Chapter 47

Jungkook keluar dari dalam tenda dengan mata yang masih mengantuk. Ia sebenarnya masih bisa melanjutkan tidur tapi ia juga kelaparan. Udara dingin memang mudah membuat perut lapar.

Ia menghampiri Jinri yang tengah memanggang ikan salmon di atas wajan teflon. Wanita itu langsung tersenyum ketika melihatnya.

"Selamat pagi, Jungkook-ah." sapa Jinri. "Ku kira kau akan bangun beberapa menit lagi."

Jungkook mengambil kursi miliknya dan duduk disamping Jinri. "Aku lapar dan pagi ini aku sedang malas mendengar omelanmu."

Jinri tertawa kecil. "Baguslah kalau begitu. Jadi aku tidak usah buang-buang tenaga untuk membangunkanmu seperti biasa."

Jungkook tidak menyahut. Matanya tengah fokus melihat sarapan yang disediakan oleh Jinri. Menu sarapan pagi ini sangat berbeda dari biasanya.

Sup miso dan salmon panggang. Jinri ternyata sedang menyediakan sarapan ala Jepang pagi ini dan terlihat sangat menggiurkan.

"Kau bisa memasak masakan Jepang?" tanya Jungkook akhirnya bersuara.

Jinri menoleh sesaat kearah Jungkook. "Sedikit. Jika hanya menu sehari-hari aku sering membuatnya saat aku masih tinggal di Osaka dulu."

Jinri memang pernah tinggal di Jepang tepatnya di Osaka selama 3 tahun ketika sekolah menengah pertama karena pekerjaan ayahnya. Oleh karena itu juga Jinri begitu fasih berbahasa Jepang.

Jungkook menganggukkan kepalanya paham. "Bagaimana dengan Takoyaki? Kau lama tinggal di Osaka dan disana terkenal dengan Takoyaki. Kau bisa membuatnya?"

Tanpa sadar wajah Jungkook terlihat berbinar. Entah kenapa jika sudah membahas tentang makanan antusiasme si Jeon itu akan meningkat.

"Hm... aku tidak pernah membuatnya sendiri tapi aku mempunyai resepnya." Sahut Jinri terlihat sedikit ragu.

Binar wajah Jungkook masih belum luntur. "Setelah kembali ke Seoul, kita akan mencobanya. Bagaimana jika membuat Takoyaki dengan Kimchi? Atau dengan Wasabi? Ah... aku penasaran apa Takoyaki bisa dicampur dengan keripik kentang atau sereal?"

Jinri langsung terdiam mendengar saran tidak masuk akal yang keluar dari mulut Jungkook. Ia pikir Takoyaki sejenis barang serba guna. Terkadang pikiran Jungkook juga bisa sebelas-duabelas dengan pikiran Taehyung.

Jinri meletakkan mangkuk berisi nasi di depan Jungkook. "Kau coba saja sendiri. Tapi aku tidak tanggung jika kau keracunan."

Jungkook tertawa. "Kau harus ikut mencobanya. Jika keracunan aku tidak sendiri karena tidur sendiri di rumah sakit tidak enak." guraunya.

Apa katanya? Jungkook ingin mengajaknya keracunan bersama hanya karena tidak ingin tidur sendiri di rumah sakit. Mungkin di dunia ini hanya Jungkook suami yang memiliki alasan terkonyol ketika istrinya keracunan makanan.

-00-

Jungkook dan Jinri masih menikmati sarapan pagi mereka dengan ditemani cahaya matahari pagi dan pemandangan gunung Fuji di depan mereka.

Hanya saja udara pagi dimusim dingin bukan sesuatu yang bagus untuk Jinri. Ia hampir tidak bisa menikmati sarapan paginya karena udara yang sangat dingin.

Lain halnya dengan Jungkook yang terlihat begitu menikmati sarapannya. Bahkan ini sudah mangkuk keduanya. Udara dingin sepertinya membuat ia begitu kelaparan.

"Kau terlalu banyak makan, Jungkook-ah." ingat Jinri. Makan sebanyak itu bukan sarapan lagi namanya. Porsinya seperti makan siang bahkan mungkin saja lebih karena Jungkook juga mulai membuka bungkusan snacknya.

Jungkook menghentikan kunyahannya. "Tidak apa-apa. Sekali-kali. Aku sangat lapar karena kita hanya makan malam Nabe Gyoza tadi malam." sahutnya.

Hanya Nabe Gyoza. Ya..., memang mereka hanya makan Nabe Gyoza untuk makan malam tapi Jungkook menghabiskan setengah panci Gyozanya. Entah pergi kemana makanan yang laki-laki itu makan tadi malam.

Jinri tidak habis pikir darimana selera makan Jungkook yang besar itu berasal. Laki-laki itu seperti tidak memperdulikan berat badannya. Saat ini saja berat badan Jungkook drastis naik, pipinya pun semakin chubby.

Jungkook meletakkan mangkuk nasinya yang sudah kosong ke atas meja. "Kau tidak makan? Sarapanmu tidak habis." ucapnya sambil menunjuk mangkuk nasi Jinri yang masih tersisa banyak nasi.

Jinri menggelengkan kepalanya pelan. "Melihatmu makan saja sudah membuatku kenyang." sahutnya setengah bergurau.

Jungkook tertawa kecil mendengar sahutan Jinri. "Omong-omong, terima kasih untuk sarapannya. Masakanmu enak. Lain kali saat di rumah buatkan lagi sarapan seperti pagi ini." ucapnya dengan wajah penuh harap.

Senyum Jinri langsung merekah ketika mendengar Jungkook memuji masakannya. Laki-laki itu memang sering memuji masakannya tapi ia tidak pernah bosan mendengarnya. Tidak ada yang lebih membahagiakan selain masakan dipuji suami sendiri, bukan? Hal-hal kecil seperti ini saja sudah membuatnya bahagia.

"Kalau aku tidak sibuk aku akan membuatnya lain kali." sahutnya masih dengan senyum dibibirnya.

-00-

"Omong-omong, bukannya malam ini kita memberitahukan Eomma dan Appa tentang beasiswamu dan kepindahan kita ke Amerika? Kau sudah siap?" Jinri mengingatkan Jungkook tentang kesepakatan mereka tadi malam untuk memberitahukan kedua orangtua mereka masing-masing secepatnya.

Raut wajah Jungkook langsung berubah ketika Jinri mulai menyinggung masalah kepindahan mereka. Awalnya ia inginkan menyerumput tehnya namun ia urungkan saat topik itu dibicarakan.

Ia mengambil napas pelan. "Hmm..., seperti yang kita bicarakan tadi malam. Lebih cepat, lebih baik."

Entah bagaimana reaksi kedua orangtua Jinri ketika mereka mengetahui putri semata wayang mereka akan pindah jauh. Jungkook masih belum mau membayangkannya. Walaupun sekarang statusnya adalah suami Jinri dan mempunyai hak untuk membawa Jinri kemanapun. Tetap saja rasanya sulit.

Ia tahu tipe keluarganya dan keluarga Jinri. Setelah ini pasti terjadi kehebohan dan mungkin saja ada pihak yang tidak setuju dengan keputusannya dan Jinri. Dan paling ia takuti adalah reaksi dari pihak keluarganya terutama ibunya.

Jinri yang sejak tadi memang memperhatikan Jungkook mulai menyadari perubahan raut wajah laki-laki itu. "Jungkook-ah, kau gugup?" tanya Jinri dengan nada hati-hati.

Jungkook kembali menghela napas entah untuk keberapa kalinya. "Aku hanya takut salah bicara. Mau bagaimanapun ini adalah keputusan besar. Orangtuamu belum tentu menyetujui kepindahanmu ke Amerika walaupun sekarang kau sudah menikah denganku." jelasnya. Tidak ada gunanya ia menyembunyikan kekhawatirannya kali ini.

Benar apa yang dikatakan Jungkook. Keputusan untuk pindah dan beasiswa Jungkook pun sebenarnya terkesan terburu-buru. Hal itu pasti membuat keluarganya dan keluarga Jungkook terkejut.

Pindah ke Amerika bukanlah perkara mudah. Mereka berdua benar-benar akan jauh dari keluarga. Ia tahu ketakutan Jungkook, membawanya untuk pindah ke negara asing adalah sebuah tanggung jawab yang sangat besar.

Jinri tersenyum mencoba memberi keyakinan pada suaminya itu. "Kita akan bicarakan ini baik-baik dengan Appa dan Eomma. Aku yakin mereka pasti dapat mengerti."

Jungkook menganggukkan kepalanya. "Mungkin seperti ini rasanya ingin datang melamar dan bertemu orangtua calon istri." gumamnya.

Jinri mengernyit mendengar gumaman aneh suaminya itu. "Memangnya kau tidak merasakan gugup saat kau dan orangtuamu datang ke rumah untuk membicarakan pernikahan kita dulu?" tanyanya.

Pertanyaan itu langsung terbesit dipikirannya karena mendengar gumaman Jungkook. Jujur saja ia masih tidak tahu kenapa Jungkook waktu itu akhirnya menerima pernikahan mereka. Tidak mungkin karena laki-laki itu menyukainya karena siapapun tahu mereka dulu tidak pernah akur.

"Saat itu dipikiranku hanya ingin cepat pulang. Aku tidak suka suasana serius seperti itu." jawab Jungkook dengan santai. Wajah tegangnya kini sudah tidak terlihat.

Apa? Hanya itu? Jinri tidak habis pikir. Ia saat itu sudah gugup setengah mati. Menikah bukanlah hal yang mudah apalagi mendadak. Hal itu membuat Jinri sempat berpikir untuk kabur dari rumah. Tapi, apa yang dikatakan si Jeon di depannya ini? Ia hanya ingin pulang cepat.

Pantas saja saat itu Jungkook seperti tidak mempunyai beban sedikitpun ketika menolak keputusan ayahnya dan ayah mertuanya.

"Tidak sopan sama sekali. Saat itu kau langsung berdiri dan menolak kesepakatan orangtua kita." gerutu Jinri dengan wajah cemberut.

"Mau bagaimana lagi hanya itu yang terpikir olehku. Dan..., kenapa kau jadi tidak suka seperti itu? Kau berharap aku dulu langsung menerima kesepakatan orangtua kita dan melamarmu? Aku tidak menyangka. Ternyata kau..." Jungkook menatap Jinri dengan ekspresi pura-pura terkejut.

"H⎯Hah? T⎯Tidak. Hanya saja saat aku membayangkannya sekarang tindakanmu itu cukup tidak sopan. Jika hal itu terjadi sekarang, aku mungkin tidak akan memaafkanmu." jelasnya dengan sedikit terbata-bata.

Ya Tuhan..., kenapa ia jadi terbata-bata, hal itu bisa membuat Jungkook salah paham dan berakhir menjadi ia yang diejek oleh laki-laki itu.

"Sayangnya aku sudah tidak bisa melamarmu lagi sekarang." sahut Jungkook dengan nada bicara menyesal yang dibuat-buat.

Jinri langsung menoleh kearah Jungkook dengan cepat. "Kenapa?" tanyanya tanpa sadar.

Tawa Jungkook hampir meledak ketika melihat tingkah Jinri yang menurutnya sangat lucu. Bagaimana wanita itu bertanya 'kenapa' dengan wajah polos seperti itu. Apa Jinri sekarang sedang tidak sadar dengan statusnya sendiri.

"Karena sekarang kau sudah menjadi istriku. Untuk apa aku melamarmu, kita bahkan sudah menikah. Kau lucu sekali." beritahunya dengan tawa yang tidak bisa ia tahan lagi.

Jinri terdiam. Benar juga. Kenapa ia jadi bodoh sekali? Kenapa ia bertanya tanpa berpikir dulu? Ia sangat konyol sekali. Jika begini ia mempermalukan dirinya sendiri.

Ia akhirnya berdeham untuk mengontrol rasa malunya. "Ah..., benar juga." sahutnya dengan tawa yang ia buat-buat. Hanya itu yang bisa ia lakukan, berkelit pun tidak ada gunanya.

Jangan tanya lagi bagaimana dengan Jungkook. Laki-laki itu sangat menikmati tawanya. Setelah ini pasti si Jeon itu tidak akan berhenti untuk mengejeknya.

-00-

Wonwoo dengan santai mendorong troli belanjaan dengan Yuri yang sejak tadi sibuk melihat daftar belanjaan di ponselnya. Entah ada angin apa Wonwoo tiba-tiba mengajak Yuri untuk menemaninya belanja bulanan.

Terdengar aneh memang. Yuri bahkan sudah beberapa kali bertanya apa Wonwoo yakin ingin berbelanja bulanan. Setahunya itu urusan ketua pelayan. Ayolah... seorang Tuan muda tidak mungkin melakukan hal-hal merepotkan seperti ini.

Wonwoo juga bertanya kepada pelayan keperluan dapur apa yang habis dan menyuruh Yuri untuk mencatatnya. Laki-laki itu juga meliburkan semua pelayan-pelayannya sampai akhir tahun. Bahkan, bodyguard menyebalkan yang selalu mengikuti Yuri kemanapun itu juga diliburkan.

Yuri cukup senang akan semua hal ini karena ia juga dibebaskan. Ia tidak harus melihat setiap 1 jam pelayan masuk ke dalam kamarnya untuk mengecek keadaannya atau sekedar menanyakan apa yang ia butuhkan.

Mereka berhenti di rak detergen dan pewangi pakaian. Wonwoo hanya mengangkat kedua alisnya bingung. Seingatnya pelayan tidak ada menyebut detergen untuk daftar belanjaan mereka.

"Kenapa kita berhenti disini? Detergen tidak ada didaftar belanjaan." Ucapnya sambil menatap Yuri di sebelahnya.

Yuri melangkah sambil melihat deretan harga detergen yang tersusun rapi di rak. "Tentu saja untuk membeli detergen. Aku ingin mencuci pakaianku." jelasnya.

Wonwoo meninggalkan troli belanjaannya untuk menghampiri Yuri yang masih sibuk memilih detergen. "Jangan macam-macam. Kau ingin merusak tanganmu? Biarkan pelayan yang mengurus semua pakaian-pakaianmu." ucapnya terdengar tidak suka.

Yuri menolehkan kepalanya kearah Wonwoo dengan senyum mengejek. "Tanganku tidak mungkin rusak hanya karena mencuci pakaian. Kau sebenarnya tinggal di tahun berapa? Jangan terlalu kolot. Dirumahkan ada mesin cuci, aku tinggal memakai itu untuk mencuci. Bereskan? Dan kau juga harus ingat bahwa kau sudah meliburkan semua pelayan-pelayanmu." jelasnya lagi.

Wonwoo terdiam. Benar juga mulai tadi pagi semua pelayan-pelayannya libur hingga akhir tahun nanti. "Tidak. Jangan lakukan pekerjaan itu. Setelah ini, aku akan mengantar semua pakaian kotormu ke laundry." Sahutnya masih bersikeras.

Yuri menghela napas dengan kasar. "Hidupmu itu boros sekali ya, Tuan Jeon." sindirnya. "Aku tetap ingin mencuci pakaianku sendiri. Aku juga tidak percaya dengan jasa laundry." tolaknya dengan keras. Ia mengambil satu bungkus detergen dan pewangi pakaian lalu meletakkannya di troli belanjaan.

"Aku juga akan mencuci pakainmu." ucapnya dengan senyum manis walaupun hanya sebentar. Wanita itu dengan santai melenggang pergi menuju rak selanjutnya meninggalkan Wonwoo yang masih diam di tempatnya.

Wonwoo menatap nanar punggung Yuri yang semakin jauh meninggalkannya. "Jika kau selalu tersenyum seperti itu, kau semakin membuatku sulit meninggalkanmu, Kwon Yuri." gumamnya.

-00-

"Cafe ini terkenal dengan tartletnya. Kau harus mencobanya." cerita Yuri dengan antusias.

Wonwoo hanya menanggapinya dengan senyum kecil terlihat tidak terlalu tertarik dengan kue yang diceritakan Yuri padanya. Ia tidak suka makanan manis.

Melihat Wonwoo yang hanya diam saja dengan ceritanya. Akhirnya, Yuri memilih untuk menghentikan ceritanya. Memang tidak asyik pikirnya. Seharusnya ia tahu Wonwoo tidak akan tertarik dengan cerita tentang betapa enaknya sepotong tartlet. Laki-laki itu hanya tertarik jika kau membahas saham dan bisnis.

Ia salah membawa laki-laki itu untuk mampir ke cafe langganannya setelah mereka belanja. Karena bersantai seperti ini bukan hal yang suka Wonwoo lakukan. Wonwoo duduk disini bersamanya itu juga karena ia memaksa dengan keras.

Suasana diantara mereka berdua tiba-tiba menjadi suram. Keheningan meliputi mereka. Sampai Yuri sadar arah pandangan Wonwoo yang mengarah ke salah satu yang berjarak satu meja dari tempat mereka. Meja itu diisi oleh sepasang suami-istri dan bayi mereka yang tengah duduk di kursi khusus bayi.

Bayi itu ajaibnya seakan sadar jika Wonwoo tengah memerhatikannya. Bayi itu beberapa kali tertawa ketika Wonwoo melambai kecil padanya. Setiap bayi itu tertawa maka laki-laki itu juga ikut tersenyum.

Yuri tidak akan mau melewatkan pemandangan langka di depannya. Wonwoo sangat jarang menunjukkan senyum tulusnya. Laki-laki itu selalu menunjukkan senyum angkuh nan kakunya yang menurut Yuri sangat membosankan untuk dipandang.

"Aku tidak mengerti denganmu. Kau sangat menyukai anak-anak tapi kau tidak ingin berkeluarga." Yuri melipat tangannya didepan dada sambil menunggu reaksi apa yang akan diberikan Wonwoo padanya.

Laki-laki itu menatap Yuri dengan senyum tipis angkuhnya. "Karena hal seperti berkeluarga bukanlah hal yang penting." sahutnya tanpa keraguan.

Yuri tertawa rendah. "Jangan selalu membohongi dirimu sendiri. Sebenarnya dilubuk hatimu yang terdalam kau juga menginginkannya, bukan?"

Ekspresi Wonwoo langsung berubah menjadi serius. Ia tetap menatap Yuri dengan ekspresi itu. Hal itu membuat Yuri berpikir jika perkataannya tadi menyinggung perasaan laki-laki didepannya ini. Ia juga tidak tahu kenapa ia harus repot-repot membicarakan tentang keluarga, perasaan, atau apapun itu.

"Kalau begitu apa kau mau berkeluarga bersamaku?" pertanyaan dengan nada datar dan tak terduga itu langsung keluar dari mulut Wonwoo.

Yuri terlihat terkejut walaupun tidak terlalu kentara. Ia mengira Wonwoo akan menyangkal hal itu dengan sikap angkuhnya seperti biasa. Tapi kali ini diluar dugaannya. Perkataan yang keluar dari mulut laki-laki itu malah seperti sebuah lamaran.

Yuri tertawa dengan suara tawa yang dibuat-buat. Entah kenapa ia jadi sedikit gugup. "H⎯Hah? Ternyata kau bisa bercanda juga." ucapnya sempat terbata-bata.

Pada awalnya Yuri berhasil menutup keterkejutannya. Namun, semakin lama diperhatikan wanita itu tidak bisa terlalu lama mempertahankan ekspresinya. Sekarang, terlihat dengan jelas Yuri tengah salah tingkah.

Pemandangan yang cukup langka. Tidak biasanya Yuri bersikap manis di depannya.

Wonwoo mencodongkan sedikit tubuhnya lalu bertopang dagu sambil menatap Yuri di depannya. "Bagaimana jika aku serius? Apa kau akan menerimaku?" tanyanya tetap dengan nada datar.

Entah apa maksud laki-laki di depannya ini, Yuri tidak bisa membaca maksud sebenarnya dari perkataan laki-laki itu. Ia tidak berharap itu sebuah keseriusan dari Wonwoo karena itu tidak mungkin. Jika ia bisa menebak laki-laki itu tengah mempermainkannya.

Jika laki-laki itu tengah mempermainkannya, ia harus bisa mengendalikan diri. Yuri tersenyum tipis. "Tidak, Tuan. Jika itu benar aku tidak bisa menerimamu karena aku tidak mencintaimu. Aku hanya ingin membangun sebuah keluarga dengan orang yang aku cintai dan tentunya tidak dengan orang berhati es sepertimu." jawabnya telak.

Wonwoo kembali menegapkan tubuhnya lalu tidak lama setelah itu ia menyandarkan punggungnya di kursi dengan kedua tangannya ia masukkan ke dalam saku jaketnya.

Orang yang ia cintai, kah? Wonwoo mengerti kemana arah pembicaraan mereka berlanjut. Walaupun Yuri tidak menyebut siapa orang yang ia cintai. Ia sudah tahu siapa orang tersebut hanya dengan melihat mata wanita itu.

"Membosankan. Jika kau tadi menjawab iya. Aku akan langsung menikahimu besok." sahutnya dengan seringaian tipis.

Yuri tertawa dalam hati. Benar dugaannya. Wonwoo hanya tengah mempermainkannya. Laki-laki itu kira ia akan meloncat kegirangan hanya karena gombalan murahan seperti itu.

-00-

Setelah membayar di kasir. Wonwoo dan Yuri kembali melanjutkan perjalanan pulang mereka. Suasana di dalam mobil kembali sunyi. Seperti biasa, mereka berdua bisa saja tiba-tiba serempak terdiam lalu sibuk dengan pikiran sendiri-sendiri dan beberapa detik kemudian kembali saling melempar sindiran maupun perkataan sinis.

"Ku dengar dari pelayan beberapa hari ini kau sedang tidak sehat. Kenapa kau tidak memberitahuku?" Wonwoo akhirnya membuka suara.

"Aku tidak apa-apa. Aku hanya pusing." sahut Yuri malas.

"Aku akan menghubungi Dokter Jung setelah ini. Kau seharusnya tidak merahasiakan hal seperti ini walaupun hanya pusing seperti yang kau katakan." entah kenapa ia menjadi sedikit cerewet saat ini. Sebenarnya, sejak tadi ia ingin menanyakan hal ini namun waktunya selalu tidak tepat.

Yuri berdecak pelan. Ia tiba-tiba kesal. "Kau tidak usah menunjukkan perhatianmu seperti itu. Aku benar-benar tidak apa-apa. Sebaiknya kau urus saja urusanmu sendiri. Aku tidak akan mati hanya karena pusing."

Wanita itu benar-benar marah sekarang. Wonwoo menghela napas pelan. "Aku akan menyuruh pelayan untuk lebih sering memantaumu mulai sekarang. Jika terjadi apa-apa aku sendiri yang akan menyeretmu ke rumah sakit."

Okey? Menyeret? Bahasanya memang tidak pernah benar. Ia memang sering pusing dan mudah lelah sekarang tapi bukan berarti ia tidak bisa pergi sendiri ke rumah sakit.

"Aku bukan anak kecil dan aku tahu keadaan tubuhku lebih dari siapapun." sahut Yuri ketus.

Wonwoo tidak menjawab. Di dalam hati ia benar-benar berniat menyeret wanita itu ke rumah sakit. Pelayan yang memantau Yuri sudah beberapa kali mengatakan padanya jika wanita itu terlihat sering kelelahan tanpa sebab dan mengeluh pusing.

Karena kesibukannya, ia tidak sempat pulang ke rumah selama 2 minggu ini dan baru hari ini memiliki kesempatan untuk bertemu dengan wanita Kwon itu.

-00-

Saat sampai ke kediaman keluarga Shin, perasaan Jungkook semakin tegang. Apalagi ketika ia melihat ayah mertuanya. Ia tidak pernah terlibat pembicaraan serius apalagi hanya berdua dengan ayah mertuanya.

Tuan Shin memang terlihat ramah namun jika sudah marah sikapnya bisa berubah menjadi 180 derajat. Itu yang dikatakan Jinri padanya. Sebenarnya, ia tidak pernah melihat Tuan Shin marah selama bertahun-tahun bertetangga hingga kini ia masuk menjadi bagian dari keluarga ini.

Tapi Jungkook memang sebenarnya agak takut dengan ayah mertuanya. Bohong jika ia tidak merasa canggung selama ini, ia hanya tidak menunjukkannya saja.

Malam ini mereka membuat makan malam keluarga dan saat itulah waktu yang tepat untuk membicarakan rencana kepindahan Jungkook dan Jinri.

Hampir semua rencana adalah rencana Jinri karena wanita itu lebih tahu bagaimana cara mengendalikan mood ketua orangtuanya. Hal pertama yang harus mereka berdua lakukan adalah menyenangkan perasaan Tuan dan Nyonya Shin.

Mereka berdua sudah menyediakan kado natal untuk Tuan dan Nyonya Shin. Jungkook diam-diam menghela napas lega ketika melihat kedua mertuanya terlihat sangat senang menerima hadiah darinya dan Jinri. Tinggal bagaimana ia menjelaskan rencananya bersama Jinri setelah ini.

"Oh ya..., kalian berdua ingin memberitahukan sesuatu pada Appa dan Eomma, bukan? Jadi, apa ada berita bagus?" tanya Nyonya Shin membuka percakapan. Kini mereka berempat berkumpul di ruang keluarga sambil menikmati teh hangat setelah makan malam.

Jungkook dan Jinri saling pandang. Jinri memberikan senyumannya lalu menganggukkan kepalanya untuk meyakinkan Jungkook.

Jungkook berdeham pelan. "Kami berdua ingin memberitahukan sesuatu dan sekaligus meminta izin, Abonim dan Eommonim."

"Aku mendapatkan beasiswa penuh untuk melanjutkan kuliah di salah satu Universitas di Amerika tahun ini." lanjutnya dengan nada tenang. Jinri cukup takjub dengan cara pengontrolan Jungkook.

Tuan dan Nyonya Shin bertukar pandang dengan ekspresi terkejut. Nyonya Shin yang pertama kali memberi selamat dengan hebohnya seperti tipe ibu-ibu biasanya.

"Ya Tuhan..., Selamat, nak. Eommonim dan Abonim turut bahagia. Itu adalah kesempatan besar, kau harus menerimanya." ucap Nyonya Shin dengan binar kebahagian.

Tuan Shin memang terlihat ikut bahagia namun seperti sedang berpikir juga. Jinri sadar dengan tingkah ayahnya, tidak biasanya ayahnya diam saja dengan berita bahagia seperti ini. Jika seperti ini tunggu saatnya saja ayahnya tersebut membuka mulut.

"Jadi, jika kau menerimanya, nak Jungkook. Bagaimana dengan rencana kalian berdua?" benar saja yang dipikirkan oleh Jinri. Tidak butuh beberapa detik setelah ia menyadari tingkah ayahnya. Tuan Shin sudah bersuara.

"Oleh karena itu kami berdua juga ingin meminta izin pada Abonim dan Eommonim. Aku menerima beasiswa tersebut dan berencana untuk membawa Jinri ikut bersamaku disana." jelas Jungkook masih dengan ekspresi dan nada tenangnya. Ia seperti tidak terpengaruh sama sekali dengan tatapan Tuan Shin yang sepertinya ingin menentang keputusan mereka.

Tuan Shin tampak berpikir sesaat sebelum ia bersuara kembali dengan lantang.

"Aku tidak setuju." ucapnya tegas yang membuat semuanya terkejut.

"Appa."

"Sayang."

Jinri dan Nyonya Shin serentak bersuara memprotes keputusan Tuan Shin.

"Kau bisa melanjutkan sekolahmu dan biarkan Jinri tetap melanjutkan sekolahnya di Seoul. Selama kau di Amerika, Jinri akan tinggal bersama kami." lanjut Tuan Shin tidak mengubris seruan protes Jinri dan Nyonya Shin.

"Aku tidak mau. Bagaimana bisa Appa memisahkan aku dan Jungkook. Kami berdua sudah menikah. Aku mempunyai hak untuk mengikuti suamiku kemanapun dan Jungkook juga mempunyai hak untuk membawaku kemanapun." belum sempat Jungkook menjawab, Jinri sudah lebih dulu melayangkan protesnya.

"Lalu bagaimana dengan sekolahmu? Walaupun kalian sudah menikah bukan berarti kau harus mengorbankan sekolahmu. Kau juga harus mempunyai masa depan sendiri seperti suamimu. Berpisah selama 1 tahun bukanlah hal yang sulit. Kalian masih bisa bertemu saat libur." jawab Tuan Shin tidak mau kalah dengan argumen yang diberikan Jinri padanya.

Mata Jinri mulai berkaca-kaca. "Aku tidak meninggalkan sekolahku, Appa. Aku hanya mengambil cuti. 1 tahun bukanlah waktu yang sebentar. Aku tidak mau berpisah dengan Jungkook. Aku akan tetap ikut bersamanya."

Jinri tetap pada pendiriannya dan Tuan Shin pun begitu. Jungkook awalnya terlihat tenang-tenang saja sekarang malah terdiam dan bingung. Ia tidak tahu harus berbicara apa. Semua yang ingin ia katakan tercekat di tenggorokannya.

Ia berpikir jika ia masuk ditengah-tengah perdebatan antara ayah dan anak di depannya kini malah semakin memperkeruh keadaan. Ia harus mempertimbangkan keadaan untuk masuk di perdebatan ini.

Nyonya Shin mendelik kesal pada suaminya. Ia tahu bukan itu masalah yang sebenarnya. Tuan Shin hanya tidak ingin berpisah semakin jauh dengan putrinya. Kepindahan mereka ke Jepang saja begitu berat bagi Tuan Shin. Suaminya itu bahkan sempat berencana untuk mengundurkan diri dari perusahaan ketika mengetahui ia dipindah tugaskan untuk bertugas di Jepang.

Tuan Shin menghela napas. "Jeon Jungkook, Abonim ingin berbicara padamu." suara Tuan Shin terdengar berat. Dari cara ia memanggil Jungkook pun terdengar serius.

Jungkook menganggukkan kepalanya. "Baik, Abonim."

"Kalian berdua bisa tinggalkan kami. Aku ingin membahas masalah ini terlebih dulu dengan Jungkook." lanjut Tuan Shin tidak terbantahkan.

Jinri dan Nyonya Shin hanya bisa pasrah. Entah apa yang dikatakan Tuan Shin pada Jungkook nantinya. Tapi Jinri percaya pada Jungkook. Laki-laki itu tidak bodoh, ia pasti mempunyai beribu-ribu untuk membujuk ayahnya. Terbukti dengan Jungkook yang terlihat masih tenang dan malah memberikan senyuman untuknya.

-TBC-


(Ternyata Jungkook takut sama ayah mertuanya ya wkwk :'v)

Akhirnya setelah 100 tahun bisa update lagi xD

Sebenarnya mau update tadi malam tapi karena litmon juga lagi ngerjain deadline kerjaan lainnya jadi gak sempat update :'v

Sempatnya cuma siang ini buat update, mudahan bisa menyegarkan siang senin kalian ya dan menambah asupan siang kalian wkwk

Untuk Jungkook, maafkan noona ya gak bikin apa-apa saat kamu ulang tahun karena noona sangat sibuk dan juga pas udah gak sibuk malah mager tak tertulung. Karena noonamu ini juga tengah kurang asupan cinta, kasih sayang, dan duit :'v

Walaupun sedikit telat tapi memang telat sih. Selamat ulang tahun ya Jungkook-ah. Semoga dompet kamu selalu tebal /? dan jangan boros kya noona/? *curhatbentar

Sekian dari litmon. Terima kasih.

(Karena banyak yang bilang kenapa gak sekalian 1000 tahun, jadi litmon ucapkan sampai ketemu 1000 tahun lagi xD semoga kalian sehat-sehat saja 1000 tahun lagi... bye-bye.)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top