[3] Sepulangnya Sang Majikan
Malam itu terasa begitu dingin ketika Lori baru saja keluar dari dalam apartemennya. Dinginnya angin malam membuat ia semakin merapatkan jaket yang menempel di tubuhnya, semakin mengeratkannya untuk menghalau sang angin yang ingin menerebos menusuk kulitnya. Ia berjalan dengan langkah santai, tak takut dengan keadaan sekitar yang tampak begitu sepi mengingat jam sudah menunjukkan tengah malam. Namun, berbeda ketika ia sudah keluar dari bangunan apartemennya: keadaan jalanan masih begitu ramai. Tak peduli dengan jam yang sudah bergulir semakin malam.
Lori mengatur ritme langkahnya sebiasa mungkin. Tas kecil yang dibawanya, dipindahkan ke bagian depan tubuhnya kemudian dipeluknya tas tersebut dengan erat. Rambut panjangnya tampak berkibar pelan ketika angin malam tak sengaja berhembus menerpa rambutnya. Ia tampak sangat menikmati perjalanannya malam ini. Perjalanan yang hanya memakan waktu lima belas menit untuk sampai ke tempat yang ditujunya.
Sepanjang perjalanan, pikirannya terus melayang pada kejadian beberapa saat yang lalu, saat Jordan bertandang ke rumahnya dan dengan blak-blakannya, mengajaknya untuk berkencan yang berakhir dengan menonton salah satu film yang di koleksi olehnya. Lori tak bisa untuk tak tersenyum jika mengingat tingkah Jordan yang begitu polos. Pria itu bahkan tak tahu bagaimana caranya mengajak seorang wanita berkencan. Dan yang paling membuat senyum Lori semakin merekah lebar, yaitu saat Jordan secara langsung mengatakan bahwa dialah wanita pertama yang di ajak kencan olehnya.
Lori rela waktu tidurnya berkurang hanya untuk menerima ajakan kencan Jordan. Biasanya, dia selalu menghabiskan sore sampai malam harinya untuk tidur. Karena saat malam semakin larut, Lori akan berangkat untuk bekerja. Bekerja sebagai seorang pelacur di kelab milik Ibunya Jordan.
Sebenarnya Lori tak terlalu mempermasalahkan profesinya itu. Dulunya dia hanya bekerja sebagai pelayan di kelab tersebut. Namun, karena sesuatu hal yang begitu mendesak, Lori rela menjual tubuhnya kepada salah seorang pelanggan tetap di kelab tersebut yang menyebabkannya harus menjadi wanita bayaran tetap dari pria itu sampai saat ini. Selama berkerja menjadi seorang pelacur, Lori hanya melayani satu orang pria. Dan itu hanya akan terjadi jika pria itu datang ke kelab tersebut. Jika tidak, Lori akan kembali menjalani profesinya sebagai seorang pelayan. Dan hari ini, pria itu kembali.
Lori masih tetap memakai jaketnya ketika ia sudah sampai di kelab tempatnya bekerja. Dia sempat mengembuskan napasnya beberapa kali sebelum masuk ke dalam. Jujur saja, dia merasa gugup malam ini. Pasalnya, pria yang menjadikannya sebagai pelacurnya, baru saja pulang dari luar negeri setelah hampir dua bulan dia pergi. Lama tak bertemu, membuat Lori menjadi gugup. Apalagi jika ia harus langsung melayaninya.
Lori menyunggingkan senyumnya ketika berpapasan dengan kedua penjaga kelab tersebut yang berdiri di bagian depan pintu masuk di sisi kiri dan kanan. Dia tak perlu lagi mengeluarkan kartu tanda pengenalnya untuk dapat masuk kesana. Kedua penjaga itu sudah mengenalnya.
Pemandangan lautan manusia dengan berbagai kegiatan langsung menyambut matanya ketika ia sudah melangkah masuk ke dalam. Ia langsung bergegas menerobos lautan manusia tersebut untuk mencari ruangan Rosita yang terletak di bagian ujung bangunan.
Lori melewati lorong-lorong kecil untuk mencapai ruangan Rosita. Ia sudah tak lagi mendengar kerasnya suara musik, hanya sayup-sayup kecil yang sampai pada telinganya. Ia memelankan langkahnya, mengatur detak jantungnya yang entah kenapa berubah menjadi sangat cepat.
Lori langsung mengetuk pintu ruangan Rosita begitu dia telah sampai. Sautan yang terdengar lantang dari dalam ruangan tersebut, membuat Lori memutar gagang pintu dan membukanya.
Rosita tampak tersenyum ke arah Lori begitu pintu ruangannya telah terbuka lebar. Lori membalas senyumannya lantas menutup kembali pintunya dan melangkah masuk ke dalam. Dia sempat mengernyit heran ketika melihat seorang pria sedang duduk di hadapan Rosita. Dia tahu itu bukanlah pria yang selama ini tidur dengannya. Pria itu berambut hitam, sementara pria yang selama ini tidur dengannya berambut coklat tua.
Lori menghentikan langkahnya dengan refleks ketika pria berambut hitam itu menoleh ke belakang. Napasnya sempat tertahan selama beberapa detik. Ia tampak menelan ludahnya dengan susah payah ketika pria itu malah menaikkan sebelah alisnya ke atas ketika menatapnya.
"Hai," Lori melambaikan tangannya gugup ke arah pria berambut hitam tersebut yang ternyata adalah Jordan.
Jordan tersenyum kecil. Dia bangkit berdiri lantas melangkah mendekati Lori. "Kau sedang apa di sini?" tanyanya seraya memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya dan menatap Lori dengan lekat.
Jordan menoleh ke arah Rosita ketika dia tahu bahwa Lori bingung harus menjawab pertanyaannya seperti apa. "Kau yang menyuruhnya kemari, Rosita?"
Rosita tersenyum lantas menganggukkan kepalanya.
Jordan kembali menatap Lori. Dia tersenyum geli ketika melihat wanita itu yang tampak gugup jika berada didekatnya. Bahkan saat ini dia sudah menundukkan kepalanya.
Jordan sedikit menundukkan kepalanya. Dia menyentuh dagu Lori dengan jarinya lantas mengangkatnya ke atas agar menatapnya. "Kenapa kau selalu gugup seperti ini jika berada di dekatku?"
"Ti... tidak. Aku tidak gugup." jawab Lori tergagap.
Jordan terkekeh geli. "Kau gugup," katanya seraya memindahkan jarinya ke pipi Lori lantas mengelusnya dengan lembut.
Lori merasa malu. Ia tak menyangka akan bertemu Jordan ditempatnya bekerja. Dan lagi-lagi, sikapnya seperti orang bodoh saat berdekatan dengan pria itu, sama seperti beberapa waktu yang lalu.
"Tidak baik berada terlalu lama di tempat seperti ini. Setelah urusanmu dengan Rosita selesai, kau harus segera pulang," kata Jordan memberi nasihat yang langsung di sambut dengan anggukkan kepala oleh Lori.
Setelah itu, Jordan langsung meninggalkan ruangan Rosita tanpa pamit.
"Kemarilah, sayang," ucap Rosita dengan senyum ramah yang selalu diumbarnya.
Lori mendekat dan mengambil duduk di kursi yang sebelumnya di duduki oleh Jordan.
"Supir pribadi Chris sudah menunggumu di depan. Tetapi, kau harus hati-hati saat ingin keluar atau pun masuk ke dalam mobilnya. Pastikan Jordan sudah benar-benar pulang," ujar Rosita.
Lori mengernyitkan keningnya bingung. "Maksudmu? Apa Jordan belum tahu pekerjaanku?"
"Tentu saja belum," Rosita menyandarkan tubuhnya pada punggung kursi seraya tersenyum miring ke arah Lori. "Kalau dia tahu kau adalah seorang pelacur, tidak mungkin dia mau menerimamu sebagai calon istrinya."
Lori membulatkan matanya tak percaya. Dia kira, Jordan mau menerimanya apa adanya, tetapi ternyata Rosita belum memberitahukan tentang pekerjaannya sama sekali. "Kenapa kau tidak memberitahunya?"
Rosita mengambil sebatang rokok dari dalam bungkusnya. Mengambil pematiknya kemudian menyalakannya. "Aku terlalu malas mencarikan wanita baik-baik untuknya, menghabiskan waktu. Jadi, lebih baik aku memberikanmu saja. Kau terlihat seperti wanita baik-baik sehingga dia percaya dengan pilihanku," Rosita menghisap rokoknya lantas mengembuskannya, membuat asap putih mengepul di sekitar hidung dan mulutnya. "Maka dari itu, kau harus hati-hati bila ingin bertemu dengan Chris. Jadilah wanita baik-baik sampai kalian menikah, karena Jordan akan mengubah nama pemilik barnya menjadi namaku setelah kalian menikah. Uh... aku tidak sabar."
"Jadi, kau menyuruhku untuk menjadi istri Jordan hanya karena ingin mendapatkan bar miliknya?" tanya Lori penuh keterkejutan.
Rosita tertawa sinis. "Tentu saja. Kau kira aku sebaik apa sampai-sampai mau menjodohkan anakku yang baik dan kaya raya itu dengan pelacur sepertimu."
Lori memandang Rosita tak percaya. Sungguh, dia tak menyangka jika Rosita yang baru dikenalnya selama delapan bulan ini sebagai sosok wanita yang sangat baik, berubah menjadi sosok licik hanya dalam beberapa menit saja.
Lori bangkit dari duduknya, berdiri menjulang di hadapan Rosita yang masih santai menghisap rokoknya. "Aku pergi dulu. Tidak enak membuat pelanggan menunggu terlalu lama," ucapnya lantas berlalu dari hadapan Rosita yang saat ini tampak seperti seorang iblis dimatanya.
Lori berjalan dengan langkah cepat menuju mobil milik Chris yang sudah sangat dihapalnya. Ia sempat menghapus air matanya yang keluar dari sudut matanya karena rasa kecewanya terhadap Rosita.
"Hai Mark. Apa kabar?" Lori menyapa Mark yang merupakan asisten pribadi Chris setelah dia masuk ke dalam mobil Chris.
Mark tersenyum ke arah Lori seraya menjawab, "aku baik-baik saja, Lori. Bagaimana denganmu?"
"Aku selalu baik," jawab Lori mantap.
Sudah hampir tujuh bulan Lori mengenal Chris. Dia sudah tahu banyak tentang pria itu. Chris bukanlah pria jahat yang hanya menginginkan Lori sebagai pemuas nafsunya saja, Lori tahu itu. Sikapnya terhadap Lori sangatlah lembut, seperti seorang kekasih terhadap kekasihnya. Namun, Lori tak pernah membawa hatinya ketika sedang bekerja. Maka dari itu, dia selalu menganggap Chris hanya sebagai majikannya saja, tidak lebih.
Mobil yang di naiki Lori berhenti di parkiran gedung apartemen mewah yang menjadi tempat tinggal Chris selama ini. Mark segera keluar dari dalam mobil begitu dia selesai memarkirkan mobil tersebut. Pria muda dengan kulit coklat itu segera membukakan pintu mobil untuk Lori.
"Terima kasih, Mark," ucap Lori dengan senyum manisnya seraya beranjak keluar dari dalam mobil tersebut.
Lori menjalankan kakinya menuju apartemen milik Chris. Mark masih setia menemaninya dengan berjalan mengawal tepat dibelakangnya, selalu seperti itu. Lori selalu merasa istimewa jika sudah menyangkut soal Chris.
Lori telah sampai di depan pintu apartemen milik Chris. Mark dengan gesit membuka pintu apartemen tersebut kemudian mempersilakan Lori untuk masuk ke dalam karena Chris sudah tak sabar ingin bertemu dengannya.
"Sayangku! Akhirnya kau datang juga. Aku sangat merindukanmu," suara Chris pertama kali menyambut Lori begitu dia sudah masuk ke dalam. Pria yang seumuran dengan Jordan dan tak kalah tampan dari calon suaminya itu, segera berhambur ke arahnya untuk memeluknya.
Lori membalas pelukan Chris. "Bagaimana kabarmu, Chris?"
"Aku baik, sayang. Lebih baik setelah bertemu denganmu."
Lori terkekeh pelan. "Kau tetap tidak berubah setelah dua bulan menghilang."
"Aku tidak menghilang, sayang. Aku selalu mengabarimu selama ini."
"Terserah tuan saja," kekeh Lori. "Kau tidak berniat untuk melepas pelukanmu? Aku mulai sesak."
Chris segera melepas pelukannya lantas menatap Lori dengan wajah menyesalnya. "Maaf."
Lori mengangguk tersenyum. "Jadi, apa yang akan kita lakukan malam ini?"
"Melepas rindu?"
Lori tampak mengedikkan bahunya. "Aku ikut saja."
Chris tersenyum menggoda lantas membawa Lori menuju kamarnya untuk melepas rindu dalam artian yang berbeda. Dan malam itu, untuk pertama kalinya, Lori melakukan pekerjaannya dengan pikiran yang melayang kemana-mana. Dia merasa sangat bersalah karena dia merasa bahwa dia telah mengkhianati Jordan, calon suaminya.
*****
Jangan lupa vote dan komennya yaaaa. Tengkyuuu :***
10 April, 2016
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top