Something About the Invitation
Something About The Invitation
"Serah deh. Yang jelas, aku nggak mau mikirin dia lagi."
"Daripada mikirin Adit, kan lebih baik kamu mulai nyari peluang sama Arland. Sayang lho, An. Cowok high quality gitu dianggurin."
Seanna masih mengunyah sambil menyeka sudut bibirnya dari remahan kacang. "Ya kali. Misal nih ya, aku suka sama dia. Memangnya, dia bakal suka sama aku? He's too high to reach, right?"
"Hmm. Iya, iya." Erika menopangkan kedua tangannya di dagu. "Jadi, ceritanya kalian ini udah jadi teman apa gimana?"
"Nggak tau. Dia cuma bilang mau temenan doang sih." Seanna melirik Erika yang masih terlihat berpikir sampai-sampai keningnya mengerut.
"Hmm. Kalo teman, undang aja ke pesta nikahan Kak Ervan."
Kedua mata Seanna nyaris melompat dari bingkainya. "Ngapain juga ngundang dia?"
"Yee...biar kamu ada partnernya. Gitu."
"Nggak mau ah."
"Ih dikasih tau juga." Erika mencubit donat kedua yang diambilnya dari dalam kotak. "Aku tuh cuma nggak mau kamu jadi tambah sedih ngeliat kak Ervan."
"Aku udah move on kali, Er." Seanna mengucapkannya dengan hati yang luka. Move on tidak akan mungkin bisa secepat itu.
Ervan itu pangeran yang tidak akan tergantikan.
Ah, beruntung sekali sih Dinda? Rasanya yang ingin dilakukannya bukan merancang konsep pesta tapi menghancurkannya. Kalau The Grinch saja bisa menebar horor di malam Natal, dia pun bisa menebar horor di pesta pernikahan. Dalam film kan lumayan banyak referensinya?
"Kalo kamu nggak mau ngundang Arland, biar aku yang ngundang. Gimana? Kali aja dia mau jadi gandengan kamu di pesta pernikahannya kak Ervan. Gimana?"
"Nggak usah, Er. Sumpah deh nggak usah."
"Nggak. Aku mau ngundang dia, pokoknya."
***
Erika pasti sudah gila sampai harus memasukkan nama Arland Wiraatmadja dalam daftar undangan. Ya, ya sekalian saja Adit diundang juga.
Dan Adit memang diundang juga. Kecuali ada nama Aditya Anindyo yang lain.
"Er. Kenapa Adit diundang juga sih?"
"Eh, ini nama-nama dikasih langsung sama Kak Ervan. Nggak usah protes deh. Salahmu sendiri, nyari pacar yang punya relasi sama Kak Ervan."
"Dicoret aja, apa susahnya sih?"
"Ya nggak bisa, Seanna. Nanti kalo Kak Ervan ngecek lagi trus dia nggak nemu undangan buat Adit, gimana?"
Seanna memasang tampang manyun. Ervan kan yang punya acara? Dia punya hak apa untuk mengatur-ngatur tentang siapa yang boleh dan tidak boleh diundang.
"Makanya. Saranku, kamu pepetin tuh si Arland biar kamu nggak digangguin sama Adit. Beres kan?"
"Jadi, maksud kamu? Aku beneran harus ngajak Arland buat jadi partnerku di pesta nanti?"
"Tuh ngerti." Erika tersenyum, memasang tampang tidak bersalah. Kalau saja Erika itu bukan sahabat sejatinya sejak masih bayi, Seanna sudah mengikat sahabatnya itu di batang pohon mahoni trus digelitikin pakai kemoceng sampai minta ampun.
"Ya Tuhan, Er. Aku ini cuma remahan tahu jeletot kalo dibandingin sama pak manajer perusahaan importir berlian ganteng dan tajir itu, tau nggak?"
"Sini, nomer teleponnya mana?"
"Mau ngapain? Eh, eh, Erikaaaa."
Erika lebih dulu menggapai ponsel yang diletakkan Seanna di atas meja.
"Namanya siapa?"
Seanna mendesah pasrah. "Cari aja di abjad A."
"Hehe..udah ketemu." Erika langsung menyambungkan ke nomer tersebut.
Setelah menunggu beberapa saat, teleponnya tersambung. Tapi ekspresi Erika langsung berubah kaget.
"Suara cewek, An. Suaranya kayak abis lari marathon."
***
"Telepon nih. Buat kamu."
Miranda yang tadinya selesai melakukan treadmill, berinisiatif mengangkat ponsel Arland yang terus berdering sementara Arland masih menyelesaikan jogging di treadmill di sebelah Miranda.
Arland menerima ponsel yang tadi dijawab Miranda. Melihat nomer ponsel Seanna terpampang nyata di monitor, Arland tanpa ragu menghubunginya lagi.
***
"Dia nelepon balik." Erika menunjuk-nunjuk ponsel Seanna yang tengah berdering.
"Ih, ogah."
Erika berdehem sebelum mengangkat telepon.
"Oh, nggak. Ini Erika. Tadi nggak sengaja kepencet."
Seanna kembali menyibukkan diri menyusun undangan berdasarkan pembagian RT dan RW. Dari cerita singkat Erika, sepertinya waktu dihubungi tadi, Arland sedang "lari marathon" sama cewek yang mengangkat teleponnya.
Seharusnya dia bisa memprediksi laki-laki seperti apa Arland itu.
***
Tidak ingin berdebat tentang undangan untuk Arland, Erika pun setuju untuk tidak mengundang Arland. Seanna mengatakan akan mengajak Rio, adik sepupunya yang masih kuliah. Seanna memang tidak punya pilihan lain, sekalipun Erika meledeknya.
Pagi ini, Seanna kembali mendapatkan kejutan tidak menyenangkan ketika hendak berangkat ke kantor.
"Kamu mau ke kantor? Yuk, barengan."
"Nggak. Makasih."
Adit sudah menduga respon Seanna akan seketus itu. Tapi dia belum menyerah.
"Seanna, ayolah. Aku cuma mau nganterin kamu."
"Aku nggak pernah minta kamu jemput ya, Dit? Ngerti kan?"
Adit tersenyum.
"Kamu kalo lagi marah malah tambah gemesin."
Seanna tidak mempedulikan Adit dan bergegas memacu langkahnya melewati pagar rumahnya. Kali ini Adit masih berusaha menyusul.
"Seanna dengar dulu, Sayang."
"Apa-apaan sih." Seanna menarik tangannya yang sempat disentuh Adit. "Aku harus gimana lagi ngejelasin ke kamu, kalo aku nggak mau lagi ketemu sama kamu. Ngerti?"
"Sayang, maafin sikap aku selama ini ke kamu. Sumpah. Aku sayang sama kamu. Aku nggak bisa ngelupain kamu. Aku udah coba nyari pengganti kamu, tapi memang nggak bisa."
"Udah, Dit. Udah. Aku nggak mau dengerin ocehan kamu."
Adit menggeram. "Kenapa? Udah punya yang baru?"
Seanna balik menatap tajam Adit yang masih mencoba merangkulnya.
"Iya. Aku udah punya cowok. Hubungan aku serius sama dia. Dan aku udah mau nikah sama dia."
Adit tertawa. "Kamu bohong."
"Ngapain aku bohong?" Seanna sudah kehabisan akal. Diambilnya kartu nama Arland dari dalam tas. "Nih, kalo nggak percaya!"
Adit membaca sekilas kartu nama yang tadi diperlihatkan Seanna. "Itu kan cuma kartu nama biasa? Nggak cukup kuat jadi bukti."
"Oke! Aku teleponin sekarang!" Seanna hampir mencubit dirinya sendiri karena berani menantang Adit.
Trus, misal Adit mau ngomong sama Arland, gimana?
"Selow. Nggak perlu diteleponin. Misal, dia cowok kamu, kenapa dia nggak jemput kamu?"
Glek. Berdebatnya nggak kelar-kelar nih.
Menyebalkan!
"Aku nggak mau ngerepotin. Lagian aku bisa pergi sendiri ke kantor. Kamunya aja yang dulu ngotot nganter jemput kan?"
"Ingat masa lalu kita ya, Sayang?"
"Ih! Nggak mungkin!"
Sebuah sepeda motor milik ojek online sudah berhenti tepat di depan pagar. Tanpa menunggu lebih lama, Seanna memakai helm hijau yang menjadi ciri khas ojek online tersebut.
Ketika motor berlalu di jalanan kompleks, Seanna merasa sedikit lega. Setidaknya untuk sementara dia bisa terlepas sejenak dari Adit.
***
"Jadi, kamu ngomong gitu ke Adit?"
"Iya, Er. Aku nggak punya pilihan lain. Nggak tau kenapa, aku mikirnya ke Arland. Makanya aku bilang aja aku udah punya cowok."
"Hmm. Langkah kamu udah benar. Cuma, kalo Adit tahu itu cuma akal-akalan kamu, Adit bakal makin gila lagi ngejar kamu."
"Itu yang bikin aku bingung."
"Ya udah. Deketin aja Arland. Siapa tahu dia mau bantu kamu."
Seanna tertawa. "Lupa ya, sama suara cewek yang ngejawab telepon kamu waktu itu? Aku nggak mungkin gangguin pacar orang kan?"
"Hmm. Iya juga ya? Jadi sekarang gimana dong?"
Seanna mengangkat bahu. Dia pun tidak tahu tindakan apa yang akan diambilnya.
***
Arland melewati halaman Kirei, memelankan mobil sebelum mematikan mesin. Dilihatnya, Seanna sedang terlibat pembicaraan dengan seorang laki-laki. Dia urung keluar dari mobil, tapi melihat Seanna yang mencoba menghindar, setidaknya dari bahasa tubuhnya yang menunjukkan penolakan, Arland menebak, Seanna sepertinya butuh bantuan.
"Hei." Seanna berseru ke arahnya. Laki-laki yang membelakanginya pun berbalik.
"Udah mau pulang?"
Seanna melihatnya kemudian laki-laki itu secara bergantian. Seanna mengedipkan mata, dan Arland sudah paham kode seperti itu. Miranda sering meminta bantuannya ketika berurusan dengan laki-laki yang tidak lagi membuatnya nyaman.
"Iya." Seanna mendekat ke arahnya. "Sayang, ini ada yang mau kenal sama kamu."
Arland berusaha untuk tidak tertawa. Hmm... sepertinya perempuan yang satu ini sudah benar-benar terdesak. Dan Seanna memanggilnya dengan panggilan sayang? Sudah jelas, ada udang di balik bakwan.
"Oh ya? Siapa?"
Seanna mengenalkan laki-laki yang sama sekali tidak tersenyum itu. "Adit. Kenalin. Arland."
Adit hanya menjabat tangan Arland seadanya. Lalu menatap Seanna.
"Duluan ya." Arland mengikuti saja alur yang dimainkan Seanna, padahal dalam hati dia benar-benar ingin tertawa sepuasnya. Wajah panik Seanna benar-benar lucu.
Ketika berada di dalam mobil, Seanna langsung menjauhkan diri darinya.
"Kita pulang sekarang, Sayang?" Arland menggoda.
Seanna menatapnya tajam. "Udah deh. Kamu tau yang tadi itu cuma karena kepepet."
"Cowok yang mana ini? yang jelas bukan cowok yang mau nikah itu kan?"
"Udah deh. Nyetir aja yang bener. Nggak usah nanya-nanya."
Arland tertawa. "Ingat. I'm your saviour."
"Iya, makasih." Seanna menjawab ogah-ogahan.
"Aku nggak ingat mau nganter kamu pulang. Rumah kita nggak searah."
"Ya udah, turunin aja di depan sana. Nanti aku ambil taksi. Beres kan?"
Arland semakin tidak mampu menahan tawanya. "Kamu ngaku apa saja sama dia? Biar kalo ketemu lagi, omongan kita bisa sinkron."
"Udah deh, nggak usah rese!"
Arland mengangguk dengan terpaksa. Wajah Seanna sudah memerah, mungkin dia sedang marah bercampur malu. Seumur-umur, dia baru bertemu perempuan dengan karakter seperti Seanna. Di balik sikap ketusnya, perempuan itu lumayan manis juga.
***
Seanna melirik sesekali kepada Arland yang sedang menyetir mobil. Kalau dilihat-lihat, Arland sebenarnya boleh juga.
(Ehm. Boleh juga dijadikan gebetan. Plus pasti oke kalau digandeng ke pesta resepsi kak Ervan)
Astaga. Astaga. Kenapa pikirannya jadi aneh begini sih?
Aland rupanya menyadari Seanna tengah memperhatikannya.
"Jangan lama-lama ngelihatnya. Ntar naksir."
Seanna langsung mengalihkan pandangan ke jendela. "Geer."
Tawa renyah Arland terdengar lagi.
"Kamu kapan butuh aku lagi?"
"Butuh...buat apa?" Seanna benar-benar tidak mengerti.
Arland memelankan mobil sebelum berhenti bersama kendaraan lain di lampu merah.
"Kamu ngakunya aku ini pacar kamu kan?"
Seanna menggigit bibir. Iya juga ya? Adit kan sewaktu-waktu bisa datang lagi. Mending sekalian Arland dijadikan tameng seterusnya.
Maksudnya, mereka bisa membuat semacam kesepakatan. Arland sepertinya bisa diajak kerjasama.
"Aku minta maaf kalo aku udah manfaatin kamu. Tapi yang tadi ituuu...benar-benar kepepet." Seanna menekan-nekan ujung-ujung kukunya yang pendek di permukaan dashboard.
"Nggak masalah."
Seanna memainkan tali tas kuningnya. "Trus, ntar kalo ketahuan sama pacar kamu, gimana?"
"Pacar?"
Seanna heran, Arland malah balik bertanya.
Arland beneran single atau in relationship sih?
"Iya. Yang ngangkat telepon waktu itu lho?"
Yang kata Erika kayak abis lari marathon gitu?
Arland langsung ingat telepon tiga hari yang lalu.
"Itu, Miranda." Arland menjawab. "Sepupu."
"Tapi, waktu itu kamu lagi di mana ya?"
"Di gym."
Oh. Gym-nya di atas kasur, mungkin.
Seanna sudah tidak peduli lagi tentang hal itu. Lagipula Arland bukan siapa-siapa baginya. Mau status dia seperti apa juga, bukan urusannya.
"Cowok yang namanya Ervan itu, kapan nikahnya?"
Seanna mengerutkan kening. Untuk apa Arland nanya soal itu?
"Tanggal 15 Maret."
"Sepuluh hari lagi dong." Arland menolehnya lagi. "Mau sama siapa ke acara itu?"
"Hmm, sama Rio, sepupu aku."
"Ooo."
Seanna menggigit-gigit lagi bibirnya.
"Kenapa?"
Arland tersenyum. "Aku ada undangan juga."
"Siapa yang ngundang?"
"Dinda."
"Kamu kenal sama Dinda?"
"Mau tau aja atau mau tau banget?"
"Mau tau banget. Jawab aja deh."
"Kakaknya Dinda kerja di Ardiara. Dinda-nya nggak gitu kenal."
Hmm.
***
$.����+
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top