Chapter 42
Kediaman keluarga Shin langsung ramai karena kedatangan Namjoon dan Hana. Pasangan Kim itu ternyata benar-benar serius ingin menumpang makan siang.
Hana bahkan secara terang-terangan mengatakan niatnya bersama suaminya itu yang hanya disambut kekehan Nyonya Shin. Ibu dari Jinri itu terlihat biasa-biasa saja, ia malah terlihat senang dengan kedatangan Namjoon dan Hana.
Jungkook jangan ditanya lagi, laki-laki itu sudah terlihat sangat dongkol dengan kehadiran pasangan Kim itu di rumah mertuanya. Apalagi Hana yang berkelakuan seenak jidatnya saja, seakan-akan rumah kelurga Shin itu sebagai rumahnya sendiri.
Setelah selesai makan siang, Nyonya Shin kembali mengeluarkan cemilan-cemilan andalannya yang langsung disambut binar bahagia Hana. Semakin banyak makanan yang dikeluarkan oleh Nyonya Shin semakin betah pasangan Kim itu berlama-lama di rumah keluarga Shin itu.
Padahal Jungkook sudah berharap kakaknya itu untuk cepat pulang. Semakin lama kakaknya ada disini, semakin membuatnya pusing. Suara cempreng kakaknya itu sangat mengganggunya. Apalagi sejak tadi Hana selalu memperlakukan adik semata wayangnya itu bak pesuruh.
Untungnya ayah mertuanya mengajaknya dan Namjoon untuk ke halaman belakang yang ternyata adalah tempat kolam ikan koi milik Tuan Shin. Suara berisik Hana tidak terdengar dari halaman belakang, tempat itu bagus untuknya menghindar dari kakak cerewetnya itu.
Berbeda dengan Jungkook, Jinri masih terjebak bersama ibunya dan Hana. Berbicara dengan Hana sebenarnya sangat menyenangkan, karena wanita itu banyak memiliki cerita yang menarik. Tapi, masalahnya ibunya hadir ditengah-tengah mereka dan membuatnya menjadi tidak nyaman karena topik pembicaraan ibunya tidak jauh dari kode-mengode tentang cucu.
Nyonya Shin mengusap perut Hana yang sudah sangat terlihat jelas membesar sekarang. "Kapan kira-kira kau melahirkan, nak?" tanya Nyonya Shin dengan suara lemah lembut khasnya.
Hana menghentikan kunyahannya sejenak. Ia tengah menikmati kue-kue buatan ibu mertua adiknya itu ketika Nyonya Shin memegang perutnya. "Menurut perkiraan awal bulan maret. Doakan semoga proses kelahirannya lancar, Eommoni," sahutnya meminta doa.
Nyonya Shin tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. "Tentu saja, sayang. Eommoni selalu mendoakanmu. Apa kau sudah memeriksa jenis kelamin anakmu? Laki-laki atau perempuan?"
Hana terlihat langsung tersenyum ketika mendengar pertanyaan dari Nyonya Shin. Jinri juga terlihat tertarik dan penasaran dengan jenis kelamin calon keponakannya itu. Ia dan Jungkook berencana untuk mulai memilih hadiah dan jika mereka tahu jenis kelamin bayi dikandungan Hana itu lebih memudahkan mereka untuk memilih hadiah yang pas.
Hana mengubah sedikit posisi duduknya, wanita itu tampak sedikit kesusahan karena perut besarnya. "Hmm... Aku dan Namjoon Oppa sudah memeriksanya. Bayi kami laki-laki." ungkapnya dengan senyum lebar.
Nyonya Shin dan Jinri terlihat terkejut bercampur senang. Mereka berdua langsung memberi selamat pada Hana karena berhasil mendapatkan anak pertama laki-laki. Sejak awal, Hana maupun Namjoon memang menginginkan anak pertama mereka adalah laki-laki.
Jinri memeluk kakak iparnya itu. "Selamat, Eonnie. Keinginanmu terkabulkan." ucapnya lalu dibalas pelukan hangat dari Hana.
Hana kembali tersenyum, ia melepas pelukannya. "Terima kasih, Jinri-ya. Aku juga tidak menyangka keinginanku dan Namjoon Oppa bisa terkabul. Kau juga harus cepat menyusulku." sahutnya dengan perkataan terakhirnya berefek.
Jinri hanya bisa tersenyum canggung. "Sedang kami usahakan, Eonnie." jawabnya terdengar dengan suara tidak enak.
Nyonya Shin hanya mengerling entah apa artinya. "Padahal Eomma sudah tidak sabar memegang perutmu seperti memegang perut Hana. Rumah ini pasti ramai jika ada tangisan bayi." ucapnya membayangkan rumah sunyinya ini menjadi ramai karena suara cucu-cucunya nanti.
Jinri tidak tahu harus menunjukkan ekspresi apa dengan perkataan ibunya itu. Ia lebih memilih tidak menjawab.
Hana hanya memandang Jinri dengan tatapan paham. Ia dan Namjoon pernah berada diposisi Jinri dan Jungkook selama 2 tahun. Ia sempat stres karena tak kunjung-kunjung hamil ditambah kedua orangtuanya dan Namjoon yang selalu menanyakan kapan memberikan cucu pada mereka. Keadaan itu sempat membuatnya dan Namjoon menghindar beberapa bulan.
Hana berdehem pelan. "Mungkin itu karena faktor kesibukan mereka berdua, makanya Jinri sampai sekarang belum isi-isi, Eommoni." bela wanita itu.
Nyonya Shin menganggukkan kepalanya pelan. "Berarti kau dan Jungkook harus menggunakan waktu libur kalian disini dengan sebaik-baiknya. Lupakan sebentar kesibukan kalian." nasehatnya yang hanya bisa dibalas dengan senyum manis Jinri yang sebenarnya hanya terpaksa saja.
Jujur saja Jinri sudah gerah mendengar topik pembicaraan tentang rencana memiliki anak. Ia hampir tidak bisa mengotrol mulutnya untuk mengatakan kepada kedua orangtuanya jika ia dan Jungkook sepakat menunda rencana untuk memiliki anak.
Namun, jika ia memberitahukannya sudah dipastikan keluarga Shin dan keluarga Jeon langsung geger dan menentang keputusan mereka berdua. Entah apa yang dipikirkan oleh kedua orangtuanya dan Jungkook. Mengurus hidup berdua saja ia dan Jungkook masih kesusahan, apalagi jika mereka mempunyai anak. Ia tidak bisa membayangkannya.
-00-
Yoongi cukup kaget ketika membuka pintu rumahnya siang ini. Wonwoo tiba-tiba bertamu ke rumahnya tanpa memberitahunya terlebih dahulu. Laki-laki itu mengatakan sekedar ingin mampir karena ia kebetulan sedang ada perjalanan bisnis ke Daegu. Yoongi tentu saja menyambut teman lama itu dengan senang hati. Terakhir ia bertemu dengan Wonwoo adalah saat di hari pernikahannya, itu pun hanya sebentar.
Wonwoo membawa banyak kantong belanjaan berisi mainan untuk Young dan beberapa hadiah untuk Yoongi dan Jiwoo. Ia mengatakan itu sebagai ganti karena ia tidak membawa hadiah apa-apa saat hari pernikahan Yoongi dan Jiwoo.
Jiwoo yang baru datang dari dapur tampak terkejut ketika kedatangan tamu. Apalagi itu seorang Jeon Wonwoo. Awalnya, Jiwoo hanya mengenal Wonwoo sebagai pembisnis muda yang sering muncul di berbagai majalah terkenal dan sepupu Hana sahabatnya. Namun, ia cukup terkejut ketika mengetahui Wonwoo adalah teman suaminya Yoongi saat sekolah dasar.
Keterkejutan Jiwoo tidak sampai disitu, saat Wonwoo memberikan hadiah untuknya dan Yoongi, wanita itu terperangah dengan hadiah apa yang diberikan oleh Wonwoo. Laki-laki itu memberikan sepasang jam tangan salah satu brand terkenal dengan harga yang Jiwoo yakini cukup fantastis.
Jiwoo tidak tahu harus membalas dengan apa, itu terlalu mahal untuk mereka terima sebagai hadiah pernikahan. Akhirnya, ia memutuskan untuk memasak banyak siang ini. Ia akan menjamu teman suaminya itu dengan makan siang. Setidaknya itu dapat menunjukkan rasa terima kasihnya dan Yoongi atas hadiah itu.
Selesai memberikan hadiah pada Yoongi dan Jiwoo. Wonwoo mengambil sekitar empat kantong belanjaan ukuran besar yang berisi berbagai macam mainan untuk anak perempuan.
Ia memberikan pada Young yang hanya menatapnya malu-malu dari pangkuan Yoongi. "Ambillah, sayang. Mainan ini untuk Young. Paman dengar Young sangat menyukai boneka barbie dan kuda pony," ucap Wonwoo dengan ramah berbeda dengan kesannya yang ia tunjukkan pada orang-orang biasanya. Wonwoo memang diam-diam sangat menyukai anak kecil.
Young turun dari pangkuan ayahnya, ia mengambil beberapa kotak mainan itu dengan susah payah yang akhirnya dibantu oleh Yoongi. Gadis kecil berumur 5 tahun itu tersenyum ketika melihat mainan-mainan yang hampir semuanya berbau barbie dan kuda pony kesukaannya.
"Katakan apa pada paman?" ingat Yoongi pada gadis kecilnya itu.
Young menatap wajah ayahnya sebentar lalu beralih menatap Wonwoo dengan malu-malu. "Terima kasih paman untuk mainannya." ucapnya dengan senyum manisnya.
Wonwoo tersenyum mendengar ucapan tulus dari gadis kecil itu. "Sama-sama, cantik." balasnya sambil mencubit pelan pipi Young dengan gemas.
Setelah mengucapkan terima kasih, gadis kecil itu langsung pergi membawa mainan-mainannya itu menuju karpet berbulu yang tidak jauh dari tempat Yoongi dan Wonwoo duduk.
Wonwoo kembali menunjukkan senyumnya walaupun terlihat samar kali ini. "Kau sudah mendapatkan kebahagianmu. Putrimu sangat menggemaskan," ucapnya.
Yoongi terkekeh. "Ya! Tidak usah berpura-pura iri seperti itu. Bukannya kau sebentar lagi akan menyusulku juga?" sahutnya dengan nada bergurau.
Hubungan temannya dengan wanita bernama Kwon Yuri itu sudah lama ia ketahui walaupun Wonwoo berusaha menutup-nutupinya. Wonwoo memang tidak secara gamblang mengatakan wanita itu adalah teman spesialnya namun, dari cara laki-laki itu memandang wanita bermarga Kwon itu sudah terlihat jelas jika ia memiliki perasaan spesial.
Yoongi kenal betul dengan tabiat temannya ini. Wonwoo memang tidak pernah serius menjalin hubungan dengan seorang wanita. Laki-laki itu selalu menganggap wanita hanyalah sebuah mainan untuknya bersenang-senang. Tapi, saat Yoongi memperhatikan cara pandang dan gerak-gerik Wonwoo pada Yuri saat menghadiri acara pernikahannya. Ia langsung dapat membaca jika cara pandang Wonwoo terlihat berbeda pada wanita Kwon itu.
Wonwoo mencoba menanggapi gurauan temannya itu dengan ekspresi menyebalkannya. "Ya! Apa maksudmu? Kau tahu aku. Aku tidak berminat membangun keluarga sepertimu. Itu sangat merepotkan." sahutnya dengan wajah angkuh khasnya.
Yoongi membentuk seringaian tipis di sudut bibirnya. Ia mendengus. Mungkin diluar sana, Wonwoo dapat berbohong dengan sesuka hatinya pada setiap orang tapi tidak dengan dirinya. Yoongi bukanlah orang yang mudah dibohongi.
"Ceritakan saja. Wanita yang kau bawa saat acara pernikahanku itu kekasihmu, bukan? Wanita yang kau gila-gilai selama bertahun-tahun ini." serangnya langsung.
Wonwoo terdiam. Ada raut keterkejutan di wajah laki-laki itu namun, ia buru-buru menutupinya dengan ekspresi datarnya. Min Yoongi memang tahu bagaimana caranya menyudutkannya.
Wonwoo menghela napas sambil tersenyum samar. "Memang tidak ada gunanya aku berbohong padamu." ucapnya.
"Jadi kau berhasil mendapatkannya kembali?" Yoongi kembali bertanya.
Wonwoo mengubah sedikit posisi duduknya menjadi lebih nyaman. Matanya tampak mulai menerawang jauh. "Awalnya aku pikir begitu." sahutnya terdengar lemah. "Tapi nyatanya aku salah. Apa yang aku lakukan selama ini hanya membuatnya semakin terluka dan semakin membenciku. Aku mengambil alih dunianya, mengontrol seluruh kehidupannya sesuai dengan kehendakku. Aku pikir itu cara terbaik untuknya hidup bahagia dan hanya memandangku."
Sangat Wonwoo sekali pikir Yoongi. Siapa yang tidak tahu dengan watak si Jeon satu ini. Wonwoo memang tipe pengontrol, ego adalah segala-galanya bagi laki-laki itu. Ia ingin segala sesuatu sesuai dengan kehendaknya.
Yoongi mendesah pelan. "Syukur jika kau bisa sadar dengan apa yang kau lakukan. Tidak selamanya segala sesuatu dapat kau atur sesuka hatimu. Apalagi ini masalah hati. Kau tidak akan mendapatkan apa-apa dengan keegoisanmu itu." komentarnya.
Wonwoo menganggukkan kepalanya. "Kau benar, oleh karena itu aku memutuskan untuk melepaskannya. Ia berhak mendapatkan kebahagiannya yang memang ia inginkan." sahutnya terdengar seperti bukan dirinya sendiri.
Yoongi sempat tidak percaya dengan perkataan temannya itu. Apa yang terjadi dengan Wonwoo? Melepas buruan bukanlah tipe laki-laki itu. Wonwoo bukanlah orang yang dengan mudah melepas apa yang memang ia inginkan. Ia akan melakukan berbagai macam cara untuk mendapatkan keinginannya dan itu juga berlaku untuk masalah wanita.
"Kau ingin meninggalkannya?" tanya Yoongi dengan ragu-ragu.
Wonwoo tersenyum. "Lebih tepatnya aku akan menghilang dari kehidupannya." sahutnya dengan yakin.
Jika ia tidak ingat Jeon di depannya ini adalah temannya, mungkin Yoongi akan bertepuk tangan sambil berdecak kagum akan perubahan pola pikir temannya itu. Ia dapat menebak Kwon Yuri bukanlah wanita biasa dikehidupan Wonwoo. Kwon Yuri sudah banyak memberi pengaruh untuk Jeon berhati es itu.
Yoongi berdeham pelan. "Aku baru tahu ternyata kau bisa menyerah juga." sindirnya.
Wonwoo kali tertawa hambar mendengar sindiran temannya itu. "Aku menyerah untuk kebahagiannya."
Itu adalah caranya untuk mencintai Kwon Yuri. Ia sadar bahwa tidak selamanya apa yang ia inginkan dapat ia raih. Hati wanita itu adalah salah satunya. Ia gagal dengan begitu mudahnya, ia menyerah dengan perasaannya semata-mata untuk kebahagian wanita itu.
Meninggalkan wanita itu adalah pilihan terakhirnya. Semakin lama ia menahan Yuri bersamanya, maka semakin terluka wanita itu. Hal itu yang tidak kuasa ia lihat. Ia sudah kehabisan akal untuk menarik perhatian wanita itu.
Jeon Jungkook adalah nama yang selalu disebutkan wanita itu, bahkan saat mereka bercinta, nama Jungkooklah yang keluar dari desahan wanita itu. Apa ini karma untuknya? Mungkin saja. Banyak hati yang ia sakiti selama ini dan sekarang adalah gilirannya. Hatinya langsung hancur sekejap tak tersisa.
Ini rekor besar dihidupnya. Ingin ia menertawakan dirinya sendiri. Sepayah inikah ia saat jatuh cinta? Tameng yang ia bangun selama ini runtuh begitu saja karena seorang wanita.
-00-
Jungkook dan Jinri kini berjalan berdampingan dengan beberapa kantong belanjaan di tangan mereka. Pasangan itu baru saja selesai berbelanja beberapa kotak jus dan bahan makanan pesanan Nyonya Shin.
Kebetulan minimarket tidak terlalu jauh dari komplek tempat tinggal keluarga Shin, hanya berjarak satu blok dari rumah. Jadi, Jungkook dan Jinri memilih untuk berjalan kaki sambil menikmati udara malam.
Jinri menolehkan sedikit kepalanya pada Jungkook yang sejak tadi hanya diam saja sepanjang jalan. "Jungkook-ah." panggilnya.
Jungkook terlihat menatap istrinya itu sekilas. "Hmm." sahutnya terdengar ogah-ogahan.
Gumaman 'Hmm' lagi yang ia dapat. Saat di minimarket pun, Jinri hanya mendapatkan sahutan seperti itu juga ketika ia berbicara dengan panjang lebar tentang berbagai hal yang ia lihat. Entah apa yang terjadi dengan mood Jungkook malam ini.
Sebenarnya, gelagat Jungkook sudah aneh sejak kedatangan Namjoon dan Hana tadi siang. Mood Jungkook terlihat berubah drastis setelah ia berbicara sesuatu dengan Namjoon. Entah apa yang dibahas oleh mereka. Jinri tidak sempat mendengarnya, karena saat ia datang ke taman belakang. Jungkook maupun Namjoon serempak langsung terdiam.
Jinri membawa tangannya untuk memeluk lengan Jungkook, hingga sekarang langkah mereka sejajar. Jungkook hanya menoleh sebentar sebagai respon tanpa bersuara sedikitpun.
"Sekitar 100 meter lagi ada sebuah toko bunga yang baru buka sekitar satu bulan yang lalu. Kata Eomma bunga di toko itu segar-segar." ceritanya kembali membuka suara.
Jungkook hanya ber'oh'ria saja sebagai jawaban. Jujur saja, Jinri mulai merasa jengkel dengan sikap laki-laki disampingnya ini. Ia sudah terlanjur kenyang mendengar sahutan 'Hmm' sejak tadi dan sekarang ia kembali mendapatkan sahutan yang sialnya lebih parah lagi yaitu sahutan 'Oh'.
Jinri akhirnya lebih memilih untuk diam sambil menghitung tiap langkah mereka dengan hati jengkel hingga tidak terasa mereka berdua melangkah semakin dekat dengan toko bunga yang ia ceritakan tadi. Ia menolehkan kepalanya memperhatikan toko bunga itu, mata Jinri langsung berbinar melihat deretan berbagai macam bunga di depan toko itu, belum lagi di dalam toko ia sempat melihat sekeranjang penuh bunga mawar yang terlihat masih begitu segar.
Jinri bahkan tidak sadar jika ia sudah melepas pelukannya pada lengan Jungkook. Ia malah berdiri di depan toko itu seperti orang idiot dengan matanya yang tidak lepas memperhatikan bunga-bunga segar itu.
Jungkook hanya dapat menghela napas melihat tingkah konyol Jinri itu. Ia menghampiri wanita itu dengan raut wajah malas. "Sampai kapan kau berdiri disitu? Ayo, kita pulang. Udara semakin dingin." ajaknya.
Jinri menolehkan kepalanya pada Jungkook. Tatapannya seperti meminta belas kasihan sekarang. "Belikan untukku satu buket mawar yang ada disana, Jungkook-ah." pintanya sambil menunjukkan sekeranjang mawar.
Jungkook terlihat tidak terlalu setuju dengan permintaan Jinri. "Untuk apa? Bunga-bunga itu tidak tahan lama, paling bertahan dua hari. Membelinya hanya buang-buang uang saja," sahutnya tanpa memperdulikan bagaimana ekspresi Jinri ketika mendengar perkataannya itu.
Jinri terlihat langsung kecewa mendengar jawaban laki-laki itu. "Hanya membeli satu dua tangkai tidak masalah, bukan?" cicitnya.
Jungkook tampak menghela napas dengan raut wajah yang terlihat tak terlalu bersahabat. "Kapan-kapan saja. Aku akan membelikan sesuatu yang memang kau perlukan. Tidak untuk bunga." sahutnya tegas.
Jinri langsung menatap Jungkook dengan kesal. Sikap keterlaluan laki-laki itu kembali. Ia hanya meminta setangkai dua tangkai bunga mawar tapi respon Jungkook cukup membuatnya sakit hati. Mereka tidak mungkin langsung kehabisan uang hanya karena bunga mawar, bukan? Memang apa salahnya ia meminta bunga mawar?
Jungkook paham dengan cara wanita itu menatapnya. Jinri pasti akan menggunakan senjata merajuknya untuk mendapatkan apa yang ia mau. "Jangan menatapku seolah-olah aku ini laki-laki paling jahat didunia ini. Bukannya kau yang selalu berkoar-koar menyuruhku berhemat selama liburan kita untuk tidak membeli sesuatu yang tidak penting." ia kembali bersuara.
Jinri mengalihkan pandangannya kearah lain dengan wajah cemberut. "Aku tahu. Tidak usah dibahas lagi." gumamnya lalu melangkah meninggalkan toko bunga itu dengan berat hati.
Ia salah meminta hal tersebut pada Jungkook. Laki-laki itu mana paham dengan makna memberi bunga untuk seseorang yang dicintai. Jungkook memang bisa bersikap manis padanya tapi tidak dengan hal-hal yang berbau romantis. Si Jeon itu jauh dari yang namanya romantis.
Jungkook mengikuti langkah Jinri dari belakang dengan senyum yang entah apa artinya. Ia berani bertaruh wanita itu tengah mengumpatnya di dalam hati.
-00-
Tidak ingin berlarut-larut dengan perasaannya sendiri, setelah pertengkarannya bersama Yoora yang berujung dengan keputusan mengakhiri hubungan mereka. Jimin langsung mengambil penerbangan kembali ke Seoul hari itu juga.
Tidak ada yang harus ia lakukan lagi di New York, hubungannya bersama Yoora sudah selesai yang pada akhirnya hanya menyisakan rasa kecewa dan sakit untuknya.
Entah apa ia harus menyesal atau tidak, penantiannya selama satu tahun ini seperti sebuah usaha yang sia-sia. Mempertahankan hubungan jarak jauh tidaklah mudah, menahan rasa rindu dan hanya bisa berkomunikasi lewat media sosial itu bukanlah cara berhubungan yang mudah dijalani olehnya.
Namun, sepertinya perasaan itu hanya ia yang merasakannya. Tidak dengan Yoora, gadis itu lebih mudah beradaptasi dengan hubungan jarak jauh mereka dan lebih bisa menikmati hidupnya ketimbang Jimin yang tiap harinya selalu dihantui rasa rindu.
Jimin sepertinya tidak main-main dengan perasaannya. Laki-laki itu dengan berani menyusul Yoora saat musim panas 4 bulan yang lalu dan melamar gadis itu. Tujuan lamarannya tentu saja untuk lebih mempererat hubungan mereka karena saat itu mereka sempat berpisah karena suatu kesalahpahaman.
Yoora dengan senyum penuh keyakinan menerima lamarannya. Menerima cincin pemberiannya dengan mata yang berbinar.
Namun, ternyata itu tidaklah bertahan lama. Kebahagian itu hanya menghampiri Jimin dalam sekejap mata.
Saat ia datang lagi. Ketika musim panas berganti menjadi musim dingin. Jimin harus menerima kenyataan pahit jika keputusan berpisahlah yang keluar dari mulutnya bukan kata manis dan penuh kasih sayang ia tuturkan pada kekasihnya itu.
Rasa kecewa menghantamnya saat ia mengetahui diam-diam Yoora berubah menjadi sosok yang lain. Sosok yang bahkan hampir tidak ia kenali lagi. Gadis itu sudah dibutakan gemerlap kehidupan barunya, kehidupan yang lebih menjanjikan menurut gadis itu ketimbang hidup bersama dirinya.
-00-
Setelah kepulangannya dari New York. Jimin kembali menyibukkan dirinya di cafenya yang semakin ramai saat mendekati hari natal. Kesibukannya ini lumayan membantunya untuk melupakan masalahnya bersama Yoora. Setidaknya ada karyawan-karyawannya yang menemaninya di cafe untuk temannya mengobrol dan tertawa disela kesibukan-kesibukan mereka.
Kebetulan Taehyung dan Yerin malam ini menghabiskan waktu kencan mereka di cafe ini. Jadi, jika ada waktu kosong, Jimin ikut bergabung mengobrol bersama sepasang kekasih itu. Taehyung dan Yerin memang selalu tahu bagaimana caranya menghibur orang-orang disekitar mereka. Jimin cukup terhibur mengobrol dengan pasangan itu.
Taehyung maupun Jungkook sudah tahu jika Jimin mengakhiri hubungannya bersama Yoora karena laki-laki itu tidak sengaja menyinggung tentang masalahnya itu saat mereka bertiga bertukar chat di grup.
Suara lonceng kecil yang sengaja dipasang di atas pintu berbunyi saat pintu dibuka, dari arah pintu terlihat seorang gadis masuk dengan langkah anggunnya. Rambut coklat terangnya tergerai indah terlihat cukup mencolok dengan kulit putih susunya.
Gadis itu cukup lama berdiri ditengah-tengah cafe sambil menatap kearah Jimin yang tengah sibuk dimeja kasir sambil menerima panggilan dari telpon. Laki-laki itu sepertinya tidak sadar jika mantan kekasihnya Lee Yoora berdiri tidak jauh darinya dengan tatapan sendu yang tak bisa disembunyikan.
Jimin baru sadar ketika salah satu karyawannya memberitahunya. Ia tampak terkejut melihat kehadiran gadis itu di cafenya. Ia tidak menyangka gadis itu pulang ke Seoul setelah sempat menolak beberapa kali untuk pulang.
Berusaha mengontrol keterkejutannya, Jimin mulai menciptakan tameng pada ekspresinya. Ia hanya menatap datar gadis itu sekilas ketika mempersilahkan Yoora untuk duduk di salah satu kursi di cafe dua lantainya itu.
"Kau ingin minum apa?" tanya Jimin. Ia berniat untuk bangkit dari tempat duduknya ketika tangan dingin Yoora menahan tangannya.
Yoora tersenyum tipis. "Tidak usah repot-repot, Jim. Aku hanya sebentar disini." sahutnya dengan suara lemah.
Jimin menganggukkan kepalanya. Ia dengan gerakan pelan menarik tangannya dari genggaman tangan Yoora. Gadis itu juga langsung menarik tangannya ketika melihat Jimin mencoba menghindar dari sentuhannya.
Yoora menundukkan sedikit kepalanya dengan raut wajah sedih sambil menyembunyikan tangannya kembali ke bawah meja. Rasa kosong itu kembali menyergapnya. Setelah kepergian Jimin, ia mulai merasakan setengah jiwanya pelan-pelan mengikis.
Jimin berdehem pelan. "Lalu ada apa kau kemari? Kau tidak mungkin jauh-jauh pulang ke Seoul hanya karena ingin singgah di cafe ku, bukan?" pertanyaan laki-laki itu entah kenapa terdengar seperti Yoora sekarang adalah bagian dari daftar orang lain dikehidupan laki-laki itu.
Yoora mengambil napas pelan sebelum berbicara. "Aku akan mundur dari pekerjaanku di New York dan pulang ke sini. Aku sudah memikirkan semua perkataanmu, kau benar. Emily hanya mencoba untuk menjeratku kembali," ucapnya dengan tatapannya yang tak berani bertemu tatap dengan mata tajam mantan kekasihnya itu.
"Maafkan aku, Jim. Karena tidak mendengar semua perkataanmu sejak awal. Maafkan keegoisanku. Aku berpikir hidup disana dan mendapatkan pekerjaan adalah masa depan yang menjanjikan untukku namun aku salah. Keputusanku itu malah menghancurkan masa depanku, masa depan kita yang sebenarnya." lanjutnya dengan suara yang mulai gemetar menahan tangis.
Jimin terlihat menghembuskan napas dengan pelan. Ia terlihat tidak berniat untuk segera menjawab. Ia menatap Yoora dengan pikiran yang berkecamuk. Melihat kerapuhan gadis itu membuat setengah hatinya tidak tega untuk meninggalkan gadis itu sendiri, ia ingin merengkuh gadis itu kembali ke pelukannya. Namun, setengah hatinya yang lain menolak hal itu. Rasa kecewa dan luka hatinya yang semakin lama semakin menganga mendesaknya untuk pergi.
Melihat Jimin yang hanya diam saja membuat Yoora semakin merasa ia tidak mempunyai harapan lagi untuk kembali. Air matanya tidak bisa ia bendungkan lagi. Setetes air mata kembali keluar dari matanya yang terlihat sedikit membekak bekas menangisnya semalam.
Yoora membuka tasnya dan mengeluarkan sesuatu dari tasnya tersebut. "Aku juga ingin mengembalikan cincin ini. Aku tidak berhak menyimpannya ataupun membuangnya." ucapnya lemah. Ia menyodorkan sepasang cincin pada Jimin.
Jimin menatap cincin itu seperkian detik lalu kembali menatap wajah sendu mantan kekasihnya itu. "Aku sudah memaafkanku. Tidak ada yang perlu kau sesali lagi. Mulai sekarang mulailah memikirkan masa depanmu kembali. Aku tidak akan mengatakan ataupun melarangmu tentang apapun. Kau bebas memilih masa depanmu sendiri, begitupun aku." ucapnya terdengar tanpa beban sedikitpun.
Yoora bisa merasakan hatinya hancur dengan sempurna hanya dengan perkataan yang dilontarkan oleh Jimin. Ia lebih dari paham apa maksud dari perkataan laki-laki itu. "Apa kita berdua tidak bisa kembali seperti dulu lagi, Jim? Bagaimanapun aku masih mengharapkan masa depan kita yang sudah kau rencanakan. Aku masih ingin mendengarnya dan menjalani masa depan yang kau rencanakan bersama," ucapnya terdengar seperti memohon kali ini dengan kepingan harapan yang masih tersisa.
Jimin bangkit dari tempat duduknya. Ia memasukkan kedua tangannya di saku hoodienya, menyembunyikan kepalan tangannya yang gemetar menahan rasa nyeri yang menusuk-nusuk jantungnya. "Pulanglah. Aku dengar-dengar malam ini akan ada hujan badai." ucapnya setegar mungkin lalu pergi meninggalkan gadis itu dengan langkah pasti.
Taehyung dan Yerin yang sejak tadi menguping dari kejauhan bertukar pandang dengan raut wajah prihatin.
Taehyung menyandarkan punggungnya dengan desahan pelan. "Tunggu saja beberapa hari atau bisa saja malam ini. Mereka berdua pasti akan kembali akur. Jimin tidak sekeras perkataannya, ia pasti akan berlari mengejar Yoora dan menyesali keputusannya." ucap laki-laki itu dengan suara pelan.
Yerin mengerutkan keningnya mendengar perkataan kekasihnya itu yang sering sok tahu tentang masalah oranglain. "Jangan sok tahu. Kau bahkan tidak tahu masalah mereka yang sebenarnya, Oppa." sanggahnya.
Taehyung mengerling tidak setuju. "Sayang, kau pikir aku sudah berapa tahun berteman dengan si bodoh Park itu. Jimin sama saja dengan Jungkook. Mereka berdua sama-sama terihat keras bagaikan batu saat marah tapi mereka tak akan sanggup berpisah lama dengan orang yang mereka cintai. Amarah mereka itu hanya sekejap, diamkan saja dan mereka akan sadar sendiri." bebernya. Ia tahu watak sahabatnya itu. Taehyung bahkan berani bertaruh sebenarnya Jimin sudah luluh sejak laki-laki itu memutuskan untuk bangkit dari tempat duduknya.
-00-
Jinri masuk ke dalam rumah dengan hentakan kaki keras dan wajah cemberut. Wanita itu langsung pergi menuju dapur untuk mengantarkan kantong belanjaan yang diikuti oleh langkah tenang Jungkook.
Setelah meletakkan kantong belanjaan di atas meja, Jungkook kembali dengan santainya berlalu dari dapur tanpa memperdulikan bagaimana ekspresi Jinri menatapnya. Jungkook lebih memilih menyusul Tuan Shin ke ruang keluarga untuk bermain catur sambil menunggu makan malam siap.
Jinri mendengus dengan keras. Sikap tidak peka laki-laki itu kembali lagi. Apa Jungkook tidak paham jika sekarang ia sedang kesal? Bagaimana sikapnya bisa sesantai itu? Bahkan Jinri merasakan malah Jungkook yang berbalik mendiamkannya. Seharusnya, ia yang harus bersikap seperti itu.
Jinri mendekati ibunya yang tengah sibuk mencicipi supnya. "Eomma, dulu bagaimana saat Eomma dan Appa berkencan? Apa Appa sering memberi bunga dan hadiah untuk Eomma?" tanya nya dengan suara lumayan pelan.
Nyonya Shin menghentikan kegiatannya. Fokusnya kini teralih untuk putri semata wayangnya itu. "Ada apa, sayang? Tumben kau bertanya seperti itu pada Eomma," sahut Nyonya Shin sedikit terkejut dengan pertanyaan putrinya itu.
Jinri hanya tersenyum tipis. "Aku hanya ingin mendengar cerita Eomma dan Appa dulu," alasannya.
Nyonya Shin mematikan kompornya lalu beralih memandang anaknya itu dengan senyum khasnya. "Seingat Eomma, Appamu hampir setiap minggu mengirimkan sebuket bunga untuk Eomma saat berkencan dulu. Tapi, itu sebagai ganti kencan kami yang sering tertunda karena kesibukan Appamu. Appamu sejak muda selalu saja sibuk dengan hobby dan pekerjaannya dan hal itu sering berdampak pada Eomma." ceritanya mengenang masa lalu.
Jinri tampak mengerucutkan bibirnya. "Bahkan Appa bisa bersikap romantis seperti itu pada Eomma." gumamnya. Ia mulai membanding-bandingkan Jungkook dengan ayahnya.
Mendengar gumaman putrinya itu Nyonya Shin mulai mendapatkan sebuah kesimpulan. Pasti ada sesuatu yang terjadi pada Jinri dan Jungkook pikirnya. "Kenapa? Ceritakan saja pada Eomma jika ada masalah, sayang." tawar Nyonya Shin.
Jinri membawa dirinya untuk duduk di kursi mini bar yang langsung tersambung dengan dapur. "Terkadang aku merasa Jungkook sangat keterlaluan dalam bersikap, Eomma. Ia sama sekali tidak memiliki sisi romantis. Ia bahkan mengomeliku karena sebuket bunga. Padahal ia tidak akan bangkrut hanya karena membeli sebuket bunga." cerita Jinri dengan wajah kembali cemberut.
Nyonya Shin tersenyum mendengar cerita putrinya itu. "Jungkook pasti mempunyai alasan mengomelimu, sayang." sahutnya.
Jinri mendesah dengan berat. "Iya... Tapi⎯⎯"
"Sayang, setiap orang memiliki sisi romantis yang berbeda-beda. Kau tidak bisa membandingkan Jungkook dengan ayahmu ataupun laki-laki lain. Eomma yakin Jungkook bukannya tidak ingin membelikannya untukmu. Toh, kadar cinta tidak bisa dinilai hanya karena keromantisan dan sebuket bunga, sayang." potong Nyonya Shin dengan nasehatnya.
Jinri paham apa yang dikatakan ibunya. Tapi, hanya saja ia ingin Jungkook sekali-kali bersikap romantis padanya. Apalagi tujuan mereka ke Jepang selain untuk mengunjungi orangtuanya adalah untuk menikmati waktu liburan berdua. Tidak ada salahnya jika Jungkook memberikan sesuatu yang spesial untuknya.
Namun, sepertinya itu hanya harapan yang terlalu tinggi. Seharusnya sejak awal ia jangan terlalu mengharapkan sesuatu yang spesial dari laki-laki itu karena saat ini ia mulai merasakan efek kekecewaan karena harapannya sendiri.
Nyonya Shin menghampiri putrinya itu. Ia ikut duduk disamping Jinri. "Keromantisan tidak harus ditunjukkan dengan sebuah hadiah maupun sebuket bunga. Tindakan-tindakan kecil yang kalian lakukan sehari-hari sebenarnya sudah menunjukkan sisi keromantisan kalian. Coba kau ingat bagaimana sikap Jungkook padamu sehari-hari? Dari yang Eomma lihat, Jungkook sangat perhatian padamu. Perhatian juga termasuk sikap yang romantis, sayang." jelasnya kembali.
Jinri terdiam. Pikirannya mulai terbayang-bayang bagaimana sikap Jungkook padanya selama ini. Ia menolehkan kepalanya untuk melihat Jungkook yang tengah bersantai bersama ayahnya di ruang keluarga.
-00-
Setelah kejadian 'sebuket bunga' Jungkook maupun Jinri sama-sama terlihat tidak memiliki niat untuk membuka percakapan. Mereka berdua sama-sama diam dengan pikiran masing-masing.
Jungkook tidak menunjukkan ekspresi yang berarti. Ia terlihat baik-baik saja dengan tindakan mogok bicara Jinri. sedangkan, Jinri sudah mulai gelisah antara ingin bicara atau tetap diam.
Ia yang merajuk, ia juga yang gelisah karena sikapnya itu. Jinri merutuki sikapnya sendiri. Setelah dipikir-pikir, sikap merajuknya ini sangat kekanak-kanakan. Masalah mereka sebenarnya sangat sepele. Hanya karena sebuket bunga.
Mungkin saja apa yang dikatakan ibunya ada benarnya. Jungkook mempunyai alasan kenapa tidak mau membelinya sebuket bunga. Hubungan mereka tidak bisa dibandingkan dengan pasangan berkencan. Mereka berdua bukan pasangan yang masih sibuk berkencan, mereka berdua adalah pasangan suami-istri. Salah jika ia menuduh Jungkook ini dan itu. Padahal apa yang ia dapat selama ini lebih dari sebuket bunga. Perhatian dan kasih sayang laki-laki itu sudah lebih dari cukup dibandingkan sebuket bunga.
Itulah adalah sisi romantis Jungkook.
Jinri menyesal sempat kesal dan berbicara macam-macam tentang suaminya itu. Ia juga tiba-tiba merasa malu dengan ibunya. Ia sempat mencoba untuk membandingkan Jungkook dengan ayahnya. Ibunya pasti berpikir jika ia masih memiliki pola pikir yang kekanak-kanakan. Bahkan, tadi ibunya sempat menyuruhnya untuk meminta maaf pada Jungkook dan mengajak laki-laki itu untuk berbicara kembali.
Namun, meminta maaf dan berbicara kembali dengan Jungkook bukanlah sesuatu yang mudah bagi Jinri. Baru melihat wajah suaminya itu saja nyali Jinri langsung ciut. Ekspresi datar Jungkook membuat ia tidak berani membuka suara.
Jika biasanya Jinri berani melawan amarah Jungkook, lain halnya lagi dengan diamnya Jungkook. Diam laki-laki itu memiliki aura yang berbeda, bisa dikatakan diam Jungkook kali ini terlihat menyeramkan.
Jam sudah menunjukkan pukul dua dini hari ketika Jinri tiba-tiba bangun. Ia ingin pergi ke toilet. Jadi, ia membalikkan tubuhnya bermaksud membangunkan Jungkook untuk mengantarnya ke toilet yang terletak di lantai bawah.
Namun, ia tidak menemukan Jungkook disebelahnya. Sisi ranjang tempat laki-laki itu kosong. Jinri terpaksa bangun untuk mencari keberadaan suaminya itu. Jujur saja, ia butuh Jungkook sekarang. Ia sama sekali tidak berani ke toilet sendirian.
Jungkook ternyata tengah mengerjakan sesuatu di meja belajar miliknya. Ruang itu dipisahkan oleh rak kayu.
Laki-laki itu tengah fokus dengan laptopnya ketika Jinri dengan langkah pelan mendekati suaminya itu. Jungkook sepertinya belum menyadari kehadiran Jinri dibelakangnya.
Jinri menepuk pundak Jungkook pelan. Laki-laki itu sedikit terjengit ketika merasakan sebuah tepukan dipundaknya. Otomatis Jungkook menoleh ke belakang dan mendapati senyum tanpa dosa Jinri menyapa netranya.
Tatapan Jungkook cukup tajam kali ini, sepertinya laki-laki itu tidak suka dengan gangguan yang dilakukan istrinya itu. Jungkook memang seperti itu, ia tidak suka jika ada yang mengganggunya saat ia tengah fokus dengan sesuatu. Apalagi dengan mood buruknya kali ini. Hal itu malah dapat memperparah keadaan saja.
Senyun Jinri menciut tergantikan dengan ekspresi tidak enaknya. "Hmm... Jungkook-ah... Bisakah kau mengantarku ke toilet? Toilet disini ja⎯⎯"
"Iya!" potong Jungkook langsung bangkit dari tempat duduknya tanpa menunggu Jinri menyelesaikan perkataannya.
Jinri sempat melongo, menatap Jungkook tidak paham. "Iya untuk apa?" tanya nya.
Jungkook menghela napas lelah. "Iya, aku akan mengantarmu ke toilet." ucapnya meralat perkataannya. "Cepatlah. Jangan membuatku berubah pikiran."
Mendengar suara Jungkook yang mulai ketus. Jinri langsung mengikuti langkah Jungkook yang sudah berjalan duluan menuju pintu kamar.
Mereka berdua turun dari lantai atas dengan Jinri yang mengekori Jungkook sambil memegang ujung piyama yang dikenakan laki-laki itu. Jungkook sudah biasa dengan kebiasaan istri penakutnya itu.
Mereka sudah sampai didepan toilet tapi Jinri masih saja memegang ujung piyama Jungkook tanpa berniat untuk melepasnya. Hal itu membuat laki-laki itu mengerutkan dahinya bingung.
"Apa yang kau tunggu? Cepat urus urusanmu itu." Jungkook cukup jengah menunggu Jinri yang tak kunjung-kunjung masuk ke dalam toilet.
Jinri dengan takut-takut menatap pintu toilet bercat coklat itu. "Jungkook-ah, temani aku masuk ke dalam. Aku takut sendiri di dalam toilet." pintanya dengan sedikit rengekan.
Jungkook tidak bisa menyembunyikan ekspresi terkejutnya mendengar permintaan aneh istrinya. "Hah? Apa yang kau takutkan? Tidak ada hantu di dalam toilet. Aku menunggu di luar." sahutnya sambil membuka pintu toilet dan menyalakan lampunya.
Jinri mengerucutkan bibirnya. "Tapi⎯"
"Tidak ada tapi-tapian. Cepat masuk dan selesaikan urusanmu." perintahnya yang tak terbantahkan.
Akhirnya, Jinri dengan terpaksa masuk ke dalam, masih dengan khayalan-khayalan anehnya tentang hantu Jepang. Rumah ini sudah sangat lama tidak ditinggali, jadi tidak menutup kemungkinan jika rumah ini memiliki penghuni dari dunia lain.
Ibunya juga pernah bercerita sering mendengar suara aneh di dalam dapur atau di dalam kamar mandi. Hal itu yang memicu ketakutan Jinri.
Jungkook hanya dapat menggeleng-gelengkan kepalanya dengan ketakutan Jinri yang terkadang berlebihan. Entah apa yang dipikirkan wanita itu sampai menyuruhnya ikut masuk ke dalam toilet. Apa wanita itu berniat menyuruhnya menyaksikan kegiatan menyelesaikan panggilan alam secara live? Jika iya, berarti keputusannya tadi adalah keputusan terbaik.
"Jungkook-ah, apa kau ada disitu?" terdengar suara Jinri memanggilnya.
"Hmm... Aku tidak kemana-mana." sahutnya Jungkook sambil menyandarkan punggungnya di dinding.
"Jangan tinggalkan aku, okey?" suara Jinri kembali terdengar.
Jungkook entah untuk keberapa kalinya menghela napas kembali. "Aku akan meninggalkanmu jika kau tidak bisa diam." sahutnya dengan suara ketus. Ancaman itu cukup efektif untuk membungkam mulut wanita itu. Terbukti dengan Jinri yang tidak bersuara lagi setelah ia memberikan ancaman.
-00-
Bukannya langsung istirahat, setelah mengantar Jinri, Jungkook kembali duduk di tempatnya semula dan melanjutkan pekerjaannya. Jinri sempat menegurnya untuk istirahat namun, ia tidak mengubrisnya.
Jungkook memejam matanya sejenak dengan sekelebat pikiran yang sejak tadi selalu mengganggunya. Pikiran itu bahkan membuatnya kembali tidak bisa tidur malam ini. Tubuhnya memang sudah sangat lelah namun, lain halnya dengan otaknya yang selalu mengajaknya untuk berpikir keras.
Pembicaraannya bersama Namjoon tadi siang berhasil mengganggu pikirannya. Selama beberapa bulan ini ia bisa sejenak melupakan perihal beasiswanya yang sampai sekarang belum ia putuskan untuk menerimanya atau tidak. Namun, tadi siang Namjoon kembali mengingatkan hal itu padanya.
Kakak iparnya itu kembali memberi saran dan nasehat untuknya. Namjoon benar, ia tidak bisa selamanya lari dari masalah ini. Cepat atau lambat ia harus mengambil keputusan. Ia juga tidak bisa selalu merahasiakannya pada Jinri. Istrinya itu berhak tahu dan memiliki andil untuk memberikan pendapat.
Jungkook menatap layar laptopnya dengan ketukan jarinya di meja menandakan ia tengah berpikir keras. Formulir sudah ia dapatkan, tinggal mengisinya dan melengkapi berkas. Waktu untuk mengambil keputusan adalah sampai hari kelulusannya.
Pusing dengan pikirannya sendiri, akhirnya ia memilih untuk mencoba tidur. Jungkook meninggalkan tempat duduknya dan melangkah menuju ranjang. Jinri terlihat sudah kembali terlelap dengan gaya tidurnya yang sama sekali tidak elit.
Jungkook dengan pelan naik ke atas ranjang lalu merebahkan tubuhnya dengan gerakan yang ia usahakan tidak membangunkan Jinri. Ia menolehkan kepalanya untuk melihat wajah wanita itu, posisi Jinri yang menyamping menghadapnya membuatnya dapat dengan leluasa menikmati wajah cantik istrinya itu.
Ia hanya menatap wajah Jinri tanpa melakukan apapun. Berharap wajah teduh istrinya itu dapat membawanya ke dunia mimpi segera. Jungkook tersenyum tipis ketika melihat bibir Jinri bergerak-gerak dengan lucu. Sepertinya wanita itu tengah memimpikan sesuatu.
"Hey... Mimpikan aku, Nyonya Jeon." bisiknya pelan.
-00-
Jinri merenggangkan tubuhnya dengan malas. Ia dengan susah payah membuka kedua matanya yang masih terasa sangat berat. Sambil merapatkan kembali tubuhnya dengan selimut, Jinri membalikkan tubuhnya ke kanan mencari keberadaan Jungkook.
Ia maraba sisi ranjang tempat suaminya itu tidur berharap Jungkook masih bergelung dengan selimutnya seperti biasanya. Namun, bukan tubuh hangat Jungkook yang ia dapatkan, ia malah menyentuh sesuatu yang terasa asing.
Jinri dengan terpaksa membuka matanya untuk melihat benda yang ia sentuh tadi.
Saat ia sudah sadar apa yang ia sentuh, matanya yang awalnya hanya terbuka dengan terpaksa. Kini, sudah terbuka lebar ketika melihat sebuket bunga mawar yang diletakkan disampingnya.
Jinri mengambil buket mawar merah dan pink itu dengan senyum yang merekah. Bukankah bunga ini yang ia inginkan tadi malam pikirnya. Kenapa ada di atas ranjangnya? Apa Jungkook yang melakukannya? Tidak mungkin ibu atau ayahnya yang memberikan bunga seperti ini.
Ia mengambil kartu kecil berwarna putih yang sengaja diletakkan di sela-sela bunga. Kartu itu adalah petunjuk siapa yang memberikannya bunga cantik ini. Walaupun didalam hati ia sudah yakin pelakunya adalah Jungkook. Siapa lagi yang tahu keinginannya ini selain suaminya itu.
Jinri membuka kartu kecil itu dan benar saja apa yang ia pikirkan. Tulisan tangan di dalam kartu itu sangat ia kenal. Itu tulisan tangan Jungkook.
"Selamat pagi, Nyonya Jeon."
Wajah Jinri langsung merona sempurna ketika membaca pesan dalam kartu kecil itu. Walaupun isinya hanya ucapan selamat pagi namun, entah kenapa rasanya begitu manis. Terlanjur manis malah.
Saat itu juga, Jungkook yang baru kembali dari lantai bawah untuk mandi masuk ke dalam kamar. Laki-laki itu masih menggunakan bathrobe dengan handuk kecil yang ia sampirkan di bahunya.
Jinri yang melihat kedatangan Jungkook langsung turun dari ranjang lalu berlari kearah laki-laki itu. Jungkook tidak sempat menghindar ketika Jinri langsung memeluknya hingga ia sedikit terhuyung ke belakang.
Jinri mendongakkan kepalanya dengan tangannya yang masih memeluk Jungkook erat. "Terima kasih untuk bunganya." ucapnya dengan mata yang berbinar-binar bahagia.
Jungkook membawa telunjuknya untuk mendorong kepala Jinri hingga wanita itu melepas pelukannya pada pinggangnya. "Mandi dulu baru peluk." ucapnya lalu berlalu dari hadapan Jinri yang terlihat langsung memberengut.
Jinri mengikuti langkah Jungkook. Laki-laki itu berhenti di depan lemari untuk mengambil pakaian ganti. "Kenapa? Aku tidak sebau itu," protesnya tersinggung.
Jungkook masih sibuk memilih pakaian yang akan ia gunakan. "Aku tidak ada menyebutmu bau." sahutnya acuh.
Jinri mendengus. "Lalu kenapa kau menolak pelukan terima kasihku? Kau mencoba untuk mengacuhkan ku lagi?" tanya nya kembali protes. Apa si Jeon di depannya ini tidak tahu bagaimana tulusnya ia memberikan pelukan terima kasihnya itu yang sebenarnya jarang ia lakukan.
Jungkook menghentikan kegiatan memilih bajunya. Ia kini berbalik menghadap wanita itu. "Aku tidak ada mengacuhkanmu. Seingatku sejak tadi malam kau yang tidak mau berbicara denganku, Nyonya Jeon." jawabnya dengan penekanan di akhir kata.
Jinri tampak terdiam sejenak. Wanita itu mulai berpikir mencari celah untuk membela diri. Ia tahu kesalahannya tapi entah kenapa ia berpikir untuk tidak mau mengalah dengan mudah.
"Kata siapa kau tidak mengacuhkanku? Sejak dari depan toko bunga, kau mendiamkanku. Kau juga seperti mencoba menghindariku," serangnya.
Jungkook menghela napas. Ia langsung bersedekap. "Aku diam karena aku tidak ingin memperpanjang masalah dan juga, aku tidak ingin merusak kejutannya." jawabnya jujur.
Jinri terdiam. Kejutan? Oh, ia lupa tentang bunga itu. Jungkook menolak membeli bunga untuknya saat itu karena laki-laki itu sudah lebih dulu memesannya sebagai kejutan. Si Jeon itu juga sengaja mendiamkannya agar rencananya berjalan dengan sempurna. Jadi, pada intinya Jungkook hanya berpura-pura tadi malam. Laki-laki itu kembali berhasil menjahilinya.
"Jadi... Tadi malam kau sengaja?" tanya nya kembali bersuara.
Jungkook membawa tangan kirinya untuk menyisir rambut setengah basahnya ke belakang. Ia tersenyum puas. "Mungkin." sahutnya singkat.
Lagak Jungkook yang mulai menyebalkan itu serta merta membuat kesabaran Jinri habis juga. Ia serius bertanya dan hanya dijawab seperti itu.
"Aku serius, Jeon Jungkook." ucap wanita itu dengan penekanan.
Jungkook berbalik kembali memilih pakaiannya. "Aku juga serius." sahutnya santai.
Jinri menutup matanya sejenak. Ia menghampiri laki-laki itu, dengan cepat ia melesatkan tubuhnya diantara kedua lengan Jungkook yang tengah terangkat mengambil pakaian di lemari.
Mata laki-laki itu menunjukkan keterkejutan. Ia menatap wanita itu dengan seksama. "Apa yang kau lakukan?" tanya nya dengan suara rendah.
Jinri mengatur napasnya sebelum kembali mengeluarkan suaranya. "Kau menyebalkan," bisiknya. "Aku kira kau tidak peduli padaku. Sikapmu tadi malam membuatku kembali salah paham." lanjutnya.
Jungkook tersenyum tipis. "Aku memang menyebalkan. Kau juga sudah tahu itu." sahutnya terdengar tidak mengelak dengan tuduhan istrinya itu. Ia menarik pakaian yang ingin ia pakai, lengannya sudah kembali ke sisi tubuhnya.
Laki-laki itu berniat untuk berbalik meninggalkan Jinri yang masih berdiri di depan lemari. Namun, sebelum Jungkook berbalik, Jinri dengan gerakan yang tidak disangka-sangka menarik leher Jungkook dan mempertemukan bibir mereka.
Jungkook terkejut terbukti dengan matanya yang terbelalak besar. Ia pasti tidak menyangka dengan tindakan berani wanita itu.
Bibir Jinri bergerak diatas bibir laki-laki itu, ia dengan berani menggigit bibir Jungkook yang langsung mendapat respon oleh laki-laki itu. Entah sadar atau tidak, cara wanita itu begitu mengundang.
Jinri melepas ciumannya. Napas mereka sama-sama terengah-engah. Wajah Jungkook terlihat memerah dengan sorot mata yang masih bertanya-tanya dengan serangan tiba-tiba istrinya itu.
"Caramu memberi kejutan memang sangat menyebalkan," Jinri membuka suara. "Tapi, aku menyukainya. Anggap saja ciuman itu adalah balasan untuk kejutanmu." bisiknya.
Jungkook menarik napas lalu mengeluarkannya dengan pelan. Ia tengah mengontrol dirinya. Siapa yang sangka jika balasan dari Jinri langsung ia dapatkan dengan cara yang sensual. Jika begini, ia rela saja membeli seribu tangkai bunga untuk wanitanya itu.
-TBC-
Bonus.
Jinri twitter update
(Translate: Thanks ❤🐰 @/jjk_twt)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top