Bab 11

Marcella diantar pulang Billy, Marcella menolak untuk pergi ke dokter hanya sekedar untuk cek. Ia mengatakan ia akan baik-baik saja jika banyak istirahat.

"Marcella kenapa kok bisa sampai pingsan gitu, lo apain dia?" tanya Vadi yang khawatir terhadapnya Marcella.

"Gue enggak ngapa-ngapain dia, dia itu pingsan gara-gara mimisan tadi juga kepalanya pusing juga, karena megangin kepalanya tapi katanya baik-baik aja," Billy menjelaskan keadaan sebelum Marcella jatuh pingsan.

"Mimisan?" guman Vadi mengingat-ingat apakah Marcella pernah pingsan atau tidak.

"Marcella itu enggak pernah mimisan dan juga pingsan," ujar Vadi yang merasa sedikit ganjal dengan pingsannya Marcella.

Ini hal baru dan yang Vadi tahu Marcella tak punya riwayat penyakit mimisan, hanya penyakit biasa batuk, pilek dan demam saja.

Vadi semakin penasaran, apakah temannya ini sedang baik-baik saja atau ada hal yang ia tutupi dari dirinya.

"Semoga lo benar-benar baik-baik aja," guman Vadi.

***

Untuk menenangkan pikirannya dari Marcella, Vadi memilih untuk pergi ke sebuah cafe dengan menaiki sepeda motor miliknya.

"Mas, pesan hot chocolate ya," Vadi berujar pada pelayan itu.

Ting ...

Pandangannya tertuju pada pintu kafe yang bertanda ada pengunjung yang memasuki kafe. Vadi melihat sesorang laki-laki bersama seorang perempuan, keduanya terlihat sangat dekat dan akrab. Karena, canda dan tawa diantara keduanya.

Mereka memilih duduk yang tak jauh dari Vadi. Dengan itu, Vadi lebih mudah untuk menyimak pembicaraan keduanya.

Setelah beberapa saat mendengar perbincangan keduanya. Vadi tak tahan dan langsung memilih pergi dari kafe tersebut.

***

Marcella

Cel, lo masih marah sama gue?

Masih, tapi krena lo temen gue jadi ya udah

Eh ada yang mau gue cerita, lo ke rumah ya

Oke, gue otw

Chat pun berakhir, ada rasa lega di hati dan pikiran Vadi, tetapi masih ada rasa bersalah sebelum Billy benar-benar lepas dari Marcella.

Masih tak bisa ia bayangkan jika Marcella tahu semuanya. Pasti perempuan itu akan sangat kecewa.

Lima belas menit, Vadi telah sampai di rumah Marcella.

"Mau cerita apa lo?" tanya Vadi to the point.

"Lo tahu dong kalau gue pengen banget jadi model? Nah tadi ada satu banner majalah cover gitu jadi gue pengen ikut," jelas Marcella.

"Ya udah ikut kalau lo pengen nyoba enggak ada salahnya," jawab Vadi. "Eh tunggu muka lo kok pucat sih?" sambungnya lagi yang melihat wajah Marcella tak seperti biasa.

"Masa sih? Kayaknya biasa aja deh," sahut Marcella.

"Lo udah makan?"

"Belum sih."

"Nih kebetulan tadi gue beliin nasi goreng di kafe, makan gih," Vadi memberikn satu kantong plastik kepada Marcella.

"Tapi, gue enggak nafsu makan," tolaknya.

"Nanti lo sakit, mending makan. Gue suapin deh," tawar Vadi agar Marcella mau makan.

Tiga suapan sudah dimakan oleh Marcella, tetapi untuk suapan keempat, Marcella merasa mual dan langsung berlari ke kamar mandi.

"Huek ... huek ...," Marcella memuntahkan tiga suap nasi goreng yang baru saja ia makan.

Vadi dengan cepat berlari setelah mendengar suara Marcella.

"Lo yakin gapapa?" tanya Vadi yang melihat bibir Marcella sudah pucat pasi.

"Gak ... akh punggung gue," Bersamaan dengan itu tulang belakang Marcella kembali terasa nyeri.

"Duduk dulu gih, gue ambil minum dulu," ujar Vadi dan menuntun Marcella untuk duduk.

Marcella masih memegang punggungnya dan sesekali merintih kesakitan. Vadi kembali dengan membawa segelas air putih.

Segelas air putih langsung diterima oleh Marcella dan diminum perlahan.

"Mending cek darah deh, Cel. Kalo lo emang enggak mau ke dokter," saran Vadi.

"Iya sih, gue udah ngerasa nyeri ini tuh udah berkali-kali. Aneh banget," beher Marcella.

"Nyokap lo tahu?" tanya Vadi memastikan Marcella bercerita pada orang tuanya atau tidak.

"Enggak, gue belum cerita. Entar setelah ambil darah aja deh," jawab Marcella.

***

Malam pun tiba, Marcella meminta Vadi menemaninya untuk melakukan cek darah sesuai saran dari Vadi. Ternyata, hasil lab akan keluar paling lambat besok. Karena keduanya telah sampai di rumah sakit pukul delapan malam.

"Semoga hasilnya baik-baik aja," guman Marcella.

"Amin," balas Vadi.

Tentang Marcella yang ingin mengikuti majalah cover, ia sudah mendaftar tadi sore melalui WhatsApp dan akan diberi kabar beberapa hari lagi. Jika peserta sudah terpenuhi.

"Kalau lo lolos jadi model majalah cover, gue orang pertama yang akan beli majalahnya," tutur Vadi sembari tersenyum.

"Baik banget sih sahabat gue yang satu ini." Marcell menyubit kedua pipi Vadi.

"Aduh ... sakit pipi gue."

Marcella melepaskan cubitannya pada pipi Vadi. "Habisnya lo itu baik banget walau kadang ngeselin,"

Vadi hanya terkekeh, "Iya, tapi karena ngeselin gue, kita temenan. Coba kalau enggak. Ya enggak ada,"

"Serah lo deh."

***

Suara kukuruyuk ayam terdengar, Marcella pun terbangun dari tidurnya. Tak biasa ia bangun sepagi ini.

Ia memilih bersiap-siap dan merapikan tempat tidurnya. Semalaman, Marcella sulit tidur, ia memikirkan hasil lab dirinya dan kontes majalah cover yang diikutinya.

"Pagi Bu," sapa Marcella pada Natha.

"Loh tumben bangun pagi," sahut Natha yang melihat anaknya ang jarang sekali bingung sepagi ini. Jam juga masih menunjukkan pukul lima pagi.

"Pagi anak Ibu," lanjutnya lagi.

"Ada yang bisa aku bantu enggak Bu?" tawar Marcella pada ibunya.

"Ini kamu potongin ya sayurnya," timpal Natha.

Setelah semua sarapan telah siap dan siap dihidangkan. Semuanya berkumpul untuk menikmati sarapan di pagi hari sebelum beraktivitas.

"Oh iya, ayah mau bilang kalau ayah ada kerjaan di luar kota," ujarnya memberi tahu istri dan juga anaknya.

"Berapa lama, Yah?"

"Mungkin lima hari atau seminggu di sana," balas Herdi.

"Ayah, jangan lupa bawa pulang oleh-oleh ya," pinta Marcella.

"Hahaha, kamu ini. Iya entar Ayah beliin," timpal Herdi.

Drrt  ... drrt

Billy

Sorry banget nih, hai ini gue enggak bisa jemput lo

Okey

Setelah itu, Marcella melanjutkan sarapannya.

***

Saat jam istirahat, Billy dan Vadi mengisi perutnya. Mereka terlihat sudah bercanda kembali.
Marcella tengah bermain ponsel sambil menikmati makanannya. Ada satu pesan yang masuk.

Selamat, kakak menjadi peserta dalam kontes majalah cover. Lusa kakak bisa datang untuk di tes ya kak

"Vadi!" pekik Marcella kegirangan.

"Kenapa-kenapa? Kok senang gitu mukanya?"

"Lusa gue di tes untuk kontes majalah cover," jelas Marcella.

"Weh selamatlah ya." Vadi menjabat tangan Marcella atas meloloskannya.

"Oh iya, entar pulang sekolah kita ambil hasil tes ya," Marcella berucap mengingatkan Vadi.

"Sip."

Sepulang sekolah keduanya langsung menuju rumah sakit yang didatangi untuk melakukan tes darah.

"Sus, hasil tes darah saya kemarin sudah ada kan?" tanya Marcella pada salah satu suster yang ada di daerah ruang lab.

Suster itu mengecek data yang ia pegang. "Oh sudah, silakan ke ruang dokter Ridwan yang ada di sebelah sana, beliau akan menjelaskan hasil tesnya,"

Marcella dan Vadi segera menuju ruang dokter Ridwan.

Tok ... tok ...

"Permisi Dok, saya Marcella tadi kata suster, dokter yang akan menjelaskan hasil tes saya," ujar Marcella.

"Oke sebentar." Dokter itu mencari nama file Marcella.

Dokter Ridwan membuka isi map tersebut dan melihat hasil yang tertera pada kertas putih itu. Dokter Ridwan hanya bisa menggelengkan kepalanya dan menghembuskan napasnya pelan.

"Bagaimana, Dok? Apa saya baik-baik saja?" tanya Marcella membuka percakapan.

"Ada orang tua kamu yang datang ke sini? Saya ingin memberi tahu kepada orang tua kamu," jawab Dokter Ridwan.

"Saya ke sini sama teman saya, Dok."

"Apakah kamu sering. Mengalami gejala sakit di tulang belakang dan mimisan?" tanya dokter untuk memastikan tak salah mendiagnosa pasiennya.

"Iya, belakangan ini saya merasakan hal itu. Saya kira itu hanya kelelahan, tapi rasa sakit itu terus-menerus," jelas Marcella dengan serius.

"Apa keluarga kamu memiliki riwayat penyakit kanker?"

"Setahu saya tidak ada, Dok."

"Baiklah, saya akan menjelaskan bahwa di tes ini terdapat hasil dan jika dilihat kamu divonis penyakit kanker darah atau yang biasa dikenal leukimia," jelas Dokter Ridwan yang tak tega memberi tahu hal itu.

Deg

Marcella dan Vadi sama-sama terkejut akan hal itu.

"A-apa? Teman saya divonis kanker? Dokter enggak salah kan?" tanya Vadi yang ingin memastikan dan masih tak percaya.

"Sepertinya sel kanker itu sudah lama, dan batu bereaksi dan itu sudah stadium tiga," sambungnya.

Marcella hanya bisa menahan tangisnya. Ia tak percaya bahwa dirinya bisa didiagnosa memiliki penyakit kanker darah.

Tuhan, apakah ini memang cobaan yang diberikan untukku? Jika iya, aku akan tetap tersenyum dan melewati semua cobaanmu, batin Marcella

"Disarankan Marcella secepatnya untuk melakukan tindakan dan rawat inap di rumah sakit. Agar bisa dikontrol setiap saat."

Mimpi yang baru ingin ia capai justru hancur begitu saja. Marcella tak akan bisa memaksa tubuhnya untuk mengikuti kemauannya.

***

"Ibu," panggil Marcella ketika sudah tiba di rumah.

Natha menoleh ke belakang mendapati putrinya dan juga Vadi. Wajah Vadi terlihat sedang ada sesuatu yang terjadi.

"Vadi, kamu kenapa? Kok kayak enggak biasa gitu," tanya Natha.

"Engg-enggak papa, Bu."

Vadi berbisik di telinga Marcella, "Lo harus bilang, kasian Ibu lo,"

Marcella hanya mengangguk lemah.

"Bu, Vadi pamit pulang dulu ya," pamit Vadi pada Natha.

"Iya hati-hati ya."

Marcella mengeluarkan hasil tes itu dari dalam tasnya dan menyerahkan kepada Natha.

Marcella melihat surat itu ada logo dan juga nama rumah sakit, "Ini apa?"

"Jadi, Marcella kemarin itu tes darah, karena belakangan punggung Cella suka sakit dan juga mimisan. Itu juga saran dari Vadi dan akhirnya Cella coba tes, ternyata hasilnya ...."

Natha sudah membuka hasil tesnya sejak tadi, "Hasilnya apa?" 

"Cella ... didiagnosis ... kanker darah, Bu," ucapnya dengan suara melemah.

"Apa? Kamu enggak bohong 'kan sama Ibu?" Natha menutup mulutnya tak percaya putrinya yang masih remaja memiliki penyakit leukimia.

Natha menangis sesenggukan, masih tak percaya akan yang didengarnya dan langsung memeluk tubuh Marcella erat.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top