Chapter 44
Jungkook menutup matanya menikmati suasana berendam di onsen. Jarang-jarang ia bisa merasakan rasa relaks seperti ini. Rasa lelah dan ketegangan pada otot-ototnya berangsur-angsur hilang digantikan rasa nyaman.
Pemandian malam ini tidak terlalu ramai. Hanya ada sekitar tujuh orang ditambah dengan dirinya yang berendam. Tidak seperti pemandian wanita disebelah yang sangat berisik. Jungkook sejak tadi sekali-kali menajamkan pendengarannya kalau-kalau diantara suara berisik para wanita disebelah ada suara istrinya.
Jungkook menghela napas. Lama-lama memikirkan Jinri malah membuatnya jadi rindu istrinya cerewetnya itu. Kira-kira sedang apa wanita itu disebelah? Apa ia menikmati acara berendamnya atau sebaliknya? Salahnya juga yang terlambat memesan private onsen.
"Jung..."
"Hoi..., Jeon Jungkook!"
Suara teriakan yang memekak telinga mengejutkan Jungkook dari lamunan tentang Jinrinya. Ia menolehkan kepalanya kearah sumber suara dengan aura membunuh. Siapa yang berani berteriak tepat di telinganya?
Alis Jungkook terangkat bingung ketika melihat siapa yang berteriak tepat ditelinganya barusan. Seorang laki-laki dengan senyum kelewat lebar, ia seperti pernah melihat tapi ia lupa siapa.
"Ternyata benar. Kau Jeon Jungkook. Kau ingat aku? Kurang ajar sekali jika sampai kau lupa denganku." laki-laki itu kembali bersuara sambil menunjuk dirinya sendiri.
"Ken Hyung?" Jungkook akhirnya bersuara setelah diam beberapa saat untuk mengingat.
Laki-laki dengan senyum lebar itu menjentikkan jarinya di depan wajah Jungkook. "Bingo! Aku tidak percaya butuh beberapa menit untukmu mengingatku. Kau memang kurang ajar." ucapnya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Jungkook kembali memperhatikan Ken dengan kening mengkerut. "Kau tidak melakukan operasi plastikkan, Hyung?" tanya nya langsung to the point dengan penampilan Ken yang jauh berbeda dari setahun yang lalu.
Ken membulatkan matanya dengan ekspresi berlebihan. "Bodoh! Tentu saja tidak. Aku hanya diet, mengubah style rambut dan melepas kacamataku. Memangnya wajahku sangat berbeda sekali sampai kau berkata seperti itu?" sahut Ken sambil memegang wajahnya.
Jungkook menyandarkan punggungnya di pinggir kolam pemandian. "Hmm..., kau terlihat sangat berbeda, Hyung. Aku saja sampai tidak mengenalmu awalnya." jawabnya kembali dengan ekspresi santainya.
Ken memang terlihat sangat berbeda dari terakhir mereka bertemu. Laki-laki itu banyak kehilangan berat badannya, tubuhnya sekarang lebih terlihat atletis. Rambutnya juga ia pangkas pendek. Entah apa yang membuat mantan tunangan dari Kwon Yuri itu memangkas rambut panjang legendarisnya. Padahal dulu ia sangat bersikeras mempertahankan rambut panjang ala-ala tokoh samurai di anime. (Ket: Nama Ken pernah disebutkan di Chapter 3)
Ken ikut menyandarkan punggungnya di pinggir kolam pemandian. "Matamu itu saja yang katarak. Sangat berbeda apanya?! Wajahku tidak ada berubah sama sekali." omelnya.
Jungkook hanya menghela napas. Penampilannya saja yang berubah tapi mulut ceplas-ceplos si Tachibana di sampingnya ini masih sama seperti dulu. Malah tambah frontal.
Ken melirik Jungkook yang malah kembali diam. "Hei..., dalam rangka apa kau ke Jepang dan malah terdampar di wilayah pedesaan seperti ini? Kau bersama siapa?" tanya nya dengan bahasa korea yang fasih. Ken memang asli keturunan Jepang namun laki-laki itu fasih beberapa bahasa termasuk Korea.
Jungkook mengubah sedikit posisi bersantainya. "Tentu saja liburan natal. Apa maksudmu terdampar? Bahasamu selalu aneh, Hyung. Aku bersama Jinri." sahutnya santai tanpa memandang Ken yang entah kenapa menatapnya dengan pandangan ingin tahu sekali.
Ken menepuk tangannya keras hingga mengundang perhatian orang-orang di sekitar mereka. "Shin Jinri..., ah..., salah. Maksudku Jeon Jinri istrimu? Hmm..., jadi kalian berdua tengah berbulan madu, heh?" ia menyiku perut Jungkook dengan senyum aneh.
Jungkook meringis merasakan pinggangnya berdenyut. Ken tidak main-main menyiku perutnya. "Terserah kau saja ingin menyebutnya apa, Hyung." jawabnya malas.
Jika seperti ini, ia tidak akan bisa menikmati waktu santainya. Siapapun sudah tahu Tachibana Ken termasuk spesies berisik. Bisa dikatakan kelakuannya hampir sebelas-duabelas dengan Taehyung.
Ken menganggukkan kepalanya paham. "Kenapa tidak memesan private onsen? Private onsen disini yang terbaik walaupun terbatas." ocehnya lagi.
Jungkook membawa jari-jari untuk menyisir rambutnya ke belakang. Sedikit risih. "Oleh karena onsennya terbatas aku tidak sempat memesannya." sahutnya.
Ken berdecak prihatin. "Sangat disayangkan. Padahal disana sangat cocok untuk pasangan lovey-dovey seperti kalian." ucapnya cekikikan.
Jungkook hanya memutar matanya jengah. "Kami tidak seperti itu, Hyung." elaknya. "Omong-omong kau sendiri kenapa bisa ada disini, Hyung? Ku pikir kau sangat sibuk dengan bisnis barumu." lanjutnya mulai mengalihkan pembicaraan.
Ia tahu Ken bukanlah tipe orang yang suka buang-buang waktu dan mengeluarkan uang hanya untuk liburan. Laki-laki itu walaupun terlihat konyol diluar tapi sangat disiplin dengan urusan pekerjaannya. Apalagi setahunya Ken baru saja memjalankan bisnis baru.
Ken menggaruk pelan pipinya. "Bagaimana, ya? Sebenarnya aku juga tidak berniat untuk berlibur. Namun, minggu lalu aku memenangkan undian liburan disalah satu pusat perbelajaan. Daripada tiket liburan itu hangus. Ya..., aku gunakan saja. Apalagi semuanya gratis." jelasnya sambil terkekeh.
Jungkook menatap Ken dengan malas. Sudah ia duga. "Kau memang tidak berubah, Hyung." ucapnya.
Ken hanya tertawa pelan. "Aku bisa memberikanmu beberapa kupon diskon yang aku dapat. Oh iya..., aku juga dapat beberapa kupon diskon daging untuk minggu ini. Aku akan memberikannya untuk istrimu." ocehnya dengan semangat.
Jungkook tidak habis pikir dengan orang disebelahnya ini. Kenapa ia malah membahas kupon diskon? Si pelit Tachibana disampingnya ini memang hobby mengumpulkan kupon diskon, ingin berlibur saja harus ikut undian dulu agar dapat gratisan. Padahal jika dipikir-pikir tidak ada susahnya jika ia ingin mengeluarkan uang untuk liburan. Sudah jadi rahasia umum jika Ken adalah pewaris tunggal bisnis kedua orangtuanya yang terkenal memiliki perusahaan raksasa di bidang farmasi.
Namun, Ken memiliki prinsip lain jika menyangkut masalah uang. Yang kayakan orangtuanya bukan dirinya. Jadi, wajar saja ia menghemat uang penghasilannya sendiri. Kira-kira seperti itu lah tanggapan Ken jika ada yang protes dengan kebiasaannya.
Ken berdehem pelan. "Ngomong-ngomong bagaimana kabar Kwon Yuri? Apa ia masih melakukan pekerjaan menjijikkannya itu?" tanya nya. Ada nada penarasan yang terselip di kalimatnya.
Jungkook mengambil napas panjang. "Entahlah, Hyung. Aku harap Wonwoo Hyung dapat merubah gaya hidupnya menjadi lebih baik." ucapnya terdengar lesu.
Ken melirik Jungkook dengan sorot mata tak terbaca. Ia paham-paham saja jika Yuri kembali bersama dengan Wonwoo. Seperti yang dulu-dulu Yuri pasti hanya ingin memanfaatkan laki-laki keturunan Jeon itu. Yuri selalu menggunakan laki-laki sebagai mesin penghasil uang untuknya.
Gagalnya hubungan pertunangannya bersama wanita Kwon itu juga karena masalah uang dan harta. Kebusukan wanita itu terbongkar setelah pertunangannya. Mendengar keputusannya yang menolak menjadi pewaris bisnis orangtuanya membuat Yuri secara perlahan-lahan meninggalkannya. Wanita itu selingkuh dengan salah satu sahabatnya.
Alasan wanita Kwon itu selalu menolak Jungkook adalah karena ia tahu Jungkook bukanlah pewaris utama keluarga Jeon. Pewaris utama keluarga adalah Jeon Wonwoo. Padahal menurut Ken, Jungkook hanya tidak mau saja menerima tanggung jawab seberat itu. Sudah menjadi rahasia umum jika Jungkook lebih tertarik menjadi seorang produser dan membangun karirnya di bidang itu ketimbang menjadi CEO di perusahaan keluarganya.
Ken mengusap-usap dagunya berpikir. "Jeon Wonwoo, kah? Si brengsek itu ternyata masih terobsesi dengan Yuri." kekehnya. "Lalu bagaimana denganmu? Bagaimana perasaanmu sekarang dengannya?" pancingnya.
Jungkook terdiam sesaat. "Kau tahukan aku sudah menikah sekarang, Hyung. Jadi, ku pikir kau sudah tahu jawaban atas pertanyaanmu itu." sahutnya dengan pandangannya yang tetap lurus ke depan.
Ken diam-diam menyeringai. "Menikah bukan suatu jaminan kau sudah melupakan perasaanmu pada cinta masa lalumu. Apalagi pernikahanmu itu bukan atas kemauanmu." ucapnya sambil melirik Jungkook. Ia penasaran bagaimana ekspresi temannya tersebut. Namun, nihil. Ekspresi Jungkook terlihat datar-datar saja. Sama sekali tidak terbaca.
Jungkook menolehkan kepalanya kearah Ken dengan senyum mengembang. "Aku bahagia dengan kehidupan pernikahanku, Hyung. Hanya itu jawabanku." sahutnya lalu beranjak meninggalkan Ken yang terdiam atas jawabannya.
-00-
Jinri tersenyum senang ketika melihat Jungkook menunggunya. Mereka berdua meninggalkan area pemandian dengan Jungkook yang tiba-tiba merangkulnya dengan mesra. Mood laki-laki itu sepertinya sedang dalam mode sangat baik. Atau..., hmm..., ada maunya. Pernyataan terakhir yang harus Jinri waspadai.
Seringkali sikap mesra yang diberikan suaminya itu memiliki arti lain lebih tepatnya dibalik mesranya ada yang ia inginkan dari Jinri. Jungkook memang tidak langsung meminta, ia memiliki strategi agar Jinri langsung memberikan apa yang ia mau nantinya.
Setelah berendam di pemandian air panas dan makan malam, Jinri berniat untuk langsung istirahat. Apa lagi besok mereka akan mendaki gunung Fuji seperti yang diinginkan Jungkook. Butuh banyak tenaga untuk melakukan aktivitas mendaki gunung yang sangat disenangi oleh suaminya itu.
Namun, Jinri harus mengurungkan niatnya karena Jungkook memaksanya untuk menemani laki-laki itu menonton film. Awalnya, Jinri mengira Jungkook akan mengajaknya nonton film romantis atau paling tidak film yang layak untuk ditonton oleh pasangan. Tapi apa yang terjadi? Jungkook malah mengajaknya menonton film horror yang isinya penuh adegan berdarah dan organ-organ tubuh yang berserakan tanpa sensor.
Suara Jinri sudah serak karena terlalu banyak berteriak, bahkan ia sudah menghabiskan beberapa lembar tissue untuk mengusap air matanya. Ia menangis bukan karena terharu tapi karena ketakutan luar biasa.
Lalu bagaimana dengan Jungkook? Jangan ditanya lagi dengan si Jeon aneh itu. Ia terlihat senang-senang saja menonton adegan mengerikan yang sedang ditayangkan. Ia bahkan semakin penasaran dengan alur ceritanya.
Jinri masih setia bersembunyi dibelakangnya. Wanita itu ketakutan tapi anehnya masih saja ingin menonton. Bajunya sudah kusut karena sering ditarik-tarik oleh istrinya itu. Ia juga sangat kenyang dengan Jinri yang selalu memeluknya sepanjang film itu ditayangkan.
Jungkook diam-diam menyeringai senang. Awalnya, ia juga tidak berniat untuk mengajak Jinri menonton film. Hanya saja saat ia iseng mencari acara bagus untuk mengisi waktu, ia malah mendapatkan salah satu channel televisi tengah menayangkan film horror yang beberapa tahun lalu pernah tayang di bioskop.
Melihat film itu, muncul ide untuk mengerjai Jinri. Ia berniat untuk menakuti istrinya itu tanpa menyangka bagaimana reaksi ketakutan Jinri. Ternyata semakin takut Jinri semakin untung dirinya.
"Apa filmnya sudah selesai?" tanya Jinri di balik punggung Jungkook.
Jungkook mematikan televisi. Ia melepas back hug dari istrinya itu dengan pelan, ia berbalik hingga kini berhadapan dengan Jinri yang banjir keringat. Tunggu dulu? Banjir keringat? Jungkook mati-matian menahan tawanya melihat Jinri yang terlihat konyol sekali. Baru menonton film begitu saja sudah banjir keringat apalagi melihat hantu sungguhan. Mungkin Jinri langsung tumbang ditempat jika ada hantu sungguhan.
Laki-laki itu membawa tangannya untuk mengusap keringat di dahi Jinri. "Hmm..., sudah selesai. Terima kasih sudah menemaniku." jawabnya.
Jinri mengerucutkan bibirnya. "Aku tidak mau lagi menemanimu menonton film menyeramkan seperti itu. Seleramu aneh." ucapnya dengan gidikan ngeri.
Jungkook mengerutkan dahinya. "Hah? Menyeramkan? Itu masih belum menyeramkan menurutku. Film barusan masih menayangkan adegan-adegan standar film horror. Kelihatan sekali seramnya dibuat-buat." komentarnya dengan santai.
Jinri memandang wajah suaminya itu dengan pandangan aneh. Apa katanya? Adegan bunuh-membunuh, penuh darah, dan organ manusia yang berserakan seperti itu belum menyeramkan baginya. Memangnya biasanya Jungkook menonton film horror jenis apa? Jungkook memang aneh pikirnya.
"Kau tidak takut dengan hantu pembunuh tadi? Bagaimana jika ada hantu seperti itu disini?" tanya Jinri penasaran. Ia hanya ingin melihat tanggapan Jungkook.
Jungkook tertawa pelan. "Hantu itu tidak ada, Nyonya Jeon. Itu hanya cerita untuk menakuti orang penakut sepertimu. Kalau ada pun untuk apa kita takut. Kita punya Tuhan, kan?" jawabnya yang tumben-tumbenan terdengar sedikit bijak.
Jinri menganggukkan kepalanya paham. Ia malas menanyakan hal macam-macam lagi perihal hantu. Percuma saja membahas masalah hantu dengan orang yang tidak percaya dengan keberadaan hantu seperti Jungkook.
Hanya saja masalahnya sekarang, ia masih takut. Adegan demi adegan menyeramkan yang ia tonton tadi terbayang dipikirannya. Jika begini ke kamar mandi saja rasanya ia takut.
Ia menari ujung baju yang dipakai oleh suaminya. "Jungkook-ah, antar aku ke kamar mandi." pintanya.
Jungkook memutar matanya jengah. Sudah ia duga. "Iya..., iya. Dasar penakut." sahutnya malas.
-00-
Seokjin membuka pintu depan dengan helaan napas lega sekaligus lelah. Matanya juga terasa berat. Sejak kemarin pasien melahirkan begitu banyak, belum lagi sejak tadi pagi ia harus menangani beberapa operasi. Memang sudah resikonya menjadi dokter spesialis kandungan yang harus stand by dan on call 24 jam. Mau mengeluh pun tidak ada gunanya. Jadi, dinikmati saja.
"Aku pulang." ucapnya pelan. Keadaan rumah sudah sepi. Istri dan anaknya pasti sudah tidur mengingat ini sudah hampir tengah malam.
Namun, sepertinya dugaan Seokjin terpatahkan begitu saja ketika ia melihat istrinya keluar dari kamar dengan langkah tergesa-gesa.
"Selamat datang, Oppa." sambutnya dengan senyum mengembang.
Seokjin menyerahkan tas kerja dan coatnya pada Sena. "Kenapa kau masih bangun jam segini? Apa aku membangunkanmu?" tanyanya mengikuti langkah istrinya menuju ruang tengah apartemen.
Sena meletakkan tas dan coat Seokjin ke atas sofa. "Tidak, Oppa. Aku memang belum tidur. Seokkie tadi sempat rewel." sahutnya.
Seokjin menganggukkan kepalanya paham. Ia mengulurkan tangannya merapikan kancing piyama yang digunakan oleh istrinya itu. Sena pasti baru selesai menyusui Hyungseok ketika ia datang.
Sena tersenyum dengan perhatian kecil yang diberikan suaminya itu. "Oppa, kau ingin makan dulu atau mandi?" tanyanya dengan tangannya yang kini melingkari pinggang Seokjin.
Seokjin mencoba melonggarkan pelukan istrinya. "Mandi. Jangan memelukku, sayang. Aku bau." ucapnya.
Bukannya menjauh, Sena malah semakin merapatkan pelukannya. Ia menenggelamkan kepalanya di dada suaminya sambil menghirup wangi parfum bercampur bau keringat. Wangi khas yang hanya dimiliki oleh Seokjin. Wangi yang ia suka.
"Kata siapa bau? Kau masih wangi." sahutnya yang hanya disambut kekehan suaminya.
Seokjin membawa tangannya untuk mengacak-acak lembut surai hitam milik istrinya. "Terima kasih untuk pujiannya, sayang. Aku mau mandi dulu. Kau siapkan saja makan malamnya." ucapnya sambil melepas pelukan maut istrinya itu. Sebenarnya ia masih betah dipeluk oleh Sena namun mengingat ia belum mandi dan makan malam terpaksa pelukan hangat itu ia lepas dulu.
Sena mengambil ancang-ancang untuk pergi ke kamar. "Akan aku siapkan air hangat untukmu mandi." ucapnya sigap.
Seokjin menahan pergelangan tangan istrinya. "Biar aku saja. Kau siapkan saja makan malamnya, okey?" tolaknya dengan halus.
Sena tidak punya pilihan lain selain mengangguk patuh. "Hmm.., baiklah kalau begitu. Aku akan menghangatkan makan malam dulu." sahutnya sambil tersenyum.
Seokjin kembali mengusap kepala Sena dengan lembut. Tidak lupa kecupan singkat di kening istrinya sebelum ia menuju kamar untuk mandi.
Sena kembali tersenyum ketika mendapatkan perlakuan manis dari suaminya. Tidak ada yang berubah sejak awal pernikahan mereka sampai kini mereka di karuniai seorang putra. Seokjin tetap perhatian padanya tidak peduli sesibuk apapun laki-laki itu.
Setelah Seokjin masuk ke dalam kamar. Sena langsung menuju dapur untuk menghangatkan masakannya. Wanita itu bergerak dengan cekatan. Pekerjaannya harus sudah selesai sebelum suaminya sampai ke meja makan. Ia tidak ingin Seokjin menunggu lama.
-00-
Setelah selesai dengan acara mandinya, Seokjin dengan cepat menuju dapur untuk makan malamnya yang sangat terlambat sebenarnya. Ia sudah tidak bisa menahan rasa lapar yang mendera dirinya sejak tadi. Wajar saja ia kelaparan. Siang tadi perutnya hanya diisi roti isi dan kopi. Itu juga ia makan dengan terburu-buru.
Sena mengulurkan tangannya untuk mengambil nasi yang menempel di sudut bibir Seokjin. "Pelan-pelan saja makannya, Oppa. Nasi mu tidak akan kabur." peringatnya sambil tersenyum geli.
Seokjin hanya menganggukkan kepalanya pelan. "Iya..., iya. Masakanmu sangat enak. Apalagi sup tahu ini." ucapnya di sela-sela kegiatan mengunyahnya.
Sena menopang dagunya. "Besok aku akan membuatnya lagi." sahutnya. Tidak ada yang tidak enak bagi seorang Seokjin. Semua jenis makanan ia makan. Sena bahkan yakin walaupun nasi hanya ditaburi garam sekalipun tetap akan dimakan oleh suaminya itu.
Tidak ada pembicaraan lagi setelah itu, Seokjin masih sibuk menghabiskan masakan istrinya dan Sena sibuk memperhatikan suami tampannya itu menghabiskan semua masakannya. Namun, itu tidak bertahan lama ketika Sena teringat dengan pembicaraannya bersama ibu mertuanya tadi sore.
"Eommonim tadi sore ada menghubungiku." Sena mulai membuka suara kembali.
Seokjin menghentikan kunyahannya sebentar. "Ada apa Eomma menghubungimu?" tanya nya.
Sena tidak langsung berbicara. Ia terlihat berpikir sejenak. Antara ingin mengatakannya atau tidak. "Eommonim mencari Taehyung. Sejak 4 hari yang lalu Taehyung tidak kembali ke rumah. Eommonim mengira ia menginap disini makanya ia menghubungiku tadi." ceritanya dengan hati-hati.
Seokjin mengambil napas panjang. Ia menghentikan kegiatan makannya. "Kemana lagi anak itu? Kau sudah menghubungi Yerin? Jika ia tidak ada bersama teman-temannya, berarti ia bersama kekasihnya." ada-ada saja pikirnya. Taehyung kembali kabur lagi dari rumah. Tidak tanpa alasan adik laki-lakinya itu tiba-tiba menghilang seperti ini. Pasti Taehyung kembali bertengkar dengan ayahnya.
Sena menggelengkan kepalanya pelan. "Yerin maupun Taehyung sama sekali tidak bisa dihubungi. Ponsel mereka tidak aktif." sahutnya kembali khawatir mengingat entah kemana adik iparnya itu pergi.
Seokjin masih terlihat tenang-tenang saja. Ia tidak ingin terbawa emosi. "Aku akan menghubungi Jimin atau Jungkook. Mereka berdua pasti tahu kemana bocah itu pergi." ucapnya.
Jika Seokjin masih bisa tenang saat ini, lain halnya dengan Sena. Ia sejak tadi sore sudah khawatir ketika mendengar Taehyung tidak pulang ke rumah.
Seokjin paham dengan kekhawatiran istrinya itu. "Kau tenang saja. Taehyung sudah dewasa. Ia sudah tahu yang mana yang benar dan yang mana salah untuknya." ucapnya lagi yang disambut helaan napas istrinya.
Setelah selesai makan malam, Seokjin langsung menuju kamar untuk mengambil ponselnya. Ia menghubungi Jimin dan Jungkook. Benar saja dugaannya kedua sahabat Taehyung itu tahu kemana adiknya pergi.
Taehyung ternyata pergi berlibur ke Thailand bersama Yerin sejak kemarin. Adiknya itu juga sempat 2 hari menginap di rumah Jimin. Ia akan bicara dengan Taehyung jika adiknya itu sudah kembali ke Seoul. Mau bagaimana pun adiknya itu melakukan kesalahan besar. Mungkin Taehyung mengira dengan kabur dari rumah dapat memyelesaikan semua masalahnya. Yang ada kelakuan adiknya itu semakin membuat ayah mereka murka.
Seokjin meletakkan ponselnya ke atas meja rias istrinya lalu melangkah ke ranjang bayi yang tidak jauh dari ranjangnya bersama Sena. Ia tersenyum ketika melihat putranya yang sudah masuk usia 9 bulan itu tidur pulas.
Akhir-akhir ini ia jarang bisa menghabiskan waktu bersama putranya karena faktor kesibukannya di rumah sakit. Ia berangkat saat Hyungseok belum bangun dan saat ia pulang putra semata wayangnya itu sudah tidur.
Tidak lama setelah itu ia merasa ada sepasang lengan yang melingkar dipinggangnya. Seokjin dapat menebak itu adalah lengan istrinya.
"Kenapa belum tidur, Oppa?" tanya Sena di punggungnya.
Seokjin berbalik untuk membalas pelukan istrinya. "Aku hanya ingin melihat Seokkie sebentar sebelum tidur." sahutnya.
Sena tidak menjawab. Ia hanya semakin memperdalam pelukannya sambil mengusap punggung suaminya dengan lembut. Biasanya suaminya itu akan semakin mengantuk jika ia memberi usapan lembut di punggung.
"Oppa, aku lupa memberitahukanmu sesuatu. Tunggu sebentar." Sena melepas pelukannya. Ia membuka tas kerjanya yang ia simpan di lemari khusus koleksi tasnya. Wanita itu mengambil sesuatu dari tasnya tersebut.
Seokjin mendudukkan dirinya di pinggir ranjang sambil memperhatikan istrinya yang kini tengah menghampirinya dengan membawa sebuah undangan.
Sena memberikan undangan tersebut pada suaminya dengan raut wajah sedikit cemas. Ia ingin saja tidak memberikan undangan itu tapi pada akhirnya ia mengurungkan niatnya.
"Temanmu Park Jinyoung menikah tiga hari lagi. Ia juga mengadakan reuni dengan teman seangkatan kalian. Ia menitipkan undangan itu pada Jaehwan Sunbae." ucap Sena dengan hati-hati. Ia memperhatikan raut wajah suaminya yang langsung berubah ketika mendengar nama Park Jinyoung.
Seokjin berdecak kesal. Dasar Lee Jaehwan pikirnya. Pasti temannya itu yang memberitahukan Jinyoung untuk mengundangnya juga. Sejak ia lulus dari sekolah menengah atas, ia sudah bersumpah untuk tidak bertemu dengan teman-temannya lagi. Teman sekelasnya yang masih berhubungan dengannya sampai sekarang hanya Lee Jaehwan saja.
Ia bangun dari tempat duduknya dan tanpa disangka langsung membuang undangan itu ke tempat sampah. Sena terkejut dengan sikap Seokjin yang tidak seperti biasanya.
"Oppa, kenapa kau membuangnya?" tanya Sena ikut bangun dari duduknya.
Seokjin tidak menjawab pertanyaan Sena, ia lebih memilih melangkahkan kakinya menuju kamar mandi. Laki-laki menutup kamar mandi dengan kasar hingga menimbulkan suara keras. Sena ternyengit terkejut ketika mendengar suara pintu yang ditutup dengan keras. Bahkan, Hyungseok putranya menangis karena terkejut.
Sena menatap pintu kamar mandi dengan tatapan sedih. Suaminya tidak pernah semarah ini. Salahnya juga yang memberikan undangan itu.
Seokjin berdiri di depan wastafel kamar mandi dengan helaan napas panjang. Ia mencoba menenangkan dirinya sendiri. Mendengar nama Park Jinyoung membuatnya kembali teringat dengan masa-masa sekolahnya yang sangat kelam.
Ia meraba punggungnya yang langsung disambut ringisan sakit. Luka-luka di punggungnya sudah lama mengering, sudah lama tertutup namun, rasa sakit luka itu masih ia rasakan sampai sekarang. Luka-luka itu memberikan trauma mendalam untuknya.
Dari luka-luka itu ia seolah-olah ia dapat kembali mendengar segala caci-maki, hinaan, sumpah sarapah dari teman-temannya dulu. Kehidupan masa sekolahnya selama 3 tahun yang penuh dengan tekanan.
Seokjin menatap pantulan dirinya di depan cermin. Ia seakan melihat pantulan dirinya saat masa sekolahnya dulu. Gendut dan jelek. Itulah sosok dirinya dulu sampai waktu merubah dirinya menjadi sosok yang akan mematahkan segala caci maki, hinaan dan sumpah sarapah yang dilemparkan semua teman-temannya dulu.
-00-
Jinri mencuci wajahnya dengan cepat. Jungkook meninggalkannya sendiri di kamar mandi untuk menerima panggilan telpon. Entah siapa yang menghubungi suaminya itu saat tengah malam seperti ini.
Suara Jungkook masih terdengar berbicara dengan lawan bicaranya di telpon. Tapi walaupun suara Jungkook masih terdengar dari tempatnya, Jinri masih saja takut. Ia bahkan takut melihat cermin di depannya. Siapa tahu saat ia melihat cermin ada hantu di belakangnya seperti salah satu adegan film tadi.
Jungkook sering mengejeknya takut berlebihan tapi mau bagaimana lagi. Ia memang mempunyai ketakutan luar biasa pada sesuatu yang berbau horror dan hantu.
Ia keluar dari kamar mandi, mencari tasnya untuk mengambil pelembab malamnya. Jungkook hanya meliriknya sebentar lalu kembali berbicara serius di ponselnya. Jika ia tidak salah dengar, suaminya itu beberapa kali menyebut nama Taehyung.
Jinri menepuk-nepuk pipinya pelan setelah ia poleskan tipis pelembab wajah. Setelah selesai dengan wajahnya, ia menggerai rambutnya lalu mulai menyisir rambut sepunggungnya itu dengan telaten.
Dari arah lain, terlihat Jungkook sesekali melirik Jinri yang tengah menyisir rambutnya. Ia sudah terlihat tidak fokus dengan lawan bicaranya. Terkutuklah Seokjin yang tidak paham keadaan. Ayah satu anak itu tidak berhenti berbicara sejak tadi, mengomel tidak jelas seakan omelannya itu bisa sampai ke empu yang punya masalah.
Jungkook ingin saja berteriak menyuruh Seokjin mengomel langsung dengan Taehyung bukan dengan dirinya. Ia bahkan tidak tahu jika Taehyung sebenarnya kabur dari rumah tapi malah ia yang dimarahi.
Setelah 20 menit mendengar ocehan cerewet Seokjin, akhirnya Jungkook dapat bernapas lega. Seokjin memutuskan panggilan setelah puas marah-marah tidak jelas.
Melihat Jungkook meletakkan ponselnya ke atas meja. Jinri memberanikan dirinya untuk menghampiri suaminya itu. Jungkook terdengar mendumel tidak jelas, laki-laki itu masih kesal rupanya dengan Seokjin yang mengganggunya selarut ini hanya karena mencari Taehyung.
"Siapa yang menelpon, Jungkook-ah?" tanya Jinri hati-hati.
Jungkook mengangkat kepalanya sedikit. Ia menegapkan punggungnya di sandaran kursi. "Jin Hyung. Ia mencari Taehyung." Jawabnya.
Jinri mengerutkan keningnya. "Kenapa Jin Oppa mencari Taehyung? Ia tidak tahu jika Taehyung sedang berlibur? Aneh sekali." Ia mengambil langkah untuk duduk di kursi yang berhadapan dengan Jungkook. Namun, Jungkook dengan cepat menarik pergelangan tangannya hingga ia berakhir terduduk di pangkuan laki-laki itu.
Jungkook memeluk pinggang Jinri tidak terlalu kencang namun cukup untuk menahan wanita itu agar tidak bangun dari posisinya. "Jangan protes. Aku hanya ingin memelukmu seperti ini." ucapnya sebelum Jinri mengeluarkan protesnya.
Jinri berdeham kecil. "Aku ingin tidur, Jungkook-ah. Aku sudah mengantuk." alasannya.
Jungkook semakin menarik tubuh wanitanya itu merapat. "Nanti. Kau bisa tidur setelah aku puas." sahutnya terdengar sedikit menyeramkan ditelinga Jinri.
Apa-apaan dengan perkataan ambigu itu? Puas apanya pikir Jinri. Ia tiba-tiba merasa dirinya terancam.
Sadar dengan reaksi tegang Jinri, membuat sudut bibir Jungkook berkedut menahan tawa. Istrinya itu ternyata peka juga.
"Taehyung kabur dari rumah. Sudah 4 hari ia tidak kembali ke rumah. Yerin tidak ada menceritakan sesuatu padamu?" Jungkook mulai bersuara kembali dengan topik lain.
Jinri terkejut. Yerin tidak ada menceritakan apa-apa padanya. "Tidak ada. Ia pergi berlibur saja aku tidak tahu." sahutnya. Yerin memang sedikit bersikap aneh akhir-akhir ini. Gadis itu seperti menyimpan suatu rahasia darinya.
Jungkook menyandarkan kepalanya di punggung istrinya dengan nyaman. "Jika ada apa-apa, aku harap kau tidak ikut campur, Jinri-ya. Aku tahu kau sangat dekat dengan Yerin tapi aku hanya tidak ingin kau terseret masalah mereka." peringatnya.
Jinri tidak paham dengan perkataan Jungkook barusan. "Terseret masalah apa? Memangnya ada apa dengan Taehyung dan Yerin?" tanya nya.
Jungkook terdiam sesaat. "Taehyung berniat untuk membawa Yerin kabur. Entah Yerin tahu atau tidak rencana kekasihnya itu. Mungkin alasan Taehyung membawa Yerin ke Thailand bukan untuk liburan." sahutnya membuat Jinri menegang seketika.
Jinri menolehkan kepalanya ke belakang untuk melihat wajah Jungkook. Memastikan laki-laki itu sedang tidak bercanda sekarang. "Ba⎯Bagaimana bisa? Itu tindakan yang sangat gegabah. Aku harus menghubungi Yerin. Mereka tidak bisa begini." Jinri berniat untuk bangun mengambil ponselnya.
Jungkook dengan cepat menahan pinggang istrinya agar tetap dalam posisinya. "Apa yang aku katakan tadi padamu, Jinri-ya? Jangan ikut campur masalah mereka, kau bisa terseret. Ada Jin Hyung yang menangani masalah ini. Itu urusan keluarga mereka." cegahnya. Kali ini nada bicara Jungkook terdengar tegas.
Jinri akhirnya diam. Ia terpaksa menurut, mendengar perintah Jungkook yang terdengar tidak main-main itu membuatnya ciut juga. Mungkin ada benarnya apa yang dikatakan oleh suaminya itu. Ia tidak seharusnya ikut campur, bisa-bisa akhirnya ia malah ikut tertuduh ikut menyembunyikan kemana pasangan itu pergi. Bukannya tidak peduli dengan sahabat sendiri, hanya saja masalah ini menyangkut masalah keluarga.
Apalagi yang dilakukan Taehyung dan Yerin itu salah besar. Kabur dari masalah bukan solusi tepat. Keputusan mereka sangat gegabah sekali.
Jinri masih berkutat dengan pikirannya sendiri ketika ia merasa pelukan Jungkook mengerat. Kepala laki-laki itu sudah berpindah kelehernya.
"Daripada kau memikirkan masalah oranglain lebih baik kau memikirkan masalahmu sendiri, Nyonya Jeon. Kau sudah melupakan tugasmu selama 2 minggu." ucapnya di leher wanitanya itu. Jinri terlihat mencoba menghindar karena hembusan napas Jungkook menggelitik kulit lehernya.
Jinri menelan air ludahnya dengan susah payah. "Tu⎯Tugas apa?" tanya nya dengan suara yang tergagap.
Jungkook mendekatkan mulutnya di telinga istrinya. "Kau tahu maksudku." bisiknya.
Mendengar bisikan Jungkook tepat ditelinganya membuat Jinri meremang. Ia benar-benar terancam sekarang.
"Kau sudah tidak dalam masa periodemu, kan?" tanya Jungkook sekali lagi.
Entah sadar atau tidak Jinri menganggukkan kepalanya. "Hmm..., aku sudah selesai sejak kemarin." jawabnya yang langsung ia sesali sesaat kemudian. Kenapa ia tidak berbohong saja tadi?
Jungkook menyeringai senang. Bagus pikirnya. "Jadi bisakah aku memintanya malam ini?" tanya nya meminta ijin tapi tangannya sudah bergerilya kemana-mana.
Jinri tidak langsung menjawab. Ia menahan napas ketika merasa bibir suaminya itu mengecup permukaan lehernya. Ia berdoa dalam hati semoga kecupan itu tidak berubah menjadi ciuman yang meninggalkan bekas besok paginya.
"Hmm..., jangan terlalu kasar." sahutnya pelan namun masih didengar oleh Jungkook.
Jungkook langsung membawa wanitanya itu dalam gendongannya. "Aku tahu." sahutnya tidak kalah pelan.
-00-
Jinri melihat jam di ponselnya, sudah hampir jam 2 pagi. Ia melirik Jungkook disampingnya yang sudah menutup matanya untuk tidur. Mereka baru saja selesai beberapa menit yang lalu dan Jungkook sudah ingin meninggalkannya ke dunia mimpi.
Memang hal wajar jika laki-laki itu mengantuk, itu respon alami tubuhnya karena otaknya baru saja melepas beberapa hormon perubahan ketegangan dan *neurotransmitter. Kondisi tubuhnya juga lebih rileks karena sudah mengeluarkan semua hasratnya yang ia tahan selama 2 minggu.
Tapi untuk sekarang tidak seharusnya Jungkook untuk tidur lebih dulu karena laki-laki itu masih berutang janji penjelasan padanya. Sebelum mereka pergi berlibur, Jungkook mengatakan ingin mengatakan sesuatu padanya dan itu malam ini. Namun, sampai sekarang laki-laki itu tidak ada menyinggung masalah itu sama sekali. Entah Jungkook lupa atau menghindar karena setiap ia ingin menanyakan perihal masalah itu, gelagat Jungkook terlihat aneh.
Jinri mengubah posisinya menjadi memeluk tubuh suaminya itu di balik selimut. Jungkook bergerak sedikit ketika merasakan pelukan Jinri. Laki-laki itu belum tidur sepenuhnya.
"Ada apa, Nyonya Jeon?" tanya nya masih dengan mata yang tertutup.
Jinri mengangkat sedikit kepalanya untuk melihat wajah Jungkook. Belum tidur rupanya. "Kau belum mengatakan padaku, Jungkook-ah." ucapnya.
Jungkook membuka matanya, ia menurunkan pandangannya ke pucuk kepala Jinri yang kini tengah merebahkan kepalanya dengan nyaman di dadanya yang berkeringat.
"Apa?" tanya lagi masih belum paham.
Jinri terpaksa mengangkat kepalanya, ia memandang Jungkook dengan setengah kesal. Sejak kapan suaminya jadi sangat pelupa seperti ini?
"Sebelum kita berangkat kesini kau mengatakan ingin memberitahukan sesuatu padaku jika kita sudah sampai disini." beritahunya.
Jungkook terlihat berpikir sejenak. "Ah..., iya. Maaf aku lupa." ucapnya dengan senyum tanpa dosa.
Jinri memutar matanya sebal. "Jadi, apa yang ingin kau katakan?" tuntutnya.
Jungkook mengambil napas panjang. Mau tidak mau ia harus memberitahukan perihal beasiswanya itu juga. Mungkin malam ini memang waktu yang tepat. Urusan menghadapi bagaimana reaksi Jinri nanti ia sudah memikirkannya seharian ini. Ia sudah menyiapkan beberapa opsi penjelasan yang tepat untuk istrinya.
Ia bangun dari posisi tidurnya yang diikuti oleh Jinri. Laki-laki itu bangun untuk mengambil sesuatu dari tasnya.
Tidak lama kemudian ia memberikan sebuah amplop putih pada Jinri. "Itu yang ingin aku katakan padamu." ucapnya.
Jinri langsung melihat apa yang dimaksud oleh suaminya itu. Yang ingin ditunjuk oleh Jungkook adalah sebuah surat. Lebih tepatnya sebuah surat pemberitahuan jika Jungkook diterima di sebuah universitas ternama di Amerika. Walaupun isinya semuanya berbahasa inggris, Jinri masih paham intisari dari surat yang tengah ia pegang sekarang.
Ia menutup mulutnya tidak percaya. "Kau diterima di universitas ini dan mendapatkan beasiswa penuh? Selamat, Jungkook-ah. Kau memang hebat." Jinri langsung memeluk Jungkook dengan perasaan terharu bercampur senang.
Bagaimana dengan reaksi Jungkook sekarang? Laki-laki itu hanya terbengong-bengong dengan reaksi Jinri yang diluar ekspektasinya.
Jungkook melepas pelukan wanitanya itu. "Tunggu dulu, Jinri-ya. Apa ada sesuatu yang salah padamu? Kenapa hanya itu reaksimu?" tanya nya.
Mendengar pertanyaan Jungkook membuat Jinri mengerutkan keningnya bingung. Memang ia harus bagaimana? Menangis meraung-raung begitu?
"Hah? Apa maksudmu? Memangnya reaksiku harus bagaimana? Kau tidak senang aku mengucapkan selamat padamu?" tanya Jinri balik.
Jungkook memegang kedua bahu telanjang istrinya itu dengan tatapan serius. "Kau tidak berpikir apa resiko jika aku menerima beasiswa ini? Kita akan berpisah dengan waktu yang cukup lama." ucapnya.
Jinri memegang pergelangan tangan Jungkook dengan lembut. "Kata siapa kita akan berpisah? Aku akan ikut bersamamu. Bukannya sudah aku katakan aku ikut bersamamu kemana pun kau pergi." sahutnya dengan yakin.
Genggaman tangan Jungkook dibahu Jinri langsung merosot ketika mendengar jawaban yang tak terduga sama sekali dari mulut sang istri. Secepat itu Jinri memutuskan segala sesuatunya.
"Bagaimana dengan kuliahmu? Bagaimana rencana magangmu di perusahaan penerbitan impianmu itu? Jangan memutuskan segala sesuatu dengan gegabah hanya karena kau ingin ikut denganku, Jeon Jinri. Aku tidak ingin kau merusak impianmu hanya karena aku." sanggahnya. Jungkook jelas tidak ingin merusak impian Jinri demi impiannya.
Jinri menangkup wajah suaminya itu dengan kedua telapak tangannya, ia tersenyum. "Aku akan mengambil cuti kuliah selama satu tahun. Masalah rencana magangku, aku bisa mendapatkannya lain kali walaupun tidak di penerbitan itu. Impianku tidak rusak, aku hanya menunda sebentar impianku itu, Jungkook-ah." jelasnya dengan sabar.
Jungkook terdiam. Laki-laki itu masih mencerna keputusan Jinri yang sangat diluar dugaannya. Ia tidak menyangka wanita itu tanpa beban sama sekali langsung memutuskan ikut bersamanya.
Jinri mengusap pipi Jungkook dengan lembut. Ia mendekatkan wajahnya lalu mengecup bibir suaminya itu cepat. "Kau melakukannya demi masa depan kita juga, kan? Jadi, jangan ragu-ragu untuk mengambil beasiswa itu." ucapnya dengan senyum teduhnya.
-TBC-
*Neurotransmitter adalah pengantar pesan atau kurir di dalam otak. Pada kasus yang terjadi pada otak pria setelah berhubungan seks adalah otak melepaskan perubahan ketegangan dan neurotransmitter beberapa diantara adalah prolaktin, oksitosin, dan vasopressin, yang dikaitkan dengan tidur dan seks.
Halo, apa kabar? Lama tidak menyapa ya wkwk
Semoga chapter ini bisa meredakan kerindun kalian dengan pasangan jk-jinri ya. Di chapter ini giliran jin yang dapat part spesialnya. Litmon akan sedikit menguak masa lalu si Jin disini. Ketampanannya itu punya cerita xD jadi tunggu part selanjutnya ya. Seperti biasa jika ada yang kurang suka dengan part tambahan dari tokoh lain, kalian bisa langsung skip dengan resiko ceritanya akan sedikit tidak nyambung wkwk
Udah itu aja yang litmon sampaikan. Bye-bye.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top