25. Mati Lampu
- - -
"Mas Sehan!" Dalam kegelapan aku berteriak memanggil Mas Sehan, kenapa tiba-tiba mati lampu begini? Sumpah, aku takut kegelapan.
Dengan meraba-raba kasur aku mencari handphoneku, setelah ketemu langsung kunyalakan senter dan keluar kamar untuk mencari keberadaannya Mas Sehan.
Aku takut sendirian jika dalam keadaan gelap begini. "Mas! Kamu di mana?"
Dapat kulihat Mas Sehan keluar dari kamarnya. "Saya di sini," sahutnya dengan tangan yang juga memegang senter handphone sama sepertiku.
Aku berjalan mendekat kepadanya. "Mas, kenapa mati lampu?"
"Silau, Rivera."
"Eh, maaf nggak sengaja." Aku sampai tidak sadar jika senter handphoneku mengarah tepat ke wajah Mas Sehan.
"Sebentar, saya cek lampu punya tetangga dulu."
"Aku ikut," ucapku yang tidak mau ditinggal sendirian.
"Tunggu di sini."
"Nggak mau, mau ikut."
"Yaudah." Mas Sehan akhirnya mengangguk, lalu kami berdua keluar rumah untuk melihat apakah lampu tetangga juga mati?
"Gelap banget." Aku bergumam pelan saat melihat ternyata semua rumah mati lampu.
"Gimana dong ini, Mas?" tanyaku.
"Ya tunggu sampai nyala sendiri, yaudah kita masuk."
Aku dan Mas Sehan kembali masuk ke dalam rumah. "Mas, ada lilin nggak?"
Mas Sehan menggeleng, "Udah lama nggak pernah mati lampu, jadi nggak ada persediaan lilin."
Aku mendesah kecewa, "Mas, ini handphoneku baterainya udah merah, kalau nyalain senter terus nanti yang ada hp-ku ikutan mati juga."
"Yaudah matiin senternya, pakai senter handphone saya saja."
"Jadi tambah gelap dong."
Dapat kudengar Mas Sehan menghela napas, "Ya terus kamu maunya gimana? Mau saya tinggal beli lilin?"
"Ya jangan! Mana berani aku ditinggal sendirian gini," keluhku.
"Ikut beli lilin?" tanya Mas Sehan.
"Mas, kamu ini gimana sih? Nggak liat apa sekomplek gelap gulita begitu, emang berani keluar?"
"Berani," jawab Mas Sehan.
"Aku yang nggak berani, kalau liat ada putih-putih gimana?"
Mas Sehan menyentil dahiku pelan, "Jangan percaya begituan."
"Ish, ngeliat beneran pasti Mas takut."
"Emang kamu pernah lihat?"
"Ya nggak sih, ya pokoknya jangan sampe ngeliat. Yang ada nanti aku nggak bisa tidur tujuh hari tujuh malem."
Mas Sehan mendengus, "Lebay!" ejeknya.
"Udah ah, jangan bahas yang putih-putih, serem tau!"
"Kamu yang mulai," ucap Mas Sehan.
- - -
"Mas, ini kapan nyalanya sih?" Sekarang sudah jam sepuluh malam dan lampu belum menyala kembali sejak dua jam yang lalu.
Saat ini kami sedang berada di ruang tengah dengan penerangan seadanya yang hanya dari senter handphonenya Mas Sehan, handphoneku sudah mati beberapa saat yang lalu.
Mas Sehan menjawab tanpa mengalihkan pandangannya dari laptop, seperti biasa dia selalu membawa pekerjaan ke rumah. "Saya nggak tahu."
Aku berdecak kesal, bosan menunggu lampu yang tidak kunjung menyala.
"Kalau udah ngantuk tidur saja," ucap Mas Sehan.
"Mana berani aku tidur kalau mati lampu gini."
Mas Sehan tak membalas ucapanku lagi, tapi dia terlihat menutup laptopnya.
"Ayo tidur!"
Aku terdiam kaget, "Ha?" Maksud Mas Sehan apa?
"Saya temenin," lanjutnya lagi.
"Serius?" tanyaku.
Mas Sehan berdehem, kemudian aku mengekor di belakangnya. Di depan kamarnya dan kamarku Mas Sehan berhenti, ngomong-ngomong kamar kami memang bersebelahan.
"Mau di mana?"
Aku menatap Mas Sehan dengan bingung, apanya yang mau di mana?
Seolah paham akan keterdiamanku, Mas Sehan kembali berucap. "Kamar saya atau kamar kamu?"
"Kamarku aja," jawabku pelan.
Aku masuk ke kamar dan Mas Sehan menyusul di belakangku.
"Saya temenin sampai lampunya nyala," ucapnya.
Aku mengangguk, "Senternya taruh nakas aja, Mas." Kasian tangan Mas Sehan kalau megangin handphonenya mulu.
Setelahnya aku segera membaringkan tubuhku di kasur, lalu menarik selimut hingga setengah badan.
Mas Sehan sendiri memilih duduk di sofa single yang ada di dalam kamarku ini.
Aku memejamkan mata berusaha untuk tidur, beberapa saat kemudian mataku kembali terbuka.
Aku menoleh ke arah Mas Sehan yang terlihat duduk sambil memejamkan matanya.
"Mas, kamu kalau mau tidur mending ke sini aja," ucapku tak tega, gimana kalau dia ketiduran sambil duduk gitu? Kan kasian, pasti pas bangun nanti jadi pegel.
Mas Sehan membuka matanya, "Nggak papa, saya di sini saja."
Aku menepuk-nepuk sebelah kasurku yang kosong, "Di sini aja," suruhku.
Mas Sehan memilih untuk mengalah, lalu bangkit untuk tidur di sebelahku.
Aku berbalik membelakangi Mas Sehan saat dia sudah berbaring di sampingku, Mas Sehan hanya diam dan tidak membuka suara lagi.
Tiba-tiba senter handphonenya Mas Sehan mati, sekarang benar-benar gelap tanpa ada penerangan apapun.
"Mas." Aku beringsut mendekat kepadanya.
"Baterainya habis," ucap Mas Sehan memberitahu.
"Gelap, Mas. Takut," cicitku pelan.
"Ssstt, tidur Rivera." Mas Sehan mengusap kepalaku dengan lembut, membuat mataku terpejam perlahan.
Malam itu, untuk yang kedua kalinya aku kembali tertidur dalam pelukan Mas Sehan.
- - -
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top