangannya sudah mengalung di leher Naresh. Ia membalas ciumannya.
Semakin lama, gairah dalam tubuh semakin mendamba lebih. Gadis itu mencengkeram rambut Naresh, menggeliat geli saat bibir lelaki itu menyusuri leher jenjangnya.
'Astaga! Kenapa aku bisa segila ini. Damn it, Naresh!' Alesha masih sangat sadar, tetapi akal sehat sudah melayang. Ia hanya bisa mengumpat dalam hati.
Kegiatan mereka pun terhenti saat mendengar suara dering ponsel dari nakas. Merasa terganggu, sumpah serapah Naresh lontarkan dalam hati, dan berjanji akan membunuh orang yang sedang mengganggunya sekarang!
Meraih ponsel yang terus berbunyi dengan malas, ia langsung menyambungkan sambungan telepon tersebut, tanpa menyingkirkan tubuh dari atas Alesha.
"Halo," sapanya, malas.
"Halo, Pak. Ada kabar buruk dari pabrik furnitur Semarang," ucap Rio, dari seberang sana.
"Kabar apa?" tanya Naresh, sembari mengecupi pipi Alesha dengan gemas.
"Pabrik di Semarang mengalami kebakaran. Tidak seluruhnya, tetapi mengalami kerugian besar."
"Apa?!" pekik Naresh. Ia mengguling langsung beranjak dan duduk di tepi ranjang. Wajahnya pias seketika. "Kenapa bisa terjadi kebakaran?!"
"Untuk penyebabnya masih dalam penyelidikan, Pak."
"Hari ini kita berangkat ke sana. Meninjau langsung ke lokasi."
"Baik, Pak. Aku pesankan tiket pesawat dulu untuk mempersingkat waktu."
"Ya, segera." Naresh memutuskan sambungan telepon, menggenggam erat sambil memukul-mukulkan pelan ke pahanya.
Alesha yang masih terbaring, mengernyit, ia menatap bingung kepada Naresh. "Ada masalah apa?" tanyanya bersuara parau.
Naresh menoleh ke belakang. "Aku harus ke Semarang hari ini, Al. Pabrik furnitur di sana mengalami kebakaran."
Alesha terkesiap. Ia terdiam mendengarnya, merasa sedih akan ditinggal pergi oleh Naresh. 'Astaga, Alesha! Kamu sangat berlebihan sekali.'
***
Seperti yang sudah Alesha duga semalam, Diana pasti akan memberondong banyak pertanyaan kepada dirinya. Sedari tadi perempuan itu terus mengikuti dirinya, seperti tidak ada pekerjaan yang lebih penting dari ini.
"Stop! Kamu membuatku semakin penasaran, Alesha. Sesungguhnya ada hubungan apa antara kamu dan dia?" Sudah ke sekian kali Diana bertanya hal yang sama, tetapi Alesha masih bungkam.
"Hubungan kalian terlihat serius. Kenapa saat pertama bertemu pria itu bersama kekasihnya, tapi dirimu pura-pura tidak mengenalnya?"
Alesha belum menjawab lagi, justru sibuk merapikan kertas pola yang berantakan di meja kerjanya.
"Jangan membuatku semakin penasaran dan melayangkan bogeman mentah untuk pria itu lagi, Alesha."
Gerakan tangan Alesha terhenti. Ia menatap Diana yang duduk di kursi tamu, melemparkan tatapan menuntut jawaban darinya. "Kamu memukulnya? Kapan?"
"Semalam waktu di kamar hotel. Dia menyanderamu di sana. Berengseknya lagi dia hanya memakai kimono. Ayo, katakan padaku, kalian sudah melakukan, ya?"
Alesha menyandarkan punggung pada kepala kursi, menatap Diana lekat-lekat. Perempuan itu memiliki sifat keingintahuan yang tinggi. Tidak akan menyerah sebelum mendapat satu jawaban pasti. Dan akan terus menuntut jawaban dari pertanyaan yang mengusik pikirannya.
"Lihat, bahkan lehermu saja ada cupangnya."
Refleks, Alesha memegang leher yang sudah diberi plaster. Sebelum berangkat kerja ia sudah menyiapkan segala sesuatu untuk menutupi bekas cupang itu. Ia pikir bisa berhasil untuk mengelabuhi orang-orang. Namun, ternyata tidak dengan Diana yang begitu jeli.
Menghela napas panjang, Alesha memikirkan keputusan untuk berkata jujur kepada Diana. Akan disembunyikan bagaimana pun, ia sudah tertangkap basah.
"Kami sudah menikah."
Waktu seakan berhenti detik itu juga. Diana tercengang mendengarnya. Ia pun masih mencerna ucapan dari Alesha.
"Menikah?" tanyanya membeo setelahnya.
"Ya, kami sudah menikah. Kami dijodohkan, makanya masih bersifat rahasia. Tepatnya aku yang meminta pernikahan ini tidak dipublikasikan."
Suasana tampak serius. Diana benar-benar ingin tahu banyak hal tentang itu. Membenarkan posisi duduk, ia sedikit mencondongkan punggung ke depan dengan kedua lengan menumpu di meja.
"Lalu, perempuan di restoran itu?"
"Dia memang kekasih Naresh. Tapi, sekarang sudah tidak lagi menjalin hubungan katanya."
"Rumit hubungan kalian."
Alesha mengedikkan bahu.
"Jadi, itu alasanmu tidak menerima pernyataan cinta dari Pak Dion?"
"Salah satunya."
"Okay, I see!"
"Semalam kenapa bisa tahu kamar kami?"
Diana menyengir kikuk. Ia jadi teringat soal Rio. Semalam, pria itu begitu perhatian, ketika sedang menenangkan amarahnya yang memuncak.
"Melamun."
"Anuu, itu Alesha. Aku ... tahu dari sekretaris suamimu."
Alesha mengernyit, ia belum paham.
"Pria yang datang bersama suamimu kemarin."
"Oh." Alesha mengangguk paham. "Sudah mendapat jawaban dariku, 'kan? Sekarang lanjutkan pekerjaanmu, Ana. Biar tidak dituduh makan gaji buta saja."
***
Malam hari Alesha merasa kesepian. Di apartemen, ia hanya seorang diri, sedangkan Naresh entah kapan akan kembali dari Semarang, katanya sampai urusannya selesai di sana.
Berdiri di ruang tamu depan dinding kaca, Alesha menatap hamparan kota Jakarta yang tampak menakjubkan. Disaat bersamaan juga, ia teringat akan Zenya. Dulu, perempuan itu yang selalu membuat ramai apartemen ini. Yeah, walaupun dengan suara makian yang sering ia dengar. Terbersit dalam benak, ia pun memikirkan keadaan Zenya. Bagaimana kondisi perempuan itu sekarang, setelah Naresh memutuskan hubungannya?
Merenung dengan pikiran yang tak menentu, Alesha mengibaskan tangan. Tidak guna sekali mengingat perempuan yang selalu membuat amarahnya memuncak jika sedang bersama.
Sementara itu, di Semarang, Naresh baru saja pulang dari pabrik setelah melakukan meeting panjang bersama para karyawannya. Kepala terasa pusing karena barang yang ludes terbakar hampir lima puluh persen. Namun, ia cukup beruntung tidak ada korban jiwa yang dilalap si jago merah.
Memasuki kamar hotel tempat ia menginap, Naresh melonggarkan dasi yang terasa sesak. Kemudian, menghempaskan pantat ke sofa warna putih, satu kaki ia angkat ditumpukan pada sebelah kakinya.
Mengingat keadaan Alesha, ia pun merogoh saku celana mengambil ponsel. Lantas, segera menghubungi gadis itu via video call. Belum ada sehari, tetapi rindu sudah menyelimuti. Berlebihan! Namun, lucu juga rasanya. Padahal kemarin malam ia dan Alesha belum akur. Masih terhalang sekat seperti susah ditembus.
Membayangkannya, Naresh senyum-senyum sendiri. Kepalanya menggeleng-geleng, sangat yakin jika ada yang melihatnya pasti akan mengatai dirinya tidak waras. Tak apa, ia sedang gembira meski sedang tertimpa bencana besar. Ya, itu karena Alesha, gadis kecilnya.
'Ah, menjadi orang kasmaran ternyata menyenangkan juga, berasa kembali ke usia remaja lagi.'
Ia masih menunggu Alesha mengangkat teleponnya. Tidak berselang lama, wajah gadis yang sedang dirindukan itu muncul dari balik layar, tampak kikuk wajahnya. Menggemaskan sekali.
"Kamu sedang apa?"
Alesha terlihat menggaruk tengkuk. "Eehm, aku hanya bersantai saja, baru selesai mandi."
Naresh mengangguk melihat handuk putih yang dibelitkan ke kepala gadis itu.
"Maaf, harus meninggalkanmu sendiri di apartemen, Al. Sepertinya aku akan lama di sini, kebakarannya lumayan parah ternyata."
Di balik layar Alesha mengangguk dengan raut wajah yang sulit ditebak. Terlihat datar, tetapi sorot matanya menahan kesedihan.
"Ya, terserah kamu. Tidak ada kamu juga aku tidak akan mati," balasnya sarkas.
Naresh mengembangkan senyum manis. See! Jika dalam keadaan sadar Alesha akan bertingkah ketus. Berbeda sekali dengan pagi tadi, yang sama-sama menginginkan saat melakukan ciuman panasnya.
"Jaga dirimu baik-baik di sana. Jangan terlalu dekat dengan bosmu." Ada jeda sebentar. Naresh mengamati raut wajah Alesha, ada rasa iba melihat wajah sedih gadis itu. "Aku akan usahakan masalah di sini bisa cepat selesai dan bisa cepat pulang."
Alesha hanya mengangguk sebagai jawaban.
"Sudah malam, kamu tidur, ya. Aku juga mau mandi, gerah sekali rasanya."
Lagi dan lagi, Alesha hanya mengangguk.
"Have a nice dream, Sweety." Naresh melambaikan tangan sembari mengembangkan senyum. Lantas, memutuskan sambungan teleponnya.
Sementara Alesha menitikkan air mata. Rasanya seperti ada yang hilang dari hatinya. Perpisahan dan jarak, yang entah kapan akan bersatu kembali. Dan selalu saja begini, seakan-akan waktu pun sangat sungkan untuk melihat dirinya bersama dengan Naresh.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top