[2] Kencan Pertama
Jordan menatap wajahnya sekali lagi lewat kaca spion mobilnya. Memeriksa sekali lagi. Takut jika sesuatu menempel di wajahnya dan akan membuatnya malu. Ia tersenyum bangga setelah memastikan penampilannya kali ini baik-baik saja. Tangannya bergerak perlahan untuk membuka pintu mobilnya. Kakinya melangkah dengan gerakan teratur untuk mencapai bagian depan apartemen sederhana yang menjadi tempat tinggal Lori selama ini.
Kakinya membawa dirinya melangkah menuju lantai lima apartemen tersebut. Dalam hitungan menit, dia sudah berhasil menemukan pintu apartemen milik Lori.
Jordan mengembuskan napasnya perlahan. Dia kembali meneliti penampilannya. Kali ini dia memakai sweater berwarna abu-abu yang di padukan dengan celana berwarna hitam. Dia memegang bagian ujung bajunya dan menariknya sedikit ke bawah lantas menggosokkan kedua telapak tangannya sebelum mengetuk pintu apartemen Lori.
Jordan menahan napasnya sejenak ketika ketukan pertama telah di lakukannya. Embusan napasnya keluar dengan kasar. Rasa gugup lagi-lagi menyerangnya. Entah kenapa, dia merasa seperti para remaja yang baru pertama kali merasakan yang namanya jatuh cinta. Walau pun sebenarnya dia memang belum jatuh cinta dengan Lori, namun, rasanya tak jauh berbeda dengan perasaan itu.
Jordan kembali mengetuk pintu apartemen Lori. Kali ini lebih keras. Setiap ketukan yang di lakukannya, terasa begitu menyiksa dirinya. Dia ingin Lori segera membuka pintunya agar rasa gugup yang sedari tadi memenuhi dirinya hilang.
Sudah berkali-kali dia mengetuk, namun, Lori tak kunjung memberikan jawaban. Tangannya sudah beranjak masuk ke dalam saku celananya, bermaksud untuk memastikan apartemen Lori lewat ibunya karena sedari awal, informasi mengenai calon istrinya itu berasal dari Rosita.
Baru saja Jordan menempelkan ponselnya di telinganya, suara decitan yang menandakan terbukanya pintu, membuatnya kembali menurunkan benda tersebut.
Matanya terpaku pada satu objek yang saat ini tengah berdiri di hadapannya dengan pakaian tidur dan gaya acak-acakan khas orang yang baru saja bangun tidur. Bahkan, wanita di hadapannya ini masih sempat mengucek-ngucek matanya tanpa melihat ke arah Jordan terlebih dahulu.
"Ada apa?" tanya Lori masih dengan tangannya yang sibuk mengucek matanya. Suaranya pun terdengar enggan ketika melontarkan pertanyaan tersebut.
"Apa aku mengganggumu?" tanya Jordan tampak tak enak.
Lori tampak menghela napas pelan lantas mengusap wajahnya sambil berkata, "Kalau kau ingin garam, aku belum sempat membe..." dan kalimat itu terhenti begitu saja ketika Lori sudah mengangkat kepalanya dan benar-benar menatap sosok yang ada di depannya. Dalam hitungan detik, wajah mengantuknya sudah berubah menjadi wajah penuh keterkejutan. "Astaga! Maafkan aku. Aku tidak tahu kalau yang datang itu kau. Aku pikir tetanggaku yang selalu meminta bahan-bahan dapurku. Maafkan aku!"
Jordan mengangguk maklum seraya melemparkan senyumnya agar Lori tak perlu lagi merasa sebersalah itu. Lagi pula itu juga salahnya. Seharusnya dia mengabari dulu jika ingin datang ke apartemennya. Dan Jordan merutuki dirinya sendiri karena sebelumnya dia tak pernah berkencan dengan seorang wanita.
"Silakan masuk. Maaf, aku baru bangun tidur," Lori melebarkan pintunya dan mempersilakan Jordan untuk masuk. Dia tampak sediki gugup.
Jordan tampak mengernyitkan keningnya sebelum masuk ke dalam, tak percaya jika wanita itu lebih memilih tidur di malam minggu.
"Kau mau menunggu sebentar? Aku... uhm, ingin cuci muka dulu," ucap Lori dengan wajah merah padamnya karena terlalu malu tampil acak-acakan di depan calon suaminya.
Jordan tersenyum. "Silakan. Boleh aku duduk?"
Lori menahan napasnya selama beberapa detik sebelum mengangguk. "Tentu saja," katanya. "Aku permisi dulu," secepat kilat, Lori beranjak ke dalam kamarnya. Dia memukul pelan kepalanya karena merasa begitu bodoh. Dia yakin setelah ini pasti Jordan akan ilfeel dengannya.
Jordan tampak mengamati apartemen Lori yang terlihat begitu sederhana. Tidak, sangat sederhana. Di dalam apartemennya hanya terdapat ruang tamu yang menjadi satu dengan ruang televisi dan sebuah kamar dan kamar mandi serta sebuah meja makan yang menjadi satu dengan dapur. Bahkan, dari tempatnya duduk, Jordan bisa melihat dapur dan meja makan itu.
"Maaf membuatmu menunggu terlalu lama."
Jordan menoleh ke arah Lori yang baru kembali dengan wajah yang tampak lebih segar dari sebelumnya. Dia juga sudah mengganti pakaian tidurnya dengan kaus lengan pendek dan celana pendek yang membalut tubuh mungilnya.
"Kau sudah terlalu banyak meminta maaf," ujar Jordan dengan senyum gelinya.
Lori mengambil duduk di hadapan Jordan. "Maaf," katanya dengan senyum gugupnya.
Jordan terkekeh pelan seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. Tingkah yang ditunjukkan wanita itu entah kenapa terlihat lucu di matanya.
"Ada keperluan apa datang kemari?"
Jordan tampak berpikir sejenak. "Aku ingin mengajakmu berkencan."
Rona merah kembali menjalar di seputaran wajah Lori. Menurutnya, Jordan terlalu blak-blakan. Bahkan dia tak tahu respon apa yang akan di berikannya setelah ini. Dia merasa sangat... malu.
"Aku salah, ya?" tanya Jordan ketika dia belum mendapatkan respon apa pun dari Lori
Lori langsung menatap Jordan panik. "Tidak, tidak. Kau tidak salah. Maaf."
"Sudah enam kali," kata Jordan dengan senyum gelinya.
Lori mengernyitkan alisnya, tampak tak mengerti dengan perkataan Jordan barusan.
"Kau sudah enam kali mengucapkan kata maaf."
Dan rona merah itu pun kembali mengumpul di wajah Lori. Sungguh, dia sangat malu sekali. Rasanya dia ingin membenamkan wajahnya di toilet saja.
"Kau tadi ingin mengajakku kencan, kan? Ingin pergi kemana?" tanya Lori yang berusaha untuk terlihat santai.
Jordan menaikkan sebelah alisnya. Sial sekali, dia tak tahu ingin mengajak Lori kemana. Selama ini, dia selalu berkencan di dalam rumah bersama kekasihnya untuk menyembunyikan orientasi seksualnya yang sedikit menyimpang.
"Nonton? Atau makan malam?" kata Jordan yang lebih mirip dengan pertanyaan.
"Biar aku tebak, kau pasti baru kali ini mengajak seorang wanita untuk berkencan denganmu?"
Jordan hanya membalasnya dengan senyuman kikuknya. Sial, pasti setelah ini Lori akan menertawakannya, pikirnya seperti itu.
Setelah melihat reaksi yang ditunjukkan Jordan, Lori langsung merutuki mulutnya yang lancang menanyakan hal seperti itu. Sungguh, dia merasa sangat tidak sopan. Tamatlah dia setelah ini. Jordan pasti benar-benar ilfeel dengannya.
"Sejujurnya, aku memang belum pernah sekali pun mengajak wanita untuk berkencan denganku. Kau yang pertama," aku Jordan.
Lori langsung menatap Jordan. Dia kembali menahan napasnya selama beberapa detik ketika melihat senyuman yang muncul di bibir pria itu. Tampan sekali, batinnya penuh rasa kagum. Dan sekali lagi, Jordan berhasil membuat wajahnya kembali di penuhi dengan rona merah. Wajahnya terasa panas ketika pria itu menyebutkan bahwa dialah wanita pertama yang diajaknya untuk berkencan dengannya. Sial, beruntung sekali dia, kan?
"Uhm... bagaimana kalau malam ini kita habiskan dengan menonton film saja? Lagi pula kau juga tidak punya rencana apa pun, kan?" tanya Lori.
Jordan tampak menganggukan kepalanya. "Boleh. Kita menonton di sini, kan?"
Lori mengangguk membenarkan. "Sebentar, biar aku ambil dulu koleksi filmku," Lori beranjak dari duduknya, berniat untuk mengambil kumpulan film yang selama ini selalu menemaninya ketika ia sedang bosan.
"Kau suka film yang seperti apa?" tanya Lori yang sudah kembali dengan setumpuk kaset film di tangannya.
"Aku tidak tahu."
Lori menoleh ke arah Jordan dengan tatapan bingungnya. "Kau tidak pernah menonton film, ya?"
Jordan mengedikkan bahunya. "Sejujurnya, aku tidak terlalu suka menonton film."
Lori membuka mulutnya selebar mungkin seraya mengedipkan matanya tak percaya. Pandangannya beralih ke arah kaset yang sudah berserakan di atas meja seiring dengan mulutnya yang kembali tertutup. Dia sungguh tak habis pikir dengan Jordan. Selama dia hidup dan mengenal banyak orang, tak pernah sekali pun dia menjumpai orang yang tak suka menonton film. Setaunya, setiap orang suka menonton film.
Lori mendesah pelan seraya menatap Jordan. "Kenapa tidak bilang?" tatapannya beralih ke arah kaset filmnya. Tangannya bergerak lincah untuk kembali menyusun koleksi kasetnya itu. Namun, tangan Jordan mendarat di pergelangan tangannya sehingga membuat gerakannya terhenti dan ia langsung mendongak untuk menatap pria itu. "Kenapa?"
"Tidak usah dikembalikan. Kita menonton saja. Sekali-sekali mencoba, tidak apa-apa, kan?" tanya Jordan sambil menarik tangannya dari tangan Lori.
"Sungguh? Kau ingin tetap menonton?"
Jordan mengangguk mantap. "Aku ingin mencobanya."
Lori mengulas senyum di bibirnya. Namun, ketika dia menatap kasetnya untuk mengambil salah satu film yang akan mereka tonton, senyumnya hilang begitu saja. Dia tidak tahu selera Jordan seperti apa. Jordan bahkan tak suka menonton film, bagaimana dia bisa tahu seleranya seperti apa.
"Sebaiknya kau saja yang pilih. Aku takut kalau aku salah memilih," kata Lori sambil melirik Jordan.
Jordan memusatkan seluruh perhatiannya pada tumpukan kaset yang berada diatas meja. Keningnya tampak berkerut ketika dia sibuk memilih. Hal tersebut semakin membuat Lori gencar untuk menatapnya. Di saat memilih film seperti ini saja, pria itu tampak sangat berkonsentrasi.
"Aku mau yang ini," ucap Jordan sambil mengangkat satu kaset yang telah di pilihnya, menunjukkannya pada Lori.
Lori mengambil kaset yang telah di pilih Jordan dan beranjak untuk memutarnya. Semoga pilihan pria itu tidak salah dengan mengambil film yang bertemakan zombie.
"Sebentar ya, aku ambil cemilan untuk kita dulu," Lori beranjak ke dapur untuk mengambil beberapa makanan ringan serta dua kaleng minuman soda yang akan menemani kencan mereka.
"Aku masih tidak percaya kalau zombie itu ada," ucap Jordan sambil membuka kaleng minumannya.
"Ini hanya film."
"Kalau kau disuruh memilih, kau lebih memilih hidup tidak tenang bersama sekumpulan zombie atau lebih memilih untuk mati saja?"
Lori menoleh ke arah Jordan sekilas lantas kembali memfokuskan pandangannya pada layar tv yang sedang menampilkan sebuah kota yang sudah mulai dipenuhi dengan zombie. "Tentu aku lebih memilih untuk tetap hidup. Setidaknya, kita harus berjuang terlebih dahulu. Jangan terus menyerah karena rasa takut. Lagi pula, zombie itu kan masih bisa dibunuh."
"Lalu, bagaimana kalau seandainya salah satu orang yang sangat kau sayangi, berubah menjadi zombie? Apa kau akan tetap melanjutkan hidupmu atau kau juga ingin mengubah dirimu menjadi zombie?"
Lori tampak diam sejenak sebelum menjawab pertanyaan Jordan. "Aku akan tetap melanjutkan hidupku. Karena aku tahu, orang yang menyayangiku tidak akan suka jika aku berubah," lirihnya dengan pandangan menerawang ke depan.
Jordan menganggukkan kepalanya lantas kembali menonton film tersebut dengan tenang. Dia bahkan tak menyadari perubahan raut wajah Lori yang sudah berubah sendu akibat pertanyaannya barusan.
•••••
Hallo! Mana nih yang kemaren bilang udah kangen sama Jordan? :p
Jangan lupa vote dan komennya ya, tengkyuuu :*
28 Maret, 2016
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top