5. Mengsalting

"Nggak usah, biar aku sendiri." Walau begitu aku tetap menolak kebaikannya, harus tetap jual mahal dong, jadi orang jangan gampang luluh.

"Biar saya." Dia melirikku tajam, kalau sudah gini aku nyerah, bukannya aku luluh dengannya ya, aku cuma malas berdebat saja.

"Yaudah."

Aku memilih menurutinya dan menunggu di ruang tengah sambil menatap televisi yang masih menampilkan bola, menurutku tidak seru sama sekali, kenapa para lelaki sangat suka menonton bola? Memangnya apa yang seru? Aku saja pusing melihat orang mengoper bola ke sana ke sini.

Tidak lama kemudian Mas Sehan datang membawa dua cangkir teh, satu untukku dan pastinya satunya lagi untuknya.

"Ini." Dia meletakkannya di atas meja, lalu duduk tepat sampingku, kok aku jadi merinding gini ya berada didekatnya dengan jarak yang sangat tipis seperti ini, aduh Rivera biasa aja dong! Jangan sampai kelihatan gugup begini, malu-maluin aja kalau sampai Mas Sehan tahu.

"Makasih." Aku langsung mengambil teh itu dan meminumnya tanpa sadar masih panas. Tuh kan, aku jadi ceroboh gini, efek gugup duduk terlalu dekat sama Mas Sehan sih.

"Awh!" Aku spontan berteriak.

"Kenapa?" Mas Sehan menoleh.

"Panas." Segera kuletakkan cangkir tehku di atas meja.

Mas Sehan menghela napas, mungkin sebal dengan segala kecerobohanku, haduh Rivera, jangan terlalu menampakkan kebodohan bisa nggak sih?

Mas Sehan kemudian mengambil cangkir tehku dan meniup-niup pelan, aku seketika melongo melihatnya, sejak kapan dia jadi perhatian begini?

"Makanya tiup dulu." Dia menyerahkan cangkir tehku yang sudah ia tiup sebelumnya, aku menerimanya masih dengan kesadaran yang belum terkumpul sepenuhnya.

Heh, masa gini aja aku baper sih. Rivera, kendalikan dirimu! Aku nggak boleh jadi orang yang gampang baper gini, malu banget sih.

"Pipi kamu kenapa?"

"Hah?"

"Merah," ucap Mas Sehan dengan santainya, tanpa tahu ucapannya malah membuat aku makin bertambah malu saja.

Jangan sampai Mas Sehan tahu kalau aku salah tingkah atas perbuatannya tadi, bisa kegeeran nanti dia.

Aku berdehem pelan, mencoba untuk menetralkan detak jantungku yang entah sejak kapan sudah berdetak kencang.

"Hmm kan aku lagi sakit." Kupalingkan wajah ke arah manapun, agar tidak menatap Mas Sehan langsung.

Dapat kurasakan Mas Sehan melihat ke arahku dan membuat aku semakin gelagapan, ya ampun apa yang harus aku lakukan? Kenapa jantungku jadi berdetak makin tak normal begini?

Dan tiba-tiba tangan Mas Sehan mendarat dikeningku, untuk yang ke sekian kalinya aku dibuat melongo atas tindakannya.

Heh, dia itu tidak bisa diam saja apa? Kenapa harus pegang-pegang keningku segala sih.

"Hmm, sedikit hangat," ucapnya bersamaan dengan tangannya yang terlepas dari keningku.

Sekarang aku bisa bernapas lega, tak sadar bahwa sedari tadi aku menahan napas saking gugup dan malunya.

"Minum obat."

Aku menoleh, ini Mas Sehan sedang bicara denganku atau hanya bicara dengan dirinya sendiri? Matanya sama sekali tak melihat ke arahku, dia fokus ke layar televisi yang menayangkan bola.

"Ngomong sama aku?" tanyaku.

Dia berdehem pelan menanggapi, apa susahnya sih bilang iya? Dasar manusia menyebalkan, mungkin sudah berkali-kali aku menyebutnya menyebalkan, dan kedepannya juga aku akan tetap menyebutkan hal serupa, karena kenyataannya memang begitu kan? Kalau tidak menyebalkan, bukan Mas Sehan namanya.

"Dah lah mau lanjut tidur aja, ntar juga sembuh." Aku berdiri sambil tetap membawa cangkir tehku, lama-lama berdekatan dengan Mas Sehan keadaan jantungku jadi tidak aman, lebih baik aku melanjutkan tidur saja.

Mas Sehan diam saja tanpa berkomentar apa-apa, tapi dapat kulihat dia yang menggeleng-gelengkan kepalanya, aku tidak peduli dan tetap menuju kamarku.

- - -

TBC...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top