Chapter 1

[Note : Disarankan membaca sambil dengar musiknya~ meski perbedaan antara musik sama isi book jauh banget tapi bodo amatlah~ yang penting ada temen baca~]

.
.
.
.
.


Amnesia atau hilang ingatan adalah gangguan dimana seseorang tidak bisa mengingat informasi, pengalaman atau pun suatu kejadian. Amnesia adalah sebuah gangguan yang menyerang langsung ke bagian otak dan membuat penderitanya mengalami kesulitan dalam membentuk ingatan baru. Hal itulah yang juga harus dialami oleh Sasakura--ah, bukan lagi Sasakura Ei, melainkan Kujo Ei. Kecelakaan mobil parah yang ia alami penyebabnya.

Srekk.... Srekk....

Gemerisik dedaunan hijau pohon rindang yang berada di pekarangan rumah serta kicauan burung Gereja menjadi melodi indah di pagi hari.

Memberi kesan ketentraman dan juga kedamaian. Seberkas cahaya mentari menelusup di antara celah jendela berhias fabrik tipis berwarna putih yang sedikit terbuka. Meneeangi ruangan berisi dua sosok berbeda gender yang saling berpandangan di meja makan, memberikan rasa hangat.

"Siapa kamu?"

Tersenyum lembut, lelaki dengan surai baby pink mulai meraih piring putih berukuran sedang dan mulai mengisinya dengan omurice yang masih hangat, terlihat dari uap samar yang mengepul ketika ia menatanya di atas piring. Sementara wanita bersurai ungu tua panjang itu masih saja terus memandang dengan kerutan menghiasi permukaan kening halusnya.

Bukan hanya pagi ini saja pertanyaan itu selalu terlontar dari mulutnya. Sudah semenjak satu tahun yang lalu, disetiap saat, ketika kelopak mata mulai terbuka dan menunjukkan manik amesty indahnya pada pagi cerah, disaat itulah pertanyaan yang sudah sangat melekat dan bahkan sangat ia hafal di dalam pikirannya akan berkumandang. Layaknya doa dan juga mantra, seperti pil pahit yang harus ia telan setiap harinya.

"Suamimu. Makanlah, Ei. Aku memasak omurice kesukaanmu," balasnya seraya meletakkan piring berisi omurice dihadapan Ei. Wanita mungil itu menatap sejenak piring berisi omurice, kemudian kembali beralih ke sosok asing yang masih saja tersenyum. Kerutan di dahinya sudah menghilang sekarang, digantikan tatapan polos dan wajah tanpa dosa.

Mengangguk, sosok itu memberi tanda seolah semuanya akan baik-baik saja. Tidak ada racun dan ia akan aman memakannya.

Setelah merasa yakin. Dua tangan yang sebelumnya saling bertumpu diatas lutut dan menggantung di bawah meja ia gerakkan. Sebelah tangan kanan terulur, meraih sendok perak yang sudah tersedia. Mengambil satu suapan lalu memasukkan ke dalam mulut. Mengunyah dengan anggunnya layaknya para bangsawan.

"!"

Manik amesty itu melebar.

Enak!

Tak ingin menyianyiakan waktu, Ei menghabiskan sarapannya dengan semangat. Wajahnya yang selalu datar terlihat lebih cerah dan juga hidup. Tak ada lagi yang lebih membahagiakan bagi sosok dengan nama Kujo Tenn selain melihat hal itu. Melihat cahaya kehidupan terpancar dari dalam diri orang terkasihnya.

Tersenyum lebar, lengan mungilnya terangkat dan telapak tangannya menyentuh helaian surai ungu tua sehalus sutra milik Ei lalu mengacaknya gemas.

"Makan yang banyak, Ei. Semua ini untukmu."

"Kau tidak makan? Aku tidak melihatmu menyentuh piring ataupun sendok sama sekali kecuali yang kau berikan padaku."

"Eh?" Tenn berkedip beberapa kali. Mencerna pertanyaan sederhana kekasihnya. Menarik kembali tangannya, ia sempat terlihat canggung selama beberapa detik, sebelum di detik kelima ia kembali pada sosoknya yang Ei sering lihat pagi ini. " Maaf ya, aku sudah makan tadi, sebelum kamu bangun." ujarnya seraya menatap dalam manik amesty Ei tanda meminta maaf.

Bohong. Meskipun mengalami.gangguan pada memorinya, Ei masih bisa membaca gerak-gerik dari seseorang yang mengaku sebagai suaminya sebelum ditutupi oleh sebuah ekspresi yang sepertinya sangat sosok itu dalami karakternya. Ada kecanggungan dan kegelisahan di balik manik mawar lembut yang kini postur tubuh dan gaya bicaranya telah tertutup dengan sempurna, namun Ei masih bisa melihat dari sorot matanya.

Memyendok sesendok omurice lagi, Ei menyuapi suaminya yang diterima begitu saja, walau pada awalnya Tenn terlihat ragu--merasa tidak enak hati tentu saja.

"Aku tidak suka seseorang yang berbohong," ujar Ei lantang setelah memastikan suaminya mengunyah makanan dan sesekali kembali menyuapi Tenn kembali.

Ya, Tenn tahu akan hal itu--sangat tahu malah. Tak ada seseorang pun yang yang menyukai kebohongan, bahkan dirinya sekalipun.

.
.
.
.
.

(MARRIAGE) You, Me And Our Future

By

Lucian_Lucy_

.
.
.
.
.

"Kita mau kemana?" pertanyaan polos ia layangkan untuk lelaki yang ia ketahui bernama Kujo Tenn, sang suaminya. Sementara lelaki manis itu sendiri terlihat sibuk memakaikan sepasang high heels yang terlihat lebih mirip sepatu kaca khas pesta dansa.

Nyatanya, high heels itu adalah salah satu sepatu favorit milik Ei sehingga Tenn memutuskan jika wanita cantik itu akan sangat cocok memakainya mengingat tujuan utamanya akan pergi kemana.

"Oke~ sudah selesai." Tenn mendongak dan memamerkan senyum lembut khasnya. "Jalan-jalannya," balasnya singkat yang kemudian bangkit dari posisi awalnya--jongkok. Memperhatikan setiap detail sang istri. Dari atas sampai bawah. Surai ungu tua yang bisanya dikuncir keseluruhan hingga ke bahwa kini dibiarkan tergerai dan poninya menutup sebagai manik amesty miliknya hingga wanita itu hanya terlihat seperti memiliki satu mata nyatanya mata satunya tertutup oleh poni miliknya, dress elegan berwarna sama seperti surainya terlihat panjang hingga menyentuh permukaan kasar tanah melekat dengan pas dibadannya, terlihat sangat kontrak dengan kulit seputih susu yang Ei miliki. Tak lupa beberapa asesoris berupa sarung tangan tipis panjang sesiku melekat di lengannya dan sebuah gelang emas melingkar di lengan sebelah kirinya. Sempurna, batin Tenn tersenyum puas.

[Huhuhu~ maafkan Lucian yang ga pandai menjelaskan pakaian dan asesori Ei mengingat Lucian sendiri ga pernah make paling cuma ketemu gegara dipaksa buat ikut milih.]

[Oke back to story~]

"Ayo," memperhatikan tangan yang terulur padanya, Ei menerima dan bangun meninggalkan bangku kayu kecil tanpa sandaran yang sebelumnya ia duduki. Menatap sejenak tautan tangan mereka. Awalnya hanya berupa tarikan lembut yang berubah menjadi sebuah genggaman erat tapi tidak menjerat. Entah mengapa, ia merasa seolah-olah lelaki yang memakai blouse putih panjang yang melekat pas ditubuhnya lalu dipadukan celana jeans hitam panjang juga sepatu pantofel hitam serta mengenakan jam tangan kulit berwarna kayu pada pergelangan kirinya serta kulit yang tidak kalah putih darinya itu seperti takut kehilangan dirinya. Lengah sedikit, maka Ei akan terlepas dan tertelan oleh sesuatu.

Atau semua itu hanya perasaannya saja?

.
.
.
.
.

Lagu mozart mengalun lembut memenuhi ruangan yang dihiasi oleh lampu kaca besar menempel di langit-langit. Dua sosok itu bergerak seirama dengan nada. Dengan perlahan. Menikmati setiap alunan dan setiap detik yang berjalan. Tak ada orang lain. Hanya mereka berdua dan juga perasaan yang mulai saling terkoneksi.

Mata saling memandang. Saling mempesona, menjerat juga menenggelamkan. Kedua tangan Ei bertengger pada kedua bahu suaminya, sementara milik Tenn dipinggannya.

"Sudah berapa lama kita menikah?"

"Tahun ini adalah tahun pertama kita menikah."

"Apa kita saling mencintai?" memandang lembut, Tenn semakin mengeratkan pelukannya. Mencium kening Ei dengan penuh kasih sayang.

"Tidak ada seorang pun yang bisa menggambarkan seberapa besar cinta kita."

Selanjutnya hanya kata 'Hm' yang terdengar. Wanita yang lebih kecil dari suami manisnya itu tidak bertanya lagi untuk beberapa saat. Kembali menikmati dansa mereka. Tenn menghela nafas dalam diam. Ia sudah terbiasa dengan semua ini. Setiap hari dan setiap waktu, ia harus selalu sigap menjawab pertanyaan-pertanyaan yang bisa kapan saja terlontar untuknya. Hingga sebuah pertanyaan yang paling tidak terduga, Ei ucapkan dengan nada seolah itu pertanyaan biasa saja.

"Tenn-kun,"

"Ya?"

"Kenapa kamu masih saja mau bertahan?" Tenn terdiam. Gerakan dansa mereka terhenti seketika.

"Apa.... maksud mu, Ei?"

"Kamu tahu, penyakitku tidak bisa disembuhkan. Jika pun bisa, kemungkinan sangat kecil. Aku hanya akan menjadi beban dalam hidupmu. Menghambat segala pergerakanmu. Kenapa tidak kamu lepas saja diriku? Lalu kamu bisa memulai hidup barumu lagi, dengan seseorang yang bisa membuatmu bahagia dan bukannya malah menyusahkan seperti diriku." lidah Tenn kelu. Lelaki berparas manis dan lebih mungil dan malah terlihat seperti anak gadis yang baru memasuki masa pubertas itu menatap istrinya dengan pandangan tidak percaya. Bagaimana mungkin, bagaimana mungkin seorang seperti Ei bisa berkata seperti itu kepadanya?

"Pertanyaan bodoh macam apa itu?! Aku suamimu dan akan terus seperti itu hingga selamanya! Tidak peduli turunnya hujan tombak bahkan meteor, aku akan tetap bersamamu dan melindungimu!" Tenn cukup emosi hingga tidak sengaja membuat istrinya ketakutan, namun tidak dapat dipungkiri jika ia benar-benar takut sekarang saat kalimat yang paling tidak ia duga berhasil ditangkap oleh indra pendengaran.

Ei yang baru saja mendengar suara keras Tenn untuk pertama kalinya sedikit telihat seperti ingin meringkuk membuat Tenn berusaha menetapkan hati dan bertanya dengan nada bergetar sarat akan rasa bersalah dan juga sakit.

"Kenapa kamu berkata seperti itu?" rasa sesak juga nyeri menyergap hati. Oksigen disekitarnya seolah terhenti. Bahkan sedikitpun hal itu tidak terbesit dalam benaknya, karena yang selama ini ia pikirkan hanya bagaimana caranya membahagiakan Ei hingga Tenn rela selalu menyiapkan makanan favoritnya, pakaian kesukaannya dan melakukan lain-lain hal yang Ei suka.

Meski terkadang rasa pahit harus ia telan bulat-bulat, mengetahui kenyataan bahwa istrinya itu akan melupakannya setiap kali ia terpejam dan membuka matanya. Tapi ia tulus melakukan itu semua, tak sedikitpun ia merasa terpaksa dan juga terbebani. Tidak pernah!

Tenn kecewa, tidak bisa dipungkiri.

Melihat reaksi suaminya, Ei mengalihkan pandangan. Sejujurnya ia tidak memiliki niatan untuk menyulut kekecewaan Tenn. Hanya saja..... hanya saja Ei sendiri merasa takut. Ia takut jika suatu hari nanti Tenn merasa lelah lalu pergi meninggalkannya. Itulah mengapa ia nekat menanyakan hal itu. Untuk meredakan kegundahan hati yang sedang dialami.

Menghela nafas dalam, Tenn mencoba menatap hatinya. Ia tidak ingin terlalu terbawa suasana kembali, ia akan tidak sengaja menyakiti sang istri.

Sabar dan terus bersabar.

"Dengar, Ei." menuntun agar Ei menatap kedua matanya. Ia menyentuh kedua bahu rapuh tersebut. Menatap dalam-dalam dua kelereng amesty indah di hadapannya, "Kamu pikir aku ini siapa mu? Aku ini suamimu, Ei. Suamimu. Mana mungkin aku merasa terbebani karena dirimu? Lalu apa arti dari pernikahan kita? Apa arti dari sumpah yang pernah kita ikrarkan bersama dulu? Aku suamimu, aku akan selalu berusaha membahagiakanmu. Selalu berada di sisimu, disaat senang maupun susah. Aku akan selalu ada untukmu. Kamu tahu kenapa?"

Tangan Tenn beralih menangkup kedua belah pipi Ei. Wajahnya melunak dengan senyum tulus terpatri disana. "Karena aku mencintaimu."

Hati Ei bergetar mendengar penuturan Tenn. Pupil matanya membesar daripada ukuran normal. Apa ia salah dengar? Tidak! Memorinya yang terganggu dan bukan pendengarannya. Lalu, apakah yang suaminya katakan itu memang benar? Menelusup ke dalam manik mawar lembut di depannya, ia menyelam untuk menemukan jawaban. Jemari tangannya bergeser, dari bahu berpindah ke pipi Tenn. Membelainya dengan perlahan dan juga lembut.

Dia tidak berbohong. Lelaki itu jujur akan ucapannya. Saat itulah hatinya tercubit sakit, karena tidak bisa mengingat apapun tentangnya. Lama ia mengamati. Mencoba menangkap segala memori sebanyak yang ia bisa. Menyimpannya dalam hati.

"Boleh aku menciummu?" Tenn tersentak. Namun kemudia ia kembali menampilkan senyum kecil dan mengangguk.

"Kapanpun kamu mau. Kamu boleh menciumku, sebanyak yang kamu inginkan." sedikit berjinjit, wanita cantik itu menangkup pipi Tenn, membawanya mendekat dan terus mendekat hingga tak ada jarak di antara mereka.

"Aku mungkin tidak bisa mengingat dirimu. Tapi aku yakin, kamu akan selalu membuatku jatuh cinta kepadamu setiap harinya seperti saat ini.... Tenn... aku.... " manik amestynya tak berniat lepas dari manik mawar lembut Tenn.

"...... mencintaimu......"

Sekali lagi, sepasang bibir itu saling bertemu. Menyalurkan segala macam perasaan yang tidak bisa diungkapkan. Mengungkapkan perasaan cinta yang tidak bisa ditahan

.
.
.
.
.

Sementara itu disebuah ruangan yang penuh akan layar monitor yang menampilkan keadaan dua sosok yang kini saling berbagi syahdu terlihat sesosok pria yang tidak dikenal menatap dengan malas sembari menyandarkan kepalanya di kursi empuk.

Meskipun pancaran sekitarnya menunjukkan aura malas namun tatapan sosok itu sangalah tajam bagai mata pisau seolah tidak senang dengan pemandangan yang berada di depannya.

Ya, sosok itulah yang menjadi dalang dari kejadian kecelakaan Kujo Ei setahun yang lalu dan kini sepertinya ia sangat tidak senang sekarang.

"Seharusnya kalian tidak mengendurkan penjagaan loh~" gumam sosok itu dengan seringai licik yang terlukis dengan jelas diwajahnya.

Sementara di dimensi lainnya, seorang pemuda terlihat sesekali meringis sembari menyentuh pipinya yang agak sedikit bengkak.

Pemuda itu diketahui memiliki surai hitam legam, mata berwarna kecokelatan dan tinggi badan idaman. Namun.... kini pemuda itu meringis sejadi-jadinya setiap kali rasa sakit menusuk pipinya.

Tepat di depan pemuda itu terdapat beberapa buku tebal berdebu yang sudah lama tidak disentuh. Ya, seharusnya ia membaca buku itu tapi setiap kali membalikan lembaran ia akan kembali meringis dan membaca sembari menopang pipinya yang jika diraba terasa panas.

Pemuda itu deman?

Tidak.

Pemuda itu sakit?

Hampir mendekati.

"Sialan kau gigi berlubang!!!!" teriaknya yang sudah tidak kuat.

Ya, sosok author kini meringis pilu sembari ingin meninju pipinya sendiri tapi ia sadar bukannya sembuh yang ada tambah sakit.

Mari kita tinggalkan sosok author dan kembali tersenyum menatap langit cerah dan berkata, "Semoga anda cabut gigi."

.
.
.
.
.

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top