[5] Terkurung
Malam ini Lori pergi ke kelab malam seperti malam-malam sebelumnya. Namun, yang membedakan malam ini dengan malam sebelumnya yaitu, ia ke sana bukan untuk bekerja, melainkan untuk mengajukan tentang pengunduran dirinya.
Ia ingin segera terbebas dari kukungan Rosita karena sejak wanita itu menampilkan sisi iblisnya kemarin, ia sadar jika wanita itu tak sebaik rupanya selama ini. Dia berbuat baik kepadanya karena ia selalu mendapatkan uang yang banyak ketika sedang bersama Chris. Dan sialnya, ia baru menyadarinya sekarang.
Dan kini, Lori sudah duduk berhadapan dengan Rosita di ruangan wanita itu. Ia tampak menjilat bibirnya untuk membasahinya sebelum membuka suaranya. Rosita yang sedang duduk di hadapannya sambil menghisap rokoknya tampak sabar menunggunya.
"Katakan saja, Lori," ujar Rosita ketika ia sudah tidak sabar lagi menanti kalimat yang akan di sampaikan anak kesayangannya itu.
"Aku... aku ingin berhenti bekerja denganmu," ucap Lori, terselip nada gugup di dalamnya. Pasalnya, ia takut jika Rosita menganggapnya sebagai orang yang tak tahu balas budi. Sejahat apa pun wanita itu, setidaknya ia pernah membantu masa-masa sulitnya ketika ia pertama kali datang ke kota ini.
Rosita mengangkat sebelah alisnya. Ia meletakkan rokok yang masih separuh itu ke dalam asbaknya lantas mematikannya. Pandangannya kembali beralih ke arah Lori. Ia menatap lekat wanita cantik itu sambil bertopang dagu.
"Apa yang membuatmu ingin berhenti?"
Lori menggigit bibir bawahnya. Rasa gugup semakin membuat pikirannya sibuk dengan urusannya sendiri sampai-sampai membuatnya bingung harus memberi jawaban seperti apa untuk menjawab pertanyaan yang di ajukan oleh Rosita.
"Aku hanya tak ingin Jordan mengetahui tentang pekerjaanku ini. Sejak awal aku menerima perjodohan yang kau buat karena aku pikir kau sudah memberitahunya tentang pekerjaanku ini. Dan aku tidak mau mengkhianati pernikahanku nantinya."
Rosita menaikkan sebelah alisnya. Tawa sinis keluar dari bibirnya yang merah. Ia menyandarkan tubuhnya pada punggung kursi dengan kedua tangan yang menyilang di depan dada. "Kau jatuh cinta dengan putraku?"
Pertanyaan yang tak Lori duga itu sungguh membuatnya terkejut bukan main. Jujur saja, sejak pertama kali ia melihat senyum Jordan, entah kenapa di detik berikutnya, ia merasa bahwa pria itu sudah mengisi ruang hatinya yang selama ini ia biarkan kosong. Saat itu pula ia menganggap Jordan adalah jodoh yang di berikan Tuhan untuknya sehingga ia mau-mau saja menikah dengannya.
Tawa sinis Rosita kembali terdengar, membuat Lori yang tadinya menunduk karena sibuk memikirkan jawaban atas pertanyaan wanita itu, akhirnya mengangkat kepalanya dan ia langsung bertemu dengan Rosita yang menatapnya rendah.
"Ternyata benar kau telah jatuh cinta dengan putraku," ucap Rosita dengan nada sinisnya yang tak ia sembunyikan sedikit pun.
Lori sedikit memiringkan kepalanya. Sudut bibirnya tertarik ke atas, membentuk sebuah senyuman, namun, senyuman tersebut tak sampai ke matanya. Sungguh, Lori benar-benar tak suka jika seseorang menatapnya rendah. Rasa ingin melawan langsung memenuhi dirinya saat itu juga. "Memangnya kenapa kalau aku jatuh cinta dengan putramu? Bukannya kau sendiri yang menjodohkanku dengannya?"
Mendapat kalimat tajam serta senyuman yang tampak sedang meremehkannya itu, membuat Rosita langsung menegakkan punggungnya seraya menggeram marah. Rasa menyesal tiba-tiba saja menghantui dirinya karena ia dengan bodohnya memilih Lori sebagai calon menantunya. Ternyata wanita itu sama saja.
"Jangan lupa dengan dirimu yang dulu, Lori. Kau tidak ingat betapa baiknya aku padamu? Kau datang ke sini untuk mencari saudaramu untuk meminta bantuan yang malah berakhir dengan dirimu yang di usir. Lalu, kau datang kepadaku malam itu. Kau memohon kepadaku agar aku memberikanmu pekerjaan. Dan terakhir, aku menerimamu dan bahkan membiayai pengobatan Ibumu serta membiayai sekolah adikmu. Aku bahkan membiayai pembangunan kembali rumahmu yang telah menjadi debu akibat kebakaran," ucap Rosita menggebu-gebu seraya menahan amarahnya.
Lori terdiam. Apa yang di katakan Rosita semuanya benar. Saat itu ia datang ke kota ini untuk mencari saudaranya yang bisa menolongnya dari keterpurukan yang sedang di alaminya. Namun, yang ia dapat malah sebuah makian tajam dan akhirnya ia di usir dengan paksa. Menyedihkan sekali.
Dan malam itu, ia tak tahu harus tinggal di mana. Rasa putus asa membuatnya melangkah dengan enteng menuju sebuah kelab malam yang tak jauh dari tempatnya berpijak saat itu. Ia sempat membuat keributan di luar kelab dengan penjaganya karena ia tak di perbolehkan untuk masuk.
Alhasil, Rosita yang mendengar keributan itu langsung berlari ke depan. Ia melihat Lori yang saat itu tampak lusuh dengan air mata yang terus keluar membasahi wajahnya. Ia memohon-mohon kepada Rosita untuk memberikannya pekerjaan, apa pun itu. Dan sejak saat itulah Lori terikat dengan Rosita.
Lori mengusap wajahnya frustasi. Ia tak tahu lagi harus melakukan apa. Di satu sisi, ia ingin terbebas dari pekerjaannya. Namun, ia juga tak ingin di anggap sebagai orang yang tidak tahu balas budi oleh Rosita.
"Tidak usah khawatir. Setelah kau menikah dengan Jordan, aku akan langsung memecatmu dan kau tidak akan bekerja di sini lagi."
Mendengar kalimat tersebut, Lori langsung mendongakkan kepalanya untuk menatap Rosita. Dan kali ini, wanita itu sudah kembali menampilkan wajah lembutnya yang selalu membuatnya merasa di sayangi.
"Benarkah?" tanya Lori yang langsung di sambut dengan anggukkan kepala oleh Rosita. "Berjanjilah, Rosita."
"Aku berjanji."
Lori mendesah pelan seraya menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Ada rasa lega yang menghinggapi hatinya walau hanya sedikit. Mungkin begini lebih baik. Setidaknya ia akan tetap keluar dari kukungan Rosita walau hari ini ia masih harus melaksanakan pekerjaannya.
"Sudah, tidak usah terlalu di pikirkan. Aku akan mengusahakan agar Jordan tak mengetahui tentang pekerjaanmu ini. Cepatlah bersiap. Chris hari ini datang ke sini langsung hanya untuk menjemputmu," ucap Rosita seraya mengedipkan sebelah matanya ke arah Lori.
Lori kembali mendesah pelan. Ia bangkit dari duduknya lantas pamit kepada Rosita untuk menemui Chris dan melaksanakan kembali pekerjaannya.
•••••
Setelah membayar ongkos taksinya, Lori segera berjalan dengan langkah lebar menuju apartemennya. Pasalnya, setelah Lori bangun dari tidurnya, ia mendapat pesan dari Jordan bahwa pria itu sudah berada di apartemennya. Dan sama seperti kemarin, ia langsung pamit pulang kepada Chris dengan bujuk rayunya agar pria itu tak mengantarkannya pulang.
"Maaf membuatmu harus kembali menunggu," ucap Lori tak enak hati begitu ia menjumpai Jordan yang sedang bersandar di depan pintu apartemennya.
Jordan tersenyum seraya menggeser tubuhnya, memberi ruang pada Lori untuk membuka pintu apartemennya. "Tidak apa. Kau habis mencari sarapan?" tanyanya.
Sebelum menjawab pertanyaan Jordan, Lori terlebih dahulu mempersilakan pria itu untuk masuk ke dalam apartemennya. "Kenapa? Kau ke sini untuk mengajakku mencari sarapan bersama? Aku rasa tidak mungkin kau ke sini untuk mengajakku mencari baju pengantin sepagi ini," kekehnya seraya menutup kembali pintu apartemennya.
Jordan mengambil duduk di salah satu sofa yang ada di ruang tamu Lori. Ia tersenyum kecil sembari berkata, "tentu saja aku ingin mengajakmu mencari sarapan bersama. Tetapi, sepertinya aku terlambat lagi."
Lori terkekeh pelan. Ia beranjak ke dapur sebentar untuk menyeduh kopi instan yang akan ia berikan kepada Jordan.
"Kali ini kau tidak terlambat. Aku juga belum sarapan," ucapnya dengan senyum simpulnya seraya meletakkan kopi yang sudah ia seduh di atas meja, menyajikannya untuk Jordan.
Jordan mengucapkan terima kasih sebelum ia mengangkat cangkir yang berisi kopi instan tersebut kemudian meminumnya sedikit demi sedikit.
"Kalau kau belum sarapan, lalu, tadi kau darimana?" tanya Jordan seraya meletakkan kembali cangkir kopi tersebut ke tempatnya semula.
Lori yang duduk di hadapan Jordan tampak menyunggingkan senyumnya. Kali ini ia harus kembali berbohong. "Tadi malam aku tidur di rumah temanku. Kau tahu sendiri lah, pajamas party," ia terkekeh pelan di akhir kalimatnya, berusaha untuk menutupi kebohongannya agar apa yang ia katakan tampak tak di buat-buat.
"Sudah setua ini masih saja melakukan hal seperti itu," ejek Jordan.
Lori menggembungkan pipinya, tampak sebal dengan perkataan Jordan barusan. "Kau menyebalkan. Aku kan masih ingin terlihat muda."
Jordan terkekeh pelan. "Bersiap-siaplah, kita berangkat sekarang," ucapnya seraya menghabiskan kopinya selagi menunggu Lori yang sudah pamit ke kamarnya.
Keduanya langsung bergegas untuk pergi setelah Lori kembali dari kamarnya.
"Kau ingin naik mobil?" tanya Lori ketika ia melihat Jordan menekan tombol lift menuju lantai paling bawah.
Jordan segera menahan tangan Lori yang sudah ingin mengubah lantai yang mereka tuju. "Hari ini kita tidak sarapan di tempat kemarin, Lori."
Lori tampak mengernyitkan keningnya bingung. "Kenapa?"
"Kemarin kau sudah merekomendasikan tempat sarapan yang menurutmu enak kepadaku. Sekarang, giliran aku yang merekomendasikannya kepadamu."
Lori hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kali ini ia akan mengikuti Jordan.
Sepanjang perjalanan menuju tempat rekomendasian Jordan untuk sarapan, keduanya sibuk bercerita tentang segala hal sehingga membuat suasana mobil menjadi ramai dan tak menciptakan suasana canggung di antara keduanya.
Saking asyiknya mengobrol, Lori sampai tak sadar jika Jordan sudah memberhentikan mobilnya di antara mobil-mobil lain yang berjejer di sisi kiri dan kanannya. Keduanya pun tak membuang waktu lama. Mereka langsung keluar begitu Jordan telah mematikan mesin mobilnya.
"Wah! Indah sekali!" Lori tampak membuka lebar mulutnya seraya menggeleng-gelengkan kepalanya takjub. "Sudah hampir delapan bulan aku tinggal di kota ini, tetapi aku tak tahu kalau ada tempat sebagus ini di sini."
Jordan yang melihat rasa takjub yang tergambar jelas di wajah Lori pun menarik bibirnya ke atas untuk membentuk senyuman lebar sehingga membuat matanya sedikit menyipit dan langsung menambah kadar ketampanannya.
"Ayo," Jordan menggenggam tangan Lori lantas membawa wanita itu menuju ke tempat yang sering ia kunjungi ketika musim gugur seperti ini.
Lori masih saja sibuk menatap takjub pada sekelilingnya. Ia menatap jalan setapak yang sekarang sedang ia pijak. Banyak daun-daun berwarna cokelat kuning keemasan yang bertebaran di sepanjang jalan yang di laluinya. Yang membuatnya semakin takjub yaitu, banyaknya pohon-pohon besar yang berbaris rapi di sisi kanan dan kirinya.
Semakin ke dalam, pohon-pohon itu tak lagi berbaris rapi seperti yang ia lihat di sepanjang jalan setapak tadi. Pohon itu berdiri agak jauh dari satu pohon ke pohon yang lainnya. Dan di sana, sudah banyak orang yang sedang menikmati indahnya musim gugur di tempat ini.
Jordan mengajak Lori untuk duduk di salah satu kursi panjang yang letaknya berdekatan dengan sungai yang airnya begitu jernih. Ada sebuah jembatan yang menghubungkan antara tempat ia berpijak sekarang ke tempat yang ada di seberangnya. Dan hal tersebut semakin membuat Lori takjub.
"Kau tunggu dulu di sini, aku akan pergi ke kedai sebentar untuk membeli sarapan kita," Jordan langsung bergegas pergi menuju kedai yang letaknya tak jauh dari tempat mereka duduk setelah ia melihat Lori menganggukkan kepalanya.
Sambil menunggu Jordan membeli sarapan, Lori melangkah menuju jembatan yang bentuknya melengkung tersebut. Banyak anak-anak kecil yang sedang bermain di sana. Ia mengambil posisi berdiri di pinggir jembatan tersebut dan berpegangan pada penyangganya seraya menatap jernihnya air sungai yang sedang mengalir tersebut. Sesekali ia mendapat hadiah berupa daun yang jatuh di atas kepalanya. Suara celotehan anak-anak yang khas, membuat tempat itu semakin ramai saja.
"Ayo kita sarapan dulu," ajak Jordan yang sudah berdiri di samping Lori dengan sebuah kantung plastik yang berisi sarapan yang ia beli tadi.
"Sebentar lagi, Jo. Ini sungguh indah."
Jordan tersenyum geli. Ia lantas melingkarkan sebelah tangannya pada pinggang Lori kemudian menarik wanita itu untuk mendekat ke arahnya. Dan hal tersebut sukses membuat jantung Lori yang semula tenang, kini berubah menjadi brutal. Jordan memang tahu bagaimana caranya membuat ia menjadi gugup.
"Kau suka tempatnya?"
"Y-ya, sangat su-suka," jawab Lori tergagap.
Jordan terkekeh pelan. "Tidak usah gugup seperti itu. Rileks saja. Kau harus terbiasa dengan hal-hal kecil seperti ini."
Lori mengangguk pelan. Ia mencoba untuk tetap rileks dan menikmati kembali pemandangan indah yang ada di sekelilingnya.
"Kau sudah mengambil cuti hari ini, kan?"
"Sudah. Tinggal menunggu gajiku di potong saja," kekeh Lori.
Jordan tersenyum geli. "Tenang saja, aku akan mengganti gajimu yang di potong itu."
"Tidak usah. Aku hanya bercanda."
"Bagaimana kalau setelah ini kita langsung pergi mencari baju pengantin saja? Sore nanti aku harus berangkat ke Skotlandia untuk mengerjakan proyek baru di sana."
Lori menolehkan kepalanya ke arah Jordan. "Bukannya kau bilang kau sedang mengambil cuti sampai kita menikah nanti?"
Jordan memasang wajah menyesalnya. "Maaf, Lori. Proyek ini merupakan proyek besar kedua yang di tangani oleh perusahaan tempatku bekerja. Mereka menginginkan aku yang mengurusnya."
"Pernikahan kita tinggal seminggu lagi, Jordan. Kau ingin mengundurnya?"
"Tidak, tentu saja tidak. Aku hanya lima hari di sana. Kalau kau perlu apa pun untuk pernikahan kita nanti, kau bisa memintanya kepada Rosita ataupun Chloe."
Lori menghela napas panjang lantas kembali menatap ke arah depannya. "Baiklah."
"Kau... tidak apa-apa, kan?" tanya Jordan cemas.
Lori menggelengkan kepalanya seraya memberikan senyum manisnya ke arah Jordan. "Uhm... Jo, bolehkah aku bertanya?"
"Tanyakan saja."
"Apa alasanmu mau menikahiku?"
Jordan terdiam sejenak. "Aku ingin berubah," jawabnya pada akhirnya.
Lori langsung mangalihkan pandangannya ke arah Jordan. "Berubah?"
Jordan mengangguk dengan senyum yang tersungging di bibirnya. "Ya. Kau nanti juga akan tahu apa maksud dari jawabanku itu. Yang terpenting saat ini, aku hanya ingin menikah denganmu."
Lori sedikit kecewa dengan jawaban Jordan. Ia juga merasakan sesak di dadanya ketika Jordan mengatakan kalau pria itu menikahinya karena ia ingin berubah. Entah berubah untuk apa, Lori pun tak kuasa untuk menebaknya. Awalnya ia mengira jika Jordan mau menikahinya karena pria itu juga merasakan apa yang ia rasakan: cinta pada pandangan pertama. Namun, ternyata ia salah.
Tetapi, Lori harus puas karena setidaknya, Jordan mengatakan kalau ia hanya ingin menikah dengannya.
•••••
10 Mei, 2016
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top