Short Message Service (2)


Kyra Avelia.

Arland hanya membaca SMS singkat tersebut tanpa berniat membalas. Selain buang-buang pulsa, dia tidak mau SMS tersebut mengganggu pekerjaannya hari ini.

Dengan menekan satu tombol, SMS tersebut pun terhapus.

Sambil berjalan menuju ruangannya di lantai 9, Arland memasukkan ponsel ke saku celana. Tempat ponselnya semula itu, kembali terasa bergetar. Sambil mendesis, Arland melihat monitor.

Mama.

"Ma?"

"Selamat pagi, Pak."

Diana, sekretaris pribadinya mengucapkan salam. Arland mengangguk, membalas senyum Diana, lalu kembali mengobrol dengan sang mama.

"Arland, oom Brian sama Tante Nadia lagi ada di rumah. Mereka titip salam buat kamu."

"Oh."

Oom Brian dan Tante Nadia adalah orangtua Kyra. Mereka terhitung masih saudara jauh dari pihak mamanya.

"Mama jadi nggak enak, mereka datang. Kan kamu sendiri yang minta nggak ngundang mereka?" Mama terdengar jengah. Bukannya mama tidak ikut menyarankan keluarga Oom Brian masuk dalam undangan, hanya saja menurut Arland, mereka tidak perlu diundang karena domisili mereka yang jauh di Melbourne.

"Iya, Ma. Nggak usah cemas begitu." Arland bisa menangkap nada tidak enak dari mamanya.

"Jadi kamu kapan ke sini? Kamu tadi kenapa nggak ikut singgah waktu nganterin Seanna?"

"Nggak sempat, Ma. Mesti buru-buru ngantor," Dari caranya menjawab, Arland sadar kedengaran terlalu singkat. Jadi dia bertanya balik. Teringat Seanna. "Oh, ya. Seanna masih di situ, Ma?"

"Masih. Dia betah banget di rumah. Fressia pengen dibawa pulang, katanya."

Fressia. Nama salah satu kucing kesayangan Mitha, adik Arland yang duduk di bangku SMA kelas X. Mitha memiliki dua kucing, Fressia dan Frank. Keduanya sama-sama kucing Persia.

"Memang Mitha mau ngasih?"

"Nggak tau juga. Tapi Mama bilang dia nggak boleh bawa kucing. Kamu kan nggak suka kucing?"

"Kalau Seanna mau ngurusin, terserah dia mau bawa pulang kucingnya atau nggak."

Mama terdengar menjauhkan diri dari ponsel. Sesaat suaranya kembali. "Seanna bilang nggak bakal dibawa pulang. Cuma diajak main aja."

Sempat-sempatnya mama bertanya kepada Seanna.

"Arland. Udah dulu ya? Mama nggak mau kelamaan ganggu pekerjaan kamu."

"Iya, Ma." Arland menunggu sampai mama mengakhiri obrolan.

"Arland? Kamu kapan ngasih Mama, cucu?"

Pertanyaan itu dengan spontan terucap, dan spontan juga Arland terkejut.

"Mama kenapa tiba-tiba nanya begitu?" Arland bertanya kepada mama dan kepada dirinya sendiri.

"Nanti deh disambung lagi, kalo kamu datang ke rumah."

Suara mama tidak terdengar lagi. Menyisakan rasa yang tidak biasa. Mama jelas tidak tahu menahu tentang bagaimana awal mula pernikahannya dengan Seanna. Pernikahan mereka tidak ada target atau beban sama sekali.

Tapi bukan salah mama bertanya. Bukannya pertanyaan soal cucu sudah sering mengemuka di keluarga manapun. Apalagi dia anak sulung. Mitha masih SMA. Wajar kalau mama bertanya.

Kalau mama dengan terang-terangan bertanya kepadanya, tentu mama juga sudah bertanya kepada Seanna.

Dan Arland penasaran, jawaban apa yang diberikan Seanna.

Kalau Seanna cukup mahir bermain kata, dia akan memberikan jawaban diplomatis. Ditunggu saja. Sedangkan jawaban yang diberikannya adalah dalam bentuk pertanyaan balik.

Hmm, dia harus mencocokkan jawaban dengan Seanna ketika interogasi soal cucu itu muncul kembali.

***

Seanna membuka pintu rumah setelah berjalan tergesa dari dapur. Arland muncul dengan wajah lelah. Sambil melangkah masuk, Arland melonggarkan dasi.

"Kamu jam berapa balik dari rumah mama?"

"Jam 1 siang, setelah makan siang." Seanna berhenti di samping sofa yang diduduki Arland yang kini tengah melepaskan jas. "Aku sih pengen pulang cepet waktu ada tamu yang datang, tapi mama bilang aku harus ikut makan siang."

"Oom Brian sama Tante Nadya?"

"Hmm." Seanna duduk di pinggiran sofa. "Kerabat jauh ya?"

"Iya." Arland kini setengah merebahkan badan. "Kamu ngobrol sama mereka?"

"Dikit sih. Aku banyakan denger aja. Sekalian dikenalin ke mereka sebagai isteri kamu."

Keterangan yang diberikan Seanna kurang lebih sama seperti yang dibayangkan. Seanna tidak mungkin mengobrol banyak dengan orang yang dikenalnya. Entahlah, Arland berkesimpulan sendiri.

Melihat Arland membuka tutup mata, Seanna menepuk bahunya. "Capek banget ya?"

"Banget. Hari ini banyak laporan yang masuk." Arland membuka mata setengah terkatup. "Kenapa? Mau mijitin?"

"Nggak ah. Ntar kamu keenakan. Lagian pijitanku nggak enak."

Arland menggerakkan tangan untuk menggapai tangan Seanna yang sudah menjauh dari bahunya. "Dicoba aja dulu."

Seanna menggigit bibir. "Ya udah sini."

Arland membalikkan badan hingga punggungnya menghadap ke tempat Seanna duduk. Pijatan pertama langsung melegakan.

"Permulaan yang bagus."

Seanna tersenyum dari balik punggung Arland. Dia terus memijit-mijit dengan kekuatan sedang. "Tapi nggak bisa lama-lama. Ntar kuah supnya kering tuh di dapur."

"Yaah, padahal belum juga semenit." Arland sedikit kecewa ketika Seanna sudah bangkit dari duduk, dan beranjak ke dapur.

"Nanti tempel pake koyo!" Seanna berteriak sebelum memasuki pintu dapur.

Jujur, dia tidak bisa lama-lama memijit Arland. Baru bersentuhan seperti itu saja, tubuhnya sudah panas dingin. Salah Arland juga minta dipijit. Dan dia lebih salah lagi karena mau-mau saja disuruh.

Tau tidak kalau sepanjang memijat tadi, dia fokus memperhatikan punggung Arland yang kayaknya nyaman banget kalau dipeluk-peluk.

Duh, mikir apa sih?

Seanna mematikan kompor setelah kuah sup mendidih, dan busa di permukaan kuahnya sudah berkurang. Dia kembali ke pintu dapur, lupa bertanya Arland mau makan ayam goreng, ikan goreng, atau telur goreng. Dia baru tahu Arland maniak semua makanan serba goreng. Padahal kan jauh lebih sehat masak dengan cara dikukus atau rebus?

"Arland. Mau menu gorengan apa?"

Ah, ternyata Arland sudah meninggalkan sofa. Pasti sudah naik ke lantai dua, masuk ke kamar.

Seanna tidak mendapati bayangan Arland di dalam kamar. Berarti Arland sudah masuk kamar mandi.

"Arlaaand," teriaknya setelah mengetuk pintu kamar mandi.

"Masuuk aja. Nggak dikunci!"

Gila nih orang? Masak lagi mandi pintunya tidak dikunci?

Seanna mengurungkan niat untuk bertanya dan memutuskan akan menunggu sampai Arland selesai mandi.

"Kenapa?" Pintu kamar mandi terkuak sejengkal, lalu kepala Arland muncul. Ternyata dia sedang menggosok gigi. Sikat gigi masih menggantung di sudut kanan bibirnya.

"Kemarin malam kan ikan goreng. Malam ini mau ikan goreng lagi?"

"Nggak. Telur aja. Ceplok ya? Pake kecap, cabe rawit hijau diiris, pake taburan bawang goreng."

"Oo...oke. Ada request lagi?"

Jangan-jangan goreng-goreng lagi.

"Kerupuk udang aja."

"Menu makan malam kita Cuma nasi putih, sup, sama telor ceplok request-an kamu itu. sama kerupuk. Udah? Itu aja?"

Arland menggosok lagi giginya. "Gitu udah cukup."

Seanna mengangguk lagi.

"Eh, lupa."

"Apa?"

"Makasih," kata Arland.

***

Sejak menikah, praktis Seanna sudah tidak pernah lagi makan bersama kedua orangtuanya. Sebagai anak tunggal, dia selalu meluangkan waktu makan malam bersama. Meskipun belum genap dua minggu melewatkan ritual tersebut, rasa rindu mulai terasa. Sejak dua malam terakhir ini, ada keinginan besar untuk pulang sebentar ke rumahnya, dan makan bersama orangtua.

"Kamu kenapa bengong?"

"Eh?" Seanna mendengar Arland bertanya. Dikiranya Arland tidak memperhatikan kalau dia sedang melamun.

Sepertinya dia memang melamun tadi.

"Kamu mau makan atau mau melamun?" tanya Arland yang lalu menyeruput kuah sup.

Seanna mendesah. "Kangen rumah."

"Belum dua minggu juga kan? Nggak mau nunggu sebulan baru kangen rumah?"

"Bisaaa aja. Emang kangen bisa diatur-atur?" Seanna cemberut. Dia lalu dengan randomnya mengalihkan ke topik lain. "Eh, kok waktu kita nikah kamu nggak ngundang Oom Brian sama Tante Nadya?"

Seanna memang sering tiba-tiba, tiada angin, atau hujan, memunculkan topik baru. Nyambungnya ke mana antara kangen rumah dengan keluarga Oom Brian?

"Nggak." Arland menjawab sesingkat sewaktu mama bertanya di telepon pagi tadi.

"Kenapa?"

"Mereka tinggal di Melbourne."

"Oh, gitu." Seanna manggut-manggut. Kini dia mencoba menyendok nasi bercampur potongan kentang dan wortel. "Ar. Waktu nikah, tampilanku nggak aneh kan?"

Tuh. Mulai semakin random.

"Aneh gimana?"

"Aku cantik gak kelihatannya?" Seanna menyendokkan lagi potongan telor ceplok ke dalam mulutnya yang mengunyah dengan malas.

"Cantik."

"Sumpah?"

Arland tidak mengerti kenapa Seanna agak aneh begitu. Dia hanya tertawa kecil dan melanjutkan makan. Tentu saja Seanna cantik. Sejak akad sampai resepsi, Seanna selalu cantik. Setidaknya dari sudut pandangnya. Entah dari sudut pandang orang lain. Tapi, mengapa harus peduli sudut pandang orang lain?

"Iya."

"Ya udah." Seanna benar-benar aneh malam ini.

"Kamu nggak lagi sakit kan?"

Seanna langsung menggeleng. Arland langsung menempelkan telapak tangan di dahi Seanna. Kontan Seanna langsung menyingkirkan tangan Arland.

"Orang nggak sakit."

Arland suka melihat wajah cemberut Seanna. Ah, ya. Sebenarnya mau perempuan itu berekspresi seperti apapun, dia tetap suka. Tapi dia tidak tahu jika Seanna merasakan hal yang sama atau tidak.

"Seanna."

"Hmm."

Arland memutar-mutar sendok, mencoba menangkap pertanyaan yang sekilas terlupa.

Nah dia ingat sekarang.

"Mama nanya soal cucu nggak?"

"Hmm. Ya."

"Kamu jawab apa?"

Seanna terlihat berpikir-pikir. "Aku bilang ditunggu aja."

"Jawaban yang bagus." Arland memang sudah menebak-nebak jawaban itu yang akan diutarakan Seanna.

Tapi sampai kapan? Maksudnya, sampai kapan mereka akan seperti ini? Menikah, tapi kenyataannya seperti bukan sepasang suami isteri.

"Ntar kalo mama nanya lagi, aku jawab apa? Mm, kemungkinan orangtuaku nanya soal itu juga, pasti."

Arland mengunyah semakin pelan. Jadi, Seanna mulai mencemaskan reaksi kedua orangtua mereka?

"Kita sedang masa penjajakan. Anything can happen." Arland menjawab diplomatis.

"Kita memang suami isteri. Tapi, aku melihat kamu sebagai sahabat." Seanna mengucapkannya dengan nada lemah. "Kamu juga begitu kan?"

Arland tidak menjawab. Dia bisa dengan mudahnya menyukai Seanna jika melihat betapa manisnya Seanna selama ini. Dia mencoba tidak melabeli pernikahan mereka dengan label apapun.

"Arland?"

"Iya. Kita sahabat."

***

Arland membalikkan badan menghadap Seanna yang sedang tertidur. Semoga saja benar dia tidur, karena dua jam sebelumnya, Seanna mengaku tidak bisa tidur. Dan tidak akan bisa tidur.

Mungkin karena pertanyaan mama, batinnya.

Apakah Seanna mulai menyesal dengan pernikahan nekat mereka?

Jangan-jangan bulan depan, Seanna akan menggugat cerai.

Arland melongok jam di nakas. Jam 1.

Lalu, diraihnya ponsel dari dalam laci.

Ada SMS.

Lagi-lagi dari Kyra. SMS tersebut masuk sekitar jam 9 malam.

Hai Arland.

Arland menghapusnya lagi. Dimasukkannya kembali ponsel ke tempat semula, kemudian memandangi Seanna yang belum berubah posisi. Menghadapnya dengan telapak tangan kanan terulur ke tengah ranjang dan tangan kiri di atas selimut.

Jika benar sahabat, tentu tidak akan ada rasanya.

Sekali ini, Arland ingin membuktikan sendiri.

Perlahan dia mendekatkan kepalanya ke kepala Seanna. Secara kebetulan, posisi badan Seanna berubah dengan wajah menghadap ke atas.

Arland menurunkan wajahnya pelan, menunggu kapan Seanna akan membuka mata.

Semakin dekat, dia bisa merasakan napas Seanna yang turun naik secara teratur.

Gila. Terus atau berhenti?

Sekali. Dua kali. Tiga kali.

Arland mengangkat wajah dan Seanna sama sekali tidak membuka mata.

Sial.

Mencium orang tidur tidak ada rasanya.

Arland kembali merebahkan badan. Seanna kembali memiringkan kepala.

Semoga saja dia tidak tahu.

***

"Pagiiii." Seanna menyapa dengan suara riang khasnya.

Sedangkan Arland hanya berbalik dan tersenyum.

Ada yang semalam tidur dan tidak tahu apa-apa.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top